Beginilah Rasulullah Menyikapi Pembantaian Terhadap Muslim

Islam, disamping mengajarkan kasih sayang, juga mengajarkan sikap tegas kepada musuh yang telah membunuh dan melakukan kedzaliman kepada manusia, apalagi kepada saudara se-iman.

Ketika perjanjian hudaybiyyah – yang berisi gencatan senjata selama 10 tahun berlangsung, Bani Bakr menjadi sekutu Quraisy sedang Bani Khuza’ah menjadi sekutu Nabi saw.

Akan tetapi, ketika kafir Quraisy menyangka umat Islam sedang lemah, mereka memprovokasi Bani Bakr untuk menyerang Khuza’ah, mereka mengirimkan bantuan personil dan senjata kepada Bani Bakr. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah.

Amru Bin Sâlim dari Bani Khuzâ’ah selamat dari serangan tersebut. Dengan bersya’ir, Beliau mengadu kepada Rasulullah, diantara aduannya ditulis oleh Al Hafidz al Baihaqi dalam Sunan Ash Shugro:

اللَّهُمَّ إِنِّي نَاشِدٌ مُحَمَّدَا

حِلْفَ أَبِينَا وَأَبِيهِ الأَتْلَدَا

فَانْصُرْ رَسُولَ اللَّهِ نَصْرًا أَعْتَدَا

وَادْعُ عِبَادَ اللَّهِ يَأْتُوا مَدَدَا

إِنَّ قُرَيْشًا أَخْلَفُوكَ الْمَوْعِدَا

وَنَقَضُوا مِيثَاقَكَ الْمُؤَكَّدَا

هُمْ بَيَّتُونَا بِالْوَتِيرِ هُجَّدَا

فَقَتَلُونَا رُكَّعًا وَسُجَّدَا

Ya Allah, sungguh aku memohon kepada Muhammad

Sekutu orang tua kami dan orang tuanya dulu

Tolonglah (kami) dengan pertolongan yang tidak terkira

Panggillah hamba-hamba Allah agar mereka datang sebagai bala bantuan

Sesungguhnya (orang-orang) Quraisy telah menyelisihi janji

Dan merusak perjajian denganmu yang sudah dikuatkan

Mereka (menyerang kami) pada waktu malam di Al-Watir[2] (saat kami) Tahajjud

Dan membunuhi kami ketika kami (sedang) ruku’dan sujud

Mendengar hal tersebut, Rasulullah menyatakan :

نُصِرْتَ يَا عَمْرُو بْنَ سَالِمٍ

Engkau (pasti) akan ditolong wahai ‘Amru bin Sâlim.

Rasulullah saw, sebagai kepala negara tidak sekedar mengecam serangan tersebut, karena kalau hanya sekedar mengecam, rakyat kecil juga bisa, Beliau saw juga bukan sekedar memutus hubungan diplomasi, bukan hanya memberi janji akan menolong Bani Khuzâ’ah, bukan sekedar mengirimkan bantuan logistik kepada mereka, atau sekedar membantu pengobatan dan penguburan korban serangan tersebut. Namun beliau memobilisir pasukan, hingga terhimpunlah 10 ribu kaum muslimin yang secepat mungkin berangkat menuju Makkah, hingga terjadilah penaklukan Makkah pada tahun itu.

Sebelumnya, Abu Sufyan, pemimpin kafir Quraisy sekaligus mertua Rasulullah, bermaksud melobi Rasulullah s.aw dan meminta maaf atas kejadian pembantaian tersebut, apakah Rasulullah memaafkan begitu saja tertumpahnya darah rakyat? Tidak, bahkan menemui Abu Sufyan saja beliau tidak mau.

Inilah sikap mulia yang seharusnya kita contoh, sikap jantan, bukan pengecut, sikap tegas menghadapi kedzaliman, bukan lemah dan lembek dengan alasan rahmatan lil ‘âlamîn. Dan ini pulalah seharusnya sikap seorang kepala negara: menjadi perisai/tameng bagi umat, yang menjaga dan melindungi mereka.

Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Seorang imam itu ibarat perisai, seseorang berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya. (HR. Muslim)

Sikap jantan dan ksatria inilah yang juga ditunjukkan oleh para Khalifah setelah beliau. Ketika al Mu’tashim billah membela seorang wanita dari penindasan Romawi, bahkan ketika Khalifah Abdul Hamid II membela Rasulullah dari penghinaan yang dilakukan orang kafir dengan alasan seni dan kebebasan berekspresi.

Tanpa khilafah, kita kehilangan sikap tersebut, seorang pemimpin sudah dianggap hebat ketika sekedar mengecam dan mengirim bantuan medis. Sementara akar masalah tetap ada, dan kejadian pembantaian sangat mungkin terulang, sebagaimana peristiwa yang menimpa muslim Rohingya, Palestina, dll. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]

Baca Juga:

Posted on 9 September 2017, in Perang/Jihad, Politik, Tarikh and tagged , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar