Hukum-Hukum Berkaitan dengan Safar

Oleh: M. Taufik N.T

1. Definisi Safar

وَفِي الاِصْطِلاَحِ: السَّفَرُ هُوَ الْخُرُوجُ عَلَى قَصْدِ قَطْعِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ الشَّرْعِيَّةِ فَمَا فَوْقَهَا

Secara istilah: Safar adalah keluar (bepergian) ke (tempat) tujuan yang jaraknya jarak qoshor syar’I atau lebih[1]

Adapun jarak qashar minimal adalah 4 barid atau perjalanan dua hari, atau sekitar 81 km.[2]

2. Shalatnya Musafir

a. Shalat Qashar

Saat bepergian shalat boleh diqashar (yakni shalatnya menjadi dua rakaat saja, kecuali shalat maghrib tetap 3 raka’at), berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأْرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut diserang orang-orang kafir”.( Q.S. 4 : 101 ).

Ya’la bin Umayah berkata : Aku telah bertanya kepada Umar r.a. tentang firman Allah : ( Q.S. 4 : 101), …mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut . . .”) ), sedangkan dewasa ini orang-orang telah aman. Umar menjawab : Aku kagum ( heran ) dari apa yang engkau herankan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. ( tentang firman Allah Ta’ala tersebut ), lalu beliau menjawab :

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian, maka terimalah oleh kalian sedekahNya itu “ (HR. Muslim)

Mengqashar shalat pada waktu sedang berpergian adalah lebih afdhal dari shalat biasa, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain yang mengatakan :

“Aku berhaji dengan Rasulullah s.a.w. maka beliau shalat dua rakaat. Aku bepergian dengan Abu Bakar maka dia shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Aku bepergian dengan Umar maka dia shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Dan aku bepergian dengan Utsman maka ia pun shalat dua rakaat selama enam tahun. Kemudian dia menyempurnakan (shalat ) di Mina”.

b. Shalat Jama’

Dalam bepergian yang membolehkan mengaqashar shalat diperbolehkan juga menjama’nya, yakni antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya. Namun demikian, tidak diperbolehkan menjama’ shalat antara Ashar dengan Maghrib dan antara Isya dengan Shubuh serta antara Shubuh dengan Zhuhur.

Ibnu Umar r.a. meriwayatkan: “Rasulullah saw. bila benar-benar bepergian, maka beliau menjama’ antara (shalat) Maghrib dengan (shalat) Isya”.

Anas r. a. telah meriwayatkan: “Sesungguhnya Nabi saw. menjama’ antara (shalat) Zhuhur dengan (shalat) Ashar”.

Tidak didapatkan sebuah riwayat pun yang mengemukakan bahwa beliau pernah menjama’ shalat selain shalat-shalat di atas, yakni selain shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya.

3. Puasanya Musafir

Seorang musafir juga boleh tidak berpuasa, namun wajib diganti (di qodlo) di hari lain. Allah berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain (QS. 2 : 185)

Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa dan separoh sholat dari musafir, dan menggugurkan puasa saja dari wanita hamil dan menyusui (HR Ahmad, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

4. Seorang musafir juga boleh menyapu dua sepatu saja saat berwudlu selama 3 hari safar, sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut:

رَوَى شُرَيْحُ بْنُ هَانِئٍ قَال: سَأَلْتُ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – عَنِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ، فَقَالَتْ: سَل عَلِيًّا، فَإِنَّهُ كَانَ يُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْتُهُ فَقَال: جَعَل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

5. Seorang Musafir tidak wajib shalat jum’at, namun tetap wajib shalat dzuhur, sebagaimana sabda Rasul saw yang diriwayatkan Ad Daruquthny:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ، إِلاَّ مَرِيضٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَمْلُوكٌ


[1] التعريفات 157 دار الكتاب العربي 1985 م. الكليات 3 / 33، جامع العلوم في اصطلاحات الفنون 2 / 169 مؤسسة الأعلمي 1975 م.

[2] Syaikh Ali Raghib, Ahkaamus Shalat. Dalam penentuan jarak ini memang ada ikhtilaf.

Posted on 13 Agustus 2012, in Ibadah. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. numpang tanya
    kl untuk wanita yang bepergian mau wudlu tapi tidak tempat tertutup bagaimana? apakah bertayamum atau tetep berwudlu dengan resiko ada sebagian aurat yang keliatan.

    ##
    khawatir aurat kelihatan bukan alasan untuk tayammum, jadi harus tetap berwudhu, agar tdk terlihat aurat bisa wudhu di kamar mandi, atau menunggu laki-lakinya selesai wudhu semua. Allahu A’lam.

    Suka

  2. ass.ust,mohon penjelasan ttng hukum perjalanan haji bagi seorang perempuan,
    ##
    w3. sudah ana tulis disini: https://mtaufiknt.wordpress.com/2012/12/04/hukum-wanita-berhaji-wajib-tanpa-mahram-atau-suami/ baarokallahu fiik

    Suka

Tinggalkan komentar