Category Archives: Ikhtilaf

Beberapa Hal Terkait Shalat Tasbih

– Bagaimana hukumnya?

– Termasuk shalat mutlak atau muqayyad?

– Dilakukan 2x salam atau sekali salam?

– Dilakukan berjamaah atau sendiri?

– Adakah sujud sahwi jika lupa/ketinggalan bacaan tasbih?

Simak 10 menitan di https://youtu.be/JBinjFcKdTc

Membungkuk dan Berpelukan Saat Menyambut Tamu

Ustad, mohon penjelasan ttentang hadist tsb? Apakah benar?
Jazakallah khoiron (isinya di bagian bawah*)

***

Memang ada larangan membungkukkan badan kepada makhluk, namun rinciannya begini:

Read the rest of this entry

Mengaminkan Doanya Non Muslim

Ada dua pendapat terkait mengaminkan doanya non muslim. Pertama, mengharamkannya, ini adalah pendapat Imam ar-Ruyani (w. 307 H), beliau katakan:

لَا يَجُوزُ التَّأْمِينُ عَلَى دُعَاءِ الْكَافِرِ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ أَيْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ} [غافر: 50]

‘Tidak boleh mengaminkan doa orang kafir, karena doa mereka tidak dikabulkan yakni karena firman Allah Ta’ala {‘Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka’} (QS. Ghofir : 50).[1]

Read the rest of this entry

‘Imamah dan Kopiah

‘Imâmah (pakai huruf ‘ain) maknanya adalah:

اللِّبَاسُ الَّذِي يُلاَثُ (يُلَفُّ) عَلَى الرَّأْسِ تَكْوِيرًا

“Pakaian yang dililitkan pada kepala secara melingkar.”[1]

Sebagian masyarakat menyebutnya dengan ‘bolang’ atau surban.

Hukum Memakainya

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ سَتْرِ الرَّأْسِ فِي الصَّلاَةِ لِلرَّجُل بِعِمَامَةٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا؛ لأِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِالْعِمَامَةِ.

“Para ahli fiqih sepakat bahwa disukai (mustahab) menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki dengan ‘imâmah atau yang semakna dengan itu karena Nabi SAW shalat dengan memakai ‘imâmah.” [2]

Bahkan dalam di luar shalatpun ada yang menyukai untuk tetap dipakai:

Read the rest of this entry

Hukum Shalat Jumat Tanpa Izin Penguasa

 image Menurut pendapat tiga mazhab, Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah shalat Jumat tetap sah meski tanpa izin penguasa, namun hukumnya sunah meminta izin terlebih dahulu. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyyah tidak sah pelaksanaan Jumat tanpa izin penguasa.

Al Qutbur Rabbani Syaikh Abd al-Wahhâb al-Sya’rôni (w. 973 H) menyatakan:

ومن ذلك قول الأئمة الثلاثة: إن الجمعة تصح إقامتها بغير إذن السلطان ولكن المستحب استئذانه مع قول أبي حنيفة: إنها لا تنعقد إلا بإذنه

“Dan diantara (perbedaan pendapat) yang demikian itu adalah perkataan tiga imam: sesungguhnya shalat Jumat sah mendirikannya tanpa izin penguasa, akan tetapi disunahkan meminta izinnya, dengan perkataan Abu Hanifah: bahwasanya shalat Jumat tidak sah kecuali dengan izin penguasa.[1]

Read the rest of this entry

Memanfaatkan Barang Gadai

Secara syar’i gadai adalah:

جَعْل عَيْنٍ مَالِيَّةٍ وَثِيقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا أَوْ مِنْ ثَمَنِهَا إِذَا تَعَذَّرَ الْوَفَاءُ

“Menjadikan suatu ‘ain maliyyah (dzat harta) sebagai jaminan hutang, yang akan dibayar hutang itu dengan dzat harta tersebut atau dari harga dzat harta tersebut ketika tidak mampu membayar hutang.”[1]

Read the rest of this entry

Khutbah Ketinggalan Shalawat, Haruskah Shalat Jum’at Diulang?

Menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali, membaca shalawat termasuk salah satu diantara rukun khutbah. Jika khatib ketinggalan membacanya maka hendaknya jamaah mengingatkannya dan khatib menyempurnakan kekurangannya, atau bisa juga salah satu jamaah naik mimbar dan membaca rukun-rukun khutbahnya, jika ini tidak dilakukan maka tidak sah khutbah Jum’atnya. (baca syarat dan rukun khutbah Jum’at dalam madzhab Syafi’i https://wp.me/pcdvJ-Of)

Hanya saja, kalau khatibnya bermadzhab Hanafi atau Maliki, maka sah saja khutbah tersebut jika tanpa membaca shalawat sekalipun. Karena menurut Hanafiyyah, khutbah memiliki satu rukun saja, yakni dzikir saja baik sedikit ataupun banyak.[1] sementara Malikiyyah juga menyatakan khutbah hanya punya satu rukun saja, yakni memberi peringatan atau kabar gembira. [2] Beda kasusnya jika khatibnya menyatakan dirinya bermadzhab Syafi’i atau Hanbali, lalu khutbah tanpa membaca shalawat, maka khutbahnya tidak sah.

Read the rest of this entry

Syarat dan Rukun Khutbah Jum’at

Syarat-syarat sah khutbah Jum’at[1]:

1. Berdiri bila mampu dan memisahkan diantara dua khutbah dengan duduk. Jika tidak mampu berdiri, maka dengan duduk, atau kalau tidak bisa duduk dengan berbaring, dan memisah antara dua khutbah dengn diam sejenak.

2. Mendahulukan khutbah dari pada shalat.

3. Suci dari dua hadats dan najis yang tidak dima’fu (dimaafkan).

4. Menutup auratnya dalam dua khutbah.

5. Berbahasa Arab[2]

6. Seluruh khutbah dilakukan di waktu dzuhur.

Read the rest of this entry

Mengqadha Sholat Wajib

Definisi

والقضاء: فعل الواجب بعد وقته. أو إيقاع الصلاة بعد وقتها.

“Qadha’: adalah melaksanakan kewajiban setelah waktunya, atau menjalankan shalat setelah habis waktunya.” [1]

Hukumnya

Wajib tidaknya mengqadha shalat tergantung kepada alasan mengapa seseorang sampai meninggalkan shalat hingga lewat waktunya.

Pertama, jika seseorang tidak mengerjakan shalat fardhu hingga waktunya habis karena ada udzur lupa atau tertidur, maka dia tidak berdosa karena kealpaan tersebut, namun wajib mengqadha shalat yang tertinggal tersebut, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama tentang hal ini.[2]

Read the rest of this entry

Menggabungkan Niat Puasa Qodho’ dg Syawal, Bolehkah?

Menggabungkan niat satu ibadah dengan ibadah lain adakalanya boleh, seperti shalat sunnat wudhu + tahiyyatul masjid + qabliyah dzuhur, dan adakalanya tidak boleh, seperti menggabungkan shalat qodho qobliyah subuh dengan shalat dhuha, pembahasan tentang hal ini agak panjang.

Adapun menggabungkan niat puasa qodho’ Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan syawwal, ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Read the rest of this entry

Pendapat Para Ulama Terkait Bid’ah

وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“… dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, dan setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat …” (HR. An-Nasâi)

Secara umum ada dua pendapat berkaitan dengan bid’ah, yakni:

Bid’ah Bisa Baik, Bisa Buruk

Ini pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Shulthonul ‘Ulama Al-’Izz ibn Abdis Salam (wafat 660 H), Imam An-Nawawi (676 H), Al Hafidz As Suyuthi ( w. 911 H), Abu Syâmah (wafat 665 H). Dari kalangan Malikiyah: Al-Qarafi (wafat 684 H) dan Az-Zarqani (wafat 1122 H). Dari kalangan Al-Hanabilah : Al Hafidz Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) serta dari kalangan Dzahiri : Ibnu Hazm (wafat 456 H).[1]

Read the rest of this entry

Pendapat Ulama Terkait Rukyat Hilal

Prihatin melihat suasana perbedaan pendapat terkait penentuan awal akhir Ramadhan di era sosmed sekarang ini, terutama ketika pendapat bahwa jika satu daerah berhasil melihat bulan sabit itu wajib jadi patokan seluruh dunia, justru pendapat yang kuat ini, yang empat Imam Madzhab sepakat akan hal ini, yang merupakan pendapat mayoritas ahli fiqih zaman dulu, justru pendapat ini dipandang lemah oleh sebagian kalangan. Ada beberapa point yang perlu diperhatikan secara komprehensif untuk memahami persoalan ini, apakah sekedar masalah fiqih, astronomi atau masalah politik.

Pertama, terkait rukyat, pendapat empat imam madzhab menyatakan bahwa negeri yang tidak melihat bulan sabit tetap wajib mengikuti negeri yang berhasil melihatnya.

Ibnu Hubairoh (w. 560 H), dalam kitab beliau, al-Ijma’ menyatakan:

hubairoh rukyat global

“Dan mereka (empat Imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad) telah sepakat : bahwa ketika bulan sabit telah terlihat dan tersiar di suatu negeri pada saat malam, maka wajib puasa atas seluruh penduduk dunia. Kecuali apa yang diriwayatkan oleh Abu Hamid Al Isfirayayni yang menyatakan rukyat tersebut tidaklah mengikat bagi negeri-negeri yang lain untuk memulai puasa. Al Qadhi Abu Thayyib At Thabari menyalahkan pendapat ini. Ia berkata: “Ini adalah kekeliruan darinya. Tetapi yang benar adalah jika penduduk suatu negeri melihat bulat sabit Ramadhan, maka (rukyat) ini berlaku bagi seluruh manusia di negeri-negeri yang lain untuk berpuasa”[1] (Ibnu Hubairoh (w. 560 H), Al Ijma’ ‘Inda Aimmati Ahlis Sunnah al Arba’ah- Ahmad bin Hanbal-Abu Hanifah-Malik- Asy Syafi’i, hal 77. lihat pula Ijmâ’ al-Aimmati al-Arba’ah wa Ikhtilâfuhum, juz 1 hlm. 287).

Begitu juga yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab as Sya’roni (w. 973 H), salah satu Ulama Madzhab Syafi’i yang pada masanya digelari dengan Al Qutbur Rabbani, dalam kitab beliau, Al-Mîzân menyatakan:

Read the rest of this entry

Beda Laki-Laki dan Perempuan dalam Shalat

Sesungguhnya shalat lelaki dengan wanita adalah sama dalam hal rukun, syarat, sunnah dan makruhnya. Adapun tata cara melakukan sunnah-sunnahnya mayoritas juga sama, namun berbeda sebagiannya.

Imam as Syafi’i menyatakan point-point perbedaan tersebut bahwa wanita: disunnahkan menempelkan bagian tubuh satu dengan lainnya, menempelkan perut dengan kedua paha dalam sujudnya, begitu juga dalam ruku’nya, dan hendaklah menebalkan jilbabnya, dan menjauhkannya saat ruku’ dan sujud sehingga tidak tergambar (bentuk) pakaiannya, dan hendaklah melirihkan suaranya, dan jika mengingatkan sesuatu dalam shalatnya hendaklah dengan bertepuk tangan.[1]

Read the rest of this entry

Selesai Shalat, Baru Tahu Ada Najis di Pakaian

Suci dari najis adalah termasuk bagian dari syarat sahnya shalat. Masalahnya jika seseorang merasa yakin bahwa dirinya telah suci dari najis, namun ternyata setelah selesai shalat, ia melihat bajunya terkena najis yang tidak ma’fu (ditoleransi), wajibkah dia mengulangi shalatnya?

Para ulama madzhab Syafi’i sendiri berbeda pendapat tentang hal ini, hanya saja pendapat yang ashah[1] dalam madzhab Syafi’i, seseorang yang ada najis pada badan/pakaiannya, dia baru mengetahui setelah dia selesai shalat, dan dia ‘yakin’ bahwa dia shalat dengan membawa/terkena najis tersebut maka shalatnya tidak sah dan dia wajib mengulanginya. Dalam Al Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i dinyatakan:

clip_image002

“dan sucinya badan dari najis merupakan syarat sahnya shalat, jika dia tahu najis tersebut (lalu shalat dengan najis tersebut) maka tidak sah shalatnya. Begitu juga jika dia lupa atau tidak tahu, maka tidak sah shalatnya, jika dia shalat (dengan adanya najis tersebut) maka dia wajib mengulanginya, karena kesucian (thaharah) adalah wajib maka tidak gugur dengan alasan tidak tahu sebagaimana wudhu. Sama saja hal tersebut terjadi dalam shalat fardhu, sunnah, jenazah, sujud tilawah dan syukur, semua itu syaratnya adalah tidak adanya najis” [2]

Read the rest of this entry

Menikahi Wanita Hamil dan Nasab Anaknya

Wanita hamil ada dua kemungkinan: 1) hamil dalam pernikahan atau 2) hamil diluar pernikahan.

Hamil dalam Pernikahan

Jika wanita tersebut hamil dalam pernikahan, misalnya dicerai saat hamil atau suaminya meninggal saat wanita tsb hamil, maka tidak ada perbedaan pendapat para fuqoha bahwa tidak sah menikahinya sebelum wanita tersebut melahirkan.[1]

Alasannya adalah firman Allah SWT :

وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (Qs Ath-Tholaq : 4).

Read the rest of this entry