Nikah Mut’ah

Oleh: M.Taufik. N.T

Nikah Mut’ah adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu tertentu, dan otomatis akadnya putus setelah batas waktu tersebut tanpa harus ada cerai dari suami[i] juga tidak ada waris-mewarisi. Disebut juga pernikahan sementara (النكاح المؤقت), dan batas waktunya disebutkan dalam akad, jika batas waktunya tidak disebutkan dalam akad maka hukumnya bukan nikah mut’ah. Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam nikah mut’ah, jangka waktu perjanjian pernikahan (‘ajal) dan besarnya mahar (mas kawin) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit.

Semua ulama sepakat bahwa mut’ah pada awal Islam dibolehkan, namun berkaitan dengan apakah kemudian kebolehannya dinasakh (dihapus) sehingga akhirnya mut’ah diharamkan, terdapat perselisihan antara sunni dan syiah dalam hal ini. Perselisihan tersebut berasal dari pemahaman terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan mut’ah.

Beberapa Hadits Tentang Mut’ah

  1. Riwayat Muslim (no. 2493) [ii], dari Qais dia berkata aku telah mendengar Abdullah berkata:

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا أَلاَ نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ إِلَى أَجَلٍ …

Kami berperang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak mempunyai istri, maka kami berkata: bolehkah kami mengebiri (diri kami), maka beliau melarang yang demikian (mengebiri) kemudian memberi keringanan (rukhsoh) kepada kami untuk menikahi wanita dengan (mahar) baju sampai batas waktu tertentu.

  1. Riwayat Muslim (no. 2494) dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al Akwa’, mereka berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا

Telah menemui kami penyeru (penyampai pesan/muadzzin)[iii] Rasulullah SAW, maka dia berkata: sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengizinkan kalian untuk (nikah) mut’ah.

  1. Riwayat Muslim(no 2496) dari Ibnu Juraij, bahwasanya Atho’ berkata:

قَدِمَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مُعْتَمِرًا فَجِئْنَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَسَأَلَهُ الْقَوْمُ عَنْ أَشْيَاءَ ثُمَّ ذَكَرُوا الْمُتْعَةَ فَقَالَ نَعَمْ اسْتَمْتَعْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

Jabir bin Abdullah telah mendatangi suatu kunjungan, maka kami menemui dia di tempatnya, dan suatu kaum bertanya kepadanya tentang berbagai macam (persoalan) sampai mereka menyebut (menanyakan) mut’ah, maka dia (Jabir bin Abdullah) berkata: benar, kami melakukan mut’ah pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar.

  1. Riwayat Bukhory … dari Aly k.w. ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah pada waktu perang khaibar.[iv]

  1. Riwayat Muslim (no 2499) …dari iyas bin Salamah dari bapaknya ia berkata:

رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberi kelonggaran (rukhsoh) untuk nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah), kemudian beliau melarangnya[v].

  1. Riwayat Muslim (no. 2502) …dari Ar Rabi’ bin Sabrah Al Juhany bahwasanya bapaknya telah menceritakan kepadanya bahwa saat ia (bapaknya) bersama Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

“Wahai manusia, aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut’ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." [vi]

  1. Riwayat Ibnu Majah [vii](No. 1952) dari Ar Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya dia berkata:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْعُزْبَةَ قَدْ اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا قَالَ فَاسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ فَأَتَيْنَاهُنَّ فَأَبَيْنَ أَنْ يَنْكِحْنَنَا إِلاَ أَنْ نَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلاً فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُنَّ أَجَلاً … ثُمَّ غَدَوْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتَاعِ أَلاَ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيلَهَا وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam haji wada’[viii] (dalam riwayat muslim pada saat Fathu Makkah) mereka berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya membujang (tidak beserta istri) sungguh sangat berat bagi kami, dia (Rasulullah) berkata: menikahlah dengan wanita-wanita ini, maka kami mendatangi mereka (wanita-wanita tsb) mereka menolak menikah dengan kami kecuali dengan menentukan batas waktu pernikahan atara kami dengan mereka, maka kami menyampaikan hal tersebut kepada Nabi SAW, kemudian beliau berkata: buatlah tempo (pernikahan) antara kalian dengan mereka …kemudian pagi harinya Rasulullah berdiri antara tiang dan pintu dan dia berkata: Wahai manusia, aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat, maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut’ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kalian berikan kepadanya"

  1. Hadits riwayat Abu Dawud (hadits no 1774) dari Az Zuhri dia berkata: dan abu dawud menyatakan : ini adalah riwayat yang paling sahih tentang yg demikian (mut’ah):

كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَتَذَاكَرْنَا مُتْعَةَ النِّسَاءِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ رَبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي أَنَّهُ حَدَّثَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ

Kami bersama Umar Bin Abdul ‘Aziz, maka kami menyebut tentang mut’ah, maka berkata kepadanya seorang lelaki yang disebut Rabi’ bin Sabrah: aku menyaksikan bapakku sesungguhnya dia berkata sesungguhnya Rasulullah SAW melarangnya pada haji wada’[ix]

Pendapat Golongan Syi’ah

Golongan Syi’ah membolehkan nikah mut’ah dan menyatakan kebolehannya berlaku sampai sekarang, mereka berdalil dengan firman Allah SWT surat An Nisa’: 24:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

Maka (isteri-isteri) yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.

Dalam salah satu kitab referensi syi’ah, yakni kitab Raudlotul Bahiyyah fi Syarh Al Lum’ah Ad Dimasyqiyyah, juz 3 hal 426 dst dijelaskan:

اتَّفَقَ جُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ، وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْبَيْتِ عَلَيْهِمْ السَّلاَمُ عَلَى ذَلِكَ

Jumhur mufassirin bersepakat bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah nikah mut’ah, dan ahlul bait ber ijma’ (sepakat) tentang hal itu (mut’ah).

Mereka juga menggunakan qira’at Ibnu Mas’ud & Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut berbunyi:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

Maka (isteri-isteri) yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka sampai batas waktu tertentu

Mereka kemudian menolak penghapusan hukum kebolehan nikah mut’ah tsb karena hadits-hadits tersebut dianggap bertentangan:

( وَدَعْوَى نَسْخِهِ ) أَيْ : نَسْخِ جَوَازِهِ مِنْ الْجُمْهُورِ ( لَمْ تَثْبُتْ ) ؛ لِتَنَاقُضِ رِوَايَاتِهِمْ بِنَسْخِهِ

(dan sangkaan penghapusannya) yakni: penghapusan kebolehannya/mut’ah dari jumhur (tidak tetap/tidak ada ketetapan), karena riwayat-riwayat mereka tentang penghapusan (mut’ah) saling bertentangan.

Selanjutnya dalam kitab ini ditulis pertentangan yang dimaksud: “mereka meriwayatkan dari ‘Ali kw. Bahwa mut’ah di larang pada (perang) Khaibar… (hadits keempat–pent), sedangkan dari Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya (hadits ketujuh à masih dibolehkan pada haji wada’ kemudian dilarang — pent)…dari dua riwayat ini berarti telah terjadi penghapusan hukum bolehnya mut’ah dua kali, yakni pada saat (perang) Khaibar dan pada haji wada’ dan tidak (boleh) ada yang mengatakan demikian. Intinya mereka menolak hadits yang menyatakan kalau mut’ah telah diharamkan sampai hari kiamat karena pertentangan antara dua hadits tersebut, yakni apakah keharaman tersebut sejak tahun futuh Makkah s/d hari kiamat atau sejak haji wada’(yang terjadi setelah futuh makkah) s/d hari kiamat — keduanya bersumber dari Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya, karena kalau riwayat yg benar sejak futuh makkah maka kebolehan mut’ah pada awal haji wada’ bertentangan dengan haramnya mut’ah dari futuh makkah s/d hari kiamat.

Oleh karena itu kalangan syi’ah menolak hadits yang menyatakan menghapus hukum bolehnya mut’ah, mereka kemudian memperkuat pendapatnya dengan hadits ketiga yang berarti setelah Rasulullah meninggal, mut’ah masih boleh.

Pendapat Golongan Sunni

Menurut kaum sunni (ahlus sunnah wal jama’ah), kebolehan nikah mut’ah telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadits keenam dan ketujuh dan hadits-hadits yang semakna, juga telah dinasakh oleh ayat-ayat tentang talak, iddah dan waris. As Syarkhosy[x] mengutip pernyataan Ibnu Mas’ud:

نَسَخَتْهَا آيَةُ الطَّلاَقِ وَالْعِدَّةِ وَالْمِيرَاثِ

Ayat-ayat talaq, iddah dan waris telah menghapusnya (kebolehan mut’ah).

Umar r.a berkata:

لَوْ كُنْت تَقَدَّمْت فِي الْمُتْعَةِ لَرَجَمْت

Kalau dihadapkan kepadaku kasus mut’ah niscaya aku akan merajamnya.

Sedangkan pengertian surat An Nisa’: 24 kaitannya adalah tentang menikmati wanita yang telah dinikahi (bisa dilihat konteksnya dengan ayat 22, 23 dan 24) pada ayat 22 Allah berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Ayat ke 24 sendiri selengkapnya berbunyi :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Sedangkan maksud potongan ayat ke 24 surat An Nisa’ (yang dipakai dalil syi’ah untuk kebolehan mut’ah) dijelaskan secara panjang lebar oleh Ar Razi [xi] yakni :

فما استمتعتم به من المنكوحات من جماع أو عقد عليهن ، فآتوهن أجورهن عليه

Barang siapa diantara kalian yang menikmati wanita yang telah dinikahi, baik dengan dukhul (jima’) atau aqad (tapi tidak/belum jima’ terus dicerai) maka berikanlah maharnya.

Selanjutnya Ar Razi memberikan penjelasan tentang dua pendapat:

أحدهما : وهو قول أكثر علماء الأمة أن قوله : { أَن تَبْتَغُواْ بأموالكم } المراد منه ابتغاء النساء بالأموال على طريق النكاح ، وقوله : { فَمَا استمتعتم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ } فان استمتع بالدخول بها آتاها المهر بالتمام ، وإن استمتع بعقد النكاح آتاها نصف المهر .

Pendapat yang pertama — dan dia adalah pendapat mayoritas ulama’ umat (Islam) bahwa perkataan { أَن تَبْتَغُواْ بأموالكم } maksudnya adalah mencari wanita dengan harta dengan jalan menikah, dan perkataannya { فَمَا استمتعتم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ } maksudnya adalah jika kalian menikmatinya dengan dukhul (jima’) maka berikanlah maharnya secara sempurna, jika hanya akad nikah (belum jima’ terus cerai) maka berikanlah separo mahar.

والقول الثاني : أن المراد بهذه الآية حكم المتعة ، وهي عبارة عن أن يستأجر الرجل المرأة بمال معلوم إلى أجل معين فيجامعها ، واتفقوا على أنها كانت مباحة في ابتداء الاسلام

Pendapat kedua: bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah hukum mut’ah, yakni seorang lelaki mengupah wanita dengan harta tertentu dalam batas waktu tertentu, kemudian dia menggaulinya, dan mereka sepakat bahwa ini adalah boleh pada awal Islam.

واختلفوا في أنها هل نسخت أم لا؟ فذهب السواد الأعظم من الأمة إلى أنها صارت منسوخة

Dan mereka berselisih tentang apakah kebolehan mut’ah ini dinasakh (dihapus) atau tidak? Mayoritas umat Islam berpendapat bahwa dia (kebolehan mut’ah) telah dihapus.

Adapun Ibnu Abbas ra. yang di klaim syi’ah membolehkan mut’ah secara mutlak, maka Ar Razi menyatakan bahwa ada 3 riwayat berkaitan dengan pendapat Ibnu Abbas, yakni :

  1. Boleh secara mutlak, ‘ammarah bertanya kepada Ibnu Abbas:

أسفاح هي أم نكاح؟ قال : لا سفاح ولا نكاح ، قلت : فما هي؟ قال : هي متعة كما قال تعالى ، قلت : هل لها عدة؟ قال نعم عدتها حيضة ، قلت : هل يتوارثان؟ قال لا

Apakah (mut’ah) itu zina atau nikah? Dia (Ibnu Abbas) berkata : bukan zina dan bukan mut’ah, aku bertanya lagi: lalu apa (sebenarnya) dia (yang bukan zina dan bukan nikah) itu? Dia (ibnu abbas) berkata: dia mut’ah sebagaimana perkataan Allah Ta’ala. Aku berkata : apakah bagi mut’ah ada ‘iddah? Dia (Ibnu Abbas)berkata : ya, iddahnya adalah satu kali haid. Aku berkata: apakah mereka berdua saling mewarisi ? dia (Ibnu Abbas) menjawab: tidak.

  1. Boleh kalau darurat. Ibnu Abbas tatkala mendengar disebarkannya fatwa beliau tentang bolehnya mut’ah (secara mutlak) beliau berkata[xii]:

قاتلهم الله إني ما أفتيت باباحتها على الاطلاق ، لكني قلت : إنها تحل للمضطر كما تحل الميتة والدم ولحم الخنزير له

Semoga Allah mencelakakan mereka, sesungguhnya aku tidaklah memfatwakan kebolehannya secara mutlak, akan tetapi aku berkata: sesungguhnya mut’ah itu halal bagi orang yang terpaksa (darurat) sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi bagi yang terpaksa.

  1. Kebolehan mut’ah telah dihapuskan. Diriwayatkan dari Atha’ al Khurasaniy dari Ibnu Abbas tentang ayat : { فَمَا استمتعتم بِهِ مِنْهُنَّ } maka Ibnu abbas berkata ayat ini telah dinasakh dengan ayat :

{ يأيُّهَا النبى إِذَا طَلَّقْتُمُ النساء فَطَلّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ }

Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)

Juga diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata menjelang ajalnya:

اللهم إني أتوب اليك من قولي في المتعة

Ya Allah, aku bertaubat kepada Engkau tentang perkataanku tentang mut’ah

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani[xiii] menyatakan bahwa para ulama (kecuali sebagian golongan syi’ah) sepakat bahwa nikah mut’ah sudah diharamkan sampai hari kiamat. Ibnul Mundzir menyatakan : mut’ah dibolehkan pada awal Islam sebagai rukhsoh, tidak ku jumpai seorangpun membolehkannya kecuali sebagian (syi’ah) rafidhah, dan tidak ada nilainya perkataan (mereka) yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Qodhi Iyadh mengatakan : telah terjadi kesepakatan ulama akan keharaman mut’ah kecuali golongan (syi’ah) rafidhah. Adapun Ibnu Abbas ada riwayat penduduk Makkah dan Yaman bahwa beliau membolehkannya, namun kemudian beliau meralat pendapatnya. Al Khattabi menyatakan bahwa haramnya mut’ah sudah seperti ijma’ (kesepakatan), kecuali sebagian syi’ah. Ja’far bin Muhammad: mut’ah adalah zina murni. Ibnu Daqîq al ‘Id menyatakan: apa yang dikatakan sebagian Hanafiyyah tentang Malik bahwa mut’ah boleh adalah keliru karena telah jelas bahwa malikiyyah (orang-orang madzhab imam Malik) melarang nikah mu’aqqat (sementara)….

Al Khattabi menyatakan: diceritakan bahwa Ibnu Juraij membolehkannya, dan dinukil dari Abu ‘Awanah dalam kitab shahihnya bahwa Ibnu Juraij telah meralat pendapatnya (yakni pendapatnya menjadi mut’ah hukumnya haram) setelah sebelumnya menyampaikan 18 hadits yang membolehkan mut’ah di Bashrah.

Adapun tentang tambahan dalam qira’at Ibnu Mas’ud menjadi

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

Maka (isteri-isteri) yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka sampai batas waktu tertentu

An Nawawi menjelaskan bahwa tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمًّى = sampai batas waktu tertentu adalah tambahan yang syadz (asing/aneh) sehingga tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Al Qur’an (dan memang tidak tercantum dalam Al Qur’an).

Memahami Pertentangan Hadits

Dari hadits hadits diatas, hadits pertama membolehkan mut’ah sebagai rukhsoh (keringanan), hadits kedua & ketiga membolehkan mut’ah secara mutlak, hadits keempat menunjukkan bahwa mut’ah dilarang pada waktu perang Khaibar, sedangkan hadits kelima menunjukkan bahwa pelarangan terjadi pada tahun Authas (tahun penaklukan Makkah — yakni setelah khaibar) mut’ah dilarang sampai hari kiamat. Hadits keenam menyatakan pelarangan tanpa menyebut kapan waktu pelarangan tersebut. Ini berbeda dengan hadits ketujuh bahwa pelarangan mut’ah sampai hari kiamat ini terjadi pada haji wada’ (setelah khaibar dan fathu makkah) dan sebelum haji wada’ mut’ah masih dibolehkan. Sedangkan hadits kedelapan tidak dinyatakan bahwa dalam haji wada masih dibolehkan, hanya disebutkan pelarangan.

Oleh karena pertentangan ini, syiah kemudian berkesimpulan bahwa riwayat-riwayat tentang pelarangan tersebut berarti saling bertentangan (kontradiksi) sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Hal ini dibantah oleh Al Maziriy[xiv]:

هَذَا الزَّعْم خَطَأ وَلَيْسَ هَذَا تَنَاقُضًا ؛ لانَّهُ يَصِحّ أَنْ يَنْهَى عَنْهُ فِي زَمَن ثُمَّ يَنْهَى عَنْهُ فِي زَمَن آخَر تَوْكِيدًا أَوْ لِيَشْتَهِر النَّهْي وَيَسْمَعهُ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَمِعَهُ أَوَّلاً ، فَسَمِعَ بَعْض الرُّوَاة النَّهْي فِي زَمَن ، وَسَمِعَهُ آخَرُونَ فِي زَمَن آخَر ، فَنَقَلَ كُلّ مِنْهُمْ مَا سَمِعَهُ وَأَضَافَهُ إِلَى زَمَان سَمَاعه

Anggapan mereka adalah salah, dan tidaklah hadits-hadits tersebut kontradiksi, karena boleh saja melarang tentang mut’ah pada suatu waktu, kemudian melarangnya lagi di waktu yang lain untuk memperkuat larangan (yang pernah disampaikan) atau untuk memasyhurkan larangan tersebut dan memperdengarkannya kepada orang yang tidak mendengarkan larangan tersebut sebelumnya. Maka sebagian perowi mendengarnya pada satu waktu, perowi yang lain mendengarnya pada waktu yang lain pula dan setiap perowi meriwayatkan apa yang didengarkannya disandarkan pada waktu kapan ia mendengarnya.

Cukup logis apa yang disampaikan Al Maziry, kalau seseorang melarang A pada hari Senin, terus melarang A pada hari Selasa bukan berarti ini kontradiksi, karena bisa jadi memang pelarangan itu terjadi tidak satu kali saja tetapi beberapa kali yakni Senin dan Selasa. Yang jadi masalah adalah kenapa setelah dilarang pada tahun Khaibar kok masih saja terdapat riwayat kebolehan mut’ah pada tahun Authas/Fathu Makkah yang terjadi setelah Khaibar, setelah fathu Makkah dilarang s/d hari kiamat, kok masih ada riwayat bolehnya mut’ah saat haji wada’ (setelah fathu Makkah), inilah yang dikalangan sunni sendiri terjadi perbedaan.

Qadli ‘Iyad menyatakan bahwa pelarangan mut’ah terjadi pada tahun Khaibar karena riwayatnya adalah shahih dan tidak ada cela dari sisi perowinya, adapun pelarangan berikutnya adalah pengulangan/penegasan pelarangan pertama, sedangkan kebolehan setelah itu merupakan rukhsoh (keringanan) karena darurat, sedangkan pelarangan pada fathu makkah adalah pelarangan penegasan dan pelarangan abadi sampai hari kiamat.

Adapun riwayat kebolehan mut’ah pada haji wada’ adalah keliru, karena pada hari itu tidak ada kondisi darurat sedikitpun dan juga tidak membujang karena sebagian besar mereka melakukan haji dengan istri istri mereka, sehingga yang shahih bahwa pada saat haji wada’ hanya terjadi pelarangan saja yang mana pelarangan ini diulang Rasulullah SAW saat berkumpulnya manusia, agar yang sebelumnya tidak mendengar menjadi mendengar[xv].

Sedangkan An Nawawi berpendapat bahwa mut’ah dibolehkan dan dilarang dua kali. Sebelum Khaibar boleh, setelah khaibar dilarang, kemudian dibolehkan dan kemudian dilarang lagi setelah tiga hari Fathu Makkah sampai hari kiamat[xvi].

Adapun hadits ketiga yang menyetakan bahwa Jabir tetap nikah mut’ah sampai setelah Rasul SAW wafat, maka menurut An Nawawi ini karena mereka belum mendengar pengharaman secara mutlak sampai hari kiamat. Adapun kalau difahami bahwa ini diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, maka seperti yang disampaikan Abu ‘Awanah dalam kitab shahihnya bahwa Ibnu Juraij telah meralat pendapatnya (yakni pendapatnya menjadi mut’ah hukumnya haram) setelah sebelumnya menyampaikan 18 hadits yang membolehkan mut’ah di Bashrah.

Penutup

Dari uraian diatas saya lebih memilih pendapat yang menyatakan mut’ah haram sampai hari kiamat. Keharaman ini bukan karena pendapat ‘ulama, bukan pula karena Umar yang mengharamkan, karena Umar hanya melaksanakan/menerapkan hukum syara’ saja. Keharamannya adalah karena hadits-hadits yang menyatakan haramnya mut’ah adalah hadits shahih, dan anggapan kontradiksi antar hadits tersebut dapat dijelaskan dengan baik.

Tidak diragukan lagi bahwa mut’ah adalah zina. Sehingga kalau negara menerapkan syari’at Islam maka ia kena had zina (di cambuk bagi yang belum nikah dan dirajam bagi yang telah nikah).

Adapun bagi orang yang mengambil/mengadopsi pendapat madzhab syi’ah Imamiyyah/Ja’fariyyah, maka harus diperhatikan: kalau kepala negara tidak mengadopsi/menetapkan hukum mut’ah maka tidak diterapkan baginya had, karena madzhab Ja’fariyyah juga merupakan ijtihad yang punya syubhat dalil. Adapun jika kepala negara (khalifah) mengadopsi/menetapkan hukum yang berlaku dalam negara adalah mut’ah haram maka tidak pandang bulu, bermadzhab apapun kalau melakukan mut’ah akan kena had sebagai mana yang dilakukan Umar ra. Karena kaidah Fiqh menyatakan

حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف

Ketetapan hakim/penguasa (khalifah) dalam masalah ijtihad mengangkat (menghapus) perbedaan[xvii].

Adanya perbedaan ijtihad (syi’ah & sunni) ini tidak boleh membuat kita kemudian sembarangan mengambil pendapat, tidak berdasarkan kekuatan dalil lagi, namun berdasarkan kekuatan ‘nafsu’, kalau ini yang terjadi maka yang kita lakukan bukan mengikuti hukum syara’ namun mengikuti hawa nafsu, terus kondisi yang ‘biasa’ kita ‘darurat-daruratkan’ agar sesuai dengan salah satu hasil ijtihad.

Ketika kita tahu dalil yang lebih kuat maka wajib hukumnya bagi kita untuk merubah pendapat kita dari mengikuti pendapat yang lemah kemudian mengikuti pendapat yang lebih kuat tersebut. Sebagaimana sahabat sebelumnya mereka memahami bahwa jima’ kalau tidak keluar sperma maka tidak wajib mandi junub berdasarkan riwayat Abu Said Al Khudlri, namun ketika mereka dapat riwayat dari Aisyah bahwa apabila dua khitan bertemu maka wajib mandi, selanjutnya Aisyah bilang: aku melakukannya dengan Rasulullah dan kami mandi junub, maka para sahabat akhirnya meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat yang memiliki dalil yang lebih kuat, karena pada ghalibnya Aisyah lebih tahu urusan ini ketimbang Abu Said Al Khudlri. ‘Allahu ta’ala A’lam. [M.Taufik NT]

***


[i] Fathul Baari, 14/366, Syarh Shahih Muslim, 5/76

[ii] Penomoran disini dan seterusnya (yang ada di blog ini) umumnya adalah penomoran di kitab pada Maktabah Syamilah v. 3.24, atau di software Al Kutubut Tis’ah atau Jâmi’ul Fiqh al Islamiy, atau software kitab-kitab yg lain, yang di Maktabah Syamilah penomoran halamannya tidak sesuai dengan nomor halaman pada kitab cetakan kertasnya.

[iii] Dalam riwayat lain (no. 2495) disebutkan bahwa yang datang adalah Rasulullah SAW, dalam riwayat lain menggunakan kata أَتَانَا yang mengandung makna bahwa yang datang adalah 2 orang, yakni Rasulullah dan penyeru (muadzzin) nya. Lihat pula Fathul Bâri, juz 14 hal 369

[iv] Bukhory no. 5098, Ibnu Hajar Al Asqalany dalam Bulughul Maram no. 1024, 1025, dalam riwayat lain “نهى عن نكاح المتعة وعن لحوم الحمر الاهلية زمن خيبر = Rasulullah melarang nikah mut’ah dan keledai jinak pada hari khaibar, sebagian memahami bahwa yang diharamkan pada hari khaibar adalah keledai saja sedangkan mut’ah tidak disebutkan kapan waktu haramnya, yakni kalau dipisah jadi dua kalimat: rasulullah melarang nikah mut’ah. Rasulullah melarang makan keledai jinak pada hari Khaibar. Namun dalam riwayat lain (seperti hadits diatas) adalah riwayat yang shahih dan kedua riwayat ini tidak bertentangan. Dari kalimat “Rasulullah melarang nikah mut’ah” (tanpa disebut waktunya) tidak bisa disimpulkan bahwa pelarangan itu tidak terjadi pada hari Khaibar.

[v] Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (no 15956), Al Baihaqi dalam kitab Dalâilun Nubuwwah no hadits 1841, Abu ‘Uwanah no. 3306, Daruquthni no. 3685, Ibnu Hibban no. 4225, Ibnu Hajar Al Asqalany dalam Bulughul Maram (chm versi 2.0) no. 1023

[vi] Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1952, Ahmad no. 14810, Ibnu Abi Syaibah juz 3/390, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro 7/203, Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 6393,

[vii] Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad no. 14804 dengan redaksi yang sedikit berbeda

[viii] Dalam riwayat Imam Muslim (no. 2501) juga dari sumber yang sama: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ = Kami keluar bersama Rasulullah SAW pada tahun fathu makkah. Jadi kejadian yang tepat tentang terjadinya mut’ah adalah tahun Futuh Makkah, sebagaimana yang ditulis oleh As Syarkhosi dalam Al Mabsuth, juz 6 hal 428. sedangkan dalam haji wada’ abu dawud meriwayatkan tentang keharamannya saja tanpa menyebut kebolehannya, yakni hadits no 1774

[ix] Juga diriwayatkan Ahmad, dalam riwayat lain ada juga yang menyebutkan pada perang tabuk, tapi riwayat ini lemah/keliru menurut Qadli ‘Iyadl.

[x] As Syarkhosy, Al Mabsuth, juz 6 hal 428

[xi] Fakhruddin Ar Râzi, Mafâtîhul Ghaib, 5/154 dst

[xii] Ini berarti semakna dengan hadits ibnu ‘umar dan hadist pertama dalam tulisan ini

[xiii] Fathul bari juz 14/369

[xiv] Imam An Nawawi, idem.

[xv] وَذِكْر الرِّوَايَة بِإِبَاحَتِهَا يَوْم حَجَّة الْوَدَاع خَطَأ ؛ لانَّهُ لَمْ يَكُنْ يَوْمئِذٍ ضَرُورَة وَلاَ عُزُوبَة ، وَأَكْثَرهمْ حَجُّوا بِنِسَائِهِمْ ، وَالصَّحِيح أَنَّ الَّذِي جَرَى فِي حَجَّة الْوَدَاع مُجَرَّد النَّهْي ، كَمَا جَاءَ فِي غَيْر رِوَايَة ، وَيَكُون تَجْدِيده صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّهْي عَنْهَا يَوْمئِذٍ لاجْتِمَاعِ النَّاس ، وَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِد الْغَائِب

[xvi] Imam An Nawawi, idem. وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالابَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ ، وَكَانَتْ حَلاَلاً قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر ، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس ، لاتِّصَالِهِمَا ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلاَثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة ، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم

[xvii] أنوار البروق في أنواع الفروق juz 3/334

Posted on 13 Januari 2010, in Makalah, Rumah Tangga and tagged . Bookmark the permalink. 1 Komentar.

Tinggalkan komentar