Menyoroti Konsep Relativisme Pemikiran

Oleh: M. Taufik N.T

Relativisme adalah konsep bahwa suatu pandangan tidaklah memiliki kebenaran mutlak, namun bernilai relatif (nisbi) dan subyektif menurut perbedaan persepsi dan pertimbangan. Perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya[1].

Di lingkungan pendidikan tinggi Islam, wacana ini sudah lama disebarkan. Mereka sering menyatakan, bahwa akal manusia bersifat relatif, sedangkan Tuhan itu bersifat mutlak atau absolut, sehingga tidak semua kebenaran Tuhan dapat dipahami oleh manusia. Akibat dari penyebaran paham ini sangat mengkhawatirkan, yaitu ketidakyakinan umat beragama, tidak hanya Islam, terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.

Seorang doktor dari universitas Islam Jakarta, dalam acara mengenang cak Nur, pernah menyampaikan di rektorat Unlam, bahwa orang –orang Yahudi dan Nasrani tidak termasuk orang-orang kafir. Mereka pun mendapatkan pahala atas amal saleh yang mereka kerjakan.

Banyak jargon-jargon indah yang disebarkan untuk mengemas paham relativisme kebenaran, sehingga tampak logis dan menarik, seperti ungkapan “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “kebenaran tuhan itu mutlak namun manusia tidak mampu untuk mencapai kebenaran tuhan tersebut maka manusia tidak berhak menghukum kesalahan manusia lainnya karena kebenaran manusia bersifat relatif” , dan sebagainya.

Sepintas, kata-kata itu terasa logis dan indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Padahal, paham ini sangat merusak Islam.

Berangkat dari paham relativisme ini, tidak ada lagi satu kebenaran mutlak dan tetap yang bisa diterapkan atas semua manusia. Dengan mudah aturan Islam yang dalilnya qath’iy (pasti) pun ditolak dengan alasan: “itu kan pemahaman manusia atas firman Allah, dan pemahaman manusia itu relatif”. Namun anehnya, disisi lain justru dipakai pemikiran manusia yang sama sekali terlepas dari wahyu, padahal ketika manusia dibiarkan mengatur kehidupan dengan akal dan nafsu mereka sendiri justru inilah yang akan menjadikan adanya pertentangan karena masing-masing pikiran mereka berbeda-beda dalam menentukan mana yang tepat, padahal wahyu Allah itu untuk memberikan keputusan atas perkara yang diperselisihkan. Allah SWT berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan (QS. Al Baqarah: 213).

Ketika aturan yang berdasar wahyu sudah bisa ditolak dengan alasan “itu kan pemahaman manusia yang relatif atas wahyu”, maka sebagai gantinya justru konsep manusia yang dipakai, akibatnya siapa yang kuat, berkuasa dan menguasai media lah yang pada hakikatnya membuat aturan, dan ini sama saja dengan perbudakan manusia oleh manusia yang lain, bahkan lebih buruk lagi. M. Iqbal, penyair Pakistan menyatakan: … Lack of conviction is worse than slavery (Hilangnya keyakinan dalam diri seseorang lebih buruk dari pada perbudakan)

Ada Yang Mutlak, Ada Yang Diperselisihkan

Memang benar, para ‘ulama, termasuk ahli tafsir al-Quran, bisa berbeda pandangan menyangkut penafsiran ayat-ayat yang memang zhanny al-dalâlah (penunjukan maknanya tidak pasti), tetapi pemahaman mereka untuk ayat-ayat tertentu, tidak berbeda, dan sampai pada tahap kepastian kebenaran.

Dalam hal ‘aqidah para mufassir tidak berbeda pendapat bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir, bahwa Allah adalah Esa (ahad), Allah tidak punya anak, dan tidak diperanakkan, bahwa siapa saja yang menolak menerima Islam sebagai agamanya maka mereka adalah orang kafir, baik mereka Yahudi, Nashrani ataupun penyembah berhala, bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir tidak akan masuk surga, bahwa surga dan neraka benar-benar ada, bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah bukan produk budaya, bahwa Isra dan Mi’raj adalah benar, dll.

Dalam bidang syari’ah, tidak ada perbedaan pemahaman tentang kewajiban menegakkan hukum Allah dalam kehidupan, salat lima waktu, zakat, haji, puasa Ramadhan. Begitu juga mereka tidak berbeda pendapat tentang keharaman riba, babi, zina, sodomi, judi, khamr dan sebagainya.

Pemahaman mufassir tentang hal-hal yang pokok dan mendasar dalam Islam semacam itu, tidak pernah berbeda, dan pasti kebenarannya, tidak tergantung kepada tempat atau konteks sosial-historis tertentu.

Merusak Generasi

Dalam catatan resume hari ke 7, seorang peserta Kursus gender dan seksualitas[2], setelah memaparkan bagaimana pandangan seorang professor doktor dari perguruan tinggi Islam yang mentolerir homoseksual, dia berkomentar: rasionalitas dari sebuah hukum “haram” adalah agar manusia tidak terjebak pada resiko yang tidak diinginkan. Misalnya dalil haram berbuat zina “la taqrabu zina”. Interpretasi saya terhadap ayat tersebut adalah dampak dari zina itu: diantaranya kehamilan tidak diinginkan, aborsi, penyakit menular dan lain sebagainya. Maka untuk menjaga umat manusia dari resiko yang tidak diinginkan tersebut, maka keluarlah dalil haram berzina. Bagi saya sendiri, sampai saat ini saya tidak melakukan ML(Making Love) adalah bukan karena alasan “dosa” akan tetapi lebih pada rasionalitas saya untuk mengantisipasi dari resiko ML itu sendiri. Berkaitan dengan homoseksual dia menulis: yang haram itu bukan prilaku homoseksual itu sendiri akan tetapi resiko dan dampak dari prilaku itu.

Bayangkan kalau pemikiran seperti ini berkembang pesat di sini, belum berkembang pesat pun sudah tercatat ada 148 kasus seks pranikah selama tahun 2011, mayoritas dilakukan siswi SMP. Infeksi saluran reproduksi sebanyak 30 kasus. Infeksi menular seksual (IMS) sebanyak 30 kasus, Kehamilan tidak diinginkan atau di luar nikah sebanyak 220 kasus. (Data Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin- Radar Banjarmasin, 3/10/2012).

Sumanto Al Qurthuby, dalam bukunya Jihad Melawan Ekstrimisme Agama mempertanyakan sebagian orang yang risih dengan pelacur. Karena, bagi Sumanto, seorang pelacur derajatnya sama dengan seorang pekerja. “Jika seorang dosen ‘menjual’ otaknya demi mendapatkan honor, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?” tanyanya sinis.

Apa jadinya juga generasi yang sudah suka mabok kalau mereka mendapatkan pembenaran akan halalnya khamr, sebagaimana biasa dilakukan guru besar yang pernah datang ke Indonesia, yakni Prof. Abdullah Ahmad An Na’im, Ph.D. “Teman saya, panitia acara itu, kecewa dengan sikap al-Na’im. Ketika jamuan malam di hotel tempat dia menginap, rupanya dia biasa minum bir. Teman saya itu betul-betul kaget dan kecewa, ” ujar Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis. (eramuslim, Rabu, 29 Agu 07)

Tidak Konsekuen

Ide relativisme pemikiran ini hanya angan-angan belaka, karena pada faktanya penganut ide ini juga menyalahkan orang-orang yang berseberangan pendapat dengan mereka. Sebagai contoh, Sandrina Malakiano Fatah, setelah berkerudung, ternyata tidak boleh siaran di Metro TV. Di tengah proses bernegosiasi dengan Metro TV, dia menemani suaminya untuk bertemu dengan Profesor William Liddle ”seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua ” kata dia, di sebuah lembaga nirlaba. Di sana dia juga bertemu dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam. Dia terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan dia berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan dia adalah, Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar.[3]

Mesti Dijauhi

Ketika seseorang menyatakan, bahwa semua pemikiran manusia itu relatif, maka ucapan atau tulisan orang itu sendiri pun merupakan hal yang relatif, dan tidak perlu dijadikan pedoman, karena tidak pasti kebenarannya. Dengan kata lain, jika seseorang sudah ragu-ragu dengan kebenaran ucapan atau pendapatnya sendiri, mengapa keraguan itu harus diikuti oleh orang lain. Rasulullah saw bersabda:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.

‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`I dari Hasan bin Ali r.a. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh]

Jika untuk hal-hal yang bersifat ‘amaliyah saja Rasulullah saw memerintahkan orang Muslim memilih yang tidak meragukan. Apalagi dalam masalah keyakinan. Tentu saja, hal yang yakin, kepastian(‘ilm) menjadi syarat keimanan, tidak boleh ada keraguan di dalamnya. Allahu A’lam. [disampaikan di Masjid Mujahidin Banjarmasin, pada 17 Nopember 2012]


[1] wikipedia.org, dengan judul relativisme (Indonesia), dan relativism (Inggris)

[2] http://positiverainbow.wordpress.com/gender-seksualitas-bangsa-dan-negara/gender-seksualitas-dan-islam/

[3] http://www.suara-islam.com/tabloid.php?tab_id=111

Baca Juga:

Posted on 27 November 2012, in Kritik Pemikiran, Makalah. Bookmark the permalink. 4 Komentar.

  1. salam alaik ust.. bagaimana jika ada yang mengatakan al-Qur’an perlu penafsiran, dan tidak ada satu pun orang dimuka bumi yang berani mengatakan tafsiran sayalah yang paling benar..penafsiran al-quran juga mengandung relatifitas. sebab siapa yang mengakui kebenaran tafsirnya berarti dalam kesombongan….mohon tanggapannya ust…terima kasih sudah silaturahmi..mohon maaf

    ==
    wa ‘alaikas salaam wa rahmatullaah…
    ada ayat alqur’an yang memang beragam penafsirannya, namun tidak sedikit yang tidak perlu penafsiran, seperti ayat bahwa Allah itu esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, juga keharaman daging babi, riba, berzina, mencuri,… terhadap ayat yang memang multi tafsir kita berupaya sebisa mungkin memakai penafsiran yang “menurut anggapan kita” paling tepat, walau mungkin masih ada peluang salah, sedangkan penafsiran selainnya kita anggap tidak tepat walau mungkin ada mengandung kebenaran. dalam hal ini (ayat yg multi tafsir), anggapan penafsiran yang kita pakai adalah “paling benar” (namun tanpa memutlakannya, sehingga yang berbeda tidak dihukumi sesat), sikap seperti ini kami memandangnya bukan termasuk kesombongan, bahkan dalam beramal kita dilarang untuk ragu (syak), misalnya dengan anggapan yang kita lakukan adalah penafsiran yg kurang tepat…. Allahu A’lam.

    Mungkin link berikut bisa di diskusikan:

    Memahami & Menyikapi Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)

    Metode Penetapan Aqidah

    Suka

  2. sepertinya ust Taufik mengatakan ayat yang sudah jelas maknanya sudah tidak perlu ditafsirkan….menurut saya, penafsiran bukan saja pada ayat yang mengandung ketidakjelasan, namun juga terhdap ayat yang jelas. maksudnya saya, kejelasan ayat itu memang dari segi bahasa, namun dari segi sejarah dan penerapannya, harus juga diperjelas, dalam konteks penerapannya mungkin ada opsi-opsi penafsiran.
    menurut antum, anggapan penafsiran “paling benar”, itu pun membutuhkan sebuah kerangka jelas, alat ukur kebenaran, baik teks maupun konteks…..bisa jadi teksnya dimaknai sama, tetapi ketikamenyinggung konteks akan terasa berbeda..lihat saja konteks Allah itu Esa, konteks pemaknaan Esa berbeda Ahl Sunnah, Syiah, dan Muktazilah,..
    Muktazilah tidak syak, Ahl Sunnah pun tidak sayk, syiah pun tidak syak….mereka semua meyakini penafsirannya masing-masing….mungkin kita harus berdiskusi, bukan hanya kebenaran tetapi apakah kebenaran seperti apa yang membawa kepada sebuah keyakinan……dan apakah ada tingkatan keyakinan……

    ==
    Komentar:
    Benar, tentang keesaan Allah itu pasti kebenarannya, dan disini tidak ada ikhtilaf kan? kalau ada itu ya seperti yang sampiyan contohkan itu juga benar, walaupun tidak berlaku untuk semua kasus. (misalnya tentang Allah tidak memiliki anak, tidak memiliki ibu dan bapak, adakah perbedaan penafsiran ulama kaum muslimin, baik dari sisi pokok maupun cabangnya?). Sebagaimana juga kewajiban shalat lima waktu itu tidak ada ikhtilaf walaupun memang kalau ditelisik dalamannya bagaimana caranya, apakah niat masuk rukun shalat atau tidak ya tentu ada ikhtilaf. Tentang standar penentu kebenaran, bisa dilihat bahasan “al haakim” dalam ushul fiqh, ini ada postingan sekilas: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/02/06/yang-berhak-menentukan-hukum-al-haakim/

    Suka

  3. Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya suatu perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:

    1. Dari aspek faktanya.

    2. Dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi’at manusia.

    3. Dari aspek pahala dan siksa, atau dari aspek pujian dan celaan….
    pertanyaannya adalah..sekiranya aspek syara (yang difahami) tidak berkesesuaian dengan realitas dan tabiat manusia…..antara wahyu dan akal…..bagaimana ust?

    ==
    Komentar: Contohnya bagaimana? secara umum fungsi akal kan hanya memahami fakta, memahami nash, dan menerapkan nash tersebut terhadap fakta.
    Contoh ekstrimnya: manusia faham bahwa babi itu adalah binatang tertentu, faham bahwa nash syara’ mengharamkan babi, faham pula bahwa babi itu mengundang selera makan sebagian orang, faham bahwa nilai ekonomisnya tinggi, mudah dipelihara, anaknya banyak, tidak susah memberi makan,… namun demikian walau bagaimanapun babi ya tetap haram, menyatakan babi itu halal (dalam kondisi tdk darurat) berarti bertentangan dengan Islam.
    Berbeda kalau misalnya ada orang yang “memahami nash” bahwa matahari mengelilingi bumi (ini hanya pemahaman mrk, krn tidak ada nash yang sharih menyebut demikian), terus ilmuwan “membuktikan” yang sebaliknya, maka dalam hal ini fakta tentunya lebih bisa dipegang dari sekedar pemahaman org tsb, walaupun kedua belah fihak tentunya tidak boleh menuduh yg lain sbg keluar dari Islam. Allahu A’lam.

    Suka

  4. kita harus memposisikan akal terlebih dahulu dengan wahyu sebelum mengacu kpd contoh (itu juga baik)…. wahyu tidak bisa bicara tanpa akal yang bisa menterjemahkannya dengan baik,…ibarat mentah yang digosok oleh tukang sehingga menjadi berkilap….mungkin ust….kiranya diskusi kita mengacu pada satu titik, yaitu posisi akal dengan wahyu…..akhirnya kalau sudah ketemu, maka persoalan interpretasi adalah sebuah aksidental dari diskusi akal dan wahyu,,……

    ==
    Komentar: ya. memang harus mulai dari pembahasan posisi akal dg wahyu. btw, contoh yang saya paparkan sebelumnya tentang babi dan bumi mengelilingi matahari bgm menurut pian?
    Mungkin agar ada kesamaan pembahasan, bisa diawali dengan definisi akal itu apa, silakan pian mulai dulu

    Suka

Tinggalkan komentar