Metode Praktis Penerapan Syariat Islam

Oleh: M. Taufik  N.T

Sebenarnya sangat menyakitkan hati, betapa penerapan syariat Islam secara praktis masih harus dijelaskan melalui berbagai forum seminar ataupun simposium. Padahal, Rasulullah saw. dan para khalifahnya telah menerapkan Islam secara praktis di sepanjang sejarah Islam. Kaum Muslim pada saat itu sampai tidak pernah dapat memahami seandainya kehidupan ini tidak diatur oleh hukum-hukum Allah Swt. atau seandainya mereka hidup tanpa adanya seorang khalifah yang mengatur urusan mereka. Sebab, penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam saat itu telah demikian mengurat akar dan mendarah daging. Pada masa itu, kaum Muslim biasa menyaksikan proses pembaiatan khalifah secara langsung dan bahkan terlibat aktif dalam proses pembaiatan seorang khalifah. Mereka biasa menyaksikan bagaimana pasukan Islam bergerak untuk berjihad di jalan Allah dan bahkan turut andil menjadi pasukan jihad. Mereka biasa menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana hukum-hukum hudud diterapkan di tengah-tengah mereka. Mereka biasa menyaksikan bagaimana zakat dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka dan didistribusikan kepada orang-orang fakir. Mereka juga biasa menyaksikan para pedagang Muslim dan dan kafir dzimmi melakukan aktivitas perdagangan tanpa dipungut cukai. Lalu-lintas perdagangan mereka terjamin keamanannya walaupun tanpa menyerahkan surat jaminan keamanan. Bukan hanya itu saja, mereka juga menerima pembagian-pembagian harta dari Baitul Mal.

Demikianlah kehidupan kaum Muslim. Mereka senantiasa berada di bawah naungan panji Lâ Ilâha illâ Allâh wa Muhammad ar-Rasûlullah. Mereka senantiasa hidup dalam kondisi aman dan tenteram sebagai hasil dari penerapan syariat Islam. Penerapan syariat Islam tidaklah—sebagaimana tuduhan sementara orang—mempersulit umat Islam. Penerapan syariat Islam juga tidak identik dengan pengekangan dan upaya memata-matai setiap anggota masyarakat. Bahkan, umat bisa tetap mengoreksi penguasa dengan lisan-lisan mereka, jika negara buruk dalam menerapkan hukum-hukum Islam. Lebih dari itu, umat akan mengangkat senjata di hadapan penguasa jika penguasa telah menampakkan kekufuran yang nyata, Umat Islam saat itu juga selalu bergegas memenuhi seruan jihad untuk meraih kemenangan dan mati syahid. Mereka tidak pernah takut dengan celaan manusia dalam melaksanakan hukum-hukum Allah. Mereka tetap menyandang gelar sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia; yang senantiasa menegakkan Islam di dalam negeri dengan motivasi takwa dan menjaga kekuasaan Islam serta menyebarkan Islam ke luar negeri dengan dakwah dan jihad. Kondisi ini terus berlangsung hingga hancurnya Khilafah Islam setelah Perang Dunia I lewat tangan Kemal Attaturk dan kroni-kroninya.

Sejak saat itu, kaum Muslim hidup tanpa adanya khalifah yang menerapkan hukum-hukum Allah Swt. Akhirnya, antara kaum Muslim dan hukum Islam terdapat jurang pemisah yang sangat lebar. Faktor-faktor yang memperparah kondisi ini adalah adanya kerjasama antara negara-negara kafir Barat dengan penguasa di negeri-negeri Islam untuk menyebarkan peradaban mereka sesat dan menyesatkan. Akibatnya, lahirlah sekelompok orang di kalangan kaum Muslim yang tidak bisa membedakan sistem khilafah dengan sistem kerajaan, republik, atau federal. Muncul pula sekelompok kaum Muslim yang tidak bisa membedakan antara ‘wazir’ (perdana menteri) dalam sistem pemerintahan Islam—sebagai mu’awin (pembantu) khalifah—dan wazir dalam sistem pemerintahan demokrasi. Di sisi lain, lahir pula pemikir-pemikir Muslim yang mengingkari jihad sebagai perang ofensif melawan orang kafir. Mereka menyatakan bahwa jihad hanyalah perang defensif. Bahkan, ada di antara mereka yang menghembuskan istilah ‘jihad perdamaian’. Sungguh keji dan dusta perkataan yang keluar dari mulut mereka!

Banyak kaum Muslim juga tidak mengetahui sistem Islam yang lain, khususnya sistem perekonomian dan sistem piadana Islam. Ketidaktahuan ini disebabkan oleh karena kaum Muslim telah terlepas dari sistem Islam tersebut. Akibatnya, problem masyarakat semakin ruwet dan kabur. Perkara-perkara yang asalnya telah diketahui dengan sangat jelas, perlu dijelaskan dan diterangkan kembali.

Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, naskah ini kami tulis untuk menjelaskan tentang metode penerapan syariat Islam.

Penerapan syariat Islam secara praktis harus dimulai dengan pembaiatan seorang khalifah atas dasar al-Quran dan Sunnah. Setiap Muslim yang berakal, balig, adil, merdeka, dan laki-laki dapat dibaiat menjadi seorang khalifah bagi kaum Muslim. Setiap negeri Islam yang kekuasaannya berada di tangan kaum Muslim saja dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain, yang keamanan dalam dan luar negerinya berada di tangan Islam dan kaum Muslim, adalah layak dijadikan tempat untuk melangsungkan baiat pengangkatan khalifah (bai‘at in‘iqâd) sekaligus menjadi pusat Daulah Islamiyah.

Jika di negeri tersebut khalifah telah dibaiat dengan baiat in‘iqâd atas dasar keridhaan dan pilihan ahlul halli wal ‘aqdi, yang selanjutnya dibaiat dengan baiat taat oleh kaum Muslim—yang di dalamnya mereka berjanji untuk tidak melakukan pembangkangan terhadap khalifah—maka syarat–syarat berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah telah terpenuhi. Terpenuhi syarat-syarat tersebut dapat dilihat dari: (1) kedaulatan ada di tangan syariat; (2) kekuasaan ada di tangan umat; (3) diangkatnya seorang khalifah saja yang melegislasikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Pada saat Daulah Khilafah Islamiyah telah tegak, dengan segara hukum-hukum Islam diberlakukan secara menyeluruh dan praktis di tengah-tengah umat. Hukum Islam tidak akan diterapkan secara berangsur-angsur atau secara gradual.

Setelah proses pembaiatannya selesai, khalifah segera menyusun struktur negara. Struktur negara dalam Islam berbeda dengan struktur pemerintahan yang ada di dalam sistem kenegaraan yang bercorak kapitalistik maupun sosialistik. Aturan-aturan yang diterapkan dalam Daulah Khilafah Islamiyah juga berbeda dengan aturan-aturan lainnya. Struktur negara yang telah ditetapkan Islam adalah sebagai berikut:

1. Khalifah, yakni kepala negara sekaligus wakil rakyat dalam hal kekuasaan dan pelaksanaan hukum syariat.

2. Mu‘âwin tafwîdh (pembantu khalifah yang berkuasa penuh). Ia harus seorang laki-laki, Muslim, berakal, balig, merdeka, adil, dan termasuk orang yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan kepadanya. Pengangkatannya oleh khalifah harus memenuhi dua perkara: (1) kewenangan yang diberikan kepadanya harus bersifat umum (‘umûm al-nadhr);(2) harus ada aspek perwakilan (niyâbah).[1] Oleh karena itu, mu‘âwin tafwîdh akan membantu khalifah pada semua urusan negara. Ia juga akan melaksanakan semua perintah khalifah. Tugasnya adalah menyampaikan seluruh laporan mengenai tugas-tugas kenegaraan kepada khalifah. Ia juga bertugas melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan khalifah. Sebab, wazir tafwîdh merupakan pembantu khalifah dalam urusan kekuasaan.

3. Mu‘âwin tanfîdz (pembantu pelaksana). Ia diangkat oleh khalifah dalam kapasitasnya sebagai pembantu pelaksana bagi khalifah. Ia hanya membantu khalifah dalam perkara-perkara yang bersifat operasional dan administratif, bukan dalam perkara-perkara kekuasaan. Ia bertugas melaksanakan tugas-tugas administratif dari khalifah yang ditujukan pada sejumlah departemen dalam dan luar negeri. Ia juga bertugas menyampaikan perkara-perkara yang berasal dari departemen-departemen tersebut kepada khalifah. Mu‘âwin tanfîdz tak ubahnya sebagai penghubung antara khalifah dengan struktur-struktur negara lainnya, baik dalam perkara yang berasal dari khalifah atau yang hendak disampaikan kepada khalifah. Ia harus seorang muslim. Sebab, ia termasuk orang kepercayaan dari khalifah.

4. Amirul Jihad. Amirul jihad membawahi empat departemen: (1) departemen dalam negeri; (2) departemen luar negeri; (3) departemen keamanan dalam negeri; (4) departemen perindustrian. Keempat departemen ini dikontrol dan dipimpin oleh amirul jihad. Sebab, keempat departemen ini didirikan di atas asas jihad fi sabilillah. Perang dan keamanan dalam negeri mutlak membutuhkan kekuatan pasukan yang terefleksi pada kekuatan tentara dan polisi. Dalam konteks hubungan luar negeri, landasan hubungan antara Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain adalah menyebarkan dakwah Islam. Metode dasar untuk menyebarkan dakwah Islam adalah jihad. Untuk masalah perindustrian, semua jenis industri harus didirikan atas dasar kepentingan politik luar negeri. Pengawasan perindustrian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara lain harus berjalan sesuai dengan asas di atas (jihad).

Dalam Islam, jihad merupakan unsur terpenting, bahkan merupakan pilar paling pokok bagi negara Islam. Oleh karena itu, negara harus memberikan porsi perhatian yang sangat besar dalam masalah ini. Negara bisa memberlakukan wajib militer bagi laki-laki Muslim yang telah mencapai usia 15 tahun. Sebab, negara wajib membuat persiapan untuk melakukan jihad. Atas dasar itu, Daulah Islamiyah harus berusaha semaksimal mungkin untuk mempersiapkan persenjataan, akomodasi, dan perlengkapan, serta hal-hal yang dibutuhkan oleh pasukan. Ini dilakukan agar mereka bisa menunaikan tugasnya sebagai tentara Islam yang selalu menjaga negaranya, mengokohkan kekuasaannya, serta mengibarkan Panji Lâ Ilâha illâ Allâh ke seluruh penjuru alam. Metode untuk meraih semua ini adalah dengan jihad.

5. Peradilan (al-Qadhâ’). Peradilan adalah lembaga yang menyampaikan hukum yang bersifat mengikat. Dalam peradilan Islam, hakim (qâdhî) ada tiga macam: (1) hakim yang bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik dalam perkara muamalat maupun pidana; hakim yang bertugas menyelesaikan perkara yang menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak umum (qâdhî al-muhtasib); hakim yang bertugas menyelesaikan sengketa antara rakyat dan negara (qâdhî mazhâlim). Semua hakim di atas syaratnya adalah Muslim, merdeka, balig, berakal, adil, dan faqih dalam menerapkan hukum atas kasus yang terjadi. Namun demikian, ada dua syarat tambahan yang harus dimiliki oleh qâdhî mazhâlim, yakni laki-laki dan mujtahid.

Ditinjau dari sisi keputusan peradilan, peradilan dalam Islam hanya memiliki satu level; artinya tidak ada peradilan tingkat banding ataupun tingkat kasasi. Setiap hakim diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau qâdhî qudhâh (semacam hakim agung), kecuali pemberhentian qâdhî mazhâlim, karena tidak ada seorang pun yang memiliki wewenang untuk memberhentikannya. Yang berhak memberhentikan qâdhî mazhâlim adalah mahkamah mazhâlim. Sebab, tugas qâdhî mazhâlim berhubungan dengan menuntaskan masalah kezaliman yang menimpa seseorang yang hidup di bawah kekuasaan negara Islam; baik kezaliman itu berasal dari khalifah, penguasa negara lain, ataupun pegawai negara. Mahkamah Mazhâlim juga memiliki wewenang mengontrol penyimpangan khalifah terhadap hukum syariat; baik penyimpangan khalifah dalam menafsirkan nash-nash syariat atau hukum-hukum syariat yang dilegalkan oleh khalifah maupun penyimpangan lainnya.

6. Wali (Gubernur). Khalifah mengangkat seorang wali pada wilayah Daulah Khilafah Islamiyah dari kalangan laki-laki Muslim yang merdeka, balig, berakal, adil, memiliki kemampuan, bertakwa, dan memiliki kekuatan. Sebagai wakil khalifah, seorang wali memiliki wewenang kekuasaan dan kontrol atas seluruh departemen di wilayahnya; juga memiliki wewenang untuk memerintah masyarakat di wilayahnya kecuali dalam masalah keuangan, peradilan, dan pasukan yang berhubungan dengan khalifah dan struktur lainnya dalam negara (kecuali kepolisian, karnea ia tetap berada di bawah komandonya, tetapi dari aspek pelaksanaannya, bukan dari aspek kebijakan administratifnya). Hendaknya khalifah tidak memberikan jabatan kewalian kepada seseorang dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya, khalifah harus mengganti seorang wali jika ia mulai memiliki pengaruh luas di wilayahnya dan masyarakat mulai memberikan loyalitas kepadanya.

7. Struktur Administratif. Struktur Administratif merupakan perwujudan (refleksi) dari kemashlahatan departemental dan administratif yang mengurusi seluruh administrasi urusan negara serta kepentingan rakyat. Setiap orang warga negara yang memiliki kemampuan—baik pria maupun wanita; Muslim maupun non-Muslim—layak diangkat menjadi direktur untuk mengurusi suatu urusan negara atau untuk mengurus administrasi urusan negara. Mereka juga berhak menjadi pegawai dalam departemen ini.

8. Majelis Umat. Majelis umat merupakan representasi dari kaum Muslim dalam urusan pengambilan pendapat yang akan disampaikan kepada khalifah. Kalangan non-Muslim boleh menjadi anggota Majelis Umat, namun sekadar untuk menyampaikan dakwaan-dakwaan yang berkenaan dengan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa atau menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan buruknya penerapan hukum Islam oleh negara. Oleh karena itu, setiap warga negara—pria maupun wanita; Muslim ataupun kafir—berhak menjadi anggota majelis umat jika telah balig, dan berakal. Majelis umat memiliki empat kewenangan: 1. (a) Dalam setiap perkara-perkara internal negara yang perlu dimusyawarah, pendapat majelis umat harus diambil. Dalam sejumlah perkara seperti pengaturan urusan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain pendapat majelis umat bersifat mengikat. Akan tetapi, semua perkara yang tidak perlu dimusyawarahkan, pendapat majelis umat tidak harus diambil; misalnya dalam hal kebijakan politik luar negeri, finansial, dan tentara. (b) Majelis umat memiliki hak untuk mengoreksi seluruh kinerja yang dilaksanakan secara langsung di dalam negara, baik perkara internal, eksternal, finansial, maupun tentara. Pendapat majelis umat dalam hal ini bersifat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syariat. Jika majelis umat berselisih dengan pemerintah dalam suatu aktivitas ditinjau dari hukum syariat, masalah semacam ini dikembalikan kepada mahkamah mazhâlim. 2. Majelis umat berhak memperlihatkan keberatannya atas diangkatnya para wali ataupun para pembantu khalifah. Pendapat majelis umat dalam masalah ini juga bersifat mengikat. Dalam kondisi semacam ini, khalifah harus memberhentikan pengangkatan wali dan pembantu-pembantu yang tidak disetujui oleh majelis umat. 3. Keputusan-keputusan yang akan dilegalkan dalam perundang-undangan atau konstitusi negara disampaikan oleh khalifah kepada majelis umat. Kaum Muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak mendiskusikan keputusan-keputusan tersebut dan memberikan pendapatnya dalam masalah ini. Namun demikian, pendapat majelis umat dalam masalah ini tidak mengikat khalifah. 4. Kaum Muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak membatasi jumlah caloan yang akan diangkat menjadi khalifah. Pendapat mereka dalam masalah ini mengikat.

9. Baitul Mal. Baitul Mal secara langsung diatur dan dikontrol oleh khalifah. Khalifah berwenang mengangkat seseorang untuk mengurus Baitul Mal.

Baitul Mal akan mengumpulkan semua pemasukan berupa harta yang akan didistribusikan kepada kaum Muslim berdasarkan keputusan khalifah. Sejumlah pemasukan yang akan dikoleksi oleh Baitul Maal adalah sebagai berikut: (a) harta rampasan perang, ghanîmah, fai’, dan khumus; (b) kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, dan kepemilikan negara; (c) ‘usyur, harta gelap yang disita dari penguasa dan pejabat negara, harta sitaan yang diperoleh dari pekerjaan yang tidak disyariatkan, denda, atau seperlima harta dari rikâz dan barang tambang, harta-harta yang tidak memiliki ahli waris, harta orang murtad, dan sebagainya; (d) pajak yang dibebankan negara kepada rakyat dalam kondisi dharurat, harta-harta yang diperoleh dari sedekah, dan hadiah.

10. Radio dan Televisi. Media ini dibawah kontrol langsung khalifah. Khalifah berwenang mengangkat seseorang untuk mengontrol radio dan televisi.

Inilah struktur negara Islam yang telah disebutkan—sekaligus sebagai penjabaran— nash-nash syariat dan telah diakui oleh syariat. Jika setelah pembaiatan khalifah struktur telah dibentuk, maka sempurnalah struktur negara Islam.

Sebelumnya, kami telah menyatakan bahwa penerapan Islam secara praktis dimulai dengan dibaiatnya seorang khalifah. Jika khalifah telah diangkat, dengan segera penerapan Islam secara praktis diberlakukan atas seluruh rakyat secara sempurna, tidak dengan cara berangsur-angsur maupun gradual. Mengapa Islam harus diterapkan secara sempurna dan tidak secara bertahap? Hal ini berdasarkan nash-nash berikut ini: Pertama, adanya ayat-ayat al-Quran yang telah mewajibkan kaum Muslim untuk menerapkan hukum Allah secara menyeluruh. Allah Swt. berfirman:

]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian ambilllah dan apa saja yang dilarangnya tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Artinya, “Kalian wajib melaksanakan semua kewajiban yang telah ditetapkan oleh Muhammad saw. dan menjauhi semua perkara haram yang dilarangnya.” Sebab, kata di sini bersifat general (umum).

Allah Swt. juga berfirman:

]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ[

Hukumilah mereka olehmu berdasarkan apa saja yang telah Allah turunkan kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48).

Ayat ini merupakan perintah kepada Rasul dan penguasa kaum Muslim agar mereka selalu berhukum dengan semua yang telah diwahyukan Allah Swt. Sebab, kata dalam ayat ini juga berbentuk umum. Allah Swt. telah mengancam orang-orang yang memilah-milah hukum; menjalankan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Allah Swt. juga mengancam orang yang beriman pada sebagian ayat al-Quran dan ingkar pada sebagiannya yang lain. Allah Swt. berfirman:

]أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ[

Apakah kalian mengimani senbagian al-Quran dan mengingkari sebagian yang lainnya? (QS al-Baqarah [2]: 85).

Kedua, Rasulullah saw. menerapkan Islam secara sempurna. Tatkala turun suatu ayat yang mengharamkan pencurian, beliau segera mengumumkan akan memotong tangan pencuri. Setelah ayat itu turun, semua pencuri dikenai hukuman potong tangan. Ketika turun ayat yang mengharamkan khamr, maka semua jenis khamr lantas diharamkan, dan orang yang meminumnya dijatuhi sanksi. Para khalifah setelah beliau juga melakukan hal yang sama.

Ketiga, pada daerah-daerah yang telah ditaklukkan atau bergabung dengan Daulah Islamiyah pada masa Rasulullah saw. dan masa al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn juga segera diterapkan hukum Islam secara sempurna. Ini juga dilakukan oleh para khalifah setelah masa al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn.

Keempat, adanya nash-nash umum yang berbicara tentang penerapan hukum-hukum Islam secara menyeluruh tanpa kecuali (tidak ada satupun nash yang men-takhshîsh-nya), baik menyangkut waktu maupun tempat penerapannya. Nash-nash yang berbicara tentang penerapan hukum secara menyeluruh juga berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh ada fase atau pentahapan. Nash-nash tersebut berhubungan dengan ibadah, akhlak, pemerintahan, ekonomi, interaksi sosial, maupun politik luar negeri dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain—baik pada kondisi damai maupun perang. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerapkan hukum Islam secara total (tidak secara berangsur-angsur dan gradual) hanya karena alasan tidak mampu untuk menerapkan Islam secara total; apalagi dengan berbagai alasan lainnya semisal: penerapan Islam secara total tidak sesuai dengan kondisi zaman, melawan opini dunia internasional, atau tidak disetujui oleh negara-negara besar.

Demikianlah, setiap orang yang berdalih untuk tidak menerapkan Islam secara menyeluruh dengan alasan-alasan di atas, maka amalnya tidak akan diterima Allah Swt. sedikitpun. Sebab, tidak ada perbedaan antara satu hukum dan hukum lainnya; tidak ada perbedaan antara satu kewajiban dan kewajiban yang lain; serta tidak ada perbedaan antara satu fase dan fase yang lain. Sebagaimana, kita wajib menegakkan shalat, kita juga diwajibkan untuk mengangkat seorang khalifah, melenyapkan hukum-hukum kufur, dan berhukum dengan aturan-aturan Allah. Sebagaimana kita diharamkan minum khamar, kita juga diharamkan berdiam diri terhadap kekuasaan yang zalim dan fasiq, terhadap penerapan hukum-hukum kufur atas kita, serta terhadap pemberian loyalitas para penguasa Muslim kepada negara-negara kafir.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Daulah Khilafah Islamiyah akan menegakkan Islam secara praktis, sempurna, dan tidak secara bertahap atau gradual. Jika kita memahami hal ini, kita akan menyadari bahwa saat Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, ia akan menghadapi berbagai persoalan berikut ini:

a. Persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Khilafah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya.

b. Persoalan yang terjadi sebelum Daulah Khilafah berdiri dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya.

c. Persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri.

d. Pidana yang dilakukan oleh aparatur pelaksana negara sebelumnya dan kroni-kroninya yang merugikan atau menikam Islam dan kaum Muslim ataupun menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum Muslim.

e. Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, tetapi yang berhubungan dengan pelunasan harta bagi individu yang lain (misalnya: pencurian, gasab, dan membayar denda).

f. Pidana yang dilakukan sekelompok individu masyarakat yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya dan tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi individu yang lain (misalnya: minum khamar atau tidak mengerjakan puasa dan shalat sebelum khilafah berdiri.

g. Transaksi-transaksi ekonomi yang bertentangan dengan Islam yang diterapkan di masyarakat dan belum dihapus sebelum Daulah Islamiyah berdiri.

h. Perjanjian-perjanjian atau traktat-traktat yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya dengan lembaga-lembaga internasional maupun regional.

Persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Islamiyah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya, juga pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi pihak lain, tidak akan diungkit lagi (dibuka kembali) setelah berdirinya Daulah Khilafah. Urusan mereka diserahkan kepada Allah. Sebab, persoalan tersebut terjadi sebelum hukum-hukum Islam diterapkan secara praktis.

Persoalan-persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya, juga persoalan yang terjadi setelah daulah Khilafah berdiri, akan diselesaikan sesuai dengan hukum Islam.

Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat dan belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, tetapi berkaitan dengan pelunasan harta bagi pihak lain, akan diputuskan di pengadilan untuk menghukumi pelanggarnya agar ia mengembalikan harta kepada pemilik yang sah.

Pidana yang dilakukan oleh aparatur pelaksana pemerintahan sebelumnya yang menikam Islam dan kaum Muslim serta yang menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum Muslim, sama saja apakah dilakukan oleh penguasa maupun kroninya, akan disidangkan di pengadilan untuk memperkarakan para pelakunya. Hukum syariat akan diterapkan bagi mereka sebagai balasan atas kezaliman yang mereka perbuat.

Sementara itu, transaksi ekonomi yang bertentangan dengan Islam yang diterapkan sebelum berdirinya Daulah Islamiyah dan belum dihapus oleh pemerintahan sebelumnya, atau waktunya masih berlaku (sampai khilafah berdiri), maka dalam kasus seperti ini akan diberlakukan hukum-hukum Islam sebagai berikut:

1. Instisusi-institusi ribawi seperti bank dan lain-lain akan disita asetnya dan kemudian ditutup. Modal awal dikembalikan kepada pemiliknya tanpa ada tambahan. Sisa yang ada dihitung dan dibagi kepada pemilik saham atau para peserikat. Keputusan ini berlaku sejak berdirinya Daulah Khilafah.

2. Perseroan-perseoran yang mengelola harta-harta kepemilikan umum seperti posfat, minyak, potasium, besi, dan lain-lain akan dihapus kepemilikan individu yang ada di dalamnya sesuai dengan nilai yang terkandung dalam perseroan itu sehingga dapat dipisahkan dari nilai kepemilikan umum tersebut. Pesero akan mendapatkannya kembali sesuai dengan modal yang ia setor. Pengelola, sebagai lembaga yang menangani kepemilikan umum, tetap dalam pengaturan negara sebagai wakil dari umat—pemilik sah harta kepemilikan umum.

3. Perseroan-perseroan yang mengelola kepemilikan khusus dan tetap berbentuk perseroan saham dengan akad yang bertentangan dengan syariat akan disita asetnya. Sebab, akad semacam ini adalah akad batil. Jika pelakunya membuat syirkah baru dengan akad yang sesuai dengam syariat, maka syirkah ini bisa berjalan terus.

4. Industri yang menggarap kepemilikan umum—seperti industri petrokimia, industri berbahan baku besi, industri penambangan besi, dan lain-lain— akan dihapus kepemilikan individu yang ada di dalamnya. Industri-industri itu tetap berada di bawah pengaturan negara sebagai wakil umat—pemilik yang memiliki kepemilikan umum.

5. Industri yang menggarap kepemilikan khusus dengan akad yang bertentangan dengan syariat—semisal industri penenunan dan tekstil serta industri yang didirikan untuk mengolah bijih besi—akan dihapuskan. Pemiliknya bisa terus mengoperasikan industrinya setelah akadnya diperbarui sesuai dengan hukum syariat.

6. Kepemilikan khusus yang dijalankan dengan memanfaatkan kepemilikan umum akan dihapus. Kepemilikan tersebut diserahkan kepada negara (pihak pengatur) sebagai wakil dari umat—pemilik sah yang memiliki kepemilikan tersebut. Contohnya, kereta api, PLN, dan KRL. Sebab, untuk mengoperasikan alat-alat ini memakai jalan-jalan umum (fasilitas umum).

Perjanjian-perjanjian dan traktat-traktat yang dibuat oleh aparatur pelaksana negara sebelumnya dengan lembaga-lembaga internasional maupun regional harus segera dihapus. Kaum Muslim tidak boleh bergabung dengan lembaga-lembaga internasional maupun regional, UNO, WB, IMF, IBRD dan lain-lain. Sebab, lembaga-lembaga ini berdiri di atas asas yang bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya AS. AS telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum Muslim dan negara Muslim. Karena itu, secara syar‘î, hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana kaidah ushul fiqih, “Al-Wasîlah ilâ al-haram muharramun. (Sarana yang dapat mengantarkan pada keharaman adalah diharamkan).”

Kaum Muslim juga tidak boleh bergabung dalam lembaga-lembaga dan persekutuan-persekutuan regional semacam Liga Arab, OKI, dan Pakta Pertahanan Multinasional. Sebab, lembaga-lembaga semacam ini berdiri di atas asas yang bertentangan dengan Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini telah mengerat-ngerat negeri-negeri kaum Muslim. Hal mendasar yang perlu diketahui adalah bahwa Daulah Khilafah akan berhubungan dengan negara-negara lain, berdasarkan hal-hal berikut ini:

1. Menyangkut ubungan dengan negara-negara yang berdiri di negeri-negeri Islam. Hubungan dengan mereka dianggap sebagai bagian dari hubungan politik dalam negeri. Harus ada upaya untuk menggabungkan negara-negara tersebut ke dalam Daulah Khilafah. Karena itu, Daulah Khilafah tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan mereka. Daulah Khilafah juga tidak akan membuat perjanjian dengan mereka. Sama saja, apakah penguasa negara mereka kafir atau Islam.

2. Negara-negara lain yang terdapat di belahan barat dan timur semuanya dianggap darul kufur dan darul harbi hukman (negara yang secara hukum dipandang negara kufur atau yang diberlakukan atas mereka hukum-hukum jihad/perang) Hubungan dengan negara-negara seperti ini dianggap sebagai bagian dari politik luar negeri. Interaksi dengan mereka diatur sesuai dengan faktor-faktor yang mendukung jihad agar kepentingan kaum Muslim dan negara Khilafah bisa terwujud sejalan dengan hukum syariat.

3. Daulah Khilafah boleh menjalin kesepakatan dengan negara-negara yang terkategori darul kufur dalam bentuk kesepakatan ‘bertetangga baik’ serta membentuk perjanjian-perjanjian lain yang dibolehkan hukum Islam. Namun demikian, agar perjanjian ini tetap dibatasi (diatur) dan sesuai dengan kepentingan jihad, kemaslahatan kaum Muslim, dan Daulah Khilafah maka akan dibuka hubungan diplomasi sesuai dengan asumsi-asumsi di atas.

4. Negara-negara lain yang tidak memiliki perjanjian ataupun kesepakatan dengan Daulah Khilafah dianggap sebagai negara kafir harbi hukman. Daulah Islamiyah akan mengambil tindakan-tindakan atas mereka sesuai dengan status mereka. Hubungan diplomatik dengan mereka, dan pembukaan kedutaan-kedutaan mereka di Daulah Khilafah tidak dibolehkan.

5. Terhadap negara-negara muharrib fi’lan (yang secara praktis memerangi kaum Muslim), seperti Israel dan AS, akan diproklamirkan kondisi perang sebagai asas untuk berinteraksi secara menyeluruh dengan mereka. Penduduk negara mereka dilarang masuk ke dalam Daulah Khilafah. Harta dan jiwa mereka dihalalkan bagi kaum Muslim. Daulah Khilafah akan menggerakkan kaum Muslim untuk berperang dan menghancurkan mereka secara total. Kaum Muslim diharamkan secara mutlak membuat perjanjian damai dengan mereka. Sebab, mereka adalah bangsa perampas dan perampok.

6. Daulah Khilafah tidak boleh menandatangani kerjasama-kerjasama militer dengan negara-negara lain seperti perjanjian timbal balik pertahanan dan keamanan ataupun kerjasama-kerjasama militer lainnya. Sebab, kaum Muslim diharamkan berperang di bawah panji kekufuran, berperang di bawah kekuasaan kafir dan negara kafir, ataupun menjadikan orang kafir menguasai kaum Muslim dan bumi Islam. Daulah Khilafah tidak boleh bersekongkol dengan negara-negara kafir atau dengan tentara-tentara kafir. Sebab, Rasulullah saw. telah melarang kaum muslim melakukan hal tersebut. Beliau telah melarang kaum Muslim meminta bantuan militer kepada orang-orang musyrik.

7. Jihad merupakan landasan dasar hubungan Daulah Khilafah dengan negara lain. Jihad merupakan puncak ibadah di dalam Islam. Definisi jihad secara syar‘î adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah dan menyebarkan dakwah Islam secara langsung atau dengan cara memberikan bantuan harta, pendapat, akomodasi, dan lain-lain.” Karena itu, perang untuk menegakkan kalimat Allah dan menyebarkan Islam merupakan jihad. Memulai jihad hukumnya fardlu kifayah. Dengan kata lain, kita mengawali untuk menyerang musuh jika mereka tidak menyerang kita. Jika sebagian kaum Muslim tidak mampu untuk mengawali penyerangan maka seluruh kaum Muslim berdosa jika meninggalkan jihad tersebut. Jihad menjadi fardlu ‘ain jika musuh yang memulai menyerang kaum Muslim. Walhasil, jihad bukanlah perang defensif, tetapi perang ofensif untuk menegakkan kalimat Allah dan menyebarluaskan dakwah ke seluiruh dunia. Seandainya orang kafir tidak menyerang kita, kita harus mengawali dengan mengemban Islam dan menyampaikan dakwah kepada mereka. Langkah semacam ini telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ Sahabat. Hal ini juga telah disaksikan oleh negara yang dulu ditaklukkan oleh tentara Islam.

Demikianlah beberapa hal yanga berhubungan dengan metode praktis penerapan syariat Islam.

Daulah Khilafah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas pokoknya adalah menegakkan Islam di dalam negeri dan menyebarkan Islam ke luar negeri. Di sisi lain, sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah, 80 tahun yang lalu hingga sekarang, muncul jurang pemisah yang sangat dalam antara kaum Muslim dan penerapan Islam. Semua ini merupakan akibat berbagai pemikiran sesat yang disebarkan oleh negara-negara kafir ke negeri-negeri kaum Muslim melalui persekongkolan dengan penguasa-penguasa di negeri Islam. Kondisi ini telah merambah di seluruh pelosok negeri-negeri Islam yang mengakibatkan kaum muslim awam terhadap Islam, misalnya mengenai konsep pemerintahan dalam Islam. Bahkan, ada sebagian kaum Muslim yang melakukan makar terhadap Islam. Lalu, bagaimana mungkin Daulah Khilafah mampu menegakkan Islam secara praktis di dalam negeri, sementara orang-orang semacam ini masih bercokol di negeri-negeri Islam?

Negara-negara kafir juga akan sadar bahkan sadar sepenuhnya bahwa Daulah Khilafah tidak akan menunda-nunda untuk memulai jihad menyebarkan Islam. Kondisi ini tentu semakin mempersulit Daulah Khilafah untuk menguasai negara-negara lainnya dan untuk menghancurkan halangan-halangan agar manusia berbondong-bondong masuk ke agama Allah. Lalu, bagaimana Daulah Khilafah mampu menyebarkan Islam ke luar negeri dengan jihad di tengah makar dan permusuhan negara-negara kafir terhadap Islam dan kaum Muslim?

Tidak dipungkiri, di dalam negeri Daulah Khilafah terdapat orang-orang yang awam terhadap hukum-hukum Islam; juga orang-orang yang melakukan makar terhadap Islam semisal orang-orang munafik dan murtad yang menyakini ide sosialisme dan kapitalisme dari kalangan antek-antek negara-negara kafir dan kroni-kroninya.

Sebaliknya, menyangkut orang-orang yang awam terhadap hukum-hukum Islam, realitas kehidupan mereka di dalam masyarakat Islam yang selalu berada dalam naungan panji Khilafah Islam akan mampu menjadikan mereka menyaksikan Islam secara langsung. Keadilan hukum dan kuatnya kekuasaan Islam akan membuat mereka rela diatur dengan hukum-hukum Islam. Bahkan, mereka akan turut menjaga Islam dari musuh-musuhnya.

Sementara itu, orang-orang dari kalangan antek-antek kafir, kaum munafik, dan orang-orang murtad yang membuat makar terhadap Islam akan dihadapi oleh pedang kaum Muslim yang terhunus di hadapan mereka. Mereka akan menghadapi kuatnya kekuasaan Islam. Mereka juga akan berhadapan dengan penerapan sanksi pidana Islam atas pelanggaran mereka.

Makar dan permusuhan negara-negara kafir yang melawan Islam dan kaum Muslim juga akan dilawan dan mereka dipukul mundur. Mereka tidak akan pernah mendapatkan apa-apa, kecuali kehinaan. Umat Islam yang berjuang akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: syahid atau hidup mulia. Umat Islam juga akan selalu mendapatkan pertolongan atas izin Allah. Di sisi lain, di sepanjang sejarah Islam, tentara Islam terkenal sebagai tentara yang tidak bisa dikalahkan atas izin Allah. Kaum Muslim akan membuat persiapan-persiapan yang tidak kalah dengan persiapan yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Akan tetapi, kaum Muslim selalu mengharapkan sesuatu dari Allah, yang tidak pernah diharapkan oleh orang-orang kafir, yakni janji Allah bagi mereka berupa pertolongan. Benar, negara-negara kafir tidak akan berhenti membuat makar terhadap Islam dan kaum Muslim, namun makar-makar tersebut akan berakhir dengan kehancuran dan kerugian mereka. Sebaliknya, orang-orang yang bertakwa akan mendapat pahala dari Allah Swt.

Mungkin di antara kita ada yang merasa aneh, mengapa naskah “Metode Praktis Penerapan Islam” ini dibuat pada saat Daulah Khilafah belum berdiri?

Benar, Daulah Khilafah memang belum berdiri. Akan tetapi, kita melihat bahwa dalam waktu yang sangat dekat Daulah Khilafah pasti akan berdiri. Pernyataan ini bukan berarti mendahului “ketetapan gaib”, tetapi merupakan hasil pengkajian terhadap realitas di mana kita hidup. Sesungguhnya, negara-negara besar mulai melemah. Ide sosialisme tinggal sisa-sisanya saja. Kapitalisme yang selalu melakukan perubahan bentuk mengalami kekeroposan dari dalam. Kebusukan kapitalisme pun telah tersebar ke mana-mana. Begitu juga negara-negara yang berdiri di negeri-negeri kaum Muslim; kerusakannya telah tersingkap dan cacat cela mereka telah terkuak dengan lebar. Akibatnya, akan umat berlepas tangan dari kekuasaan mereka. Umat telah mengetahui penyakitnya. Mereka juga mengetahui bahwa obatnya hanya ada di dalam Islam. Tidak hanya itu, Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar gembira kepada kita, bahwa kita akan memerangi orang-orang Yahudi atas nama Islam. Sungguh, waktu dan tahunnya sudah sangat dekat. Orang-orang Yahudi dari berbagai belahan dunia telah bermigrasi ke bumi Palestina agar kaum Muslim mudah untuk menumpas mereka di bumi Isra’ dan Mi’raj itu.

Umat Islam sudah tidak percaya lagi dengan agama lain selain agamanya. Umat Islam sudah berani mendepak dan menghinakan para penguasanya. Mereka juga sudah muak dengan institusi-institusi pemerintahannya dan malah menghinakannya. Tidak lain kecuali mereka ingin berhukum dengan Islam, menegakkan dan mengibarkan bendera Lâ Ilâ illâ Allâh. Para pemuda Islam berjuang siang dan malam untuk melangsungkan kehidupan Islam dan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah ar-Rasyidah. Sungguh, Allah bersama mereka; menjadi Penyokong dan Penolong mereka. Allah Swt. berfirman:

وَلَيَنْصُرَنَّ اللهَُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهََّ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS al-Hajj [22]: 40).

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الأَشْهَادُ

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat). (QS al-Mu’min [40]: 51).

Atas dasar hal-hal di atas, kita melihat bahwa Daulah Khilafah akan segera berdiri. Jarak waktu antara kita dan berdirinya Daulah Khilafah tak ubahnya seperti kita menunggu shalat fajar hingga terbitnya fajar dan dikumandangkannya pekikan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Allah telah menolong hamba-Nya, memenangkan tentara-Nya dan menghancurkan musuh-musuhNya. Sungguh Allah tidak pernah ingkar janji.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya telah meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

»تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهَُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهَُُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهَُُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهَُُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهَُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ«

Atas kehendak Allah, akan datang kepada kalian masa kenabian. Allah lalu mencabutnya jika Ia telah berkehendak ntuk mencabutnya. Kemudian, datanglah masa khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Atas kehendak Allah datanglah masa itu. Allah lalu mencabutnya jika Allah berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian, datanglah masa kekuasaan yang korup. Atas kehendak Allah, datanglah masa itu. Kemudian, masa itu dicabut jika Allah telah berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian, datanglah masa kekuasaan yang ototriter. Sungguh, masa itu akan datang atas kehendak Allah. Allah lalu mencabut masa itu jika Ia telah berkehendak mencabut-Nya. Kemudian, datanglah kembali masa khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.

[Disampaikan pada Diskusi Publik “Metode Formalisasi Syariat Islam”, 8 September 2002 di IAIN Antasari Banjarmasin]


[1] Wewenang yang diberikan kepada mu’awin tafwidh harus bersifat umum atau menyeluruh, tidak boleh dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Pengangkatan mu’awin tafwidh harus memenuhi pula syarat niyâbah (perwakilan), yang menunjukkan bahwa mu’awin tafwidh tersebut merupakan wakil dari khalifah.

Posted on 10 Juli 2010, in Dakwah, Makalah, Politik. Bookmark the permalink. 4 Komentar.

  1. kaya’ NII penanaman ilmu nya.
    benarkah sempurna dan secara keseluruhan itu tidak bertahap?
    kata siapa Rasulullah tidak bertahap ketika menegakkan semua syari’ah islam?
    klo gak bertahap Al Qur’an turunya dalam satu kali waktu mas!
    mana ada rasulullah jihad dengan perang kalau beliau tidak diperangi terlebih dulu, Rasulullah tu dakwah sembunyi2, kmudian terang2an, kemudian beliau diusik dan diperangi, baru beliau angkat senjata.
    ayat Allah yang pertama turun untuk beliau perihal perang ada di Al Maidah

    Suka

  2. hukum hukum seperti apa yang dilegalkan oleh seorang khalifah dan seperti apa yang dilegalkan oleh wali’ dan qadli ?

    Suka

Tinggalkan komentar