Khalifah Umar & Utsman Merubah Hukum Islam?

Oleh: M. Taufik N.T

Banyak kekaburan dan kekeliruan yang mengotori wajah sejarah Islam yang murni. Ini merupakan hasil usaha yang dilakukan banyak pihak yang memusuhi Islam agar Islam yang murni itu sampai ke generasi berikutnya dalam rupa yang buruk dan menjijikkan. Salah satu caranya melalui informasi dan buku-buku sejarah yang telah dipalsukan sesuai keinginan mereka. Sumber-sumber dan maklumat yang keliru inilah biasanya yang menjadi hidangan yang disajikan untuk makanan mental anak-anak Islam dari satu generasi ke satu generasi. Lebih parah lagi, pendidik-pendidik yang bertanggungjawab menghidangkan maklumat itu pula berperan tidak lebih hanya sebagai agen pengedar semata-mata, tanpa meneliti lebih lanjut mana yg benar dan mana yang palsu, mana yang obat dan mana yang racun. Bagi mereka semuanya adalah benar. Hal ini terjadi disebabkan oleh:

1. Pengetahuan sejarah Islam tidak didasari sumber asalnya, hanya berpedoman bahan bacaan yang ia sendiri merasa itulah sumber sejarah.

2. Terpesona dengan kaedah-kaedah penyelidikan Barat modern, hingga apapun kata ahli di Barat, itulah yg menurut mereka otentik, ilmiah dan objektif, sedangkan yg dari literatur ulama kaum muslimin sudah usang, lapuk, subyektif dan tidak ilmiah (atau bahkan tidak terbaca sama sekali).

3. Berpandukan sejarah Islam yg otentik tetapi tidak iltizam dengan semangat Islam, sehingga faktor kekeliruan yg terjadi dalam sejarah—kalaupun itu benar adanya—dijadikan alasan untuk menikam Islam, padahal sejarah bukanlah sumber hukum Islam. Kalau ada kekeliruan atau buruknya penerapan Islam dalam sejarah, bukan berarti kekeliruan atau buruknya penerapan tersebut dibolehkan oleh Islam.

Disamping 3 hal tersebut, bisa juga terjadi pengambilan kesimpulan yg tidak tepat walaupun didasari sumber-sumber yg otentik dan semangat untuk menjadikan Islam ‘lebih baik’ dan diterima oleh Barat dengan budaya mereka.

Diantara penarikan kesimpulan yg tidak tepat adalah kesimpulan bahwa “syariat berubah (ber evolusi) dikarenakan perubahan zaman dan tempat”. Mereka berdalih diantaranya dengan merujuk kepada fakta bahwa:

1. Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya dalam al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60).

2. Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah/ al-majâ’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Quran (QS al-Maidah [5]: 38).

3. Utsman mengabaikan hukum jinayat—yakni dengan tidak mengqishash Ubaidillah bin Umar bin Khattab yang telah terbukti membunuh seorang muslim, padahal Allah telah mewajibkan humum qishash dalam surat Al Baqarah [2]: 178.

Mendudukkan Permasalahan

Banyak orang yang mengatakan bahwa “bicara syari’at Islam harus dilihat dari konteks hukum tersebut”, namun ketika bicara tiga perkara tadi mereka lupa akan konteks terjadinya tiga perkara tsb, sehingga dengan mudahnya mereka berkesimpulan bahwa Umar & Utsman r.a telah mengubah hukum Islam (bahkan ini dulu dijadikan salah satu propaganda musuh Islam untuk melengserkan bahkan membunuh Utsman, dengan anggapan Utsman sudah keluar dari Islam atau tidak memutuskan perkara menggunakan syari’at Islam). Adapun mengenai tiga perkara tersebut:

1. Umar Tidak Memberikan Zakat Untuk Muallaf

Dalam masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau meninggalkan nash al-Quran (QS 9: 60), tetapi karena sesungguhnya muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan, karena tidaklah mungkin memberikan sesuatu kepada yg tidak ada.

Para ulama ushul fikih menjelaskan, pengaitan suatu hukum dengan suatu sifat dari kata musytaq (ada asal katanya), menunjukkan adanya ‘illat (sebab penetapan hukum) yang melekat pada sifat tersebut. Dalam hal ini, kata mua’llafah qulûbuhum (QS 9: 60) merupakan kata musytaq yang menunjukkan suatu sifat yang melekat pada sekelompok orang, yaitu ta’lîf al-qulûb (pembujukan hati). Artinya, jika ‘illat itu ada-yakni ta’lîf al-qulûb-mereka harus diberi, tetapi jika ‘illat itu tidak ada, mereka tidak diberi (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 571). Hal ini, kata Taqiyudin an-Nabhani, tidak berbeda dengan pemberian zakat kepada golongan fakir, miskin, dan amil (petugas zakat). Mereka diberi zakat jika ada ‘illat pemberian zakat, yaitu pada diri mereka ada sifat kefakiran, kemiskinan, dan kegiatan mengumpulkan zakat (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, III/346). Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah h. 193) menegaskan bahwa ‘illat pemberian zakat untuk muallaf pada zaman Abu Bakar dan Umar telah lenyap, seiring dengan telah kuatnya dan tersebarnya Islam. Berbeda halnya dengan masa Rasulullah saw. ketika jumlah kaum Muslim masih sedikit dan musuh mereka berjumlah banyak (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/871).

2. Umar Tidak Memotong Tangan Pencuri Pada Masa Terjadinya Kelaparan

Dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah), para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-‘Uqûbat menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi musibah kelaparan, sebagaimana diriwayatkan dari Makhul ra., bahwa Nabi saw. bersabda:

لا قطع في مجاعة مضطر

Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa. Dalam riwayat lain berbunyi:

لا قطع في زمن المجاعة

Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan (Lihat pula Ali Al Qari dalam مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيحِِ, Abu Nu’aim dalam معرفة الصحابة, atau Al Hâfidz Al Manâwi dalam: التيسير بشرح الجامع الصغير)

Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan umum potong tangan (QS 5: 38).

3. Utsman Mengabaikan Hukum Jinayat

Utsman r.a tidak mengqishash (menghukum bunuh) Ubaidillah bin Umar yang tidak bisa menahan diri sehingga membunuh Harmuzan yg telah masuk Islam (yg diduga memfasilitasi pembunuhan Umar, ayah Ubaidillah). Sebenarnya yg terjadi bukanlah Utsman tidak menetapkan hukum bunuh, Utsman telah menetapkan bahwa Ubaidillah harus di qishash, namun saat mau di eksekusi, justru anak Harmuzân –yang bernama Qumadzabân—yang memaafkan Ubaidillah (kemungkinan memang ia merasa bapaknya terlibat dalam pembunuhan ayahnya Ubaidillah, atau ia bersimpati atas terbunuhnya Umar ra, dan tidak ingin anaknya Umar ikut juga dibunuh). Dan walaupun Qumadzaban tidak menuntut diyat (ganti rugi 100 onta) namun Utsman tetap memberinya diyat. Aturan Islam memang begitu, tidak mesti pembunuh pasti harus dibunuh, justru pembunuh yg tersalah/tidak sengaja atau yang mirip sengaja (misalnya menempeleng saja, namun yg ditempeleng mati), atau pembunuh yg sudah dimaafkan oleh ahli warisnya, maka pembunuhnya tidak boleh dibunuh. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al Baqarah [2]: 178).

Lalu bagaimana mungkin Utsman r.a yang mengikuti petunjuk al Qur’an justru di tuduh mengubah hukum syari’at?

Mengenai terjadinya kasus ini, saya ringkas dari buku Isu-Isu Kontroversi dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin, tulisan Marzuki Haji Mahmood, rujukan asli kejadiannya dari Qadli Abu Bakar al Araby dalam kitabnya, Al ‘Awâshim min Al Qawâshim juz I/hal 102 dst, juga oleh At Thabary dalam kitabnya, Târîkh ar Rusul wa al Muluk, (teks aslinya saya letakkan pada bagian endnote):

Ubaidillah membunuh Harmuzan karena mendengar keterangan Abdurrahman bin Abu Bakar yang memberitahu bahwa pada pagi hari khalifah Umar r.a. itu dibunuh, beliau melihat sendiri pada malam sebelum berlaku pembunuhan itu, Harmuzan, Abu Lu’lu’ah dan Jufainah sedang berbisik-bisik di suatu tempat. Saat dilihat oleh Abdurrahman mereka gugup, lalu terjatuh sebilah khanjar (sejenis pisau bermata dua, kiri dan kanan, pemegangnya di tengah tengah, dibuat khusus untuk membunuh. Khanjar sepertl itu hanya terdapat dinegeri Parsi sahaja). Khanjar inilah yg terbukti dipakai untuk membunuh Umar r.a. Setelah mendengar keterangan itu, Ubaidillah bersumpah: “demi Allah, aku akan membunuh orang-orang yang bersekutu, menumpahkan darah ayahku”. Ini adalah sikap keliru Ubaidillah, seharusnya Ia menyerahkan masalah tersebut kepada pemerintah yang baru (yakni Utsman bin ‘Affan) untuk bertindak menghukum pembunuh ayahnya. …

Utsman r.a. telah menjatuhkan hukuman mati (qisas) atas Ubaidillah tetapi ia dimaafkan oleh waris mati. Perkara ini merujuk pada catatan al-Tabari dari Abu Manshur yang berkata:

"Aku dengan Qumadzaban (anak dan waris kepada Harmuzan) menceritakan kisah pembunuhan bapanya.” la berkata. "Banyak orang asing di Madinah, mereka sering berhubung antara satu sama lain. Suatu hari Fairuz (Abu Lu’lu’ah) menemui bapaku (Harmuzan) bersama-samanya terdapat sebilah pisau khanjar bermata dua. Bapaku memegang dan bertanya. “Apa yang akan kau perbuat dengan benda ini di negara ini? Jawabnya: main-main saja. Tiba-tiba seorang lelaki lain memandangnya (Abdurrahman bin Abu Bakar). Maka ketika Umar r.a. ditikam orang, ia (Abdurrahman) berkata: Aku pernah lihat benda ini (khanjar) ada bersama Harmuzan yang kemudian menyerahkannya kepada Fairuz. Maka Ubaidillah, lalu membunuh Harmuzan. Ketika Utsman memangku pemerintahan, dia memanggil aku. Kemudian dia (Utsman) mengeluarkan perintah: Wahai Qumadzaban, inilah pembunuh bapamu! Dan engkau lebih berhak dari kami (untuk melaksanakan hukuman bunuh), maka pergilah (ke tempat pembunuhan), maka bunuhlah dia! Maka aku pun keluar membawanya (Ubaidillah), banyak orang mengikut aku, mereka menuntut supaya aku jalankan hukuman segera. Maka aku berkata kepada mereka: Adakah pantas aku membunuhnya? Jawab mereka: Ya! sambil mereka memaki Ubaidillah. Aku bertanya lagi: Apakah kamu tidak mau menghalanginya? Jawab mereka: Tidak! dan memakinya (memaki Ubaidillah). Maka kemudiannya aku pun meninggalkannya karena Allah dan memaafkannya. Orang-orang terus mengusungku. Maka demi Allah aku tidak tiba ke rumah melainkan di atas kepala dan bahu-bahu orang-orang”[i].

Adapun riwayat Ibn al-Arabi dalam kitab al-Awasimnya yang dipetik dari al- Tabari juga bahwa khalifah Utsman r.a. duduk di dalam masjid, dan memerintahkan supaya dibawa datang Ubaidillah yang dikurung di rumah Saad bin Abi Waqqas r.a., kerana dialah yang menangkap dan merampas pisau di tangan Ubaidillah …Maka Utsman berkata kepada kumpulan Muhajirin dan Anshar yang hadir. ..Berilah pandangan kepadaku tentang hukuman atas orang ini yang telah menyebabkan keretakan Islam." Maka kata Ali r.a. “Aku berpendapat supaya dibunuh saja." Kata sebahagian orang Muhajirin yang lain, “Khalifah Umar baru kemarin dibunuh orang, hari ini kita mau membunuh anaknya pula?" Maka Amru bin al-As menyela, “Wahai Amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah telah memaafkan anda, kerana tragedi ini berlaku sebenarnya di luar kekuasaan anda,saat anda belum lagi dilantik lagi." Maka jawab Utsman r.a. “Bagaimanapun aku adalah walinya, dalam perkara ini aku peruntukkan membayar diat, dan aku tanggung dari harta pribadiku sendiri."[ii]

Dua kejadian ini menjelaskan bahwa Khalifah Utsman r.a. sebagai pemerintah negara Islam yang bertanggungjawab walaupun hanya kira-kira baru tiga hari dilantik menggantikan Khalifah Umar r.a. telah menjatuhkan hukuman mati (qishash) kepada Ubaidillah bin Umar bin al-Khattab r.a. Cuma dalam pelaksanaan hukuman itu, Khalifah Utsman sekali lagi dengan kuasanya memerintahkan waris yaitu anak korban agar menjalankan hukuman (membunuh Ubaidillah) karena memang lebih aula (lebih baik) anak korban yg diberi kesempatan menjalankan eksekusi, dan akhirnya anak korban justru memaafkannya pada saat Ubaidillah justru sudah siap dan dibawanya untuk dieksekusi. Ibn al-Arabi berpendapat, besar kemungkinan anak yang diberi kuasa penuh yaitu Qumadzaban, untuk melaksanakan hukuman tersebut berkeyakinan bahwa bapaknya, Harmuzan, sebagai aktor intelektual dibalik terbunuhnya Amir al-Mukminin Umar dan Abu Lu’lu’ah yang membunuh Umar itu tidak lebih hanya sebagai alat ahli politik Parsi itu (Harmuzan) semata-mata.

Sumber yang kedua pula menjelaskan bahwa Khalifah Utsman r.a. tidak menjatuhkan hukum qisas (bunuh balas) dan cuma mengenakan diat, itu pun dikeluarkan dari harta peribadinya sendiri. Sebenarnya, jika dilihat dengan kaca mata yang adil dan ingin mencari kebaikan, bukan dengan niat untuk mengeruhkan keadaan, yaitu dengan cara mengeksploitasi isu yang kurang jelas, maka kita dapat melihat kebaikan implikasi tindakan Khalifah Utsman r.a. itu. Yaitu sekiranya tepat apa yang dilaporkan oleh fakta-fakta sejarah diatas, sebagai seorang khalifah Utsman r.a. bukan saja menjatuhkan hukuman qishash pada Ubaidillah bin Umar yang membunuh Harmuzan, tetapi juga membayar diyat, yaitu setelah mengetahui si anak yang bertanggungjawab menjalankan hukuman itu mengambil keputusan memaafkan saja pembunuh bapaknya, walaupun anak tersebut tidak menuntut diyat ini. Ini merupakan satu langkah yang cukup bijaksana, walaupun kebaikan-kebaikan seperti ini tidak mendapat tempat di hati orang-orang yang sejak awal merancang untuk menjatuhkan khalifah dan merusak Islam.

Penutup

Jadi tidaklah tepat kalau kedua orang khalifah (Umar & Utsman r.a) dikatakan telah merubah syari’at Islam dan menyesuaikan dengan kondisi zaman. Justru yang dilakukan mereka berdua adalah menjalankan syari’at Islam dengan sepenuhnya, karena memang syari’at Islam berlaku untuk manusia sepanjang zaman, selama manusia itu masih bersifat manusia, tidak ber ‘evolusi’ menjadi kera, karena memang Islam diturunkan untuk mengatur manusia. Adapun penampakan adanya ‘perubahan’ maka sebenarnya yang berubah hanya ada tidaknya ‘illat (sebab disyariatkannya hukum), kalau ‘illatnya ada maka hukumnya akan ada, kalau ‘illatnya tidak ada hukumnya juga tidak ada, namun hukum syari’atnya ya itu-itu juga.

Adalah kewaiban bagi kita semua untuk meneliti kembali sesuatu sebelum kita ucapkan, karena semua yang kita ucapkan, kita tulis, dan kita perbuat akan diminta pertanggung jawabannya kelak di hari akhir. ‘Allahu Ta’ala A’lam.

Baca Juga:


[i] Abu Ja’far At Thabari, Târîkh ar Rusul wa al Muluk, juz 2 hal 428: عن أبي منصور، قال: سمعت القماذبان يحدّث عن قتل أبيه، قال: كانت العجم بالمدينة يستروح بعضها إلى بعض، فمرّ فيروز بأبي، ومعه خنجر له رأسان، فتناوله منه، وقال: ما تصنع بهذا في هذه البلاد؟ فقال: آنس به؛ فرآه رجل، فلما أصيب عمر، قال: رأيت هذا مع الهرمزان، دفعه إلى فيروز. فأقبل عبيد الله فقتله؛ فلما ولي عثمان دعاني فأمكنني منه، ثم قال: يا بنيّ، هذا قاتل أبيك؛ وأنت أولى به منا، فاذهب فاقتله؛ فخرجت به وما في الأرض أحد إلاّ معي؛ إلاّ أنهم يطلبون إليّ فيه. فقلت لهم: ألي قتله؟ قالوا: نعم – وسبّوا عبيد الله – فقلت: أفلكم أن تمنعوه؟ قالوا: لا، وسبّوه فتركته لله ولهم. فاحتملوني؛ فوالله ما بلغت المنزل إلاّ على رؤوس الرّجال وأكفّهم.

[ii] جلس عثمان في جانب المسجد ودعا عبيد الله وكان محبوسا في دار سعد بن أبي وقاص ، وهو الذي نزع السيف من يده . . . فقال عثمان لجماعة من المهاجرين والأنصار : أشيروا علي في هذا الذي فتق في الإسلام ما فتق . فقال علي : أرى أن تقتله . فقال بعض المهاجرين : قتل عمر أمس ، ويقتل ابنه اليوم ؟ فقال عمرو بن العاص : يا أمير المؤمنين ، إن الله أعفاك أن يكون هذا الحدث كان ولك على المسلمين سلطان ، إنما كان هذا الحدث ولا سلطان لك . قال عثمان : أنا وليهم ، وقد جعلتها دية ، واحتملتها في مالي .

Posted on 12 Januari 2010, in Kritik Pemikiran, Makalah, Pidana, Politik, Syari'ah, Tarikh, Ushulul Fiqh. Bookmark the permalink. 4 Komentar.

  1. Itu dulu, dan beda dengan sekarang. Sekarang harus ada yang menerjemahkan Al Quran dan As Sunnah sebagai khalifah, tidak menjalankan hukum Pancasila dan UUD 45, berani?

    Suka

    • Ketentuan Allah pasti membawa mashlahat, dulu, sekarang dan akan datang, karena Islam didesain untuk manusia sampai akhir zaman, tidak perlu dipertentangkan dengan kemaslahatan. Kalau hukum pancasila dan UUD 45 mau pakai tafsiran siapa? apakah memberikan kekayaan alam untuk dikuasai asing (migas 90% dikuasai asing, hutan, dll) sesuai dg pancasila? apakah membolehkan produksi miras asal legal sesuai dg pancasila? apakah membiarkan pornografi sesuai dg pancasila? apakah membiarkan pelacuran asalkan mereka membayar pajak sesuai dg pancasila? apakah membolehkan riba sesuai dg pancasila? kalau tidak sesuai berarti pemerintah benar-benar telah melaanggar dasar negara.

      Suka

  2. Subhanallah,,
    Allah benar2 Maha Adil,,telah menciptakan Hati untuk merasa yg baik/buruk,dan Akal untuk berfikir dan mencari kebenaran/ kejahatan suatu masalah..
    Semoga kita selalu dimudahkan Allah dalam upaya untuk mencari kebenaran suatu masalah,demi kebaikan dan kedamaian yg di Ridhoi Allah SWT..
    Aamiin Ya Robbal’aalamiin…

    Suka

  3. Alhamdulillah….semakin terbuka pikiran ana… Syukron tadz, info perpolitikan memang harus selalu d cocokkan dgn Islam, sebab Islam mengatur segalanya..

    Suka

Tinggalkan komentar