Musibah Demi Musibah Jangan Membuat Lalai Dari Musibah Yang Lebih Besar

Oleh: M. Taufik .N.T

Al Hâfidz Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Bahjatul Majâlis[1] menulis:

أأخي إن من الرجال بهيمةً

  في صورة الرجل السميع المبصر

فطن لكلّ مصيبة في ماله

وإذا يُصاب بدينه لم يَشعُر

wahai saudaraku, sesungguhnya di antara laki-laki (ada) binatang

dalam bentuk seorang laki-laki yang mendengar dan melihat

cerdas pada setiap musibah yang menimpa hartanya

namun, jika agamanya yang ditimpa musibah ia tidak pernah merasa

Sungguh musibah yang datang beruntun, dari tabrakan kereta api, wasior, banjir, tsunami di mentawai (sum-bar) dan merapi adalah musibah yang kemungkinan besar masih ada hikmah kebaikannya, jika bisa menyikapinya dengan baik, semisal sabda Rasulullah saw:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tiada (musibah) menimpa seorang mukmin, berupa kepayahan/keletihan, sakit yang terus menerus , kebingungan, kesedihan, kegundahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali musibah itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya (Muttafaq ‘alaih).

Namun ada musibah yang lebih besar dan senantiasa terjadi hingga saat ini, musibah ini bahkan menjadi penyebab terjadinya musibah – musibah yang lain. Inilah Musibah yang banyak dilalaikan umat saat ini, yakni musibah yang menimpa agama, dimana manusia banyak yg menjadi hamba selain Allah SWT, syari’at-Nya di injak injak, dianggap kuno, dan merasa lebih pintar dari Allah dalam mengatur kehidupan ini.

Kalau mushibah bencana alam terjadi maka pertolongan masih bisa diharapkan, hapir semua orang, apapun agamanya mereka terketuk hatinya untuk membantu, namun siapa yang sanggup menolong ketika harus berhadapan dengan Allah swt?

Kalau total korban bencana alam tersebut ratusan orang dan banyak yang menolong, lalu siapa yang menolong korban bencana akibat diabaikannya syari’ah-Nya dalam kehidupan?, dimana 26 juta penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa[2], 2,5 juta tertampung di rumah sakit jiwa[3], 50 ribu orang Indonesia bunuh diri antara tahun 2005 – 2007, belum termasuk 40 orang tiap hari yg mati akibat overdosis narkoba[4] dan jutaan bayi diaborsi (dibunuh) tiap tahun?

Kita pantas merasa berdosa ketika tidak ikut membantu korban bencana, namun sudahkah kita merasa berdosa ketika tidak ikut mengatasi bencana yang lebih besar ini? Apa yang bisa kita katakan dihadapan Allah kelak ketika kita ditanya dihadapan-Nya?

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

… Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan memilih-milih apa yang diturunkan Allah (yang sesuai dg hawa nafsunya saja yang dipakai), kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka." (HR. Ibnu Majah no. 4009 dengan sanad Hasan[5]).

Yaa Allah jangan engkau palingkan hati kami sehingga lalai dari tugas ini…


[1] بهجة المجالس و انس المجالس, 1: 169

[2] Laporan WHO, tahun 2006

[3] Depkes RI

[4] http://www.polkam.go.id/polkam/berita.asp?nwid=108 , 16 Maret 2007

[5] Dalam silsilah ash shahihah 1/216 dikatakan hasan, dalam shahih at targhib wat tarhib 2/157 dikatakan shahih lighairihi

Baca Juga:

Posted on 28 Oktober 2010, in Kritik Pemikiran, Syari'ah. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Izin copas

    Suka

Tinggalkan komentar