Penentuan Awal & Akhir Ramadhan; Ikhtilaf, Hujjah & Realitas (II), Antara Hisab dg Rukyat

Oleh: M. Taufik N.T (sambungan dari sini)

II. Perbedaan Karena Metode; Hisab[1] Atau Ru’yat

Permasalahan ini baru muncul setelah akhir abad pertama hijriyah, setelah salah seorang tabi’in mengisyaratkan hal tersebut, dan setelah itu dibahas oleh para ahli fiqh. Pembahasan ini terjadi karena ada lafadz dari hadits nabi SAW yang memang difahami berbeda oleh para pensyarah hadits. Hadits tsb adalah :

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَل، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya. Jika (hilalnya) tertutup awan maka perkirakanlah (HR. Bukhory), dalam riwayat Muslim ada tambahan sebelumnya:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً …

satu bulan itu dua puluh sembilan malam …

Adapun ‘Ulama yang menggunakan hisab, menyatakan bahwa kata “faqduruulah” (perkirakanlah), mengisyaratkan disuruhnya menghitung dg hisab, ru’yat dilakukan karena pada saat itu umat belum mahir berhitung (astronomi). Mereka memperkuat dg hadits:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا- يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ

“Sesungguhnya kami ini segolongan umat yang ummi, kami tidak pandai menulis dan tidak pandai menghitung, sebulan itu ada yang begini dan begini- yaitu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari”. (HR. Bukhari).

‘Ulama yang membolehkan hisab antara lain: Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhkhir (kalangan tabi’in), Abil Abbas bin Syuraij (kalangan Syafi’iyyah), Al Qarafiy [2] (kalangan Malikiyyah), Ibnu Quthaibah (kalangan ahli hadits)[3], juga sebagian kalangan Hanafiyyah[4]. Namun Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) menyatakan bahwa tidak benar Mutharrif berpendapat seperti itu, dan di nafikan menisbatkan Ibnu Syuraij ke Syafi’iyyah karena berbeda dengan pendapat jumhur[5]. Adapun dari Mutharrif dinyatakan bahwa orang yang ‘alim dalam masalah hisab, ia bisa/boleh beramal dengan hisabnya[6] pernyataan ini di nisbahkan kepada Ibnu Rusyd.

Adapun yang menolak hisab untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawwal adalah mayoritas ‘ulama kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah[7]. Imam Malik menyatakan :

إِنَّ الإْمَامَ الَّذِي يَعْتَمِدُ عَلَى الْحِسَابِ لاَ يُقْتَدَى بِهِ، وَلاَ يُتَّبَعُ[8]

Sesungguhnya Imam (kepala negara) yang bersandar pada hisab (untuk penentuan awal puasa dan syawwal) tidak diteladani dan tidak diikuti

Imam An Nawawi menyatakan:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ وَلَا يَجِبُ صَوْمُ رَمَضَانَ إلَّا بِدُخُولِهِ وَيُعْلَمُ دُخُولُهُ بِرُؤْيَةِ الْهِلَالِ فَإِنْ غُمَّ وَجَبَ اسْتِكْمَالُ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Telah berkata shahabat-shahabat kami (yakni kalangan syafi’iyyah) dan selain mereka, dan tidak wajib puasa ramadhan kecuali dg masuknya (bulan ramadhan), dan diketahui masuknya (bulan ramadhan) adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal), maka jika hilal terlindung (awan), wajib menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari[9]

Alasan penolakan metode hisab adalah hadits yang sama, yang penafsiran lafadz “faqduruulah” ada dua, yakni:

1) yang dimaksud “faqduruulah” adalah sempurnakanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari[10], inilah penafsiran Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan mayoritas ‘ulama salaf dan khalaf. Ini diperkuat dengan hadits lain Riwayat Imam Bukhory:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

Satu bulan itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, jika (hilalnya) tertutup awan maka sempurnakanlah hitungan (sya’ban) 30 hari.

Juga hadits Riwayat Imam Bukhory yg semakna:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

2) yang dimaksud “faqduruulah” adalah “dhayyiqû lah” yakni sempitkanlah – maksudnya jika cuaca mendung sehingga tidak terlihat hilal, maka bulan sya’ban dihitung 29 hari[11], penafsiran ini diambil dari surat at Thalaq ayat 7:

وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ

Barang siapa yang disempitkan rizkinya … (yakni lafadz qudira bermakna disempitkan).

Yang menafsirkan seperti ini adalah imam Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya yang membolehkan puasa di hari syak[12] jika hari mendung sehingga hilal tidak terlihat[13].

Adapun pendapat lain, Al Qalyuby menukil perkataan Al ‘Abbâdy :

إِذَا دَل الْحِسَابُ الْقَطْعِيُّ عَلَى عَدَمِ رُؤْيَةِ الْهِلاَل لَمْ يُقْبَل قَوْل الْعُدُول بِرُؤْيَتِهِ، وَتُرَدُّ شَهَادَتُهُمْ[14]

Jika hisab yg qath’iy menunjukkan akan ketiadaan (kemungkinan) melihat hilal maka tidaklah diterima perkataan orang yang adil (bahwa ia) telah melihat hilal dan ditolak kesaksian mereka.

Imkanur Rukyat MABIMS

Merupakan Penanggalan Hijriyah Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut “imkanur rukyah” dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang menyatakan:

image“Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)· Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau (2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku” [MUTOHA AR. Modul Pelatihan RUKYATUL HILAL]

Imkaanur rukyat sebenarnya sama dengan  hisab ditambah pemberian kriteria  seperti di atas (berbeda dengan kriteria wujudul hilal yakni : “Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu:
(1) Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam,
(2) Bulan tenggelam setelah Matahari,
Maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.

Adapun  standar 2 derajat,   secara ilmiyah masih diperdebatkan hingga sekarang.

Penulis berpandangan bahwa sebenarnya tidak perlu ada pertentangan tajam antara hisab dg rukyat (kadang saya tulis ru’yat, arabnya : رأية), asalkan metode hisabnya akurat (bisa dibuktikan dengan rukyat juga, sederhananya kalau cuaca mendukung, ketinggian hilal sangat mungkin terlihat, petugas yg merukyat sudah ahli, dan arah sudut pandangan tepat sesuai perhitungan, ternyata tidak terlihat hilalnya, berarti metode hisabnya tidak akurat). Hisab saat ini bisa digunakan untuk membantu kemana dan dimana rukyat harus dilakukan. Hanya saja satu masalah yang sulit disatukan adalah tatkala mendung, sedangkan menurut hisab hilal sangat mungkin terlihat (misalnya ketinggiannya 8 derajat), dalam hadits jelas-jelas Rasulullah menyuruh menggenapkan bulan menjadi 30 hari, akibatnya akan tetap berbeda dg hisab. Hal ini bisa dipersempit perbedaannya jika menggunakan rukyat global (lihat bagian pertama tulisan ini), jika disuatu wilayah mendung, kemungkinan wilayah lain bisa cerah, kecuali jika seluruh dunia ternyata mendung. Jika hal ini terjadi maka untuk penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal  penulis merasa lebih tentram memilih menggenapkan bulan menjadi 30 hari berdasarkan dalil-dalil diatas. Sedangkan penetapan bulan yang lain bisa tetap menggunakan hisab saja tanpa rukyat. Adapun untuk bulan Dzulhijjah (bulan Haji) pembahasannya berbeda dengan Ramadhan dan Syawwal. Allahu Ta’ala A’lam.

Baca Juga:


[1] Hisab berasal dari bahasa Arab “hasiba” yang memiliki arti menghitung, memperkirakan atau juga membilang, sedangkan ru’yat yakni melihat dengan mata kepala.

[2] الفروق 2 / 178، الفرق 102

[3] Al ‘Aini, ‘Umdatul Qâri, 10/261 (dikutip dari Mausû’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah)

[4] رسائل ابن عابدين 1 / 244 – 225

[5] فتح الباري 1 / 122

[6] الحطاب: مواهب الجليل 2 / 388، وقد نسب القول إلى ابن رشد.

[7] رسائل ابن عابدين 1 / 244 – 225 – النووي، المجموع شرح المهذب 6 / 270، والزرقاني شرح الموطأ 2 / 154، والقسطلاني: إرشاد الساري 3 / 356 (دار الفكر، بيروت) .

[8] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, 22/33

[9] المجموع شرح المهذب – 6/270

[10] ابن رشد، المقدمات 1 / 187 – 189

[11] ابن قدامة، المغني 3 / 90، والنووي، المجموع شرح المهذب 6 / 270، وشرح مسلم 3 / 53

[12] ragu sudah ramadhan atau belum

[13] النووي، المجموع شرح المهذب 6 / 270، وشرح مسلم 3 / 53, juga perkataan Nâfi’ dalam al Mughni bahwa Ibnu ‘Umar bila hilal tidak terlihat karena terhalang awan (pada malam ke 30 sya’ban) maka ia besoknya puasa (yakni sya’ban jadi 29 hari saja): قَالَ نَافِعٌ: كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إذَا مَضَى مِنْ شَعْبَانَ تِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ يَوْمًا، بَعَثَ مَنْ يَنْظُرُ لَهُ الْهِلَالَ، فَإِنْ رَأَى فَذَاكَ، وَإِنْ لَمْ يَرَ وَلَمْ يَحُلْ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلَا قَتَرٌ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، وَإِنْ حَالَ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرٌ أَصْبَحَ صَائِمًا. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد

[14] القليوبي 2 / 49.

Posted on 29 Agustus 2011, in Ibadah, Ikhtilaf, Syari'ah. Bookmark the permalink. 4 Komentar.

  1. Yg hadis bukhari tidak salah terjemah ustadz? 29 hari?

    Suka

    • memang 29 hari kok. makanya tgl 29 di ru’yat, kalau kelihatan berarti tetap 29 hari, kalau terlindung maka baru digenapkan menjadi 30 hari

      Suka

  2. muhammad Rasyid Ridha mengqiyaskan hisab bulan dengan hisab waktu pada salat…begitu juga buya hamka, namun yang saya tekankan, alam ini sangat teratur waktunya, dan memiliki garis edar yang pasti….

    Suka

  3. Imkanur Rukyat sejatinya disandarkan pada perhitungan statistik, yang berarti hisab juga. Sehingga “ketidak mungkinan” rukyat dibawah angka 2 dan 3 derajat tersebut adalah “ketidakmungkinan statistik” yang faktanya “sebenarnya mungkin saja”.

    Jadi menurut pendapat saya, bila kita ber pegang kepada rukyat, ketika ada orang yang bersedia disumpah menyatakan menyaksikan hilal, maka sumpah dan kesaksiannya harus diterima dulu hingga bisa dibuktikan bahwa dia bukan saksi yang layak (karena kurang akal ata belum baligh).

    Jangan seperti yang dipertontonkan sidang isbath tahun lalu, yang menolak sumpah seorang muslim hanya karena bukan dari kelompoknya atau bukan utusan dari golongannya.
    ==
    Komentar:
    Banyak kemungkinan sehingga hakim menyatakan ketidakmungkinan suatu kesaksian, seperti misalnya mengaku melihat hilal di arah timur, bentuknya seperti melengkung kebawah, atau dia mengaku melihatnya pada malam ke 27 bulan sya’ban… tentang imkanur rukyat, saya sepakat bahwa itu juga masuk dalam kategori hisab

    Suka

Tinggalkan komentar