Hukum Islam Seputar Tanah (2) : Hak Pengelolaan Tanah

Hukum-hukum tentang hak pengelolaan tanah terkait erat dengan status tanah tersebut apakah statusnya tanah kharajiyah atau ‘usyriyah. Namun perlu diketahui ada perbedaan antara kepemilikan lahan dari segi zat tanah itu sendiri dengan kepemilikan dari segi manfaat atau kegunaan tanah tersebut. Dari segi kugunaannya maka tanah –baik statusnya kharajiyah maupun ‘usyriyah—maka ia merupakan dari hak milik individu (kepemilikan individu) jika ia diperoleh sebab-sebab kepemilikan individu seperti karena ia menghidupkan tanah mati, pemberian cuma-cuma oleh negara, karena membelinya ataupun karena mendapatkan hadiah serta lain sebagainya.

Kepemilikan dari segi manfaat (kegunaan) tanah tersebut telah memberikan hak-hak kepada pemiliknya untuk memanfaatkan secara langsung atau menjualnya, menghibahkan serta mewariskannya. Hal ini dapat dipahami karena negara dapat saja memberikan tanah yang dimilikinya –baik statusnya kharajiyah maupun ‘usyriyah— kepada individu. Hanya bedanya kalau yang diberikan tersebut adalah tanah kharajiyah, berarti yang dimiliki oleh individu tersebut hanya kegunaannya, sedangkan zat lahannya tetap menajdi milik baitul mal. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah ‘usyriyah, maka yang dimiliki adalah lahan sekaligus kegunaannya.

Perbedaan lain antara tanah kharajiyah dan tanah ‘usyriyah adalah dari segi penentuan kharaj dan ’usyur. Perbedaan antara ‘usyur dan kharaj adalah, bahwa ‘usyur itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah pertanian. Besarnya ‘usyur adalah 1/10 dari hasil panen bersih jika tanamannya diairi dengan air tadah hujan dan pengairan alami dan 1/20 dari hasil panen bersih apabila tanamannya diairi oleh orang atau yang lain dengan pengairan teknis (buatan). Iman Muslim meriwayatkan dari jabir yang mengatakan : Nabi saw bersabda :

“(Tanaman) apa saja yang diairi oleh sungai dan hujan (harus diambil) 1/10 (dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil panennya).”

‘Usyur ini statusnya adalah sebagai zakat dan diserahkan kepada biatul mal. Harta zakat ini tidak dibagikan kecuali kepada delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan dalam ayat :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para ‘amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk fi sabilillah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)

Berkaitan dengan jenis tanaman pertanian yang wajib dikenakan ‘usyur juga telah ditetapkan bahwa tidak semua jenis tanaman yang dikenakan zakatnya. Adapun tanaman yang dikenakan zakatnya jika panen adalah syair (gandum), hinthah (sorgum), zabib (anggur) dan tamar (kurma). Hal ini dapat dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Al-Baihaqi dan At-Thabrani dari Abu Musa dan Mu’adz ketika Nabi saw mengutus mereka berdua ke Yaman, agar mereka berdua mengajari penduduk di sana tentang masalah agama mereka. Di mana Rasulullah saw bersabda :

“Janganlah kalian mengambil shadaqah (zakat) selain dari empat jenis (buah-buahan) yaitu : Sya’ir, hinthah, zabib dan tamr.”

Adapun pengertian kharaj adalah harta yang diambil oleh negara dari pemilik tanah kharajiyah dengan kadar (jumlah) yang telah ditentukan besarnya oleh negara sesuai dengan perkiraan produktivitas lahan tersebut. Besarnya harta kharaj ditentukan besarnya berdasarkan perkiraan kandungan tanah pertanian, sehingga pemilik tanah setempat tidak merasa terzalimi. Kharaj dipungut dari pemiliknya setahun sekali, baik tanah tersebut ditanami atau tidak ditanami juga tanpa melihat tanah tersebut subur atau tidak. Telah diriwayatkan sebuah hadits dari Amru bin Maimun dan Haritsah bin Mudhrib :

“Umar bin Khaththab r.a. pernah mengutus Utsman bin Hanif ke Sawad, dan memerintahkan agar memungut (kharaj atas) tanah tersebut. Umar menetapkan untuk setiap satu jarib (sekitar 1366 m2), baik ditempati ataupun ditanami termasuk bisa disamakan dengannya (kharajnya) adalah sebesar satu dirham dan satu qafiz (26,112 kg gandum).” (Lihat Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj)

Al-Hajjaj bin Artho’ah menceritakan dari Amru bin Auf :

Bahwa Umar bin Khaththab r.a. pernah memungut (kharaj) tanah Sawad, selain gunung Halwan. Lallu dia menetapkan untuk setiap jarib, baik yang ditempati ataupun yang ditanami, yang mendapatkan air dengan timba ataupun dengan yang lain, yang ditanami atau yang dibiarkan, sebesar satu dirham atau satu qafiz.” (Lihat Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharaj)

Kharaj yang telah dipungut tersebut ditempatkan di baitul mal dan dimasukkan pada kas selain zakat. Harta dari kharaj inipun dikeluarkan oleh negara dan dapat didistribusikan segala macam pos pengeluaran sesuai dengan kebijakan negara. Harta kharaj ini statusnya sama dengan harta milik negara yang lainnya.

Tanah yang telah ditaklukan dengan cara peperangan tanpa perdamaian dan telah diambil kharaj-nya, maka kharaj tersebut tetap sepanjang masa. Apabila penghinu tanah tersebut memeluk Islam atau menjualnya kepada orang Islam, maka kharaj-nya tetap tidak akan gugur. Karena sifat tanah tersebut sebagai tanah taklukan akan tetap sampai kapanpun. Selain membayar kharaj mereka juga wajib membayar ‘usyur . Sebab berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang ada maka kharaj adalah kewajiban atas tanah sedangkan ‘usyur adalah kewajiban atas pengelola tanah yang Muslim. Dan tidak ada pertentangan antara keduanya sebab keduanya sma-sama wajib karean adanya dua sebab yang berbeda. Sementara apa yang dijadikan argumentasi oleh mazhab Imam Abu Hanifah, bahwa antara ‘usyur dan kharaj tidak bisa bersama-sama adalah kurang tetap. Mereka menyandarkan pendapat ini pada apa yang mereka sebut ‘Hadits’ dimana Nabi saw bersabda :

“Tidak akan pernah bertemu antara ‘usyur dengan kharaj dalam satu tanah seorang Muslim.”

Padahal apa yang mereka anggap sebagai hadits tersebut pada kenyataannya dalah bukan hadits, sebab tidak ada satu orangpun ahli haditspun yang menetapkan bahwa pernyataan di atas sebagai hadits yang berasal dari Rasulullah saw.

Oleh karenanya dapat saja kharaj dan ‘usyur dipungut bersamaan dari tanah milik seorang Muslim (kepada non-Muslim tidak dikenakan zakat). Namun yang perlu diingat adalah yang harus dikeluarkan terlebih dahulu adalah kharaj-nya. Dan jika hartanya masih cukup untuk membayar zakat tanaman dan buah-buahan, yakni telah mencapai nishab-nya maka zakat (‘usyur) tersebut harus dikeluarkan. Namun jika sisa hartanya tidak mencapai nishab maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya (‘usyur).

Sumber : An Nidzomul Iqtishody Fil Islam, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dan berbagai sumber lain

baca Juga:

Posted on 14 Oktober 2010, in Ekonomi, Fiqh, Syari'ah and tagged . Bookmark the permalink. 3 Komentar.

  1. bagaimana hukumnya jika seseorang membuat pagar rumahnya melebihi batas tanahnya, misalnya karena mobilnya nggak bisa masuk total ke halaman, orang itu memajukan pagarnya sampai diatas got rumahnya, terima kasih, wassalam

    ===
    kalau memakai tanah orang lain, maka perlu ijin orang tersebut, Adapun memakai hak umum, maka dia berhak memakai, namun tidak boleh mengganggu masyarakat umum lainnya, sehingga dia tidak boleh memagari got. kalau sekedar parkir dan ekor mobilnya nongol disitu insya Allah tdk mengapa, namun ketika ada orang mau lewat terhalangi, maka dia harus mindah mobilnya. Allahu A’lam.

    Suka

  2. assalammualaikum. menyambung pertanyaan di atas, memang untuk memasang pagar di atas got melebihi tanahnya dlm hal ini tanah umum apa memang tidak boleh meskipun pagar tersebut tidak sampai mengganggu kepentingan umum. apa termasuk mengambil hak orang lain, terima kasih. wassalam

    Suka

    • Ya, masalahnya bukan apakah mengganggu orang lain atau tdk, namun masalahnya adalah fasilitas umum itu tidak boleh kita pagari shg orang lain tdk bisa memakainya krn telah kita kuasai. Memagari fasilitas umum itu hanya wewenang negara dan untuk kepentingan umat, bukan kepentingan pribadi, misalnya khalifah memegari padang rumput tertentu untuk menggembalakan ternak hasil zakat atau kuda perang, dll. Allahu A’lam.

      Suka

Tinggalkan komentar