Fatâwa Al Azhar Tentang Khabar Ahad

Melihat banyaknya yg masih samar dalam memahami kedudukan khabar ahad, seperti dalam komentar pada tulisan ini dan ini, dan susahnya memahami objek pembahasan aqidah seperti dalam tulisan ini, akibatnya ada sebagian kalangan yg menyatakan suatu gerakan yang menyatakan bahwa: “khabar ahad bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah” mereka anggap sebagai gerakan menyimpang, sesat dll, padahal dari kajian saya, justru ini pendapat mayoritas ‘ulama. Berikut saya tambahkan secara lengkap penjelasan dalam kitab Fatawa Al Azhar, dengan Mufti Lembaga Fatwa Mesir (دار الإفتاء المصرية), tentang khabar ahad, yang juga pendapatnya sama dengan pendapat dan penjelasan gerakan yang menyatakan bahwa: “khabar ahad bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah”

العمل بأحاديث الآحاد

السؤال

نقرأ فى بعض الكتب عند الاستدلال على بعض الأحكام بحديث نبوى، أن هذا حديث آحاد يفيد القطع ، فما هى أحاديث الآحاد، وما هى منزلتها فى الاستدلال على أحكام الدين ؟

الجواب

أحاديث الآحاد هى التى لم يبلغ رواتها حد التواتر الذى يفيد القطع واليقين ، والحديث المتواتر هو الذى رواه جمع عن جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب ، وأحاديث الآحاد أنواع ، منها المشهور الذى رواه ثلاثة فأكثر، والعزيز الذى رواه اثنان ، والغريب الذى رواه واحد فقط . وهى من أقسام الحديث الصحيح ، وهناك الحديث الحسن والحديث الضعيف والحديث الموضوع ، وهناك تقسيمات لهذه الأحاديث فى علم مصطلح الحديث ، ويهمنا الآن الحديث الصحيح بقسميه الآحاد والمتواتر .

يقول علماء الأصول : إن أحاديث الآحاد يجب العمل بها فى الأحكام الشرعية العملية ، باعتبارها فروعا ، ولا يعمل بها فى العقائد باعتبارها أصولا للدين ، وهذا ما يفيده ما نقل عن جمهور الصحابة والتابعين ، وأقوال علماء الفقه والأصول ، ولم يخالف فى ذلك سوى بعض فقهاء أهل الظاهر وأحمد فى رواية عنه .

فأحاديث الآحاد مهما بلغت قوتها كالمشهور منها لا تفيد العلم اليقينى الذى يعتمد عليه فى العقائد، بل تفيد الظن الذى يكفى فى وجوب العمل بها فى الفروع ، جاء ذلك فى كثير من المراجع ، وصرح به النووى فى شرح صحيح مسلم "ج 1 ص 20 " وجعل منها ما رواه البخارى ومسلم رادًا به على ابن الصلاح الذى قال : إن ما روياه يفيد العلم النظرى

من هذا يعلم أن أحاديث الآحاد الصحيحة لا تفيد إلا الظن ويجب العمل بها فى الفروع لا فى العقائد، وإفادة الظن أو اليقين فى الأحاديث قد تكون من جهة الرواية، فالمتواتر يفيد اليقين والآحاد لا تفيده ، وقد تكون من جهة الدلالة أى دلالة اللفظ على معناه ، وذلك مشترك بين جميع الأحاديث وبين القرآن الكريم ، فاللفظ إذا لم يحتمل إلا معنى واحدا كان قطعى الدلالة ، وإذا احتمل أكثر من معنى كان ظنى الدلالة، كلفظ العين ، يطلق على العين الباصرة وعلى عين الماء ، وعلى الذهب وعلى الجاسوس . ولفظ الفتنة يطلق على الامتحان وعلى الكفر وعلى العذاب ، وعلى الوقيعة بين الناس ، والشواهد على ذلك كثيرة .

وتفريعا على ذلك لو وقع خلاف فى مسألة فرعية دليلها خبر آحاد وأنكر الإنسان حجية هذا الخبر لا يكون بذلك كافرا أو فاسقا وإلا لحكم بذلك على أئمة الفقه المختلفين فى بعض المسائل ، مع الأخذ فى الاعتبار أن هذا الإنكار له مسوغ شرعى ، فإذا تأيد هذا الخبر وما يدل عليه من حكم بالإجماع عليه صار قويا ، ومن جحده كان مخطئا ، وإن كان لا يحكم عليه بالكفر " فتاوى معاصرة للشيخ جاد الحق على جاد الحق ص 49 – 60 "

Intinya (yg saya cetak merah):

“hadits-hadits ahad walau bagaimanapun kekuatannya, seperti hadits masyhur, tidaklah berfaedah ‘ilmu yaqin yang aqidah disandarkan kepadanya, akan tetapi berfaedah dzonn yang cukup untuk mewajibkan ‘amal dalam hal furu’, hal ini disebutkan dalam banyak rujukan..”

jika terjadi ikhtilaf dalam masalah cabang yang dalilnya adalah khabar ahad, dan manusia menolak atas kehujjahan khabar ini, maka tidklah mereka dengan yg demikian itu menjadi kafir atau fasiq… jika khabar ini menjadi kuat dan apa-apa yang menunjukkan kepadanya (kekuatan khabar ini) seperti kesepakatan atas (kebenaran khabar ahad ini) maka khabar ahad ini menjadi kuat, dan barang siapa mengingkarinya adalah mukhti’ (salah), walaupun tidak bisa dihukumi atas orang yang mengingkarinya sebagai kafir”

***

Dari hal diatas dan dalam tulisan Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul, sebetulnya jelas kalau yg dimaksud “hujjah/dalil dalam aqidah” adalah “hujjah/dalil yg cukup dengan dalil itu untuk menyatakan seseorang beriman atau kafir”.

Jadi kalau ada orang yg menyatakan: “khabar ahad itu yufiidul ‘ilma/berfaedah ‘ilmu(yaqin), tapi seseorang tidak otomatis menjadi kafir karena mengingkari khabar ahad”. Maka bisa disimpulkan bahwa orang tersebut tidak mengerti objek pembahasan masalah ini.

Banyak juga yang karena salah faham kemudian menyatakan “tidak menjadikan hujjah/dalil berarti tidak percaya”, padahal sebenarnya khabar ahad kalau shahih, maka kita membenarkannya dengan pembenaran yg sesuai dengan derajat kepastian hadits tersebut, “tidak menjadikan hujjah/dalil dalam perkara aqidah” berarti “tidak mengkafirkan seseorang karena berbeda pendapat dalam masalah khabar ahad”, karena yg dimaksud aqidah dalam hal ini adalah aqidah yg membedakan iman dan kafir, bisa dibaca di Perbedaan antara Aqidah dan Hukum Syara’.

Yang lebih aneh lagi adalah tulisan yang berjudul : “Bantahan Ilmiyah Atas Kesesatan Akidah HT”  (lihat di : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=78), nampak sekali bahwa penuduh tidak memahami tema pembahasan aqidah ini, nampak dari apa yang dia tulis di bagian akhir  artikelnya: “Meskipun para ulama ahli fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad Dumainiy, halaman 277)” Bukankah kalau yang dimaksud seperti ini berarti tidak ada perbedaan dengan kelompok yang mereka tuduh?  lalu kenapa dipaksakan terus  tuduhan tersebut?

***

Satu hal yang patut direnungkan, seandainya mereka tahu dan ikhlas menyatakan kesesatan gerakan yang menyatakan bahwa: “khabar ahad bukan hujjah dalam perkara ‘aqidah”, mengapa mereka tidak menyatakan hal serupa terhadap Lembaga Fatwa Al Azhar, Imam Nawawi, dan ‘ulama-ulama lain yang mayoritas mereka berpendapat yang sama? Allahu Ta’ala A’lam.

Baca Juga:

Posted on 5 Agustus 2010, in Aqidah, Ikhtilaf. Bookmark the permalink. 10 Komentar.

  1. anda berdalil dengan fatwa? lalu apakah anda sudah benar2 belajar mustolah hadots? lalu berapakah hadits yang tergolong mutawatir, sungguh sedikit sekali? lalu apakah anda tidak mengimani siksa kubur dan syariat yang lain yang justru khobarnya bukan mutawatir? kalau seperti itu tidak sah keislaman orang yaman yang mereka menerima islam dari khobar ahad yaitu dari sohabat muadz? coba pikirkan perkataan anda?

    Suka

  2. 1. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk MEYAKINI kabar apapun (aqidah maupun yang lainnya) dari orang yang dia percayai (baik dari sisi hafalan, ketakwaan, dll.). Dan ini bisa kita lihat sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada orang yang terpercaya memberi kabar kepada kawannya, maka kawannya itu secara fitrah akan mempercayainya meski yang memberi kabar cuma satu orang. Oleh karena itulah para Sahabat Rasul dahulu senantiasa mempercayai kabar yang dibawakan oleh Sahabat yang lain meskipun yang mengabarkannya itu hanya satu orang.
    Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata dalam Mukhtashor Ash Showaa’iq Al Mursalah (II/361-362), “Diantaranya adalah pengabaran para Sahabat, sebagian mereka kepada sebagian yang lainnya. Mereka dahulu memastikan kabar yang disampaikan oleh salah seorang dari mereka dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berkata kepada orang yang mengabarkan hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, ‘Kabar engkau adalah ahad tidak menghasilkan ilmu sampai mutawatir dulu.’ Adapun tawaqufnya sebagian Sahabat sampai dikuatkan oleh yang lainnya tidak menunjukkan bahwa mereka melakukan itu karena kabar tersebut adalah kabar ahad. Akan tetapi, terkadang mereka memeriksa terlebih dahulu (kebenarannya) dan inipun sangat jarang terjadi. Tidak ada seorang pun Sahabat, tidak pula ahli Islam setelahnya, merasa ragu pada apa yang dikabarkan oleh abu Bakar Ash Shiddiq dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, tidak pula Umar, Utsman, Ali dan tidak pula Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar, Mu’adz bin Jabal, ‘Ubadah bin Ash Shomith, Abdullah bin Umar dan para Sahabat lainnya. Bahkan merekapun tidak meragukan pengabaran Abu Huroiroh padahal ia sering bersendiri pada kebanyakan hadits. Dan tidak pernah seorang pun dari mereka berkata suatu hari, ‘Kabarmu adalah ahad, tidak menghasilkan ilmu.’ Dan hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam lebih agung dalam dada-dada mereka dari melakukan perbuatan tersebut. Orang yang memberi kabar lebih agung dan lebih jujur di mata mereka untuk mengatakan perkataan tadi kepadanya. Dan salah seorang dari mereka apabila meriwayatkan sebuah hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam mengenai sifat Alloh, langsung mereka terima dan meyakini sifat tersebut secara pasti dan yakin, sebagaimana meyakini akan melihat Robb pada hari kiamat dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan mengajak bicara dan memanggil hamba-hamba-Nya dengan suara yang dapat didengar oleh yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat. Juga meyakini turunnya Allah Subahanhu wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, meyakini sifat tertawa, gembira, memegang langit dengan salah sati jari jemari-Nya, dan menetapkan kaki. Orang yang mendengar hadits-hadits ini dari orang yang mengabarkannya dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam atau dari Sahabat yang lain yang semakna dengannya, (ia langsung menerimanya). Ketika mendengar hadits-hadits itu dari orang yang adil dan jujur, tanpa merasa ragu kepadanya, dan terkadang diantara mereka ada yang memeriksa dahulu pada sebagian hadits-hadits hukum sampai menguatkan dengan periwayatan Sahabat lainnya. Sebagaimana Umar menguatkan riwayat Abu Musa dengan riwayat Abu Sa’id Al-Khudri. Demikian pula Abu Bakar menguatkan riwayat Al-Mughiroh bin Syu’bah dengan riwayat Muhammad bin Maslamah dalam masalah warisan nenek. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang memeriksa periwayatan hadits-hadits sifat Alloh. Bahkan, mereka sangat bersegera untuk menerima, membenarkan dan memastikan kandungannya serta menetapkan sifat dengan pengabaran orang yang mengabarkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan orang yang mempunyai sedikit perhatian terhadap sunnah saja akan mengetahui hal itu. Kalaulah bukan karena telah jelasnya perkara ini, tentu akan kami sebutkan lebih dari seratus riwayat.
    Maka apa yang dijadikan sandaran oleh para penolak terhasilkannya ilmu dari kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (yang ahad) telah merobek ijma’ para Sahabat yang telah diketahui secara dhoruri. Demikian pula ijma’ Tabi’in dan para imam kaum Muslimin. Mereka (para penolak itu) telah menyetujui kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Rofidhoh dan Khowarij yang telah melanggar kehormatan ini dan diikuti oleh segelintir ahli ushul dan fuqoha yang sama sekali tidak mempunyai salaf (pendahulu) dari para imam kaum Muslimin. Bahkan para Imam tersebut dengan tegas bertentangan dengan mereka.” (Al-Adillah wasy Syawaahid (Edisi terjemah: Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah & Hukum), hal 81-83 karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali)

    Suka

  3. 2. Dari penjelasan Ibnul Qoyyim di atas sudah cukup membuat kita yakin bahwa: Kabar dari satu orang yang terpercaya sudah cukup untuk menghasilkan keyakinan sehingga sudah cukup untuk membangun aqidah. Dan inilah yang dilakukan oleh para Sahabat Rasul dan juga generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka. Dari sini jelaslah kekeliruan HT yang mengatakan bahwa hadits ahad masih menghasilkan dugaan dan keyakinan hanya bisa dibangun oleh Al-Qur’an dan hadits mutawatir.
    Jadi PENDAPAT YANG BENAR adalah: Hadits ahad yang shahih sudah cukup untuk menghasilkan keyakinan. Sebab, tidak akan mungkin ada seorang Muslim yang meragukan kabar dari Abu Bakar, atau Umar, Ali, dll. Ketika Abu Bakar menyampaikan berita kepada kawannya, pasti kawannya itu akan meyakininya. Tidak akan mungkin ada seorang pun di dunia ini, jika dia masih beriman kepada Allah dan hari akhir, yang meragukan kabar dari orang sekaliber Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dll.

    Suka

    • Coba direnungi lagi makna yaqin, dzan, syak, wahm, baca juga yang ini:

      Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul

      mayoritas ‘ulama ahli ushul memandang khabar ahad – walaupun perowinya ‘adil – adalah mewajibkan ‘amal namun tetap tidak mewajibkan ‘ilmu/ yaqin sehingga tidak cukup untuk sebagai hujjah bagi pengkafiran orang lain, namun demikian mengingkari khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia mendatangkan takwil, dihukumi sesat, jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.

      Adapun pernyataan dalam pembahasan di beberapa kitab bahwa khabar ahad YUFIIDUL ‘ILMA , maka yang dimaksud disitu adalah AL ‘ILM BI MA’NA DZON (‘ilmu/yaqin dengan makna dzon – sebagaimana orang melakukan test dengan alat yang akurasinya 99% lalu dia katakan bahwa hasilnya meyakinkan), atau ‘ILMU YANG MEWAJIBKAN ‘AMAL, atau yang diistilahkan Syaikh Abu Zahroh dengan ‘ILMU DZONNY’, walaupun tidak dipungkiri ada juga yang memaksudkannya dengan ‘ilmu yaqin.

      Suka

  4. Mengapa orang-orang sibuk melakukan bantahan terhadap adanya pendapat yang realitasnya sudah dimaklumi oleh kalangan ulama. Seharusnya orang-orang ini merenung dengan sebaik-baiknya ungkapan Imam As-Syafiiy rah dalam Fiqh Al-Akbar “Jika manusia tidak dapat mengambil pelajaran dari dua dalil ini (ayat tentang adanya siksa siang dan malam dengan hadits yang merupakan doa setelah tahiyat akhir) maka tidak ada kewajiban mempercayai adanya siksa kubur”. Ini kami kemukakan sekedar contoh bahwa beliau sebagai ulama kaliber dunia juga masih memberi peluang adanya perbedaan karena memang kedua dalil yang dikemukakan adalah zhon yakni mafhum beliau tentang ayat tersebut adanya siksa kubur dan hadits ahad dalam doa tsb agar berlindung dari siksa kubur. Meski bahwa keyakinan kita terhadap adanya siksa kubur juga bernilai zhon tidak sampai qathiy. Hal ini bukan berarti menolak sama sekali keyakinan adanya siksa kubur. tetapi maksudnya adalah menempatkan tidak melampaui apa yang datang dari dalil tersebut. sehingga tidak menambahi yang menyebabkan kita sendiri ‘maaf’ tersesat. Karena memaksakan ijtihadnya untuk diyakini oleh orang lain padahal hujjahnya lemah. Wallahu a’lam

    Suka

  5. Menurut Al-Qadhiy Abu Bakar Ibn Al-’Arabiy Al-Malikiy (w. 543 H) bahwa orang yang menganggap Hadits Ahad menimbulkan keyakinan itu ada dua kemungkinan: bisa jadi dia tidak tahu apa itu keyakinan atau bisa jadi dia tidak tahu apa itu Hadits Ahad.

    lihat data originalnya di sini:

    ====================

    Sementara Menurut Al-Qadhiy Abu Bakar Al-Baqillaniy (w. 403 H), bahwa pendapat “Hadits Ahad menimbulkan keyakinan” adalah pendapat orang yang tidak sampai ‘ilmunya pada bab ini.

    lihat data orisinalnya di sini:

    ====================

    malu donk dikatain demikian oleh dua sosok Qadhiy besar yang tidak diragukan ke’ulama’annya. wallaahu a’lam

    ## Syukron Ustadz. Ana juga menulisnya disini : https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/

    Suka

  1. Ping-balik: Supplemen Kitab Nidzomul Islam | Ummu Mu'tashim Ali Syaqib

  2. Ping-balik: Kumpulan Bantahan – Jawaban Ilmiyyah HT (Resmi) & Syabab Atas Berbagai Fitnah Terhadap HT « مجلس العلم الشرعي

Tinggalkan komentar