Category Archives: Akhlaq
Membungkuk dan Berpelukan Saat Menyambut Tamu
Ustad, mohon penjelasan ttentang hadist tsb? Apakah benar?
Jazakallah khoiron (isinya di bagian bawah*)
***
Memang ada larangan membungkukkan badan kepada makhluk, namun rinciannya begini:
Mengobati Penyakit Dengki
عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو المُسْلِم، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يكْذِبُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا -وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَراتٍ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ، كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Janganlah kalian saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya. Taqwa itu ada di sini (seraya menunjuk dada beliau tiga kali). Seseorang telah dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram darahnya bagi muslim yang lain, demikian juga harta dan kehormatannya”.
Banyak orang ribut karena terjangkit penyakit fisik. Namun jarang yang peduli jika terjangkit penyakit dengki, padahal dengki ‘memakan’ amal baik seseorang sebagaimana api melahap kayu bakar.
Apa ciri-cirinya? Bagaimana mengobatinya?
simak di sini https://youtu.be/KuHdfhwput0
(Melengkapi bagian yg hilang dalam Kajian Online selasa (19/1) lalu, dan ringkasannya)
Boros (Isrâf) dan Mubadzir (Tabdzîr)
Sebagian orang memandang bahwa berinfaq dalam jumlah banyak adalah tercela, begitu juga banyak belanja untuk perkara yang tidak terlalu penting, seperti sudah punya satu buah handphone maka tidak boleh membeli satu atau dua buah lagi. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“… Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan” (QS. Al Isra : 26-27)
‘Imamah dan Kopiah
‘Imâmah (pakai huruf ‘ain) maknanya adalah:
اللِّبَاسُ الَّذِي يُلاَثُ (يُلَفُّ) عَلَى الرَّأْسِ تَكْوِيرًا
“Pakaian yang dililitkan pada kepala secara melingkar.”[1]
Sebagian masyarakat menyebutnya dengan ‘bolang’ atau surban.
Hukum Memakainya
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ سَتْرِ الرَّأْسِ فِي الصَّلاَةِ لِلرَّجُل بِعِمَامَةٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا؛ لأِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِالْعِمَامَةِ.
“Para ahli fiqih sepakat bahwa disukai (mustahab) menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki dengan ‘imâmah atau yang semakna dengan itu karena Nabi SAW shalat dengan memakai ‘imâmah.” [2]
Bahkan dalam di luar shalatpun ada yang menyukai untuk tetap dipakai:
Guru, Mu’allim, Ustadz, Syaikh, dan Kyai
Apakah makna sebutan guru, ustadz, syaikh, kyai, dan mu’allim?
Guru
Kata ‘guru’ berasal dari bahasa Sanskerta, yang digunakan untuk menyebut seorang pengajar dan pembimbing spiritual. Kata ‘guru’ jelas berasal dari budaya Hindu-Budha, yang berpengaruh cukup besar di Nusantara sebelum kedatangan Islam, termasuk di daerah Kalimantan Selatan. Sebutan ‘tuan guru’ juga dipakai di daerah Nusa Tenggara Barat. Sedangkan orang Bugis menyebut ulama dengan ‘gurutta’, yang artinya ‘guru kita’.[1]
Bersegera Melaksanakan Kewajiban
Allah Swt. berfirman:
وَسَاِرعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَّبِكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).
Dikatakan kepada seseorang dari Bani ‘Abdul Qais, “Nasehatilah kami.” Maka ia berkata:
احذروا سوف
“Hati-hatilah dengan ‘saufa’.”[1]
Setidaknya ada dua hal yang akan terjadi ketika menunda pelaksanaan kewajiban: kematian lebih dahulu menjumpainya, atau muncul banyak hal yang membuat dia tidak bisa melaksanakannya lagi.
Melecehkan Ilmu
Kebodohan memang akan mengakibatkan rusaknya masyarakat. Namun, banyaknya orang ‘alim, para pakar dan ahli di berbagai bidang, belum tentu memiliki efek yang baik, bisa pula mereka menimbulkan kerusakan yang lebih dahsyat dalam masyarakat, baik kerusakan diri mereka sendiri maupun kerusakan umum. Ini terjadi jika para ulama, ilmuwan dan para ahli tersebut melecehkan ilmunya; menghiasi, mendalili, dan menjustifikasi sesuatu yang bertentangan dengan bidang ilmu yang dipelajarinya demi mengharapkan sejumput kehidupan duniawi.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a berkata:
لَوْ أَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ صَانُوا الْعِلْمَ، وَوَضَعُوهُ عِنْدَ أَهْلِهِ، سَادُوا بِهِ أَهْلَ زَمَانِهِمْ، وَلَكِنَّهُمْ بَذَلُوهُ لِأَهْلِ الدُّنْيَا لِيَنَالُوا مِنْ دُنْيَاهُمْ، فَهَانُوا عَلَى أَهْلِهَا،
“Seandainya para ahli ilmu itu memelihara ilmu mereka, dan menggunakannya dengan selayaknya, niscaya mereka dengan ilmunya itu akan memimpin manusia pada zamannya. Akan tetapi mereka menukar ilmu tersebut kepada pemilik dunia untuk mendapatkan dunia mereka, maka hinalah ahli ilmu itu di mata mereka.”
Mengusir Sepi Saat Sendiri
Ahad (23/2), atas idzin Allah, rombongan kami bertemu dengan seorang ulama yang berada sekitar 4,5 jam perjalanan dari Kota Banjarbaru. Setelah berbincang-bincang berbagai hal terkait persoalan dakwah, beliau berkata yang kurang lebihnya: “dulu banyak yang ‘dibawai’ oleh Nz (salah seorang teman kami), namun satu-persatu ‘berguguran’, andai sorangan haja yang mengemban tugas ini, aku tidak akan mundur untuk bersama-sama memperjuangkan diterapkannya syari’ah Allah ini…”
Ketakwaan; Sebab Pertolongan
Salah satu musibah terbesar yang menimpa suatu bangsa, organisasi, partai, maupun individu adalah hilang/berkurangnya ketakwaan. Menyebar luasnya kedustaan, kecurangan, suap, menuruti syahwat, mengabaikan shalat, … itu semua adalah bencana yang lebih besar dibandingkan sekedar bencana alam.
Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi (w. 328 H) dalam Al-’Aqd al-Farîd menyatakan bahwa Khalifah ‘Umar r.a sangat mengkhawatirkan terjadinya perbuatan maksiat yang dilakukan oleh umat Islam. Beliau menganggap hal itulah yang akan menghalangi datangnya pertolongan dari Allah Ta’ala. Umar menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash dan pasukannya:
Menjomblo, Menikah atau ‘Menambah’?
Manakah yang lebih utama, menjomblo, menikah ataukah menambah istri?. Jawabannya tergantung. Adakalanya menjomblo lebih utama daripada menikah, adakalanya menikahi satu istri lebih baik, dan adalakanya menambah istri lebih utama. Ukurannya, mana saja kondisi yang lebih memudahkan seseorang untuk mempersiapkan dan membangun kehidupan ukhrawinya, itulah yang lebih baik.
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 17)
(1) Menjomblo Lebih Utama
Bagi penuntut ‘ilmu atau orang yang ingin fokus mendalami ilmu menjomblo itu lebih baik. Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menyatakan:
يُسْتَحَبُّ لِلطَّالِبِ أَنْ يَكُونَ عَزَبًا مَا أَمْكَنَهُ لِئَلَّا يَقْطَعَهُ الِاشْتِغَالُ بِحُقُوقِ الزَّوْجَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِالْمَعِيشَةِ عَنْ إكْمَالِ طَلَبِ الْعِلْمِ
“disukai seorang penuntut ilmu untuk menjomblo semampunya agar kesibukan dia dalam menunaikan hak-hak istri dan mencari nafkah tidak memutusnya dari kesempurnaan menuntut ‘ilmu. [1]
Menjaga & Mendidik Anak
Allah swt. dalam Alquran menyifati anak-anak dengan tiga hal; sebagai penyejuk mata (qurrata a’yun)[1], sebagai fitnah (cobaan)[2] bahkan sebagai musuh bagi orang tuanya.[3] Ketiga sifat itu ditentukan oleh bagaimana perilaku anak. Karena perilaku anak banyak dipengaruhi oleh pendidikan yang diterimanya maka orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi penyejuk mata dan penolongnya di dunia maupun akhirat perlu memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
Allah swt. menjelaskan kewajiban ini dalam surat At Tahrîm ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”[4]
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Umar bin al-Khattab r.a berkata:
يا رسول الله، نقي أنفسنا، فكيف لنا بأهلينا؟
“Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, bagaimana cara menjaga keluarga kami ?”
Mempelajari Al-Qur’an
Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman al-Sulami dari Utsman bin ‘Affan r.a bahwa Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.”[1]
Abu Abdirrahman al-Sulami tetap mengajarkan Alquran sejak zaman Utsman r.a sampai masa al-Hajjaj bin Yusuf.[2] Ketika beliau meriwayatkan hadis ini, beliau berkata:
فَذَاكَ الَّذِي أَقْعَدَنِي فِي مَقْعَدِي هَذَا
“(Hadits) inilah yang membuatku duduk di kursi ini (untuk mengajar membaca al-Qur’an dan memperoleh fadhilahnya).”[3]
Perumpamaannya Seperti Anjing
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing … (QS. Al A’râf: 176)