Mengobati ‘Derita Cinta’ yang Tak Kunjung Berakhir

Cinta kepada lawan jenis tidak selalu dihiasi ‘bunga-bunga merah jambu’, tidak sedikit yang justru berhias air mata duka. Cinta yang ‘bertepuk sebelah tangan’, cinta yang tumbuh subur kembali padahal sudah terlanjur talak tiga, cinta yang terpisahkan maut, terhalangi keluarga, terbentengi status sosial dan sebagainya, semua itu bisa membuat siapa saja ikut bersedih bahkan tak jarang ikut menitikkan air mata walaupun tidak ikut mengalaminya.

Diantara sahabatpun ada yang tidak lepas dari problem ini. Begitu besarnya cinta Mughits kepara Bariroh hingga setelah berpisahpun Mughits mengikuti kemana saja Barirah pergi dalam rangka mengharapkan belas kasihan Barirah untuk mau kembali. Air matanya mengalir membasahi jenggotnya, hingga Nabi SAW pun turut ‘melobi’ Bariroh agar kembali, namun Bariroh tetap menolak. Nabipun menyampaikan hal ini kepada pamannya:

يَا عَبَّاسُ أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا

“Wahai Abbas, tidakkah engkau heran akan rasa cintanya Mughits kepada Barirah, dan betapa bencinya Barirah kepada Mughits.” (HR. Al Bukhari).

Penyakit dan derita apa saja, Allah telah menyiapkan obatnya. Disamping perasaan, manusia diberikan akal dan logika dan dipandu dengan wahyu untuk menyelesaikan setiap permasalahannya, tak terkecuali masalah cinta. Jika perasaan yang dikedepankan dari wahyu dan akal, maka derita cinta itu tidak akan berakhir, tidak ada yang bisa mengakhirinya, tidak minuman keras, tidak pula narkoba, bahkan kematianpun tidak bisa mengakhiri derita ini. Islam telah memberikan berbagai cara untuk menyelesaikan permasalahan ini, antara lain:

1) Menikah dengan yang dicintai. Jika ada jalan yang syar’i untuk menuju jenjang pernikahan, maka obat ‘derita cinta’ yang paling manjur adalah dengan cara menikahi siapa yang dicintai. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a , bahwa Rasulullah bersabda:

لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ

Kami tidak pernah melihat (kebaikan) bagi dua orang yang saling mencintai seperti (kebaikan cinta dalam) pernikahan.[1]

Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Mulla Ali al Qari dalam Mirqâtul Mafâtîh (5/2048) menyatakan:

إِذَا نَظَرَ إِلَى الْأَجْنَبِيةِ وَأَخَذَتْ بِمَجَامِعِ قَلْبِهِ فَنِكَاحُهَا يُورِثُ مَزِيدَ الْمَحَبَّةِ، وَسِفَاحُهَا الْبُغْض وَالْعَدَاوَة

“Jika seorang lelaki memandang wanita asing (non mahrom) dan pandangan itu menyebabkan tumbuhnya cinta sepenuh hati, maka menikahi wanita tersebut akan menjadikan bertambahnya cinta tersebut, sedangkan berhubungan dengan wanita tersebut secara tidak syar’i akan memunculkan kebencian dan permusuhan”

Pacaran dengan berdua-duaan tanpa mahrom, perselingkuhan, apalagi kumpul kebo serta dan bentuk-bentuk ‘penyaluran cinta’ yang lain, pada hakikatnya hanya akan mengotori cinta tersebut dan kelak diakhirat akan berujung pada permusuhan. Setiap hubungan yang tidak berlandaskan taqwa, kelak hanya akan jadi musuh diakhirat, Allah berfirman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (Az Zukhruf : 67)

2) Melakukan “Find and Replace. Jika tidak ketemu jalan syar’i untuk menikahi yang dicintai, maka berusahalah untuk menemukan sosok yang lain yang bisa mengganti kedudukan orang yang dicintai tersebut, ‘dunia tidak selebar daun kelor’, masih banyak orang lain yang lebih baik dari yang dicintai tersebut. Jangan sampai mendatangi dukun untuk melunakkan hati seseorang (kalau mendatangi dealer dalam rangka melunakkan hati boleh saja, asal akad jual beli/kreditnya syar’i).

3) Berusaha Menerima (Ridho) dengan Ketetapan Allah. Jika tidak juga berhasil mereplace ‘sidia’ sehingga hati tetap penuh dengan kecintaan terhadapnya, sementara tidak ketemu jalan untuk menikah dengannya, ya sudahlah, ridho saja dengan ketetapan-Allah ‘Azza wa jalla, karena Dia yang mengatur hidup kita, sementara kita tidak bisa mengatur Dia. Yakinlah bahwa Allah akan memberikan terbaik untuk kita, pada saat terbaik menurut-Nya, bukan menurut kita.

Lihatlah bagaimana Zulaikha melakukan berbagai macam usaha, bahkan yang tercela pun dilakukan, demi bisa menyatukan cintanya dengan Yusuf as, namun justru Allah jauhkan Yusuf dari dirinya. Namun ketika dia mulai menyadari kesalahannya, justru Allah berikan Yusuf kepadanya. Lihat pula begitu besar cintanya Ya’kub kepada anaknya, Yusuf, hingga kehilangan Yusuf sampai membutakan matanya lantaran kesedihan, berbagai upaya dilakukan untuk mencarinya tidak membuahkan hasil, namun bi’idznillaah, kesabaran hati Ya’kub berakhir dengan bertemunya dia dengan Yusuf dalam kondisi yang terbaik.

Kalaupun tidak kesampaian, sebagaimana kasus Mughits terhadap Bariroh, tetap yakinlah bahwa jika hal yang tidak syar’i kita tinggalkan karena Allah, maka Allah akan mengganti dengan yang lebih baik, entah di dunia, entah di akhirat. Rasulullah bersabda:

من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه

“barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan ganti dengan yang lebih baik darinya” (Musnad Imam Ahmad, 5/78)

Mengenyampingkan perasaan cinta ini memang tidak mudah, dalam hal ini akal dan wahyu harus lebih dominan daripada perasaan, coba fikirkan apa yang bisa dilakukan kalau semua pintu syar’i menuju pernikahan dengan yang dicintai telah tertutup, setidaknya tertutup dalam pandangan manusia?. Mau nekat melakukan yang dilarang Allah? Siapkah menanggung derita yang justru tidak akan berakhir?. Hanya ada dua pilihan dalam hal ini, bersabar dan rela atau binasa.

4) Banyak-banyak mengingat mati. Kalau semua hal itu sudah dicoba dan masih terasa berat juga, maka banyak-banyaklah ingat akan kematian, jika kita tetap taat dalam kondisi sulit ini, yakinlah semuanya pasti berlalu, hidup didunia hanya sebentar. Namun jika kita mencari jalan lain yang tidak syar’i, yakinlah cinta itu juga akan berlalu dalam tempo yang relatif singkat sementara pertanggungjawaban yang berat dan kekal akan menghadang di sana. Allaahu A’lam. [M. Taufik NT]

Postingan ini merupakan respon atas problem yang dihadapi pembaca di kolom komentar berikut:

Asalamualaikum pak ustad, minalaidzinwalfaidzin. Mohon maap lahir dan batin. Jika boleh saya mau sedikit bertanya dan bercerita. Mungkin bukan soal agama, tetapi pak ustad yang lebih berpengalaman dan pernah muda sama seperti saya, saya harap pak ustad berkenan untuk menjawab bberepa pertanyaan dari saya. . Begini pak ustad, saya mencintai seseorang, menyayangi lebih dari diri saya sendiri, akan tetapi yang saya rasakan peria tersebut biasa2 saja terhadap saya, cuek , dan sebagainya. Mungkin saya juga salah terlalu menghambakan cinta, hingga ahirnya saya jatuh terlalu dalam dan mendalam. Saya sebenarnya tidak tahu dia maunya seperti apa . Kadang datang . Menghilang dan pergi. Setiap waktu terus saja begitu. Saya coba untuk mempertanyakan apa maunya, tapi tak pernah ada jawaban. Saya coba membicarakan semua yang saya rasakan.awalnya saya enjoy aja. Tetapi ternyata Sebagai perempuan saya butuh kepastian.kesabaran saya tentu terbatas.saya sudah menjabarkan perasaan saya , saya berkata pada peria tersebut, kalo sudah ngga bisa sama saya tolong tinggalkan,namun dia malah menanggapinya bahwa dia penghalang saya dengan yang lain. Padahal maksud saya bukan seperti itu .seperti yang saya katakan, saya butuh kepastian. 3 tahun lebih saya sabar menghadapi sikapnya. Namun ahir2 ini saya sedikit lelah. Hingga ahirnya saya selalu mempertanyakan bagaimana kedepannya? Tetapi semuanya sama. Tak pernah di jawab , saya selalu tersiksa oleh perasaan saya sendiri. Lalu saya berpikir jika dia terus begitu saya sendiri yang akan pergi dan menghilang dari kehidupannya. Saya merasa hati saya di tarik diulur, pernah Pertanyaan saya pak ustad akankah peria tersebut merasa kehilangan jika saya pergi?. Akankah dia sadar bahwa saya begitu menyayanginya dan perduli terhadapnya?. Pak ustad tentu lebih mengenal cinta dari pada saya. Mohon penjelasannya pak ustad (de*oer***@gmail.com)

Baca Juga:


[1] سبب: أخرج أبو علي الحسن بن أحمد بن شاذان في مشيخته، وابن النجار في تاريخ بغداد عن جابر بن عبد الله قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله! عندنا يتيمة قد خطبها رجلان، موسر ومعسر، وهي تهوى المعسر، ونحن نهوى الموسر. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” لم ير للمتحابين مثل النكاح “.

Posted on 11 Agustus 2016, in Akhlaq, Rumah Tangga and tagged , . Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Assalamualaikum wr WB
    Mohon maaf sblomnya pak ustadz🙏🏻
    Klw boleh d izinkan saya bertanya kbetulan menyangkut dgn tema ini
    Mgkin PK ustadz lbih faham dan mengerti soal ini

    Begini PK ustadz…bagaimana hukumnya seorang perempuan yg SDH bersuami namun d qolbunya masih ada rasa cinta pada laki2 lain dan mmg cintanya itu terpendam sblom pernikahan terjadi mgkin krna jarak dan sikon yg TDK bisa menyampaikan perasaannya itu dulu,dan skrg pun masih…memendam rasa itu
    Tpi perempuan ini sadar dia SDH bersuami bahkan inggin bner² menjadi istri yg Sholehah tuk suami dan ibu yg baik buat anak² nya…
    Namun kenyataannya rasa cinta pada laki² itu begitu SGT besar bahkan sama seperti cerita yg d atas berusaha tuk bisa melupakan malah bertambah sayang gitu ya,
    Apakah salah klw d setiap doanya dia menangis dgn perasaan yg terjadi dlm dirinya…
    Dan apakah dosa klw dia meminta sama Allah dalam doa nya (berharap bisa hidup bersama dgn laki² itu)
    Cuma d pendam saja
    Begini d hati nya itu dia
    1.selama menjadi istri dia inggin memberikan yg terbaik tuk suaminya
    2. Dia pun punya harapan bisa berjodo dgn laki² itu
    Dgn harapan ada dlm ridho Allah juga
    Tpi d pendam gitu
    Apakah dosa itu ustadz
    Mohon pencerahannya
    Terima kasih…wasalam 🙏🏻

    Suka

    • Apa yg di dalam hati, jika tdk terefleksikan dalam ucapan atau perbuatan yg melanggar syara’ maka tdk berdosa.

      Namun perlu diupayakan agar hati merasa ridho dengan karunia Allah, termasuk ridho dg suami yg Allah berikan.

      Suka

Tinggalkan komentar