Peningkatan Jumlah Pelacur dan Hak Asasi Berzina

image

Komisi Perlindungan Anak (KPA) yang dilakukan terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar seluruh Indonesia mengatakan sebanyak 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi, 93 persen remaja pernah berciuman, 62,7 persen pernah berhubungan badan, dan 21 persen remaja telah melakukan oborsi. (waspadaonline, diakses 18 Juni 2010).

Jumlah pelacuran juga cenderung meningkat, seperti yang terjadi di Cirebon (baca ini atau ini). Mengapa jumlah pelacuran terus mengalami peningkatan? Minimal ada lima penyebabnya.

Akumulasi Persoalan

Sebagai kaum muslimin, realitas tersebut tentu amat merisaukan, kendati tidak terlalu mengagetkan. Dikatakan tidak terlalu mengagetkan karena maraknya perzinaan saat ini sebenarnya merupakan akibat dari akumulasi banyak faktor. Beberepa d antaranya adalah:

Pertama, ‘penghormatan’ amat tinggi yang diberikan kepada pelacur. Bayangkan, setelah sebutannya diganti dengan WTS (wanita Tuna Susila) –sebagai bentuk penghalusan dari kata pelacur–, mereka mendapatkan sebutan wanita harapan. Harapan siapakah wanita macam itu? Masih belum puas dengan sebutan ini, mereka mendapatkan status baru yang lebih melegalkan eksistensi mereka, PSK (Pekerja Seks Komersial). Pekerja adalah perbuatan yang baik, seks juga sesuatu yang terpuji, komersial juga bukan sesuatu yang dicela asalkan semuanya sesuai dengan rambu-rambu syari’at. Bayangkan, pelaku perbuatan yang dilaknat Allah SWT itu disebut sebagai pekerja. Berarti mereka sejajar dengan buruh pabrik, guru, wartawan, dan profesi lainnya. Bukankah ini merupakan sebuah bentuk penghormatan.

Kedua, lemahnya keimanan. Sebagai sebuah kemaksiatan, perzinaan tidak akan dilakukan kecuali oleh orang-orang yang imannya tipis. Seseorang yang memiliki keimanan, tentu akan merasa takut membayangkan beratnya siksa yang akan di terima di akhirat kelak jika ia berzina. Jika hukuman di dunia yang diberikan bagi pelaku perzinaan berupa cambuk seratus kali bagi yang belum menikah atau rajam sampai mati bagi yang telah menikah, maka tentunya hukuman di akhirat jauh lebih dahsyat. Bertolak dari keyakinan ini, seorang mukmin sejati tidak akan tergiur untuk mereguk kenikmatan sesaat yang dapat mendatangkan azab yang amat besar. Sebaliknya, jika keimanan terhadap siksa yang amat pedih itu tidak ada atau amat tipis, maka berzina bukan merupkan perbuatan yang menakutkan. Rasululah saw bersabda:

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

"Seorang pezina tidak sempurna imannya ketika sedang berzina, dan seorang peminum khamar tidak sempurna imannya ketika sedang minum-minum dan seorang pencuri idak sempurna imannya ketika sedang mencuri dan seorang yang merampas hak orang agar pandangan manusia tertuju kepadanya tidak sempurna imannya ketika dia merampasnya". (Muttafaq alaih).

Bukan hanya tidak tergiur, seorang mukmin akan berupaya keras melenyapkan setiap kemungkaran –termasuk perzinaan– dari kehidupan. Jika kini perzinaan sudah amat meluas, maka hal itu terjadi sebagai akibat lemahnya keimanan sebagain besar anggota masyarakat. Lemahnya keimanan ini pula yang menyebabkan merajalelanya berbagai tindakan kemaksiatan, kemungkaran, dan kejahatan setiap hari kita jumpai di masyarakat.

Ketiga, tidak terkendalinya berbagai fakta yang dapat menstimulasi hasrat seksual. Sebagai salah satu bentuk manifestasi gharizah nau’ (naluri melestarikan jenis manusia), munculnya hasrat seksual itu hanya terjadi apabila terdapat unsur-unsur yang dapat menggugah dan merangsangnya, seperti aurat yang dibiarkan terbuka, adegan-adegan erotis, cerita seputar seks, dan semacamnya. Pada hal, perkara-perkara itulah yang kini justru amat mendominasi kehidupan masyarakat kita. Di alam kebebasan pers ini, berbagai majalah, tabloid, atau koran yang dihiasi dengan wanita-wanita telanjang amat mudah diperoleh di pinggir-pinggir jalan. Setiap hari, berbagai adegan erotis yang merangsang birahi memenuhi tayangan-tayangan televisi. VCD-VCD porno tidak terlampau sulit didapatkan di pusat-pusat penjualan atau persewaan VCD. Belum lagi, wanita yang sengaja berpakaian minim, terbuka, dan seksi bertebaran di tempat-tempat keramaian. Semua itu jelas merupakan fakta yang dapat mendorong dan menggugah keinginan seksual. Maka tidak aneh jika kini otak para remaja –mungkin juga orang tua– kita didominasii dengan fantasi seksual yang mendorongnya untuk segera melakukan pemenuhan.

Keempat, dilegalkannya perzinaan dan berbagai tindakan yang bisa mengantarkan kepada perbuatan zina. Bentuk legalisasi tersebut dapat dilihat pada hukum mengenai perbuatan tersebut. Dalam khasanah hukum Indonesia yang diwarisi dari Belanda itu, tidak ditemukan adanya sanksi bagi pelaku perzinaan. Sanksi hanya diberikan, apabila ada pihak-pihak yang dirugikan. Namun, apabila dilakukan secara suka rela dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka perzinaan dan segala pendahuluannya, tidak termasuk tindakan kriminal yang harus mendapatkan sanksi. Legalisasi pemerintah terhadap perzinaan juga dalam bentuk diresmikannya tempat-tempat pelacuran yang keberadaannya dilindungi oleh peraturan. Juga, tempat-tempat yang jamaknya digunakan sebagai ajang bergaul bebas, seperti diskotek, gedung bioskop, dan tempat-tempat hiburan lainnya. Karena dilegalkan, maka maraknya perzinaan sama sekali tidak bisa dicegah, baik oleh pemerintah, masyarakat, apalagi individu.

Kelima, penundaan rata-rata usia pernikahan di kalangan pemuda. Dengan berbagai alasan –seperti masih sekolah atau kuliah, belum bekerja mapan, belum siap mental, dsb– kini rata-rata usia pernikahan lebih tua daripada masa sebelumnya. Realitas ini jelas kontradiktif dengan point kedua dan ketiga. Betapa tidak, di tengah gencarnya fakta-fakta yang bisa menggugah hasrat seksual untuk segera dipenuhi serta tidak adanya sanksi bagi pelaku perzinaan, justru jenjang usia pernikahan ditunda. Padahal, pernikahan adalah cara pemenuhan yang halal. Apabila tiga hal ini dipadu dengan lemahnya keimanan individu dan sikap permisivisme masyarakat, maka perzinaan menjadi sesuatu yang lumrah.

Sebagai ilustrasi, apabila sejak kelas satu SD yang berusia 7 tahun sudah dijejali dengan berbagai informasi tentang seputar seks melalui televisi, majalah, radio, dsb, sementara ia baru menikah pada usia 27 tahun, berarti ia harus menunggu selama 20 tahun lagi. Rentang waktu yang amat panjang. Apabila dorongan keinginannya jauh lebih kuat dari benteng keimanannya, maka hampir dipastikan perzinaan adalah jalan pintas yang akan ditempuh.

Akibat HAM

Apabila dikaji, sebenarnya akumulasi berbagai persoalan tersebut muncul karena dianutnya ide HAM (Hak Asasi Manusia) oleh negeri ini. Paham inilah yang mentoleransi kebebasan (freedom), termasuk kebebasan berperilaku. Menurut ide ini, berpakaian adalah bagian dari hak asasi manusia. Setiap orang berhak mengenakan pakaian apa saja, termasuk pakaian yang mengumbar aurat. Negara tidak boleh melarangnya. Negara juga tidak boleh mengharuskan warganya mengenakan pakaian tertentu –jilbab, misalnya– yang menutup aurat. Sebab, jika itu dilakukan, maka negara dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Negara juga tidak boleh membatasi warganya berkreasi. Setiap warga bebas mengekspresikan estetikanya, baik melalui mode pakaian, nyanyian, foto, film, tarian, dan sebagainya. Termasuk pula jika mereka berpose telanjang, menyanyikan lagu porno, memerankan adegan seks, atau mementaskan tarian erotis. Sebab, pembatasan kreativitas warga dianggap sebagai pemasungan terhadap hak asasi manusia.

Termasuk kebebasan berperilaku adalah bergaul bebas dengan lawan jenis. Karena bagian dari hak asasi setiap orang, maka negara, orang tua, atau siapa saja tidak boleh mencegah seseorang berpacaran atau berbagai aktivitas yang bisa menjadi pintu pembuka perzinaan.

Perzinaan pun dianggap bagian dari hak asasi setiap orang yang harus dilindungi. Setiap orang berhak menyalurkan hasrat seksualnya dengan siapa saja. Baik dengan isterinya atau bukan, baik dengan lawan jenis atau sesama jenis, bahkan dengan manusia atau bukan. Negara hanya boleh menjatuhkan sanksi apabila ada pihak yang merasa dipaksa atau dirugikan. Maka jangan heran jika dalam negara yang menganut paham ini sangat kebingungan membendung mewabahnya virus HIV yang di antara cara penularannya melalui hubungan seks. Karena tidak bisa mencegah pergaulan bebas, sementara takut terhadap meluasnya ancaman virus HIV yang mematikan dan hingga kini belum ditemukan obatnya, maka negara-negara penganut HAM itu membagai-bagikan kondom kepada remaja-remaja mereka.

Itulah akibat masyarakat yang mengagungkan HAM. Karena itu, merebaknya perzinaan di negara-negara penganut HAM tersebut (termasuk Indonesia) bukan merupakan bentuk penyimpangan, namun merupakan produk sistem. Maka tepat sekali jika dikatakan: Sistem kufur adalah mesin produksi yang menghasilkan berbagai kekufurnan, kemaksiatan, dan kemungkaran yang bertebaran di masyarakat.

Solusi Islam

Dalam pandangan Islam, status aktivitas zina adalah haram (Al Isro’ 32). Bahkan terkategorikan sebagai perbuatan yang mendapatkan dosa besar. Sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelakunya amat berat, yakni hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum menikah (An Nur 2) atau rajam hingga mati bagi yang sudah menikah (HR Muslim, lihat Bulughul Maram kitab Hudud bab Zina).

Islam bukan hanya melarang perzinaan, namun juga memberikan berbagai ketentuan yang bisa mencegah terjadinya perzinaan. Di luar ikatan pernikahan, Islam mengeliminasi segala sesuatu yang bisa merangsang hasrat seksual. Setiap wanita muslimah diwajibkan menutup auratnya di depan laki-laki ajnabi (yang bukan suami atau mahramnya). Demikian juga sebaliknya laki-laki muslim. Islam juga ‘mendesain’ khusus pakaian yang harus dikenakan wanita dalam kehidupan umum, yakni kerudung sebagai pakaian atasnya (An Nur 31) dan jilbab sebagai pakaian bawahnya (Al Ahzab 59). Diperintahkan pula kepada setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, untuk senantiasa menjaga pandangannya (An Nur 30-31).

Dalam pergaualan, Islam amat membatasi pergaulan antara pria dan wanita. Hubungan khusus sebagai pria atau sebagai wanita hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Kehidupan mereka pun terpisah, kecuali terdapat keperluan untuk bertemu yang diizinkan syara’. Mereka diharamkan berkhulwat kecuali disertai mahramnya (HR Ahmad, Buhkari dan Muslim), bepergian bersama, bermesraan, dan berbagai perbuatan yang mengantarkan terjadinya perzinaan (Al Isro’ 32).

Negara wajib menerapkan hukum-hukum itu kepada warganya. Setiap orang yang melakukan pelanggan terhadap berbagai ketentuan tersebut dikenakan hukuman ta’zir (hukuman terhadap pelanggaran syariat yang ketentuannya tidak diatur oleh syara’, namun ditentukan oleh qadli). Apabila memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’ –seperti pengakuan atau adanya empat orang saksi yang adil–, negara harus menjatuhkan hukuman hudud bagi pelaku perzinaan.

Islam mendorong kepada semua pemuda yang sudah berkemampuan, untuk segera menikah (HR Bukhari-Muslim). Bahkan bagi yang mampu berbuat adil, dipersilahkan menikahi lebih dari seorang wanita (An Nisa’ 3).

Persoalan ekonomi tidak boleh menjadi alasan bagi seseorang untuk melakukan tabattul (hidup membujang). Allah SWT berfirman:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS. An Nuur : 32)

Bagi yang sudah cukup usia, sementara tidak berkemampuan memberikan nafkah karena tidak memiliki pekerjaan, negara harus menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya.

Yang tidak kalah pentingnya, negara harus menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif terhadap suasana imani. Anasir yang bisa merusak keimanan warga negara harus dibersihkan. Maka tayangan televisi, siaran radio, atau sajian koran yang mengeksploitasi seksual, tidak diperbolehkan ada. Negara harus menindak tegas siapa saja yang melakukannya.

Khatimah

Dari paparan di atas, maka jelaslah bahwa perzinaan yang hingga kini terus mengalami peningkatan disebabkan oleh sistem kehidupan yang ditata dengan aturan buatan manusia. Dengan kata lain, karena tidak diterapkan sistem Islam. Maka solusinya adalah diterapkan Islam dalam semua segi kehidupan. Apabila itu tidak dilakukan, maka jangan berharap perzinaan akan mengalami penurunan bahkan lenyap. Padahal Rasulullah saw mengingatkan:

إذا ظهر الزنا و الربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

Jika telah nampak dengan jelas zina dan riba dalam suatu kota, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan adzab Allah atas mereka (HR. Al Hakim dalam al Mustadrak, ia mengatakan  hadits ini sanadnya sahih menurut Bukhari dan Muslim dan mereka berdua tidak mengeluarkannya, Adz Dzahabi juga men sahihkannya)

Masih adakah alasan bagi kita berpangku tangan dalam menegakkan sistem Islam? Ataukah kita masih menanti azab Allah SWT yang lebih besar menimpa diri kita?? Wallahu a’lam bish shawab.

Baca Juga:

Posted on 6 Juli 2010, in Kritik Pemikiran, Pergaulan, Politik, Rumah Tangga. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar