Metode Penetapan Aqidah

Oleh: M. Taufik. N.T

Perbedaan pendapat merupakan suatu kemestian dalam kehidupan manusia. Namun kita perlu berhati ketika menyikapi perbedaan tersebut, terutama dalam masalah ‘aqidah, yakni dalam masalah pengkafiran, juga dlm masalah pen-sesat-an. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut, jika benar maka seperti apa yg dikatakan, namun jika tidak benar maka (tuduhan itu) kembali kepada dia (penuduh)” (HR. Bukhory dan Muslim).

Imam Muslim juga meriwayatkan: “Siapa yang memanggil seorang dengan kekufuran (menuduh kufur), atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”. (HR. Muslim no 93)

Tulisan ini akan membahas tentang makna ‘aqidah dan metode menetapkan ‘aqidah, sebagian besar merujuk pada kitab, Al Islam, Aqidah wa Syari’ah, karya Syaikh Al Azhar, Prof. Dr. Mahmud Syaltut (w. 1963).

Definisi ‘Aqidah

العقيدة هي الجانب النظري الذي يطلب الايمان به اولا و قبل كل شيئ ايمانا لا يرقِّق اليه شكٌ ولا تؤثِّر فيه شبهةٌ

“Aqidah ialah segi pandang (keyakinan) yang harus dipercaya lebih dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang tidak dapat dilemahkan oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran (syubhat).

Para ahli ushul mensyaratkan bahwa dalam aqidah kepercayaannya harus sampai derajat al ‘ilmu/al yaqin, yakni keyakinan bahwa sesuatu adalah demikian, dg keyakinan bahwa tidak mungkin kalau tidak demikian, sesuai dg fakta dan tidak mungkin berubah[1].

Oleh karena itu, tema pembahasan ‘aqidah yang difahami oleh para ahli ushul adalah tema yang memisahkan antara Iman dan Kafir tanpa ada keraguan sedikitpun, dengan kata lain menolak satu perkara ‘aqidah akan menyebabkan kekafiran.

Metode Penetapan Aqidah[2]

Para ‘ulama telah sepakat, bahwa dalil ‘aqliy akan menghasilkan keyakinan jika selamat awalnya dan berujung dengan keputusan lewat penginderaan.

Sedangkan dalil naqliy (penukilan), para ulama yang berpandangan bahwa dalil naqly menghasilkan keyakinan, dan menjadikannya hujjah untuk menetapkan masalah ‘aqidah, mereka mensyaratkan adanya kepastian dalam sumber (qath’iy wurud) dan penunjukkan makna (dalâlah)nya.

Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah bahwa dalil tersebut pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir[3].

Yang dimaksud dengan qath’iy dalalah (kepastian dari sisi maknanya) adalah bahwa makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti (muhkam), hanya menunjuk ke satu makna saja, dan tidak membuka ruang adanya penafsiran atau takwil. Sebagai contoh Firman Allah:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Dia (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan (QS. Al Ikhlas:3).

Karena dalil ini diriwayatkan secara mutawatir (Al Qur’an), dan penunjukan maknanya juga pasti, maka ini menjadi hujjah dalam perkara aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.

Adapun perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan. Perkara-perkara semacam ini banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Sebagai contoh Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya menyatakan, bahwa para ‘ulama berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa. Ia terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. Sedangkan mayoritas ‘ulama berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’)[4].

Permasalahan Khabar Ahad

Khabar (hadits) ahad adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat mutawatir. Adapun hadits mutawatir didefinisikan sebagai:

خبر عن محسوس رواه عددً جمًّ يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب

“Suatu hadits hasil tanggapan panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan sepakat dusta[5]

Mayoritas ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang tiga (Imam As Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik r.a), Imam Ahmad dalam satu riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy (w. 482 H), mereka menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm (kepastian) tetapi menghasilkan dzon, ini juga pendapat Imam Al-Ghazali, Imam An Nawawy (w. 676 H), As Sarokhsyi (w. +- 490 H), Khatib Al Baghdady, Ibnu Burhan, Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), Ibnu Hajar Al Asqalany (w. 852H), Imam As Syairozi (w. 476 H), Imam As Sam’ani (w. 489 H) [6] dll.

Pendapat yang berbeda dengan itu, yang menyatakan bahwa khabar ahad “Yufiidul ‘Ilma” (menghasilkan keyakinan)–jika ada indikasi yang memastikannya–dikemukakan oleh sebagian ahli hadits termasuk Ibnu Hajar Al-Asqalany (w. 852H) menurut berita yang lain[7], Ibnu Shalah[8], Ibnu Hazm[9], Ibnu Taimiyah[10], dll.

Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:

اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه

Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.

Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan:

… وَاخْتُلِفَ فِي حُكْمِهِ ؛ فَاَلَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ ، فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ : أَنَّ خَبَر الْوَاحِد الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا ، وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ

“… dan dipertentangkan hukum khabarul ahad, pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi’iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad yang tsiqoh adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan).

As Sarokhsy[11] dalam Kitab Ushul nya menyatakan: “dan khabar ahad (yg tsiqoh) mewajibkan amal … dan sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang tsiqoh) tanpa dia mendatangkan takwil dihukumi sesat, jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.

Penutup

· Aqidah ditetapkan dengan dalil ‘aqli dan dalil naqly yg mutawatir.

· Terjadi ikhtilaf apakah khabar ahad menghasilkan ‘ilmu yaqin atau tidak

· ‘Aqidah yg dimaksud mayoritas ahli ushul adalah pembatas antara IMAN dan KAFIR, maka khabar ahad bukan hujjah dalam perkara aqidah, tidak cukup untuk pembeda IMAN & KAFIR.

· Adapun ‘ulama yg menjadikan khabar ahad sebagai hujjah dalam perkara “‘aqidah”, sebenarnya “aqidah” yg mereka maksud bukanlah ‘aqidah seperti yg dibahas para ahli ushul. Mereka memahami aqidah TIDAK MESTI JADI PEMBEDA ANTARA IMAN DAN KAFIR, hal ini jelas terlihat ketika mereka menyalahkan aqidah Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H), pihak ini tidak mengkafirkannya[12], mereka juga menyalahkan aqidahnya Imam An Nawawi (w. 676 H) dalam hal Asma’ was Shifat tanpa mengkafirkan beliau[13], juga menyalahkan aqidahnya al Hafidz al Baihaqi (wafat 458 H) juga tanpa mengkafirkannya[14].

· Khabar ahad yg tsiqoh harus diamalkan dan dibenarkan dg tingkat kepercayaan yg tidak cukup menjadi hujjah untuk menyatakan kekafiran seseorang. Allahu A’lam


[1] Al Jurjâni (w. 816 H), At Ta’rîfât

[2] Diambil dari bab Thorîqu Tsubûtil Aqidah dalam kitab Syaikh Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah

[3] Mahmud Syalthut, Idem, hal 35

[4] Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut, Libanon

[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal 78

[6] Mahmud Syaltut , idem, Hal 63 – 64

[7] Ahmad Syakir, Al Bahitsul Hadits, hal. 33-34

[8] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106

[9] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339

[10] Ibnu Taimiyyah, Al Fatâwâ, jld XVIII, hal : 41

[11] Pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam), Wafat +- 490 H

[12] Mereka menulis kitab At Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi Fathil Baariy (= peringatan atas penyimpangan aqidah dalam fathul bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Shalih Fauzan, dkk.

[13] sebagian mereka akhirnya menyatakan imam an Nawawi pada akhirnya juga ‘tobat’ sehingga aqidahnya menjadi sama dengan aqidah mereka.

[14] http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=833&bagian=0

Posted on 27 Januari 2011, in Aqidah, Ikhtilaf. Bookmark the permalink. 19 Komentar.

  1. Saya ingin bertanya ustad,
    1.siapa saja ulama ushul yg berpendapat bhwa aqidah adalah pembeda iman dan kafir?
    2.siapa yg punya otoritas menentukan hadis mutawatir-sedang para ulama beda pendapat ttg syarat mutawatir?
    3.apakah anggota ht melanggar tabbani ketika dia mengimani azab kubur?

    Suka

    • 1. diantaranya adalah syaikh mahmud syalthut (lihat https://mtaufiknt.files.wordpress.com/2010/05/clip_image004.jpg), lihat lengkapnya di sini: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/

      2. memang terjadi ikhtilaf diantara para ahli hadits dalam penentuan syarat suatu hadits adalah mutawatir, sebagaimana juga terjadi ikhtilaf dalam menentukan syarat suatu hadits apakah dlo’if, hasan, atau shahih. namun intinya mereka mensayaratkan adanya “kemustahilan secara adat bahwa para perowi sepakat bohong”. Siapa yang memenuhi kriteria sebagai ahli hadits dia bisa menentukan dg kriteria yg dia anggap paling kuat. kita yg hanya penuntut ilmu memilih mana kriteria dari kajian kita yg kita anggap paling kuat.

      3. Ana belum pernah mendengar bagaimana pendapat resmi HT berkaitan dg siksa kubur, di kitab mutabannat juga belum ana jumpai, yg ada adalah tabanni ttg khabar ahad. Allahu A’lam.

      Suka

  2. Disekolah kita diajarkan bhw kandungan islam terdiri:aqidah,syariah dan ahlak.
    Kalau keyakinan yg dibangun atas dhan atau hadi ahad masuk yg mana?

    Suka

    • akhlaq termasuk bagian syari’ah, yakni perintah-perintah Allah yang seorang muslim diminta mensifati dirinya dg perintah tsb, jadi khabar ahad bia menjadi hujjah dalam masalah ini, orang bisa dianggap akhlaqnya buruk, atau melakukan keharaman dengan hujjah khabar ahad. Adapun dalam masalah aqidah, khabar ahad tidak cukup menjadi hujjah untuk mengkafirkan orang. Allahu A’lam

      Suka

  3. Terima kasih jawabnya.
    Untuk pertanyaan .2. Berarti aqidah masih bisa beda walaupun kita hanya pakai hadis mottawatir untuk 3. Artinya kalau ada anggota ht mengimani azab kubur berarti dia harus mengkafirkan orang yg ingkar
    Untuk 4. Keyakinan pertanyaan kubur masuk yg mana kalau dianggap dhan. Apakah masuk syariat

    Suka

  4. Ustad taufik yg dimuliakan Allah. Mohon diberikan contoh sepuluh hadis mutawatir yg bisa dijadikan dalil akidah

    Suka

    • ini ana copy paste dari beberapa kitab:
      التَّوَاتُرُ يَنْقَسِمُ إِلَى لَفْظِيٍّ وَمَعْنَوِيٍّ، فَاللَّفْظِيُّ: هُوَ مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ كَحَدِيثِ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا (1) “.
      __________
      (1) حديث: ” من كذب علي متعمدا فليتوبأ مقعده من النار. . . . ” أخرجه البخاري (فتح الباري 3 / 160 ط السلفية) ، ومسلم، (1 / 10 ط الحلبي) .

      وَالْمَعْنَوِيُّ: … كَمَا نُقِل عَنْ شَجَاعَةِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَرَمِ حَاتِمٍ، وَكَأَحَادِيثِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.

      الكتاب: الشذا الفياح من علوم ابن الصلاح رحمه الله تعالى***
      وقد ذكر غيره من الأئمة عدة أحاديث متواترة فمن ذلك:
      -أحاديث “حوض النبي صلى الله عليه وسلم” ورد ذلك عن أزيد من ثلاثين صحابيا وأوردها البيهقي في كتاب البعث والنشور وأفرده أيضا المقدسي بالجمع.
      قال القاضي عياض: وحديثه متواتر بالنقل رواه خلائق من الصحابة. فذكر جماعة من رواته ثم قال: وفي بعض هذا ما يقتضي كون الحديث متواترا.
      -ومن ذلك: أحاديث “الشفاعة” فذكر القاضي عياض أيضا أنه بلغ مجموعها التواتر.
      ومن ذلك: أحاديث “المسح على الخفين” فقال ابن عبد البر: رواه نحو أربعين من الصحابة واستفاض وتواتر وكذا قال ابن حزم في المحلي أنه نقل تواتر يوجب العلم.
      -ومن ذلك: أحاديث “النهي عن اتخاذ القبور مساجد” قال ابن حزم: إنها متواترة.
      ومن ذلك: أحاديث “رفع اليدين في الصلاة للإحرام والركوع والرفع منه” قال ابن حزم إنها متواترة توجب يقين العلم.
      -ومن ذلك: الأحاديث الواردة في قول المصلي: “ربنا لك الحمد ملء السموات وملء الأرض وملء ما شئت من شيء بعد” قال ابن حزم: إنها أحاديث متواترة.

      ***
      kalau boleh kenal, antum siapa, tinggal dimana? bisa kirim ke e-mail saja.

      Suka

  5. ust, bagaimana tanggapan ust terkait dengan link berikut http://www.facebook.com/group.php?gid=217029511863#!/pages/Aqidah-Ahlussunnah-Wal-Jamaah-Allah-Ada-Tanpa-Tempat-dan-Arah/162723750444869 atau mohon maaf (sebagian kalangan NU) yg mengkafirkan Syeikhul Islam Ibn Taimiyah, Ibnul Qayyim, dll yang dikatakn menganut faham tasybih

    juga http://www.facebook.com/note.php?note_id=188416944508556

    Suka

    • Saya melihat perkara ikhtilaf memang dijadikan senjata orang kafir untuk mengalihkan perhatian dari problem utama umat ini, mengadu domba mereka, saling mencap kafir dan sesat. Seharusnya umat bisa belajar dari kasus terbunuhnya Utsman bin ‘Affan r.a di tangan para ahli ibadah, sebagian adalah para penghafal alqur’an, bahkan putra Abu bakar ash shiddiq juga ikut terlibat di kelompok pembunuh utsman r.a (walaupun tidak ikut membunuh beliau). Peristiwa itu merupakan kesuksesan tersendiri dari yahudi abdullah bin saba yang menggunakan perbedaan pendapat antara Utsman, ‘Ali dan ‘Aisyah radliyahhahu anhum.

      Mereka menciptakan orang-orang yang berasal dari antek-antek mereka yang membuat berbagai persoalan yang diperselisihkan di tengah kaum Muslim. Mereka menghembuskannya dan menyibukkan orang dengan urusan tersebut. Mereka memandang, bahwa harus dimulai dengan akidah itu sendiri, tetapi bagaimana harus memulainya? Mereka mengatakan harus dimulai dengan meluruskan akidah dahulu. Ini adalah ungkapan bagus, yang memukau kebanyakan kaum Muslim. Namun, alih-alih mereka membahas akidah sebagaimana yang dibawa oleh Rasul, justru malah memasukkan falsafah dan ilmu kalam. Mereka pun melakukan penakwilan, dan memutarbalikkan kenyataan. Mereka mulai mengkafirkan orang ini dan orang itu sampai pada taraf, menurut pengkafiran mereka, beberapa ulama’ yang dicintai oleh umat dan mereka pun mencintai umat, dari orang-orang yang mengatakan kebenaran di hadapan kezhaliman dan tidak takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela. Bersamaan dengan itu para antek-antek mereka mengkafirkannya.

      Maka janganlah kita ikut lalai dengan perdebatan seperti itu, sibuk untuk mengalahkan pendapat yg tak sesuai dengan pendapat kita. Memang kalau dalilnya dzonny, baik sumber atau penunjukan maknanya, maka bisa muncul berbagai macam interpretasi, dan ini adalah wajar, tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.
      ini mungkin membantu: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/10/18/memahami-menyikapi-perbedaan-pendapat-ikhtilaf/

      Suka

  6. assalaamu ‘alaykum…
    ustdz, ana mw tanya seputar kitab..
    “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).”

    seseorg prnh berkata kpd ana : “sikap kita terhadap kitab ihya ulumuddin adalah tidak terlalu membencinya dan juga tidak terlalu mengagungkannya,sebagaimana kebanyakan kaum muslimin yang mengagungkan kitab ini,sifat ini jelas salah besar dan bukan maksud kami untuk mendukung tasawuf,karena demi ALLAH,kami juga tidak suka dengan tasawuf,yang banyak tersesat,hanya saja kami menempuh sikap pertengahan.”

    yg ana ingn tanyakan adlh :
    1. apa sikap qt thdp kitab ihya’ ulumuddin itu bnar” hrs mnempuh sikap pertengahan? atw apkh krna isi kitab itu merusk pemikiran mk perlu qt bakar atw dikubur ,dll?
    ———-

    pertanyaan ke-2 soal khilafiyah.

    sya prnh mndengar ceramah yg intinya ustdz itu mengatakan bhwa: “Para ulama mengatakan,Orang yang belum mengatahui khilafiyah para ulama, maka dia belum mencium aroma fiqih”

    kira”,apa mksd dr perkataan ustadz yg ceramah itu ya?

    sblmnya syukran ats jwbn yg nnti d brikan.
    wassalaam

    Suka

    • wa’alaikumussalaam …
      1) Kitab yg dijamin benar, tidak ada keraguan didalamnya kan hanya Al Qur’an, adapun kitab lain, harus diukur kesesuaiannya dg al Qur’an, as Sunnah, maupun yg ditunjukkan oleh al Qur’an maupun as Sunnah yakni ijma’ dan qiyas yg ‘illatnya syar’i. Adanya kekurangan dalam sebuah kitab bukan berarti kita langsung boleh melecehkan kitab tersebut, apalagi kekurangan tsb bisa jadi kesalahfahaman orang yg menganggap itu kekurangan, padahal orang lain memahaminya dengan benar; bahkan al Qur’an saja orang bisa memahaminya dengan salah. Cerita-cerita seperti di ihya, itu juga banyak terdapat di kitabnya ulama besar semisal al hafidz ibnul jauzy (lihat saja kitab beliau semisal bahrud dumu’). Jadi masalahnya bukan membenci, mengagungkan atau pertengahan, masalahnya dikitab manapun itu kita dapati, kalau benar maka harus diterima, walaupun dalam kitab tsb banyak kesalahan, sebaliknya walau kitab tsb banyak baiknya, namun kalau kita dapati satu hal yg bertentangan dengan syara’ maka harus kita tinggalkan, ini bagi orng yang memang mampu.

      2) ana tdk tahu apa yg beliau maksud “aroma fiqh”, cuma yg jelas kalau org tidak tahu masalah khilafiyyah akan terjerumus mudah mencap orang lain salah, sesat, ahlul bid’ah dll padahal dalam masalah khilafiyyah.

      Suka

  7. Assalamualaikum ustad,
    dalam hal ini pengertian aqidah adalah untuk memastikan iman atau kafir. Nah, pertanyaan saya bagaimana dengan kata sesat, apakah sesat tidaknya seseorang bisa dilihat dari aqidahnya? Mohon penjelasannya.

    ##
    Wa’alaikumussalaam …
    Ya, bisa dilihat dari aqidahnya, bahkan bisa juga dari pemahamannya terhadap syari’ah. https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/

    Suka

  8. assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
    mohon penjelasan tentang di bawah ini
    Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?”
    Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?” Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang.” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang aqidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.

    kata teman intu salah satu argumen bahwa imam syafii menerima hadits ahad tuk hujjah dalam aqidah

    Suka

    • Sebenarnya baik perkara-akidah maupun hukum, khabar ahad yang sahih bisa diterima, tentunya dengan tingkat penerimaan yg tdk qath’iy. ini yang Imam Syafi’i pakai, menurut al Hafidz Ibnu Abdil Barr. dan inilah yang kami pakai. sudah ana tulis di postingan ini:

      Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:

      اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه

      Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh.

      kadang mereka salah faham atau tidak faham akan masalah ini, sehingga muncul buku-buku seperti bukunya al hilali yang membahas masalah ini, seolah-oleh kami dan ulama yang spendapat dengan kami itu mengingkari khabar ahad. Allahu A’lam.

      Suka

  9. jazaakallaahu khairan ustadz

    Suka

  10. Assalaamu’alaikum Ustadz

    Di paragrap di atas disebutkan ini:
    “Mayoritas ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang tiga (Imam As Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik r.a), Imam Ahmad dalam satu riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy (w. 482 H), mereka menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm (kepastian) tetapi menghasilkan dzon, ini juga pendapat Imam Al-Ghazali, Imam An Nawawy (w. 676 H), As Sarokhsyi (w. +- 490 H), Khatib Al Baghdady, Ibnu Burhan, Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), Ibnu Hajar Al Asqalany (w. 852H), Imam As Syairozi (w. 476 H), Imam As Sam’ani (w. 489 H) [6] dll.”

    Apakah ‘ulama-‘ulama tersebut meyakini siksa kubur? ato tidak meyakini siksa kubur?

    Suka

    • Siksa kubur itu dalilnya shahih, wajib membenarkannya, dan tidak boleh menolaknya, dan termasuk kesesatan kalau menolaknya hanya karena ini hadits ahad.

      Imam al Ghazali, Imam As Sanusi, Imam Al Bazdawi, dan lain-lain … mereka mengakui adanya siksa kubur … bahkan mereka telah membantah pemikiran kaum mu’tazilah yang meniadakan siksa kubur walaupun mereka adalah kelompok ulama yang tidak menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah …. Disisi lain, karena ini dalilnya dzann, mereka tidak menganggap mu’tazilah sebagai kafir (keluar dari Islam). Allahu A’lam

      Suka

Tinggalkan komentar