Neo-Colonialism Mencengkeram NKRI

Oleh : M. Taufik N.T.

Pendahuluan

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia diluar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja dan pasar wilayah tersebut. Neokolonialisme merupakan kelanjutan dari dominasi dan eksploitasi dari negara yang sama dengan cara yang berbeda (dan sering kali dengan tujuan yang sama) [1]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, disebutkan bahwa neokolonialisme adalah kolonialisme (penjajahan) cara baru (misalnya penjajahan ekonomi, kebudayaan): bantuan negara asing yang terlalu mengikat akan menimbulkan bentuk neokolonialisme[2].

Setelah 66 tahun Indonesia ”merdeka”, cita-cita Bangsa Indonesia untuk mendirikan ”Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” cenderung semakin pupus. Dalam bidang politik, berbagai lembaga politik yang ada, bukannya menjadi penyangga tegaknya kedaulatan politik, justru menjadi pintu masuk intervensi asing, akibatnya, produk politik seperti peraturan perundang-undangan, yang seharusnya dibuat untuk melembagakan kedaulatan politik justru berubah menjadi sarana legalisasi, pengesahan, dan penghalalan neo-kolonialisme alias “penjajahan gaya baru”. Menurut anggota DPR Eva Kusuma, selama 12 tahun pasca reformasi, ada 76 undang-undang yang draftnya dari asing[3].

Dalam bidang ekonomi, kalau pada tahun 1957 Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, sekarang yang terjadi justru perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak di jual ke asing dengan memberikan istilah: privatisasi, penanaman modal asing, maupun pelepasan saham BUMN. Kalau pada awal 1965 Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB, IMF, dan Bank Dunia, sekarang justru sebaliknya. Tidak heran kalau kita melihat utang luar negeri Indonesia semakin meningkat, utang pada akhir pemerintahan Soekarno 2,17 miliar dollar AS, pada akhir pemerintahan Soeharto naik 25 kali lipat menjadi 54 miliar dollar AS, dan pada akhir 2010 lalu angka itu sudah membengkak lebih dari 50 kali lipat menjadi 116 miliar dollar AS[4]. Di sisi lain sumber daya alam Indonesia, baik tambang, pertanian, industri, bahkan air semakin dikuasai asing. Oleh sebab itu tidak aneh jika mantan Presiden BJ. Habibie pada peringatan hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 2011 di Gedung DPR/MPR menyatakan: ”Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus ”membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, ”VOC[5]” dengan baju baru

Ideologi Kapitalisme: Akar Penjajahan

Ideologi kapitalisme[6] tegak atas dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), atas dasar landasan berpikir ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Ideologi ini memandang bahwa tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah ”kemanfaatan”[7].

Dalam hal penyebarannya, metode yang dijalankan oleh negara-negara Kapitalis untuk mengimplementasikan ideologi ini adalah dengan penjajahan , yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi. Metode penjajahan ini bersifat tetap dan tidak berubah-ubah meskipun terjadi perubahan rezim-rezim kekuasaan dan pergantian undang-undang[8]. Ideologi semacam inilah yang kini tengah dan hendak terus disebarkan ke seluruh dunia, termasuk ke negeri-negeri Muslim. Tujuannya, jika orang telah mengikuti ideologi mereka, tentu dengan mudah ia bisa dikuasai. Pada akhirnya, segala kepentingan negara penjajah baik di bidang politik maupun ekonomi dengan mudah pula dapat diwujudkan.

Pada awalnya negara-negara pengemban ideologi Kapitalis ini melakukan penjajahan secara langsung dan terbuka. Caranya adalah dengan menduduki negeri-negeri jajahan mereka secara militer. Namun ketika situasi politik global tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk melanjutkan penjajahan secara militer, baik karena propaganda kaum sosialis ataupun karena kesadaran mereka bahwa penjajahan gaya lama itu tidak akan mendukung eksistensi Kapitalisme untuk jangka panjang. Karena itu, muncullah penjajahan gaya baru dari Kapitalisme.

Penjajahan gaya baru didasarkan pada hegemoni tak langsung di bidang ekonomi, politik dan budaya. Secara riil, penjajahan gaya baru terwujud dalam berbagai macam perjanjian, pakta militer, kesepakatan hidup berdampingan secara damai, bantuan ekonomi dan keuangan, serta kesepakatan kebudayaan. Tak ayal lagi, penjajahan gaya baru ini akhirnya menggantikan posisi penjajahan gaya lama, dengan memanfaatkan slogan-slogan ‘kemerdekaan’ dan ‘pembebasan’ sebagai kedok.

Nusantara Sebelum Tahun 1945

Masa Lama (tahun)
Majapahit (1293 – 1500) 207
Kesultanan Islam (1257 – 1700) 443
Portugis (1512–1850) 338
VOC (1602-1800) 198
Belanda (1800–1942) 142
Jepang (1942 – 1945) 3
Total kolonialisme (1512 – 1945) 433

Sejarah telah membuktikan bahwa sejak abad ke-13, yang membahayakan negeri ini bukanlah syari’ah Islam, akan tetapi yang membahayakan dan telah merusak bangsa ini adalah ideologi Kapitalisme yang telah menjadikan Portugis,VOC, Belanda dan Jepang benar-benar menjajah negeri ini secara fisik. Penjajahan akibat ideologi kapitalisme ini berlangsung sangat lama, totalnya selama 433 tahun.

Adapun pada masa syari’ah Islam diterapkan dalam kesultanan-kesultanan Islam yang berjumlah sekitar 48 kesultanan, tidak ada penjajahan walaupun melewati masa yang sangat panjang (totalnya 443 tahun, sejak tahun 1257 (kesultanan Ternate), sampai 1700 (Kesultanan Mataram))[9].

Pasca Tahun 1945; Neo-Kolonialisme Yang “Legal”

Fakta menunjukkan bahwa walaupun Indonesia sudah merdeka, asing masih mendominasi sektor-sektor strategis Indonesia, memang Belanda keluar dari Indonesia, namun kedudukannya digantikan oleh Amerika serikat dengan gaya yang berbeda. Menurut Ichsanuddin Noorsy, cengkeraman Amerika itu tampak ketika Amerika menjatuhkan Soekarno lima pekan setelah Soekarno menerbitkan UU yang menolak pinjaman dan investasi asing pada 23 Agustus 1965. Proklamator ini dijatuhkan dengan inflasi 600 persen yang dibuat CIA[10].

Melalui presiden Soeharto, investasi asing berjalan mulus dan pinjaman luar negeri dibuka. Pada tahun 1967, dalam pertemuan di Swiss antara wakil Indonesia dengan negara-negara asing dan korporasi raksasa, disepakati pengkaplingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia. Salah satunya Amerika melalui Freeport mendapatkan Papua Barat. Sebagai jalan untuk melegalisasi masuknya Freeport ke Papua, maka dilahirkanlah UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal. Tidak aneh kalau Presiden AS, Richard Nixon, pada tahun 1967 menyatakan bahwa Indonesia merupakan “hadiah terbesar (the greatest prize)” di wilayah Asia Tenggara[11].

Sejak reformasi, yang ditandai dengan amandemen UUD 1945, terbuka lebar pintu masuk liberalisasi secara konstitusional dalam segala bidang. Banyak undang-undang yang dibuat karena intervensi atau pesanan asing. Menurut anggota DPR, Eva Kusuma, selama 12 tahun pasca reformasi ada 76 undang-undang yang draftnya dari asing[12]. Disamping itu, tercatat 1800 perda dihapus untuk memuluskan neo-kolonialisme dengan mengatasnamakan investasi[13].

Dalam bidang migas, lahir UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), UU ini semakin membuka kran liberalisasi migas. Pertamina dikebiri, dan perusahaan asing diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengeruk ladang migas Indonesia. Menurut Dr. Kurtubi ”ini merupakan bentuk dari kelanjutan konsensus di zaman penjajahan”[14] .

Selanjutnya muncul UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dimana investor asing diundang untuk menguasai sumber daya air Indonesia, tidak hanya itu, kemudian keluarnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM), UU ini menyelamatkan kontrak perusahaan-perusahaan asing yang sudah memasuki akhir kontrak, sehingga diperpanjang sampai +190 tahun khususnya di bidang pertambangan. Begitu juga dengan Undang-Undang No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menggantikan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, melengkapi lepasnya peran pemerintah dari segala hal mengenai pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan kepada para pemilik modal/swasta nasional maupun asing.

Produk Undang- Undang tersebut intinya bertujuan: (1) memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta (dalam ataupun luar negeri), dimana pihak yang mempunyai modal besar mayoritas pihak asing, untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Akibatnya kekayaan tambang khususnya minyak dan gas bumi dalam negeri 90% sudah dikuasai asing[15].

Undang-undang semisal ini juga dikeluarkan berkaitan dengan Ketenagalistrikan (UU No. 30 Tahun 2009[16]), Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009), Perbankan (UU perbankan No. 10 Tahun 1998), dll. Hasil dari semua UU tersebut adalah dikuasainya Indonesia oleh asing hampir pada semua sektor kehidupan, semua itu mereka dapatkan tanpa harus ikut susah payah membangun negeri ini, tanpa harus mengerahkan militer untuk menjaga kepentingan mereka sebagaimana penjajahan fisik dahulu, tanpa harus membangun infrastruktur seperti Belanda, bahkan negeri ini yang menyiapkan segala keperluan mereka, menjaga mereka dan melayaninya.

Dengan berbekal UU tersebut, pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Pemerintah tahun 2008 melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono saat itu mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN. Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan. Subsidi dicabut; bagian dari agenda penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara bertahap subsidi BBM yang telah dan akan dilakukan. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dll. SDA Indonesia dikangkangi asing; di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% [17]. Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Asing juga menguasai 50, 6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Dari semua itu, utang luar negeri semakin membengkak, hingga April 2011 mencapai Rp 1. 697, 44 triliun[18].

Inilah sebenarnya buah dari demokrasi liberal, demokrasi yang mahal mengharuskan para penguasa dan politikus mencari uang dengan cepat, cara paling mudah dan cepat adalah berkolusi dengan pihak asing.

Islam: Jalan Keluar dari Neo-Colonialism

Tidak ada jalan keluar yang tuntas dari neo-colonialism selain harus mencabutnya sampai ke akar-akarnya, yakni ideologi kapitalisme yang dipaksakan merasuki benak bangsa ini. Kapitalisme telah terbukti selama 433 tahun menyengsarakan bangsa ini, bahkan umat manusia yang lain. Kapitalisme juga telah terbukti menjarah kekayaan negeri ini walaupun secara fisik pembawanya telah pergi. Kapitalisme menghasilkan 100 juta jiwa[19] penduduk Indonesia yg miskin, sedangkan LIPI memperkirakan jumlah penduduk miskin 200 juta jiwa[20].

Adapun Islam, misi utama penyebarannya adalah sebagaimana yang diungkapkan Ruba’i bin ‘Amir saat Rustum, pemimpin pasukan Persia bertanya: ”Apa maksud kedatangan kalian?”. Dengan lantang Ruba’i menjawab: “Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia kepada penghambaan kepada Allah semata. Dari belenggu dunia yang sempit kepada akhirat yang luas. Dari agama yang sesat kepada keadilan Islam”.

Indonesia akan benar-benar merdeka jika mau memakai syari’ah Islam secara totalitas, hal ini karena Allah SWT, Dzat yang membuat syari’ah, tidak memiliki kepentingan apapun terhadap manusia, sangat berbeda jika aturan yang dipakai dibuat oleh manusia yang sarat dengan kepentingan.

Di bidang ekonomi, Islam memberi yang didasari oleh hukum-hukum syara’ berkaitan dengan: 1) kepemilikan harta, 2) pengelolaan harta, dan 3) distribusi kekayaan[21]. Dalam aturan Islam, harta kepemilikan umum haram dikuasai swasta baik swasta dalam negeri apalagi swasta asing[22]. Islam juga membuat mekanisme bagaimana menjamin kesejahteraan tiap individu rakyat, diantaranya dengan:

1) Mewajibkan dan memberikan dorongan spiritual kepada laki-laki agar bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan tanggungannya.

2) Mewajibkan kepada sanak kerabat yg hidupnya sudah melebihi standar untuk menanggung saudaranya yang tidak mampu, bahkan tetangga juga punya kewajiban terhadap tetangganya.

3) Melarang setiap hal yang dapat menimbulkan kekacauan ekonomi, seperti riba, judi, ihtikar (menimbun), mengemis, dll.

4) Mewajibkan Negara untuk memelihara urusan rakyat dg ancaman yg berat bagi yang melalaikannya, diantaranya dengan:

a. memberikan pendidikan kepada rakyat, dan mendorong mereka untuk giat bekerja.

b. menciptakan lapangan kerja & menyuruh rakyatnya untuk bekerja.

c. menanggung kebutuhan pokok rakyatnya saat rakyat tersebut sudah tidak mampu bekerja, dan kerabatnya juga hidupnya tidak melebihi standard.

d. menjaga harta kaum muslimin dan menyerahkan pada yg berhak.

Kisah khalifah Umar bin Abdul Azis tercatat dalam tinta sejarah bahwa beliau dikenal sebagai khalifah yang sukses mensejahterakan rakyatnya, Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan bahwa Yahya bin Sa’ad, seorang petugas zakat masa itu berkata: saya pernah diutus Khalifah Umar bin Abdul Azis untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorangpun.

Dalam Sistem Politik, Hukum dan Pemerintahan dalam Islam melahirkan orang-orang yang amanah dan bekerja karena ketaatan kepada Allah Swt, kalau mereka melanggar hukum syara’ maka sanksi tegas tanpa pandang bulu diterapkan kepada semua warga Negara.

Imam Bukhori meriwayatkan bahwa seorang perempuan telah mencuri pada masa Rasulullah SAW setelah futuh Makkah. Kemudian kaumnya minta tolong kepada Usamah ibn Zaid. Urwah (periwayat hadits ini) berkata: ketika Usamah mengatakan hal ini berubahlah wajah Rasulullah SAW (pertanda bangkit emosinya), Beliau pun bersabda: apakah kamu akan mengatakan(mengajakku kompromi) dalam satu hukum di antara hukum-hukum Allah?. Usamah berkata: Mohonkan ampun untukku wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah SAW berpaling lalu berdiri dan berkhutbah dengan memuji Allah kemudian bersabda: Amma Ba’du, sesungguhnya hancurnya manusia (umat) sebelum kalian karena apabila ada yang mencuri dari kalangan bangsawan mereka, mereka membiarkannya, dan apabila yang mencuri dari kalangan lemah, mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi dzat yang diri Muhammad di tangan-Nya seandainya Fathimah anaknya Muhammad mencuri pasti aku potong tangannya.

Jalan meraih kedudukan politik dalam Islam tidak perlu menguras harta yang banyak , sehingga motivasi untuk korupsi karena ingin ”balik modal” bisa dicegah. Dengan jalan seperti ini seorang Kepala Negara dapat melaksanakan politik secara menyeluruh, negara dapat melakukan perombakan besar-besaran terhadap pejabat yang dinilai korup. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal pemerintahannya melakukan pembersihan kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkungan pemerintahan, kepada istrinya Khalifah Umar mengatakan ”pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untul selamanya”[23]. Birokrasi yang demikian memudahkan seseorang menunjukkan jati diri keimanannya dalam aktivitas sehari-hari. Begitu juga larangan Islam tentang suap, larangan pejabat menerima ”hadiah”, hingga penerapan hukum yang tegas yang dijatuhkan kepada pelaku koruptor.

Walhasil, kehancuran ekonomi, politik, hukum, pemerintahan, budaya materialistik yang terjadi sekarang sebenarnya sangat jelas akar masalahnya yaitu sistem Kapitalisme-Sekuler. Islam tidak ada andil dalam meliberalkan sistem ekonomi, mensekulerkan sistem politik, hukum dan pemerintahan. Islam bukan merupakan bahaya bagi Indonesia, justru Islam menawarkan solusi dan perbaikan kearah Indonesia yang lebih baik yaitu dengan penerapan syari’ah dalam sistem Khilafah yang menerapkan Islam secara totalitas. Tidak ada catatan sejarah bahwa penerapan Islam telah menyengsarakan manusia, justru sebaliknya, menolak syari’ahlah yang menjadikan negeri ini terjajah.

Pernyataan kepala BNPT Ansyad Mbai yang mengatakan “Dulu, kalau ada orang yang ingin bicara suatu ideologi selain Pancasila, langsung ditangkap. Apalagi ingin mendirikan negara Islam seperti para teroris itu” [24]. Terkait pernyataan di atas, mantan Presiden BJ Habibie memandang Pancasila pada masa Orde Baru telah menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan kelompok yang tak sepaham dengan pemerintah. Menurut Habibie, pada masa Orde Baru Pancasila menjadi alat sistem politik yang represif[25].

Bagi orang yang mau merenung sedikit saja, akan mudah melihat bahwa sejatinya yang membahayakan Indonesia bukalah ideologi Islam melainkan ideologi Kapitalisme-Sekuler yang diterapkan di negeri ini. Tidak ada sejarahnya syari’ah menyengsarakan negeri ini walaupun diterapkan selama lebih dari 400 tahun, yang terbukti menjajah justru kapitalisme yang dibawa Portugis, Belanda dan Jepang yang terbukti menjajah negeri ini selama 433 tahun, dilanjutkan dengan penjajahan gaya baru setelah Indonesia merdeka.

Indonesia akan benar-benar merdeka bila melepaskan diri dari penghambaan kepada Undang-Undang yg dipenuhi hawa nafsu dan kepentingan, tidak menghamba pada partai, Persatuan Bangsa-Bangsa atau negara manapun. Kemerdekaan hakiki hanya tercapai kalau menghamba kepada Yang Maha Perkasa, yakni Allah SWT, penghambaan yang terwujud dengan ketaatan mutlak kepada-Nya, dengan menerapkan seluruh syari’ah-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Dengan hal ini sajalah Indonesia akan selamat, jika berpaling, atau memilih-milih diantara aturan-Nya, maka akan membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kesengsaraan. Sungguh kapitalisme, para penyerunya, dan orang-orang yang menghalangi tegaknya syari’ah Islam itulah yang membahayakan Indonesia, sekaligus semakin mengokohkan penjajahan atas negeri ini. Rasulullah bersabda:

… وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah no. 4009 dengan sanad Hasan)


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme, diakses 15 Juli 2011

[2] KBBI Offline Versi 1.1

[3] Tempointeraktif.com, 20/8/2010

[4] http://cetak.kompas.com/read/2011/06/03/04174268/selamatkan.ekonomi.indonesia, diakses 15 Juli 2011

[5] Verenigte Oostindische Companie, perusahaan dagang Belanda di Nusantara selama sekitar 198 tahun.

[6] Kapitalisme sebenarnya lebih cocok digunakan untuk menyebut sistem ekonomi ideologi yg asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) ini, namun karena yang paling menonjol dalam ideologi ini adalah aspek ekonominya, maka sering disebut sebagai ideologi kapitalisme.

[7] An Nabhani, Nidzomul Islam hal. 26 dst.

[8] An Nabhani, Mafâhim Siyasiyyah, hal. 9

[9]Sumber data: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara, diakses 15 Juli 2011

[10] Media umat, edisi 61/17 Juni-7 Juli 2011

[11] David Ransom, Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, 2006

[12] Tempointeraktif.com, 20/8/2010

[13] http://www.jurnal-ekonomi.org/2010/04/23/demi-investasi-1800-perda-dihapus

[14] media umat, idem

[15] sinarharapan.co.id 13/6/08

[16] Merupakan ‘reinkarnasi’ dari UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Tarli Nugroho, Peneliti Mubyarto Institute menilai bahwa UU Ketenagalistrikan ini telah mengkhianati konstitusi UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara menguasai cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak”.

[17] Sumber data: Dirjen Migas, 2009

[18] http://www.hizbut-tahrir.co.id

[19] Sumber BPS dan Kompas.akhir 2010.

[20] Media Ummat, Hidup “wah”rakyat. Edisi 40, 4-24 Sya’ban 1431/16 Juli-5 Agustus 2010

[21] Pembahasan lebih lengkap di: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/06/19/asas-asas-sistem-ekonomi-islam/

[22] Pembahasan lebih lengkap di: https://mtaufiknt.wordpress.com/2011/03/26/ketaqwaan-dalam-mengelola-kepemilikan-umum/

[23] As Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm 274

[24] Vivanews.com, 13/6/2011

[25] Hidayatullah.com, 2/6/2011

Posted on 16 Juli 2011, in Makalah, Politik, Syari'ah. Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. bagus tulisannya…izin posting ke blog saya ya??

    Suka

Tinggalkan komentar