Khutbah Jum’at-Bisnis yang Berkah

Dari waktu-kewaktu, tidak henti-hentinya terdapat ‘bisnis’ investasi yang menggoda dan berhasil ‘membius’ masyarakat untuk memberikan modalnya dengan harapan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Walaupun berulangkali terjadi ‘penipuan’ akibat bisnis ‘money game’ ini, namun dari waktu ke waktu senantiasa ramai bisnis seperti ini mendapatkan peminat. ‘Mimpi’ mendapatkan keuntungan 10% atau bahkan 30% dari modal secara kontinyu telah membuat sebagian orang melupakan hal yang lebih penting dari sekedar jumlah, melupakan berkah.

Sangat mustahil keberkahan bisnis diraih jika seseorang tidak mau memahami aturan –aturan bisnis dalam syari’at Islam, lalu berupaya terikat dengan aturan-aturan tersebut, baik dengan terikatnya dia akan membuat hartanya berkurang atau bahkan habis, maupun dengan terikatnya dengan aturan syari’at membuat bisnisnya berkembang. Keberkahan bukan dilihat dari untung atau ruginya bisnis yang dijalankan, keberkahan diperoleh jika dia mampu menjalankan bisnisnya sesuai aturan Allah SWT, dia menjauhi yang haram, bahkan yang syubhat/samar sekalipun.

Siapapun yang nekat menjalankan bisnis sebelum dia faham akan hukum-hukumnya, bukan keberkahan yang akan didapat, justru kemalangan dan kegelisahan hidup yang akan didapatnya. Imam ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

Kadang terikat dengan aturan Allah bisa membuat bisnis rugi secara materi, namun tidak secara hakiki. Diceritakan dalam kitab Shuwarun min Hayâtit Tâbi’in hal 132, bahwa Muhammad bin Sirin (w. 110 H), suatu hari beliau membeli minyak secara kredit dengan harga 40.000 (tidak disebut dalam kitabnya dinar/dirham). Tatkala dia membuka salah satu tutupan wadah minyak yang terbuat dari kulit itu, dia mendapatkan seekor tikur yang mati. Beliau berkata kepada dirinya:

إن الزيت كله كان في الـمَعْصَرَةِ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ ، وإن النجاسة ليست خاصةً بهذا الزِقِّ دون سواه …وإني إن رددته للبائع بالعيب فربما باعه للناس

“Sesungguhnya semua minyak ini berasal dari satu tempat penyaringan. Najis yang ada bukan hanya ada di dalam satu wadah ini saja. Jika, aku kembalikan kepada si penjual karena alasan ada aibnya, barangkali saja dia akan menjualnya lagi kepada orang lain.” Kemudian beliau menumpahkan semuanya.

Hal itu terjadi di saat beliau mengalami kerugian besar sehingga dililit hutang. Ketika pemilik minyak itu menagih uangnya, beliau tidak dapat mengembalikannya. Maka, masalah itupun diadukan kepada penguasa di sana yang lalu memerintahkan agar memenjarakan beliau hingga mampu membayar hutang tersebut.

Ketika berada di penjara dan mendekam di situ beberapa lama, sipir penjaga penjara merasa kasihan terhadapnya karena mengetahui betapa kemapanan ilmu agamanya, kewara’annya (kehati-hatian dalam bertindak) yang amat berlebihan serta ibadahnya yang demikian panjang. Maka berkatalah sipir itu kepadanya,

أيها الشيخ ، إذا كان الليل فاذهب إلى أهلك وبت معهم …فإذا أصبحت فعد إلي …

واستمر على ذلك حتى يطلق سارحك .

“Wahai syaikh, bilamana sudah malam, silahkan engkau kembali ke keluargamu dan bermalamlah bersama mereka. Bila sudah pagi, maka kembalilah ke sini. Teruslah demikian hingga engkau dibebaskan.”

Beliau menjawab,

لا والله لا أفعل …

“Demi Allah, hal ini tidak akan pernah aku lakukan.”

 ولم ، هداك الله ؟

“Kenapa? Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu.” Tanya sipir

حتى لا أعاونك على خيانة ولي الأمر

“hingga aku tidak tolong-menolong dengan engkau dalam pengkhiatan terhadap penguasa negeri ini.”

Ketika sahabat Anas bin Malik RA., dekat ajalnya, dia berwasiat agar yang memandikan dan mengimami shalat atasnya adalah Muhammad bin Sirin yang saat itu masih di penjara.

Tatkala Anas wafat, orang-orang mendatangi penguasa itu dan memberitakannya perihal wasiat shahabat Rasulullah SAW., dan Khadim-nya tersebut, lalu mereka meminta izinnya agar membiarkan Muhammad bin Sirin ikuat bersama mereka untuk merealisasikan wasiat itu, maka sang penguasa pun mengizinkannya.

Lantas berkatalah Muhammad bin Sirin kepada mereka,

لا أخرج حتى تستأذنوا صاحب الدين ، فإنما حبست بما له علي من الحق …

“Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin kepada yang punya piutang (penjual minyak) sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya.”

Maka si tukang minyakpun mengizinkannya juga.

Ketika itulah, beliau keluar dari penjara, kemudian memandikan dan mengkafani Anas RA. Setelah itu, dia kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan tidak menjenguk keluarganya sendiri.

Maka penjual minyakpun mengizinkannya juga. Ketika itulah, beliau keluar dari penjara, kemudian memandikan dan mengkafani Anas RA. Setelah itu, dia kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan tidak menjenguk keluarganya sendiri.

Memang beliau kehilangan hartanya, memang beliau kehilangan kebebasannya, namun ada hal lain yang beliau dapat, yang tidak bisa diukur dengan harta sebanyak apapun, yakni derajat/posisi yang tinggi di sisi Allah swt. Bukankah banyak manusia yang hanya untuk mendapatkan posisi dihadapan manusia, dengan menjadi penguasa daerah, rela mengeluarkan hartanya hingga milyaran rupiah? Bukankah seharusnya untuk posisi di sisi Allah lebih layak lagi dia korbankan seluruh hartanya, harta yang pada hakikatnya adalah pemberian Allah juga? Inilah berkah yang hakiki, menjadikan semua pemberian Allah untuk mendekat kepada-Nya, bukan malah menjauh dari-Nya dengan melanggar aturannya hanya karena mengejar pemberian-Nya yang belum tentu Dia berikan.

Alangkah berkahnya bisnis Muhammad bin Sirin, alangkah berkahnya hidup beliau, jauh lebih berkah daripada orang yang hidup bebas bergelimang harta. Moda kita bisa meneladaninya. [M.Taufik NT].

Baca Juga:

Posted on 26 November 2015, in Khutbah Jum'at and tagged , . Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Jazakallah khair tad..

    Suka

Tinggalkan komentar