Konsep Moderasi-Kompromi (al-Wasathiyah)

Oleh: Muhammad Hussein Abdullah

Dewasa ini, begitu banyak istilah-istilah yang dikeluarkan oleh Barat yang dijadikan slogan untuk mengecam kaum Muslimin. Kaum muslimin diklasifikasikan menurut kacamata Barat: ada Muslim yang extremist dan terrorist, ada yang sekadar ‘Islamist’ ada pula yang dinamakan ‘Moderat’ atau ‘Modern’ atau ‘Liberal’…. Bermacam-macam! Kaum muslimin yang sepatutnya menyerang tanggapan-tanggapan Barat yang bukan saja telah mengklasifikasikan mereka dalam batas-batas negara, bangsa, suku, developing country/third world country…. Justru memilih antara klasifikasi-klasifikasi ini…. Mana yang paling sesuai untuk mereka lekatkan pada identiti mereka. Antara yang telah mereka pilih ialah konsep moderasi ini….

Sumber Istilah Moderasi

Moderasi (moderation); compromising atau “al-wasathiyah” dalam Bahasa Arabnya, ialah suatu konsep yang baru muncul di kalangan kaum muslimin setelah jatuhnya kekhilafahan Islam. Yang dimaksudkan dengan moderasi ialah mengambil sikap neutral (tidak berpihak) atau jalan tengah dan tidak extreme.

Moderasi ialah istilah Barat, baik dari segi lafaz maupun maknanya. Dilihat dari asal-usulnya, istilah ini bersumber dari ideologi Kapitalis/Sekularis yang menjadikan jalan tengah sebagai konsep sekaligus aqidah. Ketika berlaku pergolakan berdarah antara tokoh-tokoh gereja dan para Raja di satu pihak dengan para cendikiawan dan filosof Barat di pihak lainnya; mereka berkompromi (compromise) untuk menyelesaikan masalah ini. Pihak gereja dan raja-raja berpendapat bahwa agama Nasrani layak mengatur semua aspek kehidupan, sedangkan pihak cendikiawan berkeyakinan bahwa agama ini tidak layak lagi untuk mengatur manusia, bahkan ia menyebabkan berlakunya kezaliman dan kemunduran. Mereka mengingkari kelayakannya sebagai sistem negara dan beranggapan bahwa akal manusia lebih layak dan mampu mengurus kemaslahatan manusia sendiri.

Untuk menyelesaikan masalah ini, mereka berkompromi. Jalan tengah yang mereka ambil ialah: mengakui agama sebagai pengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi bukan pengatur antara manusia dengan manusia lain dalam kehidupan dunia. Maka muncullah konsep “fasluddeen ‘anil-hayah” (pemisahan agama dari kehidupan) dan konsep ini menjadi asas atau mabda’ bagi ideologi yang dikenali dengan Kapitalisme. Maka mereka berjaya bangkit sebagai sebuah tamaddun, dan mengembangkan pemikiran fasluddeen ‘anil-hayah ini keseluruh alam melalui cara imperialisme.

Apabila ditinjau dengan mendalam, kita dapati bahwa konsep “fasluddin ‘anil-hayah” ini sendiri merupakan konsep yang menyalahi logika akal. Suatu solusi yang didapati dengan mengambil jalan tengah antara dua pihak yang bertentangan tanpa melihat kebenaran argumen kedua-belah pihak, tidak dapat dianggap sebagai solusi samasekali; terutama apabila pertentangan yang berlaku ialah antara haq dan bathil. Maka konsep ini yang mereka anggap moderasi/kompromi/adil samasekali tidak berdasarkan akal dan tidak berdasarkan kebenaran.

Konsep ini sangat menonjol dalam setiap aturan ideologi Kapitalis. Mereka menjadikan ‘undi’ sebagai penyelesaian dalam menerapkan peraturan. Undang-undang yang mau diluluskan di parlimen contohnya, dibahas dan didebatkan terlebih dahulu kemudian diundi pendapat. Suara majoritilah yang menentukan keberlakuan undang-undang tersebut, tanpa memperdulikan kebenaran argumen pihak minoriti. Di negara-negara Kapitalis, kita dapati undang-undang yang merbahaya untuk kelestarian manusia diberlakukan, semata-mata karena parlimen meluluskannya. Sebagai contoh: mengakui hak-hak lesbian dan homoseks dengan alasan pengakuan hak-hak asasi manusia, walaupun implikasi dari pengakuan ini ialah berleluasanya penyebaran AIDS misalnya. Alasan agama dalam masalah ini tidak akan diterima samasekali walaupun benar dari segi akal dan fakta.

Dalam menyelesaikan masalah politik, mereka mengambil jalan tengah tanpa melihat kebenarannya. Contohnya masalah Palestin. Kaum Arab Muslimin menuntut seluruh tanah Palestin dan menganggapnya sebagai tanah mereka; sedangkan kaum Yahudi mendakwa tanah Palestin ialah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka (the promised land). Maka bersepakatlah negara-negara Barat yang kapitalistik itu pada 1947 untuk menyelesaikan konflik Palestin dengan membuat dua struktur pemerintahan di sana: satu untuk Arab dan satu lagi untuk Yahudi. Begitu pula halnya dalam masalah Kasymir, Kosovo, Bosnia, Cyprus, dan lain-lain.

Konsep ini mereka propagandakan seolah-olah ia membawa keadilan bagi semua pihak. Hakikatnya, konsep yang mereka serukan ini bersandar kepada dusta dan dalih-dalih. Mereka bukannya berusaha mencapai kebenaran seluruhnya, tetapi mereka menggunakan konsep ini sebagai dalih (excuse) dan tipudaya untuk memperolehi kesepakatan yang dikehendaki. Oleh karena itu kita saksikan perundingan berlangsung bertahun-tahun, bukan untuk memberikan hak yang sepatutnya (karena menurut pandangan mereka hak seseorang itu tidak ada batasnya), tetapi untuk mencapai persetujuan dengan cara kompromi. Setiap pihak ingin memperolehi bahagian yang sebesar-besarnya walaupun harus menanggung risiko kehilangan sebahagian dari hak mereka. Hasilnya, besar kecilnya bahagian yang diperolehi tidak tergantung kepada benar tidaknya suatu pihak, tetapi kuat atau lemahnya posisi mereka. Maka yang kuat akan memperolehi apa yang mereka ingini, sedangkan yang lemah harus mengalah dan berpuashati dengan bargaining yang mereka dapati.

Posisi kaum muslimin yang begitu lemah dewasa ini, menjadikan mereka mangsa konsep moderasi-kompromi ini. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah ada penyelesaiannya karena mereka tidak dibenarkan untuk merujuk kepada hak mereka yang ditentukan oleh Allah SWT, karena wahyu Allah itu tidak boleh dijadikan argumen untuk mengatur hubungan mereka dengan manusia yang lain. Mereka tidak boleh memperjuangkan aqidah mereka walaupun aqidah Islamlah aqidah yang benar, karena memperjuangkannya berarti ‘memihak’ dan ini merupakan extremisme – tidak semua manusia memeluk aqidah ini-maka harus ada kompromi.

Alasan Kaum Muslimin Mengambil Konsep ‘Moderasi’

Kaum Muslimin yang seharusnya menyerang konsep ini dan menjelaskan kepalsuannya, justru memperjuangkannya. Mereka malah mendakwa bahwa ‘jalan tengah’ ini ialah bahagian dari Islam. Istilah-istilah seperti tolak-ansur, kesederhanaan dikait-kaitkan dengan moderasi-kompromi ini. Ulama-ulama umat ini kemudian mencari dalil-dalil untuk membenarkan argumen ini. Mereka mengatakan Islam itu berada antara ruhiyah dan materi, seimbang antara individu dan masyarakat, antara realistis dan idealis, tidak ekstrim tidak pula longgar, bukan ekstrim kiri bukan pula ekstrim kanan. Mereka mengatakan bahwa setiap sesuatu itu memiliki dua hujung ekstrim dan wilayah antara dua hujung tadi ialah wilayah yang aman. Sedangkan titik-titik hujung ialah daerah berbahaya dan merosakkan. Sebaliknya, titik tengah ialah pusat keseimbangan dan kekuatan. Oleh yang demikian, dalih mereka, kita dapati Islam itu seimbang karena sentiasa berada di titik tengah.

Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan pendapat di atas:

1) Qs. al-Baqarah [2]: 143

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ

Dan demikian Kami jadikan kamu (umat Islam) ‘umatan wasatha’ supaya kamu menjadi saksi ke atas manusia…

dengan mengartikan ‘wasatha’ sebagai moderat. Bahwa moderatnya umat Islam itu karena moderatnya manhaj dan sistemnya. Ia tidak ekstrim sebagaimana agama Yahudi dan tidak pula sebagaimana agama Nasrani yang lemah. Ia seimbang antara dunia dan akhirat, akhlaq dan syariah dan sebagainya. Al-wasatha juga berarti keadilan dan keadilan itu berarti moderat atau kompromi antara dua pihak yang bersengketa, maka jadilah keadilan itu bermakna perdamaian.

2) Qs. al-Furqaan [25]: 67

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah mereka di antara yang demikian itu.” Mereka mengatakan bahwa dalam berinfaq terdapat dua ekstrim: boros dan kikir, dan yang dituntut oleh Allah SWT ialah antara keduanya (al-qawaam). Mereka berdalih, jalan tengah disyariatkan oleh Islam dalam membelanjakan harta.

Bantahan Terhadap Argumen Di Atas

Makna yang benar bagi Qs. al-Baqarah [2]: 143 ialah, bahwa umat Islam ialah umat yang adil, dan adil ialah salah satu syarat seorang saksi di dalam Islam. Maka umat Islam akan menjadi saksi yang adil terhadap umat-umat yang lain karena Islam telah sampai kepada mereka. Meskipun ayat ini datang dalam bentuk ‘khabar’, ia merupakan tuntutan kepada umat Islam supaya menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain, jikalau tidak mereka akan berdosa. Inilah yang ditunjukkan di akhir ayat 143 ini, juga dalam Qs. al-Baqarah [2]:140,

… وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ

Siapakah yang lebih zalim dari orang yang menyembunyikan syahadahnya dari Allah…” Adapun Qs. al-Furqaan [25]: 67 menunjukkan bahwa ada tiga jenis jalan membelanjakan harta: 1) al-Isrof; (2) at-Taqtier; (3) al-Qawaam. Al-Isrof ialah membelanjakan harta dijalan yang haram, baik banyak atau sedikit. Walaupun seseorang hanya mengeluarkan $1 untuk berjudi, itu sudah dianggap ‘isrof’. At-Taqtier adalah tidak mau menafkahkan harta dalam perbelanjaan yang wajib, seperti zakat dan nafkah. Sedangkan al-Qawaam berarti menafkahkan harta sesuai dengan yang diminta oleh Islam, baik banyak atau sedikit[1]. Contohnya: ketika Abu Bakar r.a membelanjakan seluruh hartanya untuk Islam, atau Umar r.a mengeluarkan separuh dari hartanya, atau Usman r.a membiayai perlengkapan jihad, mereka radhiallahu ‘anhum tidak dianggap isrof. Begitu pula apabila kaum munafiq menghina sebahagian kaum muslimin yang tidak memperolehi kecuali sedikit untuk disedekahkan di jalan Allah, Allah justru mencela kaum munafiq itu (Qs. at-Taubah [9]: 79). Allah SWT juga memuji orang-orang yang beserta Rasulullah Saw di dalam senang dan susah:

وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

…dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh), supaya Allah membalas mereka dengan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (Qs. at-Taubah [9]: 121).

Maka lafaz “wa kaana baina dzalika qawaama” tidak dapat diartikan sebagai jalan tengah. Ia hanya menunjukkan bahwa ada 3 cara dalam berinfak, dan hanya satu darinya yang sesuai dengan syara’. Allah SWT tidak mengatakan: “baina dzalikuma..” yang berarti ‘di antara keduanya’ sehingga perkataan qawaam dapat diartikan dengan “wasathiyah” yaitu pertengahan.

Khatimah

Dengan yang demikian, tidak ada jalan tengah di dalam Islam dan tidak pula kompromi. Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan Dia mengetahui ciptaan-Nya dengan pemahaman yang tidak berdaya dilampaui oleh manusia. Dia SWT-lah yang mampu dan berhak untuk mengatur kehidupan manusia dengan suatu peraturan yang teliti dan tepat. Dan tidak seorang manusiapun, bagaimana geniusnya beliau, dapat mencapai kemampuan itu. Dimanakah konsep “wasathiyah” di dalam ayat-ayat ini?

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari selain Islam sebagai addeen, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali-‘Imraan [3] : 85).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Dan berhukumlah antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah (syari’at Islam) dan janganlah kamu mengikuti hawa mereka…” (Qs. al-Maa’idah [5]: 49).

Ketika Rasulullah Saw meminta bantuan dari Bani Sha’sha’ah, mereka meminta kepada beliau agar kepimpinan diserahkan kepada mereka sepeninggalan Rasulullah Saw nanti, Rasulullah hanya mengatakan: “Al-amru lillahi yadha’a hu haitsu yasyaa’…” yang berarti: urusan/kekuasaan itu milik Allah, Dia meletakkannya di tempat yang dikehendakiNya.

Juga tidak ada jalan tengah dalam penerapan hukum Islam, baik hukum potong tangan atau zina atau murtad. Allah SWT telah menurunkan syariat-Nya dengan lengkap dan terperinci, Rasulullah Saw serta khalifah-khalifah selepas beliau telah menunjukkan kepada kita bagaimana hukum Islam itu telah dinikmati oleh kaum Muslimin lebih dari 14 abad lamanya. Istilah ‘wasathiyah’ ini telah disuntikkan kedalam Islam oleh musuh-musuh Allah supaya kaum muslimin melekatkannya ketubuh Islam dengan nama moderasi dan toleransi, serta memalingkan kaum muslimin dari ketegasan dan kebijaksanaan hukum Allah SWT. Hendaknya kaum Muslimin menyadari racun pemikiran yang disuntikkan ke dalam pemikiran-pemikiran Islam, dan mulai menjadikan hanya syariat sebagai tolak ukur mereka dalam penghidupan ini. Allah SWT berfirman:

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ

…tidak ada sesuatupun selepas Haq itu melainkan kesesatan…” (Qs. Yunus [10]: 32).

Apakah Islam itu tidak cukup untuk kaum Muslimin, sehingga kita perlu mencari istilah atau cara hidup yang lain selain Islam?

Sumber: hayatulislam.net Publikasi 30/05/2004 (tanpa arab dan catatan kaki)


[1] Tafsir Ath Thabari (19/298), Maktabah Syamilah: حدثني علي، قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن عليّ، عن ابن عباس، قوله:( وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ) قال: هم المؤمنون لا يسرفون فينفقون في معصية الله، ولا يُقترون فيمنعون حقوق الله تعالى..

Posted on 23 September 2010, in Aqidah, Dakwah, Kritik Pemikiran, Syari'ah. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. konsep wasithiyyah yusuf qardhawi lebih komprehensif…ulun melihat seakan akan tulisan ini mengantarkan kita kepada faham kesatuan agama dan negara yang bertentangan dengan faham wasithiyyah…dalam setiap budaya dan bangsa memiliki istilahnya sendiri…dan dalam perkembangan bahasa pun, makna dari suatu terus berkembang…syukran ust…

    Suka

Tinggalkan komentar