Beberapa Pemahaman Seputar Perubahan Yang Mesti Diubah (Bagian Kedua)

Oleh : M. Taufik N.T

3. Pemahaman Yang Keliru Tentang Hadits:

لا ينبغي للمؤمن أن يذل نفسه قالوا : يا رسول الله و كيف يذل نفسه قال يتعرض من البلاء لما لا يطيق

“Tidaklah patut seorang mukmin itu menghinakan dirinya”. Para shahabat bertanya: ‘Bagaimana dia menghinakan dirinya?’ Rasulullah saw menjawab: “Menerjunkan diri pada ujian yang dia tidak mampu menghadapinya”. (Sunan Ibnu Majah (no. 4006), Sunan At Tirmidzi (no. 2180), Musnad Imam Ahmad (no 22347), Ath Thabraniy, dan Al Baihaqi dari Hudzaifah, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits Hasan-gharib)

Ada yang menganggap hadits ini menjadi dalil bahwa tidak perlu melakukan aktivitas dakwah yang penuh dengan kesulitan dan bahaya, apalagi kalau mengancam keselamatan dirinya. Lebih jauh, mereka mengambil hadits ini sebagai rukhshah (keringanan syara’) untuk meninggalkan sebagian kewajiban dan mengerjakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan –demi menjauhkan diri, agar tidak terlibat dalam permasalahan yang penuh resiko– misalnya, perjuangan politik untuk menegakkan syariah & khilafah, maka menurut perkiraan mereka perjuangan ini akan membawa pelakunya kepada ancaman para penguasa; mulai dari penjara, dipecat dari pekerjaan, sampai penyiksaan secara fisik.

Seharusnya, ketika membaca hadits ini, hendaknya juga dibaca  hadits-hadits lain sehingga saat mengambil kesimpulan, maka kesimpulan tersebut bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya menurut Islam. Sebagai contoh dalam riwayat dari Abu Sa’id r.a, Rasulullah saw. bersabda:

لَا يَحْقِرْ أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَحْقِرُ أَحَدُنَا نَفْسَهُ قَالَ يَرَى أَمْرًا لِلَّهِ عَلَيْهِ فِيهِ مَقَالٌ ثُمَّ لَا يَقُولُ فِيهِ فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَقُولَ فِي كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ خَشْيَةُ النَّاسِ فَيَقُولُ فَإِيَّايَ كُنْتَ أَحَقَّ أَنْ تَخْشَى

“Janganlah salah seorang mencela dirinya sendiri.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencela dirinya sendiri?” Beliau menjawab: “Dia melihat perkara Allah diperbincangkan, lalu dia tidak mengatakan (pembelaan) kepadanya, maka Allah ‘azza wajalla akan berkata kepadanya kelak di hari Kiamat; ‘Apa yang mencegahmu untuk mengatakan begini dan begini! ‘ lalu ia menjawab, ‘Saya takut terhadap manusia’. Maka Allah pun berfirman: ‘Aku lebih berhak untuk kamu takuti’.” (Sunan Ibnu Majah  no. 3998, berkata Al Bushiri dalam Zawa’id (3/242): hadist ini sanadnya shahih)

Oleh karena itu, ungkapan Rasulullah saw. pada ujung hadits pertama : يتعرض من البلاء لما لا يطيق (“Menerjunkan diri pada ujian yang dia tidak mampu menghadapinya”) haruslah difahami secara syar’i untuk menentukan apa sebenarnya batas kemampuan, dan tindakan apa yang dianggap oleh syara’ “di luar kemampuan”.

Adapun hal-hal yang di luar kemampuan manusia, itu memang  tidak diwajibkan syara’ atasnya. Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat Al Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani (sesuatu) pada seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya”.

Oleh karena itu, tidak boleh membiarkan setiap individu menentukan sendiri batas kemampuan atau batas kesanggupan sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Tetapi yang menentukannya adalah syara’ semata. Untuk pemahaman yang lebih lanjut, marilah kita menelaah kembali tafsir ayat 106 dari surat An Nahl yang berbunyi:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

“Siapa saja yang kufur kepada Allah setelah ia beriman, kecuali seseorang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap teguh dengan iman”.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan:

أخذ المشركون عمار بن ياسر فعذبوه حتى قاربهم في بعض ما أرادوا، فشكا ذلك إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “كيف تجد قلبك؟” قال: مطمئنا بالإيمان قال النبي صلى الله عليه وسلم: “إن عادوا فعد”

“Orang-orang Musyrik Quraisy menangkap ‘Ammar bin Yasir, lalu mereka menyiksanya sampai ia hampir-hampir menuruti sebagian keinginan mereka. Kemudian ia adukan hal tersebut kepada Nabi saw. “Bagaimana kau mendapati hatimu?”, tanya beliau. “Tetap teguh dengan Iman”, jawabnya. Lalu Rasulullah bersabda: “Kalau mereka mengulangi lagi perbuatannya, maka ulangilah sikapmu itu”. [Tafsir Ibnu Katsir, Juga Tafsir Ath Thabari (14/122), juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Ash Shughro (2/458), juga Al Hakim dalam al Mustadrok, dia katakan shahih menurut syarat Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahaby, Abu Nu’aim juga meriwayatkannya dalam Hilyatul Auliya (4/322)]

Ibnu Katsir kemudian menambahkan:

ولهذا اتفق العلماء على أنه يجوز أن يُوَالى المكرَه على الكفر، إبقاءً لمهجته، ويجوز له أن يستقتل، كما كان بلال رضي الله عنه يأبى عليهم ذلك وهم يفعلون به الأفاعيل، حتى أنهم ليضعون الصخرة العظيمة على صدره في شدَّة الحر، ويأمرونه أن يشرك بالله فيأبى عليهم وهو يقول: أحَد، أحَد. ويقول: والله لو أعلم كلمة هي  أغيظ لكم منها لقلتها، رضي الله عنه وأرضاه

وكذلك حبيب بن زيد الأنصاري لما قال له مسيلمة الكذاب: أتشهد أن محمدًا رسول الله؟ فيقول: نعم. فيقول: أتشهد أني رسول الله؟ فيقول: لا أسمع. فلم يزل يقطعه إرْبًا إرْبًا وهو ثابت على ذلك

“Oleh karena itu, para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang dipaksa kufur, dibolehkan baginya menuruti keinginan pihak yang memaksanya, demi keselamatannya. Boleh juga ia menolak, seperti yang dilakukan Bilal r.a, yang menolak mengucapkan kata-kata kufur, walaupun mereka melakukan berbagai penyiksaan terhadapnya, hingga mereka meletakkan batu besar di atas dadanya ditengah terik matahari seraya memerintahkan Bilal supaya menyekutukan Allah, maka Bilal menolak permintaan mereka, Bilal hanya mengucapkan “Ahad, ahad” berkali-kali, sambil mengatakan: “Demi Allah, kalau aku tahu ada satu kata lain, yang akan menyebabkan kalian lebih marah, tentulah akan aku katakan!” radliallahu ‘anhu wa ardlâhu (Allah meridloi Bilal, dan Bilal ridlo (atas ketetapan) Allah).

Demikian juga yang dilakukan oleh Habib bin Zaid Al Anshari terhadap pertanyaan Musailamah Al Kadzdzâb kepadanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?” “Ya, benar”, jawabnya. Kemudian Musailamah bertanya lagi: “Apakah engkau juga bersaksi bahwa aku ini Rasulullah? Dia menjawab: “Itu tidak pernah kudengar”. Lalu Musailamah menyiksanya dengan cara memotong-motong tubuhnya hidup-hidup (dicincang), sedangkan Habib bin Zaid tetap teguh dengan sikapnya itu.

Ibnu Katsir menambahkan:

والأفضل والأولى أن يثبت المسلم على دينه، ولو أفضى إلى قتله، كما قال الحافظ ابن عساكر، في ترجمة عبد الله بن حُذَافة السهمي أحد الصحابة

“Lebih utama dan lebih baik bagi seorang Muslim tetap teguh memegang agamanya, sekalipun akhirnya ia dibunuh, seperti yang dikatakan juga oleh Al Hafidz Ibnu ‘Asakir dalam menulis catatan biografi Abdullah Ibn Hudzafah As Sahmi salah seorang shahabat…”.

Bertolak dari penjelasan tersebut di atas, maka seorang Muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau melakukan perbuatan haram/maksiat, kecuali apabila dihadapkan kepada suatu cobaan yang sungguh-sungguh tidak sanggup ditanggungnya. Batas kemampuan dan kesanggupan itu adalah apa yang disebut oleh syari’at Islam dengan istilah “Al Ikraahul Mulji'”, yaitu paksaan yang mendorong seorang muslim untuk melanggar ketentuan hukum syara’, yang ia benar-benar disiksa/disakiti. Atau, ia mengira dengan pasti bahwa ia akan disiksa dengan siksaan yang sangat mengkhawatirkan kematiannya atau menyebabkan kelumpuhan, misalnya patah tulang-tulangnya, tubuhnya dicincang dan sebagainya. Siksaan semacam itu yang dapat menimpa seseorang akan memberinya rukhshah  untuk mengerjakan sebagian perbuatan haram/maksiat dan bukan setiap perbuatan maksiat yang diharamkan. Itupun dengan syarat: tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan haram lainnya yang lebih besar atau yang serupa dengannya. Misalnya, ia dipaksa menjadi mata-mata, disuruh membunuh orang, atau melakukan homoseks dengan nara pidana dan lain lain.

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau mengerjakan hal-hal yang haram, hanya karena rasa takut dihina, dipenjara, atau setelah disiksa dengan siksaan yang ringan, atau karena ingin mempertahankan pekerjaannya, menyelamatkan hartanya, dan sebagainya. Sebab, semua ini masih termasuk dalam batas kemampuan manusia dan bukan di luar kemampuannya. Juga, hal seperti itu belum sampai kepada batas “al Ikraahul Mulji'”, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Kalau saja setiap masalah yang memberatkan diri seorang Muslim terdapat rukhshah baginya untuk meninggalkan semua fardlu /kewajiban dan mengerjakan perbuatan-perbuatan haram /maksiat, tentulah Islam tidak dapat tegak di bumi ini. Bahkan, tidak akan pernah muncul suatu umat yang berjuang secara terus menerus.

Marilah bercermin dengan sejarah kaum Muslimin yang memperjuangkan Islam dengan susah payah di masa Rasulallah saw, sebagaimana yang diceritakan Al Qurân sendiri, yaitu:

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ

“Sesungguhnya Allah berkenan menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi (dalam perang Tabuk), di saat (mereka) menghadapi kesusahan” (QS At Taubah 117).

Tentang kejadian ini, Imam Ibnu Katsir berkata: “Mereka telah keluar ke perbatasan Syam pada tahun terjadinyaa perang Tabuk, di saat panas membara, dalam keadaan susah-payah yang hanya Allahlah yang mengetahuinya. Mereka sangat menderita, sehingga telah sampai kepada kita bahwa kadang-kadang dua orang laki-laki membelah satu buah korma untuk dimakan bersama. Kadang-kadang ada sekelompok orang yang mengambil satu buah korma, lalu masing-masing mengunyamnya dan meneguk airnya, lantas digilirkannya kepada yang lain”.

Tentang sikap pengorbanan dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar,  terdapat banyak hadits dari Rasulullah saw yang mengharuskan adanya sikap yang demikian itu, antara lain sabdanya:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ المُطَلِّبِ وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.R. al-Hakim, Al Mustadrak, 3/215, At Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabîr, 3/151, Al Haitsami dalam Majma’uz Zawâid, 7/205, Al Hakim menyatakan sanadnya shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim, Maktabah Syâmilah)

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya (mengingkari dg hati, menunjukkan sikap tidak suka) dan itu adalah selemah – lemah iman.” (H.R. Muslim, no. 49, Sunan Abu Dawud, no. 1140, 4340; Sunan Tirmidzi no. 2173; Sunan An Nasa’i VIII/111; dan Sunan Ibnu Majah No. 4013)

Imam Nawawi menjelaskan hadits ini sebagai berikut: “Adapun sabda beliau: “Hendaklah kalian mengubahnya”, itu merupakan perintah wajib yang telah disepakati oleh seluruh umat tanpa kecuali. Perintah amar ma’ruf dan nahi munkar ini telah ditetapkan dalam Al Qurâan, As Sunnah dan Ijma’ umat. Juga, dapat dikategorikan dalam penyampaian nasehat, yang tidak lain adalah pangkal agama“.

Sistem pemerintahan sekuler yang sedang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin saat ini adalah kemunkaran, bahkan itulah pangkal kemunkaran yang senantiasa menghalangi pelaksanaan perbuatan ma’ruf (kebaikan), menghalangi tegaknya aturan-aturan Allah SWT, dan selalu mengembangkan dan melindungi kemunkaran. Oleh karena itu, walau apapun resikonya, pangkal kemungkaran ini wajib diubah dengan aktivitas dakwah dan merubah pemahaman umat, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah saw, bukan dengan teror fisik dan kekerasan.

4. Buruknya Pemahaman Tentang Hadits dari Hudzaifah :

… قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تَعَضَّ بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك

Aku kembali berkata; “Jika saat itu tidak ada jama’atul muslimin dan juga tidak ada pemimpin (Islam)?”. Beliau menjawab: “Kamu tinggalkan seluruh firqah (kelompok/golongan) sekalipun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu dan kamu tetap berada  dalam keadaan itu (berpegang kepada kebenaran)”. (HR Bukhoriy, no 3338, Muslim, no. 3434)

Sehingga mereka memahami saat tidak adanya khilafah, maka tidak wajib untuk menegakkan khilafah, namun hendaklah ber ‘uzlah (mengasingkan diri).

Berkaitan dengan hadits ini, Syaikh Abdul Hamid Ja’bah dalam kitab Al Ahzâb Fil Islam, hal  202 -203 menjelaskan bahwa jika tidak ada khilafah/imam maka yang pertama harus mereka lakukan adalah meneguhkan aqidah Islam mereka dan berpegang teguh dengan hukum-hukumnya, kemudian berupaya untuk mengubah kondisi yang buruk tersebut dengan da’wah dan bersabar atas kesulitannya.

Adapun perintah untuk menjauhi seluruh firqah/kelompok tersebut, adalah untuk seluruh firqah yang dijelaskan Rasul dalam kalimat sebelumnya, yakni:

فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ . قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ. فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا

… Saya (Hudzaifah) bertanya lagi, “Apakah setelah kejahatan tersebut akan timbul lagi kebaikan?” beliau menjawab: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada “dukhn”[1] (kotoran) “. Aku bertanya lagi; “Apa kotorannya?”. Beliau menjawab: “Yaitu suatu kaum yang memberi petunjuk tanpa mengikuti petunjukku, kamu mengenalnya tapi sekaligus kamu ingkari”. Saya bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan ini timbul lagi kejahatan?” beliau menjawab: “Ya, yaitu para penyeru yang mengajak ke pintu jahannam. Siapa yang memenuhi seruan mereka maka akan dilemparkan kedalamnya”

Oleh sebab itu, kelompok/firqah yang harus dijauhi adalah semua kelompok yang menyeru bukan kepada Islam dengan landasan ‘aqidah Islam, yakni kelompok apapun yang landasannya hanyalah fanatisme (ashobiyyah) golongan, kesukuan, kebangsaan dan kepentingan duniawi semata yang hanya bertujuan semata-mata untuk meraih kekuasaan. Inilah yang disifatkan Rasulullah dengan “suatu kaum yang memberi petunjuk tanpa mengikuti petunjukku” dan “para penyeru yang mengajak ke pintu jahannam”. Dan ini jelas berbeda dengan kelompok yang berupaya menegakkan Islam dengan asas ‘aqidah Islam dan senantiasa terikat dengan hukum Islam dalam langkah-langkah dakwahnya. Tentu dua kelompok ini tidak bisa disamakan, Allah sendiri membedakan mereka dengan firman-Nya:

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُونَ

Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (Q.S As Sajadah : 18)

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ

Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (Q.S. Al Qalam : 35 – 36)

Lebih dari itu, Allah justru memerintahkan adanya kelompok/golongan yang melakukan ‘amar  ma’ruf nahi munkar dengan firman-Nya:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S  Ali Imran : 104)

Yang dimaksud أُمَّةٌ dalam ayat ini adalah جماعة, yakni kelompok/golongan dari kaum muslimin (Tafsir Ath Thabari). Ayat ini menunjukkan dengan jelas akan wajib adanya kelompok dakwah yang menyeru kepada kebaikan (yakni Islam, dalam tafsir Jalalain), yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan aktivitas ini tentu tidak sama dengan apa yang disebut Rasul sebagai: “suatu kaum yang memberi petunjuk tanpa mengikuti petunjukku” dan “para penyeru yang mengajak ke pintu jahannam”.

5. Buruknya Pemahaman Tentang Hadits:

اصْبِرُوا ، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ

Bersabarlah kalian semuanya, karena sesungguhnya tidak berlalu suatu zaman atas kalian kecuali zaman setelahnya lebih buruk dari zaman sebelumnya hingga kalian menjumpai Rabb kalian. (HR. Bukhory, no. 6541)

Sehingga mereka berkesimpulan tidak ada gunanya melakukan upaya perbaikan, bahkan berputus asa, kemudian diam dari aktivitas melakukan perubahan.

Al Hâfidz Ibnul Jauzi dalam kitabnya Kasyful Musykil Min Hadîtsi As Shohihain menyatakan:

إن قال قائل ما وجه هذا ونحن نعلم أنه جاء بعد الحجاج عمر ابن عبد العزيز فبسط العدل وصلح الزمان فالجواب أن الكلام خرج على الغالب فكل عام تموت سنة وتحيا بدعة ويقل العلم ويكثر الجهال ويضعف اليقين وما يأتي من الزمان الممدوح نادر قليل

Jika berkata seseorang, bagaimana sisi (pemahaman) hadits ini sedangkan kami mengetahui bahwa sesungguhnya setelah masa Al Hajjaj (Bin Yusuf Ats Tsaqafi) adalah masa ‘Umar Bin Abdul Aziz maka keadilan meluas dan zaman menjadi baik, maka jawabannya adalah  bahwa hadits (kalam) tersebut adalah pada ghalibnya setiap tahun akan mati suatu sunnah dan akan hidup suatu bid’ah, akan makin  sedikit ‘ilmu dan makin banyak kebodohan, dan akan makin lemah keyakinan dan sangat jarang terjadi datangnya zaman yang dipuji.

Al Hâfidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bâry juga mengutip sebuah pemaknaan hadits tersebut:

وَيَحْتَمِل أَنْ يَكُون الْمُرَاد بِالْأَزْمِنَةِ الْمَذْكُورَة أَزْمِنَة الصَّحَابَة بِنَاءً عَلَى أَنَّهُمْ هُمْ الْمُخَاطَبُونَ بِذَلِكَ فَيَخْتَصّ بِهِمْ ، فَأَمَّا مَنْ بَعْدَهُمْ فَلَمْ يُقْصَد فِي الْخَبَر الْمَذْكُور

Hadits ini mengandung pengertian bahwa yang dimaksud dengan zaman yang disebutkan adalah zaman shahabat, atas dasar bahwa merekalah yang diajak bicara maka hal tersebut khusus untuk mereka, adapun (masa) setelah mereka maka berita (hadits) ini tidak ditujuan untuk mereka.

Masih dikitab yg sama Ibnu Hajar memaparkan suatu penjelasan lain:

أَنَّ الْمُرَادَ بِالتَّفْضِيلِ تَفْضِيلُ مَجْمُوعِ الْعَصْرِ عَلَى مَجْمُوعِ الْعَصْرِ ، فَإِنَّ عَصْرَ الْحَجَّاجِ كَانَ فِيهِ كَثِيرٌ مِنْ الصَّحَابَةِ فِي الْأَحْيَاءِ ، وَفِي عَصْرِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ اِنْقَرَضُوا ، وَالزَّمَانُ الَّذِي فِيهِ الصَّحَابَةُ خَيْرٌ مِنْ الزَّمَانِ الَّذِي بَعْدَهُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي .

Sesungguhnya yang dimaksud hadits tersebut dengan keutamaan suatu masa adalah keutamaan yang  dihimpun suatu masa dibandingkan yang dihimpun suatu masa yang lain, maka sesungguhnya pada masa Hajjaj masih terdapat didalam masa tersebut para sahabat yang hidup, pada masa ‘Umar Bin Abdul Aziz mereka (para shahabat) banyak yang wafat, dan zaman yang didalamnya banyak sahabat adalah lebih baik dari zaman setelahnya karena perkataan Rasulullah saw sebaik – baik masa adalah masaku.

Pemahaman diatas sejalan dengan riwayat As Sya’bi dari Masruq dari Abdullah ia berkata:

لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ شَرٌّ مِنْ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ

Tidaklah akan datang satu tahun, kecuali tahun tersebut lebih jelek dari sebelumnya, Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa suatu tahun lebih baik dari pada tahun lainnya, dan seorang amir (pemimpin) lebih baik dari amir lainnya. Akan tetapi ulama`-ulama`, orang-orang pilihan, dan para ahli fikih kalian telah banyak yang wafat, kemudian kalian tidak mendapatkan ganti mereka, hingga datang orang-orang yang menggunakan qiyas (analogi dalam masalah agama) berdasarkan akal semata”. (HR. Ad Darimi ,  no . 190)

Oleh sebab itu, dengan mengambil pemaknaan yang manapun, hadits ini tidak bisa menjadi alasan untuk berputus asa atau merasa lelah dalam melakukan aktivitas perubahan. Lebih dari itu, yang di hisab Allah swt  bukanlah perubahan masyarakat yang terjadi, namun yang dihisab adalah upaya, keseriusan, kesabaran dan keikhlasan seseorang dalam melakukan proses perubahan, seandainya yang dihisab adalah “hasil” dakwahnya niscaya Nabi Nuh as yang dakwahnya lebih dari 900 tahun tidak akan mendapatkan pahala yg besar karena Beliau “tidak berhasil” mengajak umatnya beriman kecuali hanya sebagian kecil dari mereka.

Kalau toh umat tidak berhasil “diperbaiki” atau kita tidak menjumpai hasil upaya perubahan ini, maka ini bukan alasan untuk berpangku tangan dari aktivitas melakukan perubahan, Rasulullah saw bersabda:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا

“Janganlah kalian menjadi orang yang suka mengekor orang lain. Kalian mengatakan Jika manusia menjadi baik, maka kami juga akan berbuat baik. Dan jika mereka berbuat zhalim, maka kami juga akan berbuat zhalim.’ Akan tetapi mantapkanlah hati kalian, jika manusia berbuat baik kalian juga berbuat baik, namun jika mereka berlaku buruk, janganlah kalian berbuat zhalim.” (HR Tirmidzi, no 1930) Berkata Abu Isa: Ini merupakan hadits hasan gharib tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini.

Disisi lain sebenarnya Allah telah memberikan kabar gembira bahwa umat ini akan menjadi baik kembali, diantara berita tersebut adalah:

Dari Abdullah bin ‘Amru, beliau berkata:

بَيْنَمَا نَحْنُ حَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكْتُبُ إِذْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ أَوَّلًا قُسْطَنْطِينِيَّةُ أَوْ رُومِيَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلًا يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ

Suatu ketika kami berada bersama Rasulullah saw sedang menulis, yaitu di saat beliau ditanya tentang dua kota, manakah yang lebih dahulu dibuka; Qostantinopel atau Rum? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun menjawab: “Kota yang lebih dahulu dibuka adalah kota Hiroclus (Qostantinopel) “

Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muhson, Abu Amr Ad-Dani di dalam As-Sunanul Waridah fil-Fitan (hadits-hadits tentang fitnah), Al-Hakim dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi. Abdul Ghani menyatakan bahwa hadits ini hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim dalam al Mustadrak menilai hadits ini shahih menurut syarat Bukhory & Muslim. Penilaian Al-Hakim itu disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Kata Rumiyyah dalam hadits di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Italia sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mu’jamul Buldan.

Dari Abdullah bin Bisyr Al Khats’amy dari bapaknya bahwa bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda:

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ

Sungguh Qostantinopel akan ditaklukkan, maka sebaik – baik amir adalah amirnya dan sebaik – baik pasukan adalah pasukan tersebut (yang menaklukkannya) (Al Haitsami, Ghayatul Maqshud fi Zawâidil Musnad, 2/174, juga dikeluarkan Ahmad, 4/335, juga Ibnu Abi Syaibah, AL Bazzar dan Thabrani, perowinya tsiqat)

إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِىَ الأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِىَ لِى مِنْهَا

“Sesungguhnya Allah menghimpun bumi untukku lalu aku melihat timur dan baratnya dan sesungguhnya kekuasaan ummatku akan mencapai yang dihimpunkan untukku…” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi)

Hadits – hadits diatas dan banyak hadits yang lain memberi kabar gembira bahwa syari’ah dan khilafah dengan izin Allah akan tegak kembali, tertaklukkannya Qostantinopel terjadi lebih dari 700 tahun setelah masa Rasul, ditaklukkan dengan upaya cerdas, ikhlas dan bersungguh – sungguh oleh Sultan Muhammad Al Fâtih pada masa kekhilafahan Turki Utsmani  dengan persiapan ruhiyyah dan madiyyah yang optimal. Adapun Roma, sampai sekarang  belum tertaklukkan, maka tidak diragukan lagi bahwa kemenangan kedua mendorong adanya kebutuhan terhadap Khalifah yang tangguh. Hal inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya:

ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت

… Kemudian akan ada Khilafah yang sesuai dengan tuntunan kenabian, kemudian beliau diam .

(HR Ahmad, hadist itu juga dirwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Iraqi di dalam Mahajjatul-Ghurab ila Mahabbatil-Arab (II/17). Selanjutnya Al-Hafidz mengatakan :”Status hadits ini shahih”).

Allahu A’lam (bersambung Insya Allah)

Download versi ms-word disini


[1] وَالْمُرَاد هُنَا أَنْ لَا تَصْفُوَ الْقُلُوب بَعْضهَا لِبَعْضٍ ، وَلَا يَزُول خُبْثهَا ، وَلَا تَرْجِع إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ الصَّفَاء – شرح صحيح مسلم – النواوي

Baca Juga:

Posted on 31 Mei 2010, in Dakwah, Kritik Pemikiran, Politik. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar