Bulan Sya’ban & Sekitar Nishfu Sya’ban

Oleh: M. Taufik N.T

Pembahasan berikut berupaya memahami perbedaan yang sering muncul (dan ditanyakan ke penulis) seputar nishfu (pertengahan) Sya’ban, saya tulis dengan harapan bisa saling menjaga ukhuwwah antar sesama muslim (tambahan lagi biar kalau ada yg nanya lagi tinggal disuruh lihat blog saja J), kalau ada kritik/saran silahkan dikomentari. Saya harap bagi pembaca yg sepakat bisa menyebarkannya, agar umat tidak bertengkar gara-gara masalah ini yg mengakibatkan mereka lupa bahwa saat banyak hukum-hukum syari’ah yg diabaikan dan banyak perkara penting yg harusnya dipikul bersama.

Beberapa Hadits Shahih/Hasan Berkaitan Dg Bulan Sya’ban & Nishfu Sya’ban

1. Hadits dari ‘Aisyah r.a:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedemikian sering melaksanakan shaum hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah berbuka (tidak shaum), namun beliau juga sering tidak shaum sehingga kami mengatakan seolah-olah Beliau tidak pernah shaum. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan dan aku tidak pernah melihat Beliau paling banyak melaksanakan puasa (sunnat) kecuali di bulan Sya’ban”. [HR. Bukhory dan Muslim]

2. Hadits dari Usamah bin Zaid ra. katanya:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Aku bertanya : ‘wahai Rasulallah aku tidak melihat engkau berpuasa satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Nabi berkata; ‘Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan Sya’ban) diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin amalan saya dibawa naik selagi saya dalam berpuasa”. (HR. an Nasa’I & Abu Daud, disahkan oleh Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh al Albani, Sunan Ash Shughro Lin Nasa’i, juz 4 hal 201, Maktabah Syamilah)

3. Hadits dari ‘Aisyah r.a[1]:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ

Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu saya keluar, ternyata saya dapati beliau sedang berada di Baqi’, beliau bersabda: ” Apakah kamu takut akan didzalimi oleh Allah dan Rasul-Nya?” saya berkata, wahai Rasulullah, saya mengira tuan mendatangi sebagian istri-istrimu, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia pada malam pertengahan bulan Sya’ban, lalu mengampuni manusia sejumlah rambut (bulu) kambing bani Kalb.” [HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, sanadnya (satu persatu) dlo’if, namun dengan keseluruhan jalan periwayatannya maka hadits ini shahih (Silsilah as Shahihah[2] 3/138)]

4. Hadits dari Mu’adz bin Jabal r.a:

يَطْلُعُ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia pada malam pertengahan bulan Sya’ban, lalu mengampuni semua ciptaan-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan [HR. Ibnu Hibban, shahih; dari semua jalur periwayatan saling menguatkan[3] (Silsilah as Shahihah)]

Diantara Hadist yg Dlo’if/ Diperselisihkan

1. Hadits dari Ali bin abi Thalib ra:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan: ”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.” [HR. Ibnu Majah dengan sanad dlo’if, (al Iraqy (w. 810 H) dalam takhrij hadits ihya), juga diriwayatkan oleh Al Baihaqy dalam Syu’abul Îmân, al Baihaqy menyatakan sanadnya dlo’if]

Perkataan Ibnu Taymiyyah Tentang Nishfu Sya’ban

Saya kutip ini karena Ibnu Taymiyyah sering menjadi rujukan bagi pihak yg sebagian berlebihan dalam menolak nishfu Sya’ban, walaupun yg pro juga sebagian berlebihan. Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Iqtidlo’ As-Shirot Al-Mustaqim[4], menyatakan:

ومن هذا الباب: ليلة النصف من شعبان، فقد روى في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة[5] وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومن العلماء: من السلف من أهل المدينة، وغيرهم من الخلف، من أنكر فضلها، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث: إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم كلب “. وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثير من أهل العلم، أو أكثرهم، من أصحابنا وغيرهم -على تفضيلها، وعليه يدل نص أحمد، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفية، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن.

“dan dari bab ini: malam Nishfu Sya’ban, telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits yang marfu’ dan atsar sesungguhnya menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia. Dan dikalangan ulama As-Salaf ada yang mengkhususkan melakukan sholat pada malam tersebut, dan berpuasa bulan Sya’ban sesungguhnya telah ditunjukkan oleh hadits yang shohih. Dan diantara ulama: dari kalangan salaf (orang yang terdahulu) ahli Madinah dan selain mereka dari kalangan khalaf (orang belakangan) ada yang mengingkari kemuliannya dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits: ‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian ditunjukkan oleh nash Imam Ahmad, karena banyaknya hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, juga karena banyaknya atsar yang membenarkan hal ini dari ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam banyak kitab-kitab (hadits) Musnad dan Sunan”

Berkaitan dengan puasa nishfu sya’ban Ibnu Taymiyyah menulis:

فأما صوم يوم النصف مفردًا فلا أصل له، بل إفراده مكروه، وكذلك اتخاذه موسمًا تصنع فيه الأطعمة، وتظهر فيه الزينة، هو من المواسم المحدثة المبتدعة، التي لا أصل لها. وكذلك ما قد أحدث في ليلة النصف، من الاجتماع العام للصلاة الألفية[6] في المساجد الجامعة، ومساجد الأحياء والدروب والأسواق. فإن هذا الاجتماع لصلاة نافلة مقيدة بزمان وعدد، وقدر من القراءة لم يشرع، مكروه.

Adapun puasa nishfu sya’ban, maka tidak ada asal riwayatnya, bahkan puasa satu hari saja (saat tanggal 15 saja) makruh, begitu juga mengadakan perayaan dimana membuat makanan didalamnya, menampakkan perhiasan didalamnya merupakan perayaan baru yang diada-adakan yang tidak ada asal-usulnya, begitu juga yang terjadi dimalam nishfu sya’ban dengan berkumpul untuk sholat alfiyyah (shalat dengan membaca shurat al Ikhlas 1000 kali) di masjid-masjid jami’, masjid-masjid ahya’, durub dan aswaq. Maka sesungguhnya berkumpul untuk shalat sunnat yang diikat (dikaitkan) dengan waktu, bilangan dan ukuran bacaan tidaklah disyari’atklan, dan hukumnya makruh.

Pendapat Para Ahli Fiqh

Ringkasan pendapat Ahli Fiqh (dari Al Mausû’ah Al Fiqhiyyah al Kuwaityyah (Maktabah Syamilah):

a. Mayoritas ahli fiqh mensunnahkan untuk menghidupkan malam nishfu Sya’ban[7] , namun tidak ada kayfiyyat (tata cara) khusus.

b. Imam Al Ghazaly membuat kayfiyat khusus untuk menghidupkan malam nishfu Sya’ban, namun hal ini diingkari oleh para ‘ulama Syafi’iyyah [8].

c. Imam Sufyan Ats Tsaury menganggap shalat nishfu Sya’ban adalah bid’ah yg jelek[9].

d. Adapun berkumpul (berjama’ah) untuk menghidupkan malam nishfu sya’ban menurut mayoritas ahli fiqh Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah tidak disukai (makruh)[10], akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan  faqih dari penduduk Syam. Adapun Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan Ishaq bin Rohawaih [11] mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah.

Penutup

Dari pembahasan diatas, tidak ada larangan untuk menghidupkan malam nishfu Sya’ban, bahkan mayoritas mensunnahkannya, terjadi perbedaan pendapat hanya pada masalah kayfiyyatnya bagaimana, dan inipun tidak sampai ada yang mengharamkan atau membid’ahkan dengan bid’ah sesat, terlebih lagi kalau yang dilakukan adalah sholat sunnah Muthlaq, yang boleh dilakukan kapan saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja jumlah raka’at yang dikehendaki.

Imam Nawawi –rahimahullah– berkata: “Seseorang yang melakukan sholat sunnah dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu raka’at dan seterusnya. Apabila seseorang sholat sunnah dengan bilangan yang tidak di ketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan kami (madzhab Syafi’i) dan diuraikan pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan Indonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal .11)

Begitu juga dengan puasa dan kebaikan-kebaikan lain yg memang diperintahkan, baik di bulan Sya’ban atau bukan, semisal bersedekah, memberi makanan, dll, tidak masalah kalau itu dilakukan dalam rangka taqarrub kepada Allah dengan harapan amalnya diangkat saat ia berbuat kebaikan. Yang dipermasalahkan adalah menganggap bahwa hal/amalan tersebut khusus untuk nisfu Sya’ban. Yang dikecam oleh Imam Nawawi[12] adalah shalat dg membuat kayfiyat tersendiri (dan dianggap itu bagian dari perintah syara’) semisal shalat 100 rakaat dimalam nishfu Sya’ban[13]. Adapun kalau shalat mutlaq, walau banyak rakaatnya tak terhitung dan ternyata sampai 100 rakaat (karena memang tidak harus diingat sudah berapa rakaat ia shalat)[14] maka masuk kepada keumuman shalat sunnah yang boleh dilakukan kapan saja, kecuali di waktu yg diharamkan shalat. Allahu A’lam.


Baca Juga:

 

[1] حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ

وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي بَكرٍ الصِّدِّيقِ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الْحَجَّاجِ و سَمِعْت مُحَمَّدًا يُضَعِّفُ هَذَا الْحَدِيثَ و قَالَ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ وَالْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ

[2] أخرجه الترمذي (1 / 143) وابن ماجه (1389)واللالكائي (1 / 101 / 2) وأحمد (6 / 238) وعبد بن حميد في ” المنتخب من المسند ” (194 / 1 – مصورة المكتب) وفيه قصة عائشة في فقدها النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. ورجاله ثقات لكن حجاج وهو ابن أرطأة مدلس وقد عنعنه، وقال الترمذي ” وسمعت محمد (يعني البخاري) : يضعف هذا الحديث “.وجملة القول أن الحديث بمجموع هذه الطرق صحيح بلا ريب والصحة تثبت بأقل منها عددا ما دامت سالمة من الضعف الشديد كما هو الشأن في هذا الحديث، …

[3] حديث صحيح، روي عن جماعة من الصحابة من طرق مختلفة يشد بعضها بعضا وهم معاذ ابن جبل وأبو ثعلبة الخشني وعبد الله بن عمرو وأبي موسى الأشعري وأبي هريرة وأبي بكر الصديق وعوف ابن مالك وعائشة.

[4] Juz 2 Hal. 136 dst, Maktabah Syamilah

[5] أخرج أحمد عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله عليه السلام قال: (يطلع الله عز وجل إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا لاثنين: مشاحن وقاتل نفس) ، مسند أحمد (2 / 176) ، ورجاله ثقات إلا أن فيه ابن لهيعة تكلم فيه بعضهم. انظر: ترجمته (1 / 262) ، وأخرج أحمد أيضًا والترمذي عن عائشة في حديث ذكرت فيه أن النبي عليه السلام قال: (إن الله عز وجل ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب) ، مسند أحمد (6 / 238) ، وسنن الترمذي، كتاب الصوم، باب ما جاء في ليلة النصف من شعبان، الحديث رقم (739) ، (3 / 116ـ 117) ، وأشار الترمذي إلى تضعيفه. وكذلك أخرجه ابن ماجه. انظر: الحديث رقم (1389) ، وذكره السيوطي في الجامع الصغير (1 / 297) ، حديث رقم (1942) ، وقال: (حديث حسن) . وأشار الشوكاني في الفوائد المجموعة إلى حديث عائشة هذا وقال: (فيه ضعف وانقطاع) ، الفوائد المجموعة (ص51) .

[6] الصلاة الألفية هي التي يزعمون أنه ورد الفضل بقراءة ” قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ” فيها ألف مرة. انظر: اللآلئ المصنوعة (2 / 58، 59) .

[7]البحر الرائق 2 / 56، وحاشية ابن عابدين 1 / 460 ومراقي الفلاح ص 219، وشرح الإحياء للزبيدي 3 / 425، ومواهب الجليل 1 / 74، والخرشي 1 / 366، والفروع 1 / 440

[8] إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين 3 / 423

[9] إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين 3 / 423

[10] مواهب الجليل 1 / 74 دار الفكر بيروت) والخرشي 1 / 366

[11] مراقي الفلاح ص 219 – 220

[12] ‘Ulama terkemuka madzhab Syafi’I, wafat 676 H

[13] Lihat Al Majmu’ 4/56: الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذَكَرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ وَلَا يُغْتَرُّ بِبَعْضِ مَنْ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ حُكْمُهُمَا مِنْ الْأَئِمَّةِ

[14] Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar ra. melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah salam ditegur oleh Ahnaf bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya, maka cukuplah Allah mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda , sampai disini Abu Dzar menangis, kemudian di lanjutkan pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ ”. (Menurut al-Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah bahwa hadits ini ada dalam shohih al-Baihaqi dan di dalamnya tidak ada perawi yang diperselisih- kan, begitu juga imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini)

Posted on 11 Juli 2011, in Ibadah, Ikhtilaf, Syari'ah. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Alhamdulillah, mencerahkan. Jazakallahu khairal jaza..,

    Suka

  2. Reblogged this on [n4ndan].

    Suka

Tinggalkan komentar