Politik Luar Negeri Negara Khilafah

Oleh H. Budi Mulyana, SIP

Eksistensi suatu negara akan tampak dalam kiprahnya di percaturan politik internasional. Islam memiliki konsep yang khas dalam masalah politik internasional. Kerangka politik internasional ini inheren dalam sistem Islam yang utuh pada sistem negara Islam (Khilafah Islam). Sebab, politik internasional atau politik luar negeri adalah bagian dari politik Islam, dan politik Islam adalah bagian dari sistem Negara Islam (Khilafah Islam). Artinya, dalam kerangka inilah kita berbicara tentang politik luar negeri Islam, bukan dalam konteks politik luar negeri negara-negara Muslim yang saat ini ada, karena mereka tidak menerapkan Islam secara utuh dalam sistem kenegaraannya.

Setidaknya ada enam hal yang bisa kita bandingkan untuk bisa mendapatkan kekhasan politik luar negeri Khilafah, yakni menyangkut: asas, metodologi, cara pengembanan, dan pelaksana politik luar negeri; pandangan terhadap negara lain; serta hubungan dengan lembaga internasional.

Asas Politik Luar Negeri

Umumnya, sistem negara bangsa berlandaskan sekularisme. Berdasarkan sejarah, sekularisme mendapati bentuk konkretnya pada masa renaissance di Eropa. Kebangkitan sekularisme berdampingan dengan hadirnya teori Machiavelli. Teori ini menyebutkan bahwa tidaklah realistis mengandaikan ‘penguasa-penguasa tertinggi’ (princes) harus baik. Adakalanya mereka harus tidak baik. Kebutuhan-kebutuhan akan kehidupan politik sering mengharuskan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum moral. Penguasa tertinggi dari teori ini berkuasa karena mereka lihai dalam memanipulasi kekuasaan (Apter, 1996: 76). Artinya, politik luar negeri negara-negara Barat, sesuai dengan asas negaranya, dibangun atas landasan sekularisme.

Islam tidak mengenal pemisahan antara rohaniwan dan negarawan sebagaimana yang dikenal dalam sekularisme. Seorang negarawan mesti mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sebagaimana seorang ulama juga harus mengawasi kehidupan bernegara. Karenanya, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Bahkan Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara. (Kurnia, 2002: 14).

Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum Muslim, termasuk politik dalam dan luar negeri.

Tujuan Politik Luar Negeri

Akidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara Khilafah Islam, yang mengharuskannya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pada semua bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.

Yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman:

]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا[

Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan. (QS Saba [34]: 28).

]قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا[

Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua.” (QS. al-A‘raf [7]: 158).

Semua ini menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.

Negara-negara Barat berkiprah dalam politik internasional tentunya dalam peranannya untuk menyebarluaskan ide-ide sekularisme, demokratisasi, HAM, dll. Amerika Serikat mulai menyebarkan Kapitalisme sejak tampil di panggung dunia sebagai negara penjajah. Metode yang digunakannya untuk menyebarkan Kapitalisme adalah dengan melakukan penjajahan (imperalisme), baik penjajahan gaya lama maupun gaya baru. (Zallum, 1996: 4).

Dalam Kapitalisme, motif ekonomi sangat menonjol, seperti kerakusan serta ketamakan Amerika dan Barat yang kapitalistis terhadap sumberdaya alam di negeri-negeri Islam dan posisi geografisnya yang amat strategis dan istimewa; juga adanya potensi negeri-negeri Islam itu sebagai pasar raksasa bagi produk-produk Barat dan sumber bahan mentah utama bagi industri mereka. (Zallum, 1996: 11-12).

Metode Politik Luar Negeri

Negara Khilafah Islam menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (tharîqah) tertentu yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan negara di Madinah sampai keruntuhan Khilafah Islam tahun 1924.

Jihad ditujukan untuk menyingkirkan para penguasa zalim dan institusi pemerintahan yang menghalangi dakwah Islam. Dengan begitu, dakwah Islam dapat sampai ke rakyat secara terbuka sehingga mereka dapat melihat dan merasakan keadilan Islam secara langsung, merasa tenteram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam. Rakyat diajak memeluk Islam dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan tekanan. Dengan penerapan hukum Islam inilah, berjuta-juta manusia di dunia, tertarik dan memeluk agama Islam.

Salah satu tuduhan keji yang dilontarkan oleh Barat kepada Islam adalah bahwa Islam disebarluaskan dengan darah dan peperangan. Mereka menggambarkan para pejuang Islam yang memegang pedang di tangan kanan dan al-Quran di tangan kiri. Memang metode penyebaran Islam adalah dengan jihad (perang). Namun, perang adalah langkah terakhir, bukan langkah pertama yang dilakukan Khilafah Islam. Negara Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali setelah disampaikan kepada mereka tiga pilihan: memeluk Islam; membayar jizyah, yang berarti tunduk pada Khilafah Islam; jihad memerangi mereka—jika dua pilihan sebelumnya ditolak. Demikian sebagaimana sabda Rasulllah saw. yang diriwayatkan Muislim dari Buraydah r.a.

Kekejian justru tampak dalam politik luar negeri negara-negara Barat. Dengan slogan-slogannya yang menipu, mereka memalsukan niat busuk mereka dengan kata-kata indah. Penjajahan ekonomi dinamai ‘konsep perdagangan bebas’ dan ‘pasar bebas’, padahal prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan negara-negara Barat. Penjajahan politik disebut dengan demokratisasi. Selain itu, mereka juga menciptakan wilayah-wilayah konflik seperti di Timur Tengah, Balkan, Amerika Latin, dan Asia. Semuanya dalam konteks mengobarkan perang berkepanjangan di sana serta mempertahankannya sebagai kawasan yang bergolak dan rawan konflik sekaligus menyibukkan negara-negara sekitarnya.

Pelaksana Hubungan Luar Negeri

Islam memandang, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang lingkup negara. Bagi individu-individu atau partai-partai sama sekali dilarang melakukan hubungan dengan negara manapun. Meskipun demikian, mereka berhak berdiskusi, mengkritik negara dan menyampaikan pendapat kepada negara dalam hubungannya dengan negara luar. Rasulullah saw., misalnya, secara langsung pernah membuat ikatan perjanjian, perdamaian, pernyataan perang, dan melakukan korespondensi (surat-menyurat) ke luar negeri. Demikian pula yang dilakukan para khalifah sesudahnya.

Dalam perspektif Barat, hubungan internasional tidak hanya meliputi interaksi yang berlangsung antarnegara, tetapi juga mencakup segala macam hubungan antarbangsa, kelompok-kelompok bangsa dan individu dalam masyarakat dunia dan kekuatan-kekuatan, tekanan-tekanan, dan proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak, dan cara berfikir manusia. (Wiriaatmadja, 1988: 36). Studi hubungan internasional mengacu pada segala bentuk interaksi antara aktor-aktor, baik yang bersifat negara (state) maupun non-negara (non-state).

Pandangan Terhadap Negara Lain

Islam telah membagi dunia ini atas dua katagori, yaitu Darul Islam dan darul kufur (dâr al-harb). Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dan system keamanan Islam. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan sistem keamanan bukan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim (Lihat: Mitsâq al-Ummah). Dasar pembagian ini adalah hadis Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Sulaiman bin Buraidah r.a:

«أُدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَأَقْبِلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ اِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ ماَ لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِيْنَ»

Serulah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka (yang merupakan darul kufr) ke Darul Muhajirin (Darul Islam yang berpusat di Madinah). Beritahulah pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban Muhajirin.

Hadis ini adalah sebuah nash yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul Muhajirin agar mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul Islam, sedangkan selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam diminta berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul Islam; dan apabila mereka tidak berpindah maka hukum-hukum Darul Islam tidak bisa diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan adalah hukum-hukum darul kufur.

Di samping itu, istilah darul kufr dan Darul Islam kedua-duanya adalah istilah syariat. Kata dâr tersebut masing-masing disandarkan pada Islam dan harb atau kufr, bukan pada muslimîn dan kuffâr. Darul Islam mengandung arti bahwa yang memerintah dalam sebuah negara adalah Islam. Jika agama yang memerintah dalam sebuah negara, berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini menunjukkan bukti bahwa dunia secara keseluruhan hanya terdiri dari darul Islam dan darul kufur.

Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan Negara Islam dengan negara-negara yang dianggap darul kufur, baik mayoritas penduduknya adalah Muslim atau non-Muslim.

Sementara itu, pandangan negara Barat terhadap negara lain bergantung pada kepentingan nasional (national interest) yang dapat diraih dalam hubungannya terhadap negara tersebut.

Hubungan dengan Lembaga Internasional

Organisasi, yang merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional ini, merupakan wadah atau sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional. (Rudi, 1993: 1). Untuk memahami keberadaan organisasi internasional, Quincy Wright mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu seni untuk menciptakan dan mengurus masyarakat luas yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memudahkan kerjasama dalam mencapai tujuan dan keputusan bersama serta merupakan wadah atau tempat kerjasama hubungan internasional. (Kartasasmita, 1987:3).

Konsep dan praktik dasar yang menjadi inti organisasi internasional modern termasuk diplomasi, perdagangan, kesejahteraan, aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan, penyelesaian perdamaian, pengembangan hukum internasional, kerjasama ekonomi internasional, kerjasama sosial internasional, komunikasi dunia, keamanan bersama, administrasi internasional, dan gerakan-gerakan dalam pemerintahan dunia. Pandangan-pandangan dan praktik-praktik ini telah ada beberapa ratus tahun sebelumnya. Namun, pada dasarnya, mereka membentuk dasar bagi keberlangsungan suatu organisasi internasional dan bagi kebangkitan setiap organisasi pada masa yang akan dating. (Bennet, 1984: 4).

Dalam hubungannya dengan lembaga internasional, Khilafah tidak boleh ikut dalam lembaga internasional maupun regional yang tidak berasaskan Islam atau menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum Muslim dan negara Muslim. Oleh karena itu, secara syar‘î, hal ini tidak diperbolehkan. []

Penulis, Alumnus Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNPAD, tinggal di Bandung.

Posted on 11 Juli 2010, in Makalah, Politik. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar