Isbal (Memanjangkan Kain Melebihi Mata Kaki)

Menurut mayoritas ‘Ulama, isbal (memakai kain yang panjangnya melebihi mata kaki) bagi lelaki adalah haram jika disebabkan oleh kesombongan. Jika bukan karena kesombongan maka tidaklah haram.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda:

مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

 “Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis ini memang umum, ada hadis lain yang mentaqyid hadis ini semisal:

لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

“Allah tidak akan melihat (dengan pandangan rahmat) pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya  dengan sombong.” (HR. al-Bukhari  dan Muslim).

Juga hadis

لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

“Allah tidak melihat (dengan pandangan rahmat) kepada orang yang menjulurkan bajunya  dengan sombong.” (HR. Muslim).

Dalam madzhab Syafi’i, misalnya  Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyatakan:

وأما الأحاديث المطلقة بأن ماتحت الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهَا مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ

Adapun hadits-hadits yang mutlak yang menyatakan bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang untuk sombong, karena hadis itu mutlak, maka wajib dibawa kepada yang muqayyad”.[1]

Senada dengan Imam an-Nawawi, Al Hâfidz al ‘Iraqy (w. 806 H), menyatakan:

فَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ فَإِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مَنْعَ تَحْرِيمٍ، وَإِلَّا فَمَنْعُ تَنْزِيهٍ.  وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ.

“Apa saja yang melebihi dua mata kaki maka itu dilarang, jika karena sombong maka itu haram, jika tidak maka makruh tanzih, adapun hadits yang mutlak menyatakan bahwa apa yang di bawah mata kaki itu di neraka maksudnya adalah jika itu dikarenakan kesombongan, karena hadis itu mutlak, maka wajib dibawa kepada yang muqayyad.”[2]

Dalam Syarh az Zarqani’alal Muwaththa’ Imam Malik dinyatakan:

 مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ، مَا لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ[3]

Dalam Madzhab Hanbali, Al Mardawi (w. 885 H), menyatakan dalam al Inshaf:

يُكْرَهُ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُ الرَّجُلِ إلَى فَوْقِ نِصْفِ سَاقِهِ، نُصَّ عَلَيْهِ. وَيُكْرَهُ زِيَادَتُهُ إلَى تَحْتِ كَعْبَيْهِ بِلَا حَاجَةٍ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الرِّوَايَتَيْنِ. وَعَنْهُ ” مَا تَحْتَهُمَا فِي النَّارِ ” وَذَكَرَ النَّاظِمُ: مَنْ لَمْ يَخَفْ خُيَلَاءَ لَمْ يُكْرَهْ. وَالْأَوْلَى تَرْكُهُ، هَذَا فِي حَقِّ الرَّجُلِ

“dimakruhkan baju lelaki di atas separo betis (kependekan),… , dan dimakruhkan pula menambahkan (panjangnya) hingga di bawah mata kaki tanpa ada hajat,… dan an Nadzim menyatakan: “siapa yang tidak khawatir (dengan memakai baju dibawah mata kaki) akan menjadikannya sombong maka tidak makruh”.  Dan yang lebih utama adalah meninggalkannya, ini berkaitan dengan (pakaian) laki-laki”[4]

Jika bukan karena kesombongan, dalam Adabus Syar’iyyah (3/521) dinyatakan:

قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ،

Berkata penulis kitab al Muhith dari kalangan Hanafiyyah,  diriwayatkan bahwa Abu Hanifah memakai kain yang harganya 400 dinar, dan beliau mengulurkan kain tersebut hingga ke tanah, maka dikatakan kepadanya: “tidakkah kita dilarang dari yang demikian itu? Beliau menjawab: “larangan itu hanya bagi yang menjulurkannya karena kesombongan, sementara kita tidak demikian”

Abu Bakar As Shiddiq ra. juga kainnya pernah di bawah mata kaki, lalu melaporkan hal itu kepada Rasulullah, Maka beliau bersabda:  “Engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan itu karena sombong.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Jika isbalnya Abu Bakar r.a itu dikatakan karena darurat maka ini kurang tepat,  bagaimana bisa disebut darurat sementara pada saat itu juga kainnya bisa dipotong biar tidak kepanjangan, sebagaimana sahabat yg langsung merobek kleman baju yang ada sutranya ketika Rasulullah melarang memakai sutra. Alasan yang tepat kenapa Abu Bakar boleh Isbal adalah karena tidak sombong itu, ini dinyatakan oleh Asy Suyuthi:

وقد رخص صلى الله عليه و سلم في ذلك لأبي بكر حيث كان جره لغير الخيلاء

Namun jika ada pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, sebagaimana pandangan Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz, ya dimaklumi saja, tidak perlu menjadi perusak ukhuwwah.

Bagi yang kainnya panjang, perlu kiranya mengecek kembali hatinya, apakah memang bermaksud menyombongkan diri, ‘aku kaya, punya banyak kain’ ataukah tidak. Allahu A’lam. [MTaufikNT]

[1] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 14, h. 63.

[2] Tharhu at Tastrîb, juz 8 hal 173-174, Dârul Fikr al ‘Araby

[3] Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Wuzarât al-Awqâf wa al-Syu-ûn al-Islâmiyyah, 1427), Juz 2, h. 321.

[4] ‘Alâuddin Abu al-Hasan ‘Ali bin Sulaimân al-Mardawi, Al-Inshâf  Fi  Ma’rifati al-Râjih Min al-Khilâf, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, tt), Juz 3, h. 255.

Baca Juga:

last update, 2 Juni 2016

Posted on 22 Februari 2008, in Ikhtilaf. Bookmark the permalink. 6 Komentar.

  1. sip mantab

    Suka

  2. ikhtilaf sendiri merupakan khazanah…marilah kita jangan menghakimi penafsiran kita terhadap teks lebih benar dan sesuai kehendak Allah dan rasul-Nya…akhir kata dari artikel ust sungguh sebuah pengakuan adanya perhargaan terhadap pendapat…syukran ust

    Suka

    • Ya, hanya memang juga wajar dan sangat logis jika seseorang ketika mengambil (mentabanni) suatu pendapat dari berbagai ikhtilaf, dia akan mengambil yang paling benar dalam pandangannya, di sinilah kita harus saling memaklumi jika ada orang yang ‘merasa paling benar’, yang jadi masalah adalah kalau tidak hanya merasa paling benar, namun menganggap selainnya ‘sesat’, padahal domain pembahasannya adalah masalah khilafiyyah. Adapun kalau masalah yang dalil dan dalalahnya qath’iy, maka seharusnya memang tidak ada ruang untuk berbeda, sehingga jika berbeda maka memang layang disematkan sebutan sesat itu. ‘afwan.

      Suka

  3. Assalamu’alaikum Ust Taufik, dari pendapat yang ada bs disimpulkan bahwa hukum isbal hanya haram dan makruh ya? apakah ada pendapat yang memubahkan jika isbal diluar sholat? jika tidak ada, apakah tidak sebaiknya kita mengangkat kain kita di atas mata kaki (tidak isbal)? misalnya dengan memptong celana kita yang selama ini isbal? syukron jazilan

    Suka

    • Wa’alaikumussalaam….
      Ada yang mengharamkan secara mutlak
      Ada yang memakruhkan
      Ada yang memakruhkan jika tidak ada hajat, jika ada hajat membolehkan.
      Maksud Isbal sendiri, ada yang memaknainya kalau sampai nyeret ke tanah (yang makruh), jika tidak sampai nyeret ke tanah tidak makruh.

      Coba cermati di al Adabus Syar’iyyah, 3/522 berikut:

      يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ طُولُ قَمِيصِ الرَّجُلِ إلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِلَى شِرَاكِ النَّعْلِ وَهُوَ الَّذِي فِي الْمُسْتَوْعِبِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَطُولُ الْإِزَارِ إلَى مَدِّ السَّاقَيْنِ، قَالَ وَقِيلَ إلَى الْكَعْبَيْنِ وَيَزِيدُ ذَيْلُ الْمَرْأَةِ عَلَى ذَيْلِهِ مَا بَيْنَ الشِّبْرِ إلَى الذِّرَاعِ قَدَّمَهُ ابْنُ تَمِيمٍ.

      Bagusnya, keluar dari ikhtilaf dengan menjadikan pakaian maksimal hanya sampai mata kaki.

      Di sisi lain jangan memandang negatif pada orang yang memakai pakaian lebih dari itu. Allaahu A’lam

      Suka

Tinggalkan komentar