Bid’ah Terpuji/Tercela; Konsep, Realitas & Ikhtilaf

Oleh: M. Taufik N.T

Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti, maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah sesama muslim.

Tulisan ini saya buat dengan harapan bisa mempererat tali ukhuwwah sesama muslim – apapun organisasinya — dan agar kita bisa menyikapi perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam lingkup perbedaan yang syar’iy, bukan perbedaan yg merupakan penyimpangan dari syari’ah. Dan kalaupun masih ada perbedaan pandangan maka kita bisa bersikap sebagimana para ‘ulama dulu ketika mereka berbeda pandangan, yakni: “pendapat yang kami ambil adalah pendapat yang benar, walaupun ada juga kemungkinan keliru, sedangkan pendapat selain pendapat kami adalah keliru walaupun ada kemungkinan benar”, bukan menyatakan pendapat selain pendapatnya adalah sesat, tentunya kalau pendapat lain tersebut ada dalil ataupun syubhat dalilnya juga.

1. Hadits – Hadits Tentang Bid’ah

Sebelum membahas lebih lanjut, berikut beberapa hadits tentang bid’ah, adapun penomoran hadits disini sesuai dengan software Kutubut Tis’ah (kalau redaksi hadits cukup panjang, saya kutip sebagian saja yang khusus berkaitan dengan tema ini):

1. Riwayat Muslim no 1435 dari Jabir bin ‘Abdullah:

… فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ…

… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat…

2. Riwayat Abu Dawud no 3991 dari ‘Irbadh bin Sâriyah:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

… Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setaip bid’ah adalah sesat…

3. Riwayat An Nasâ’i no 1560 dari Jabir bin ‘Abdullah:

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’…

4. Riwayat Ibnu Majah no 42 dari ‘Irbadh bin Sâriyah:

وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

…dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat…

Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan redaksi berbeda dari Jabir bin Abdullah (no 44), dan juga dari Abdullah bin Mas’ud (no 45)  dengan redaksi:

أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

…Ingatlah, janganlah kalian membuat perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat… 

5. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (no 13815), dan dari ‘Irbadh bin Sâriyah (no 16521 dan 16522), dengan redaksi yang kurang lebih sama diatas.

Adapun hadits dari ‘Irbadh bin Sâriyah [point 2 (dan 5)], Al Hafidz al Bazzar menyatakan: hadîts tsâbit shahÎh”, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr menyatakan: hadîts tsâbit, Al Hâkim menyatakan : صحيح ليس له علة (Shahih tidak ada cacatnya)[1].

2. Pendapat Para Ulama berkaitan dengan Bid’ah

Dari kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, secara umum ada dua pendapat berkaitan dengan bid’ah, yakni:

1. Ada Bid’ah Baik (Hasanah) Dan Buruk (Dlolalah)

Ini merupakan pendapat[2] Al-Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Shulthonul ‘Ulama Al-‘Izz ibn Abdis Salam (wafat 660 H), Imam An-Nawawi (676 H), Al Hafidz As Suyuthi ( w. 1505 M), Abu Syaamah (wafat 665 H). Dari kalangan Malikiyah: Al-Qarafi (wafat 684 H) dan Az-Zarqani (wafat 1122 H). Dari kalangan Al-Hanabilah : Al Hafidz Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) serta dari kalangan Dzahiri : Ibnu Hazm (wafat 456 H).

2. Bid’ah Semuanya Sesaat, baik dalam adat maupun ibadah.

Ini merupakan pendapat [3]At-Thurthusy, Asy-Syathibi (wafat 790 H), Imam Asy-Syumunni (wafat 821 H) dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga Al Hafidz Al-Baihaqi (wafat 458 H), Al Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqallany (wafat 852 H), serta Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974) dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab (wafat 795 H) dan Ibnu Taymiyyah (w. 1328 M). Termasuk pendapat Imam Malik, beliau berkata:

من ابتدع في الاسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم ان محمدا خان الرسالة، لان الله تعالي يقول: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكن اليوم دينا

Barang siapa mengada-adakan didalam Islam suatu bid’ah yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka ia telah menuduh Muhamad SAW menghianati risalah, karena Allah telah berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agamamu”. Maka sesuatu yang bukan termasuk ajaran agama pada hari itu (saat hidup Rasul) bukan pula termasuk ajaran agama pada hari ini. (lihat Abdul Muhsin bin Hammad dalam فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين , hal 86, Maktabah Syâmilah)

3. Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat?

Dari apa yang saya kaji, sebenarnya perbedaan pandangan apakah ada bid’ah hasanah atau tidak ada hanyalah perbedaan semu, dimana dua kelompok ulama tersebut sebenarnya bermaksud sama dalam hal makna, hanya berbeda dalam pengungkapan dan pendefinisian.

Kalangan pertama memaknai bid’ah hanya sebatas makna bahasa saja, yakni:

الْبِدْعَةُ لُغَةً : مِنْ بَدَعَ الشَّيْءَ يَبْدَعُهُ بَدْعًا ، وَابْتَدَعَهُ : إِذَا أَنْشَأَهُ وَبَدَأَهُ .وَالْبِدْعُ : الشَّيْءُ الَّذِي يَكُونُ أَوَّلاً ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى : قُل مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل

Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-‘a asy-syai’ yabda’uhu bad’an wa abtada’ahu: (yang artinya adalah) mengadakan dan memulai. Dan Al Bid’u : (adalah) sesuatu yang ada pertama kali, dengan makna ini allah berkata: Katakanlah (wahai Muhammad)aku bukanlah utusan yang pertama kali (al Ahqaf : 9)[4]

Sedangkan makna hadits (yang baru):

الْحَدِيثُ نَقِيضُ الْقَدِيمِ ، وَالْحُدُوثُ : كَوْنُ شَيْءٍ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ

Al hadits (yang baru) itu adalah lawan dari qadiim (yang dahulu), dan huduts: keberadaan sesuatu setelah sebelumnya tidak ada.[5]

Ini juga diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW (no 2):

… فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ…

… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…

Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:

… وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ…

…dan setiap bid’ah adalah sesat…

Kata Kullu (setiap) dalam kullu bid’ah (setiap bid’ah) adalah dimaksudkan untuk sebagian, yakni bid’ah yang buruk saja (dalam bahasa Arab ada kaidah ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut semua namun yang dimaksud adalah sebagian), kalau dalam bahasa Indonesia kurang lebih sama dengan majaz totem pro parte (pelajaran SMP dulu). Misalnya dalam Al Qur’an Allah menyatakan dalam Surah Al Kahfi 79:

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Kalimat “merampas tiap-tiap bahtera” (يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا) maksudnya bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu dikatakan “aku bertujuan merusakkan bahtera itu” yakni agar tidak dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan sebagian saja.

Adapun kelompok kedua, yang menyatakan bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Mereka memahami sabda Rasulullah SAW (no 2):

… فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ…

… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…

Kata kullu disini maksudnya khusus, bukan semuanya, sehingga mereka menggolongkan pesawat (walaupun di zaman Rasul tidak ada), bangunan sekolah, komputer, adanya jam belajar tertentu di sekolah dll, yang merupakan perkara baru namun tidak digolongkan bid’ah.

Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:

… وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ…

…dan setiap bid’ah adalah sesat…

Kata kullu disini mereka maksudkan untuk menyatakan semua, tanpa pengecualian, adapun pengecualiannya di masukkan dalam pengkategorian apakah sesuatu itu bid’ah atau bukan, yakni mereka menggunakan kata bid’ah dengan pendefinisian baru, antara lain:

Definisi Imam Asy Syatibi[6] , ada dua definisi bid’ah, yakni:

طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ

Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika melakukannya diniatkan untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Definisi ini mengkhususkan bahwa bid’ah adalah khusus dalam ‘ibadah, bukan ‘adat.

Definisi kedua dari Asy Syatibi:

طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِي الشَّرِيعَةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika melakukannya diniatkan sebagaimana apa yang dimaksud oleh jalan (thoriqah) syar’iyyah.

Definisi yang kedua ini memasukkan ‘adat kedalam bid’ah jika diserupakan dengan thariqah (jalan) syari’at.

Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul Ulum Wal Hikam menyatakan:

وَالْمُرَاد بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لاَ أَصْل لَهُ فِي الشَّرِيعَة يَدُلّ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْل مِنْ الشَّرْع يَدُلّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَة لُغَة

Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang tidak ada pokok (asal/dasar) nya dalam syari’ah yang menunjukkan atasnya, adapun jika ada asal/pokok/dasar dari syari’ah maka itu bukan termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.

Oleh karena itu, sebenarnya perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan dalam tema pembahasan (domain) bid’ah itu, kalangan pertama yang menyatakan ada bid’ah baik dan buruk, domainnya adalah semua hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah, sedangkan yang menyatakan semua bid’ah adalah sesat, domainnya mereka sempitkan pada yg baru dalam tema agama, yang baru tadi dianggap bagian dari syari’ah, dan dimaksudkan sebagaimana yang dimaksudkan syari’ah.

4. Kenapa Masih dipertentangkan?

Seandainya saja mereka sepakat tentang domain pembahasan bid’ah, tentu tidak perlu ada perbedaan yang berarti, dan sekiranya mereka mau memahami makna yang dimaksud oleh masing masing pihak, niscaya mereka tidak akan saling berselisih, (bahkan di Bogor pernah ada dua radio FM berbantah-bantahan berulang – ulang tentang hal ini), seperti ungkapan berikut:

Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : "Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat". Karena Rasulullah SAW telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

Kemudian yang satunya menjawab: orang yang menyatakan setiap bid’ah adalah sesat, namun menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : "Artinya : Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah". Rasulullah SAW telah menghukumi bahwa semua yang baru sebagai bid’ah; dan orang ini (yang menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah) mengatakan tidak semua yang baru sebagai bid’ah, tapi yang baru dg syarat- syarat tertentu, kalau mau konsisten, seharusnya membuat syarat-syarat tertentu yg tidak dijelaskan Rasulullah itu juga bid’ah!

Maasya Allah, kasihan umat kalau para da’i nya seperti ini, padahal yang berbeda pendapat itu para ‘ulama besar yang sudah dikenal luas oleh umat Islam sedunia, dan mereka tidak saling mencela seperti ini.

5. Bagaimana Menyikapinya

Seharusnya umat, apalagi da’i, ustadz, kyai, bisa memberi contoh bagaimana seharusnya berbeda pendapat, dan mencerdaskan umat bahwa perbedaan tersebut hanya terjadi dalam perbedaan pengungkapan, bukan makna yang dikandung – walaupun dalam detil masalahnya memang kadang terjadi perbedaan.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H), walaupun beliau menyatakan “semua bid’ah adalah sesat”, tentunya “bid’ah” yang beliau maksud adalah bid’ah dengan maksud khusus, beliau dalam kitabnya, Fathul Bâry, masih mengakomodir pendapat – pendapat yang berbeda dengan pendapatnya, beliau tidak menyalahkannya, apalagi menyatakan sebagai sesat, beliau hanya menjelaskan bahwa pendapat yang berbeda tersebut adalah bid’ah dalam domain makna bahasa, dan beliau tidak memaksakan pendapatnya untuk mengikuti definisi bid’ah sebagaimana yang didefinisikan oleh kelompok kedua.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menulis[7]:

قَالَ الشَّافِعِيّ " الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم " أَخْرَجَهُ أَبُو نُعَيْم بِمَعْنَاهُ مِنْ طَرِيق إِبْرَاهِيم بْن الْجُنَيْد عَنْ الشَّافِعِيّ ، وَجَاءَ عَنْ الشَّافِعِيّ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبه قَالَ " الْمُحْدَثَات ضَرْبَانِ مَا أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَّلاَل ، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لاَ يُخَالِف شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة "

Asy Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua: yang terpuji dan tercela, yang sesuai sunnah maka ia terpuji, yang menyelisihi sunnah maka ia tercela” dikeluarkan Abu Nu’aim dg maknanya dari jalan Ibrahim bin Junaid dari Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: “al muhdatsaat (yang diada adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat, dan apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan sesuatupun dari yang demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma), maka ini adalah muhdatsat yang tidak tercela”

Dibagian lain Al Hafidz Ibnu Hajar mengutip Al Izzu bin Abdissalaam (wafat 660 H):

وَقَالَ اِبْن عَبْد السَّلاَم : فِي أَوَاخِر " الْقَوَاعِد " الْبِدْعَة خَمْسَة أَقْسَام " فَالْوَاجِبَة " كَالاشْتِغَالِ بِالنَّحْوِ الَّذِي يُفْهَم بِهِ كَلاَم اللَّه وَرَسُوله لانَّ حِفْظ الشَّرِيعَة وَاجِب ، وَلاَ يَتَأَتَّى إِلاَ بِذَلِكَ فَيَكُون مِنْ مُقَدَّمَة الْوَاجِب ، وَكَذَا شَرْح الْغَرِيب وَتَدْوِين أُصُول الْفِقْه وَالتَّوَصُّل إِلَى تَمْيِيز الصَّحِيح وَالسَّقِيم " وَالْمُحَرَّمَة " مَا رَتَّبَهُ مَنْ خَالَفَ السُّنَّة مِنْ الْقَدَرِيَّة وَالْمُرْجِئَة وَالْمُشَبِّهَة " وَالْمَنْدُوبَة " كُلّ إِحْسَان لَمْ يُعْهَد عَيْنُهُ فِي الْعَهْد النَّبَوِيّ كَالاجْتِمَاعِ عَلَى التَّرَاوِيح وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبَط وَالْكَلاَم فِي التَّصَوُّف الْمَحْمُود وَعَقْد مَجَالِس الْمُنَاظَرَة إِنْ أُرِيدَ بِذَلِكَ وَجْه اللَّه " وَالْمُبَاحَة " كَالْمُصَافَحَةِ عَقِب صَلاَة الصُّبْح وَالْعَصْر ، وَالتَّوَسُّع فِي الْمُسْتَلَذَّات مِنْ أَكْل وَشُرْب وَمَلْبَس وَمَسْكَن . وَقَدْ يَكُون بَعْض ذَلِكَ مَكْرُوهًا أَوْ خِلاَف الاوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ .

Dan telah berkata Ibnu Abdissalaam dalam akhir kitab “al qawa’id”, “Bid’ah itu ada lima bagian, yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya, karena menjaga syari’ah itu wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya (nahwu) maka itu menjadi pembuka yang wajib…, yang haram; (pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang menyelisihi sunnah, dari kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yg menyerupakan Allah dengan makhluq), yang mandub/sunnah; setiap kebaikan yang tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah, membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang terpuji, mengadakan majelis diskusi/ceramah jika yang dikehendaki adalah ridlo Allah, yang mubah/boleh; seperti bersalaman setelah sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dg yg lezat2 berupa makanan, minuman, pakaian dan rumah, dan sebagiannya makruh atau khilaful ‘aula (menyelisihi yng utama)” Wallahu A’lam

6. Yang Saya Fahami

Karena domainnya berbeda, maka tidak bisa dicampurkan dalam satu pembahasan, bisa kacau. Seperti ilustrasi yang pernah saya buat:

Suatu ketika ada 3 orang pelajar berselisih tentang Matematika, si A berpendapat bahwa 1 + 2 = 11 namun si B menyalahkannya kata si B yang benar itu 1 + 2 = 10 dan si C menyatakan A dan B tidak mengerti Matematika karena yang benar menurutnya 1 + 2 = 3.

Perdebatan panjangpun terjadi, masing – masing mengemukakan pendapatnya dan menyalahkan yang lainnya, namun mereka lupa menanyakan tema pembahasan mereka masing – masing, sampai akhirnya ada seseorang yang berusaha melerai, dan barulah mereka sadar bahwa si A mengerjakan hitungan yang hasilnya dinyatakan dalam basis 2, si B menyatakan hasilnya dalam basis 3, dan si C menyatakan hasilnya dalam basis 10. Dan ketiganya, dalam konsep matematika, ternyata benar dalam pengerjaan tersebut sesuai dengan basis bilangan yang mereka maksud.

Kalau kita berada pada domain pendapat pertama sebenarnya sudah selesai masalahnya, artinya semua hal yang baru—yg baru pasti bisa baik atau buruk– maka harus dicari status hukum syari’ahnya, kalau sesuai berarti bid’ah hasanah (menurut kelompok ke dua berarti bukan bid’ah), kalau bertentangan berarti bid’ah madzmumah (tercela).

Kalau kita kita berada pada domain pendapat kedua, bahwa semua “bid’ah” adalah sesat, maka yang saya fahami (dari literatur lain, agar lebih mudah dicerna), “bid’ah” [8] adalah:

الفعل الذي يخالف ما جاء به الشرع

Perbuatan yang menyelisihi apa-apa yang dibawa oleh syara’[9]

Yang dimaksud dengan apa yang dibawa oleh syara adalah yang ada dalilnya baik umum atau khusus. Apa saja yang tercakup dalam dalil umum ini maka tidak disebut “bid’ah” seperti belajar kimia, biologi, dll walaupun tidak ada pada masa Rasul namun tercakup dalam dalil tentang menuntut ‘ilmu. Oleh karena itu tidak setiap yang tidak ada pada masa Rasul dikatakan “bid’ah”.

Hanya perbuatan yang Allah telah menentukan secara khusus kayfiyat nya maka melakukan perbuatan tersebut dg membuat kayfiyat sendiri adalah “bid’ah”. Solat misalnya, jumlah raka’atnya sudah ditentukan, waktunya telah dibatasi, arahnya sudah ditentukan, cara dan syarat-syaratnya telah baku, wudlu’, berdiri, angkat tangan, niat, ruku’, sujud, duduk dan seterusnya. Maka solat tergolong ibadah yang kayfiyatnya sudah dibatasi dan dijelaskan, maka melakukannya dengan cara yang bebas dari ketetapan-ketatapannya, misalnya : solat di luar waktunya, membelakangi kiblat, sujud sebelum ruku’ dan seterusnya, maka dia telah berbuat “bid’ah”. Mengangkat kedua tangan saat takbir dalam shalat telah Allah atur dengan kayfiyat tertentu yang hukumnya sunnah, tidak melakukannya berarti tidak berdosa, namun mengangkat tangan saat sholat dengan membuat kayfiyat sendiri (misalnya dengan mengepalkan jari dan mengangkat satu tangan saja – seperti takbir saat masiroh) maka ini “bid’ah”.

Azan telah disyari’atkan dengan lafadz tertentu, maka azan dengan lafadz yang lain, atau menambah, atau mengganti dg lafadz yang lain, atau mengganti hurufnya, atau panjang pendeknya, semuanya terkategori “bid’ah”, misalnya kata shalat dalam azan, walaupun shalat  adalah amal yang baik, tidak boleh diganti dengan “khairul ‘amal” sehingga hayya ‘alash shalat menjadi حي على خير العمل. Adapun lagu/nada azan, karena Allah tidak menentukan kayfiyat tertentu tentang lagunya, maka tidaklah terkategori “bid’ah”.

Adapun perintah tentang dzikir dan berdo’a telah disepakati kemutlakannya oleh semua ulama’, boleh berdiri, boleh duduk, boleh berbaring dan seterusnya, intinya, syari’ tidak pernah membatas-batasinya dengan menentukan metode khusus sebagaimana halnya solat, haji dan ibadah-ibadah muqayyad (yang telah dibatasi kayfiyatnya) lainnya.

Kalau dalam shalat dan haji Rasulullah bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhory)

خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariku manasik haji kalian (HR Muslim)

Sedangkan dalam dzikir tidaklah demikian, tidak ada kayfiyyat dan batasan khusus yg digariskan Allah berkaitan dengan do’a dan dzikir, maka tidaklah dikatakan “bid’ah” kalau imam berdo’a dengan suara yg terdengar jama’ah, dengan bahasa arab atau non arab, atau bersalaman sambil berdo’a “taqabbalallahu…”. Ibadah zikir adalah ibadah mutlak yang tidak boleh dibatas-batasi oleh seseorang, baik membatasinya dengan cara tertentu misalnya harus bergerak-gerak, harus berjama’ah, harus ini, harus itu dll, atau membatasinya dengan larangan tertentu, misalnya tidak boleh bergerak-gerak, tidak boleh bersama orang lain, tidak boleh dihitung, dll. Keduanya (membatasi dengan membuat kayfiyat khusus yang harus begitu atau larangan tertentu tanpa dasar syara’) sama sama dilarang. Jadi karena kemutlakan zikir itu maka boleh-boleh saja dilakukan secara sendiri ataupun bersama orang lain, di masjid ataupun di rumah, bergerak ataupun diam seperti patung, berdiri, duduk ataupun berbaring, dihitung atau tidak, dan seterusnya.

Sama juga seperti membaca Al Qur’an, Allah tidak menentukan nada tertentu untuk membaca Al Qur’an, ia boleh membacanya dengan nada seperti suda’is, ghomidy, mu’ammar, dll dan tidak terkategori “bid’ah” membaca dengan nada/gaya tersebut, adapun melarang orang untuk mengikuti nada tertentu dalam membaca Al Qur’an, dengan alasan nada tersebut tidak ada pada masa Rasul, maka justru larangan seperti ini yang dilarang, karena ketiadaan sesuatu bukan dalil untuk menyatakan adanya sesuatu. Sama seperti sedekah misalnya, boleh dengan uang, boleh dengan mobil, boleh dengan komputer, dengan pesawat, dll, maka tidak boleh dibatas-batasi dengan mengatakan : sedekah itu hanya sah dengan uang saja dan tidak sah dengan komputer karena nabi tidak mencontohkan yang demikian.

Berkaitan dengan ini, dalam kitabul manasik dikatakan:

ليس لنا الحق أن نطلق ما قيده الله، فليس لنا الحق – أيضاً – أن نقيد ما أطلقه الله

Kita tidak punya hak untuk memperluas(memutlakkan) apa yang sudah dibatasi oleh Allah, maka kita juga tidak punya hak untuk membatas-batasi yang telah diperluas (mutlakkan) oleh Allah[10].

7. Penutup

Sebenarnya, ada PR bagi kedua belah pihak, dan bagi umat Islam secara umum:

  • Bagi pihak yang mengatakan bid’ah ada yg baik dan buruk, ketika ada sesuatu yang baru, maka wajib bagi mereka untuk mengkaji apakah yang baru tersebut baik (wajib, sunnah, mubah, makruh) atau buruk (haram)
  • Bagi pihak yang menyatakan semua bid’ah sesat, dan tidak semua yang baru adalah bid’ah, maka wajib bagi mereka ketika ada sesuatu yang baru untuk mengkajinya apakah yang baru tersebut bid’ah (sehingga sesat/haram) atau bukan bid’ah, kalau bukan bid’ah lalu apa status hukumnya (wajib, sunnah, mubah atau makruh?).

Jadi dari pada berpolemik sesuatu yang baru ini bid’ah atau bukan, lebih baik mengkaji bagaimana status hukum sesuatu yang baru ini, wajib, sunnah, mubah, makruh ataukah haram. Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Lihat ‘Irwa’ul Ghalil, 8/107

[2] قواعد الأحكام للعز بن عبد السلام 2 / 172 ط الاستقامة ، والحاوي للسيوطي 1 / 539 ط محيي الدين ، وتهذيب الأسماء واللغات للنووي 1 / 22 القسم الثاني ط المنيرية ، وتلبيس إبليس لابن الجوزي ص 16 ط المنيرية ، وابن عابدين 1 / 376 ط بولاق ، والباعث على إنكار البدع والحوادث لأبي شامة 13 – 15 ط المطبعة العربية .

(2) قواعد الأحكام 2 / 172 ، والفروق 4 / 219 .

[3] الاعتصام للشاطبي 1 / / 18 ، 19 ط التجارية ، والاعتقاد على مذاهب السلف للبيهقي ص 114 ط دار العهد الجديد ، والحوادث والبدع للإمام الطرطوشي ص 8 ط تونس ، واقتضاء الصراط المستقيم لابن تيمية ص 228 ، 278 ط المحمدية ، وجامع بيان العلوم والحكم ص 160 ط الهند ، وجواهر الإكليل 1 / / 112 ط شقرون ، وعمدة القاري 25 / / 37 ط المنيرية ، وفتح الباري 5 / / 156 ط الحلبي .

[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah

[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah

[6] الاعتصام للشاطبي 1 / / 19 ط التجارية

[7] Fathul Bâry, Juz 20 hal 330 dst, Maktabah Syamilah

[8] Saya kasih tanda petik untuk membedakan bahwa “bid’ah” disini adalah yang semuanya sesat.

[9] Dari Dirosah Fiqhiyyah (kumpulan soal – jawab)

[10] كتاب المناسك من الشرح الممتع

Baca Juga:

Posted on 26 Agustus 2010, in Fiqh, Ibadah, Ikhtilaf, Mutiara Hadits and tagged . Bookmark the permalink. 20 Komentar.

  1. tulisan yang mencerahkan, ustadz… terima kasih.

    Suka

  2. Subhaanallah…
    good thinking… thanks

    Suka

  3. Dibawah ini copy paste dari diskusi tentang tulisan ini di FB

    Suka

  4. Bismillah. Ustadz Taufik, saudaraku apakabar, smoga Allah melimpahkan rahmat, kebarokahan ilmu dan kasih sayangnya kepada antum sekeluarga.

    Ana telah membaca link yg antum sertakan diatas.
    Afwan, ana menyampaikan hal yg kontradiksi dengan tulisan di link tersebut.

    Tidak mengherankan jika Dzikir Berjamaah dll, tidak termasuk dalam bid’ah dalam urusan Agama, jika mengikuti pola berfikir dan kesimpulan yg dapat ditarik dari tulisan tersebut.

    Padahal Dzikir adalah ibadah, urusan agama, dimana pada kaedah fiqh ibadah, “seluruh ibadah adalah haram kecuali ada perintah dan tuntunannya”.

    Kembali ke pambahasan utama tentang “Bid’ah”, pembahasan ilmiah tentangnya sudah banyak kita dapatkan disitus-situs ke Islaman, terutama tentang pembahasan “Hadist Umar” seperti di catatan ana ini :
    http://www.facebook.com/note.php?note_id=149208421757444
    Disini di hal-hal kontradiktif seputar pernyataan Umar bin Al- Khaththab : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah)” di bahas tanpa keluar dari rel-rel pemahaman salafus sholeh.

    Apabila setiap orang memberikan pemahaman berdasarkan analisa, kecerdasan, opini, keilmuan, keilmiahan dan lain sebagainya, tidak hanya pada pemahaman ” bid’ah “, pada setiap ayat Qur’an yg mulia dan Hadits-hadits Rauslullah salallahu alaihi wasalam, maka sudah dapat disimpulkan akan terdapatlah berjuta-juta bentuk peribadahan yang hanya dari satu perintah.

    Demikian pula apabila kita berusaha menyatukan opini-opini, atau menyatukan atau mencari jalan tengah terhadap bentuk-bentuk pemahaman dalam urusan agama ini, bukannya kesatuan yg timbul, tapi doktrin-doktrin per harokah yang ada.

    Dengan sepakat pada :
    “ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)

    Kembalilah kepada Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafussoleh.

    Bahwa Salafush Shalih adalah manusia yang paling tahu pada keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan dan perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu mereka adalah manusia yang paling cinta terhadap sunnah Nabi dan manusia yang paling bersemangat untuk mengikuti sunnah Nabi, dan manusia yang paling banyak loyalitasnya (pertolongan dan mengikuti) terhadap Ahlus Sunnah.

    Salafussholeh adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush sholih (orang-orang terdahulu yang sholih).
    Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi).

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan ‘kebaikan’ tiga generasi awal umat ini yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka, semangat mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah, semangat mereka berpegang teguh pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Dengan mengikuti hanya pada pemahaman Salafussholeh akan menyatukan barisan-barisan kaum muslimin dan menyatukan kalimat mereka.
    “Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” [Ali Imran : 103]

    Kembali ke “Bid’ah”, perbedaan pemahaman yg tdk sesuai pemahaman Salafussholeh sangat berbahaya sekali, contoh diatas dari segi ibadah, dalam hal dzikir, lebih FATAL bisa terjadi apabila pemahaman bid’ah yg keliru dibawa untuk memahami aqidah.

    Berikut dibawah “Pemahaman Salafussholeh tentang Dzikir bersama” :

    Dari Amru bin Salamah beliau berkata : Kami duduk-duduk di depan rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum Dzuhur lalu jika beliau keluar kami akan berjalan bersamanya ke masjid, lalu datanglah Abu Musa Al-Atsary dan berkata : “Apakah Abu Abdurrahman telah menemui kalian ?”

    Kami jawab : Belum.
    Lalu beliau duduk bersama kami sampai Abdullah bin Mas’ud keluar, ketika beliau keluar kami semua menemuinya kemudian berkata Abu Musa kepadanya : “Wahai Abu Abdurrahman saya telah melihat di masjid tadi satu hal yang saya anggap mungkar dan saya tidak memandangnya -Alhamudlillah-kecuali kebaikan.

    Beliau bertanya : “Apa itu ?”

    Dijawab : “Jika engkau hidup niscaya akan melihatnya, aku telah melihat di masjid suatu kaum berhalaqah, duduk-duduk menanti shalat pada setiap halaqah ada seorang yang memimpin dan ditangan-tangan mereka ada batu kerikil, lalu berkata (yang memimpin) : “Bertakbirlah seratus kali dan mereka bertakbir seratus kali dan berkata ” “bertasbihlah seratus kali dan mereka bertasbih seratus kali”.

    Berkata Abdullah bin Mas’ud : “Apa yang engkau katakan kepada mereka”
    Abu Musa menjawab : “Saya tidak mengatakan sesuatupun pada mereka menunggu perintahmu.

    Berkata Abdullah bin Mas’ud : “Mengapa tidak kamu perintahkan mereka untuk menghitung kejelekan mereka dan aku menjamin mereka tidak ada kebaikan mereka yang disia-siakan”.

    Kemudian beliau berjalan dan kami berjalan bersamanya sampai beliau mendatangi satu halaqah dari pada halaqah-halaqah tersebut dan menghadap mereka lalu berkata : “Apa ini yang kalian lakukan ?!”

    Mereka menjawab : “Wahai Abu Abdirrahman, batu kerikil yang kami pakai untuk menghitung tahlil dan tasbih”.

    Berkata Ibnu Mas’ud : “Dan aku menjamin tidak akan ada satupun kebaikan kalian yang tersia-siakan, celakalah kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, mereka sahabat-sahabat nabi masih banyak hidup dan ini pakaiannya belum rusak dan bejananya belum hancur dan demi dzat yang jiwaku di tangannya sesungguhnya kalian berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad atau kalian pembuka pintu kesesatan”.

    Mereka berkata : “Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan, lalu beliau berkata : “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya ada kaum yang membaca Al-Qur’an tidak melebihi tenggorokkannya dan demi Allah saya rasa tampaknya kebanyakan mereka adalah dari kalian.

    Untuk mengenal mereka satu persatu serta ulama-ulama pengikut mereka siapa saja, dapat di klik di link berikut :
    Salafussoleh-> http://ahlulhadist.wordpress.com/

    Suka

    • Alhamdulillah ana sekeluarga diberikan kebaikan oleh Allah SWT.

      1. tulisan ini hanya membahas pendefinisian bid’ah, yang sudah sangat masyhur bahwa ada dua kelompok yang berbeda dlam pendefinisian, kedua kelompok tersebut adalah kelompok ‘ulama-‘ulama besar. sekali lagi sebetulnya tidak masaalah pembahasannya konsisten dg definisi yg kita pakai. dan ana tidak sedang mengambil jalan tengah karena kedua kelompok memang sedang membahas sesuatu yang berbeda dari sisi pendefinisian(lihat: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/09/23/konsep-moderasi-kompromi-al-wasathiyah/).

      2. Adapun masalah pernik-pernik yang lain dalam hal ini memang perlu pembahasan lebih lanjut.

      Suka

    • 3. Ana melihat ada sudut pandang yang berbeda antara ahli hadits dan ahli fiqh. kenapa Al Hafidz Ibnu Hajar, walaupun berada dalam kelompok yang memandang semua bid’ah sesat, beliau tidak menyatakan sesat ulama yg bersebrangan dg beliau,beliau hanya menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘ulama kelompok pertama adalah bid’ah dalam makna bahasa, beliau tidak memaksakan pendefinisian harus sama seperti yg beliau pegang. Ini dkarenakan beliau disamping ahli hadits juga ahli fiqh. lihatlah beliau tidak membid’ahkan sulthonul ‘ulama Al Izzu Bin Abdissalaam ketika memberi contoh bahwa bersalaman setelah shalat adalah bid’ah yg hukumnya boleh. Bedakan dengan generasi penuntut ilmu sekarang yang menyatakan misalnya (pernah ana dengar sendiri, sebagian ana baca, sebagian ana ada soft copynya):
      Bersalaman setelah shalat adalah bid’ah sesat
      Ceramah setelah tarawih adalah bid’ah sesat
      Imsak adalah bid’ah sesat
      Mencari imam yg bacaannya seperti bacaan imam masjidil haram adalah bid’ah sesat
      Membaca al Qur’an pakai lagu bayati, hijaz dll adalah bid’ah sesat
      Ceramah saat aqiqah adalah bid’ah sesat. dll

      4. Kalau masalah sahabat mengingkari sesuatu yg baru, itu juga terjadi pada masa setelah rasul, saat pengumpulan(penyusunan/pentadwinan) hadits dan tafsir ‘umar bin khattab dan abu musa al asy’ari juga mengingkarinya, saat pentadwinan masalah-masalah fiqhiyyah maka asy sya’bi dan sekelompok tabi’in juga mengingkarinya…(lihat fathul Bari). Yang jadi pembahasan ahli fiqh adalah: bagaimana hukum dari sesuatu yg diingkari tersebut? Apakah pengingkaran krn makruh atau haram atau sekedar khilaful awla? Jadi masalahnya adalah :
      Apakah dzikir dg menghitung dg kerikil seperti penolakan Ibnu Mas’ud berarti haram atau makruh? Pertanyaan berikutnya kalau sekarang : Apakah dzikir dg menghitung dg tasbih, alat penghitung yg klik-klik-klik itu sesat? Kalau nabi menghitung dengan ruas jari, dari ruas mana nabi memulainya? Apa kalau memulainya dari ruas jari telunjuk, tengah atau jari manis jadi sesat?
      4. Inilah yg ana tulis di kesimpulan, bahwa untuk ibadah yang mutlak seperti do’a dan dzikir yng tidak ada kayfiyyat dan batasan khusus yg digariskan Allah, maka tidaklah dikatakan “bid’ah” ketika tidak sama persis seperti dzikir dan do’anya Rasul, namun ketidak samaan tersebut perlu diteliti status hukumnya, apa haram, makruh, mubah atau bagaimana, tidak langsung dikatakan “bid’ah” dan otomatis sesat.

      Begitu juga untuk kasus yang lain. Ini frame ‘ulama dulu yang memahami semua bid’ah adalah sesat. Adapun yang memahami bid’ah adalah semua hal yang tidak ada pada masa Rasul, mereka langsung meneliti apakah hal baru tersebut hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

      Kayanya akan lebih adil kalau kita mau memahami alasan masing-masing pihak dari kitab-kitab mereka langsung, bandingkan dengan gaya pembahasan pada link yang antum kasih.

      Fathul Bary: http://www.shamela.ws/old_site/books/020/2043.rar (arabic)

      Syarh Shahih Muslim: http://www.shamela.ws/old_site/books/000/0054.rar (arabic)

      Atau ini ensiklopedi fiqh lengkap (dari berbagai sisi): http://www.shamela.ws/old_site/books/114/11430.rar

      untuk penginstalan perlu ini: http://www.shamela.ws/downloads/e-shamela3.35.rar

      Atau ini sebagian dari al mausu’ah alfiqhiyyah khusus tentang bid’ah: http://taufik1976.files.wordpress.com/2010/09/bidah-dan-hukum-yg-terkait-dgnnya-dari-al-mausuah-al-fiqhiyyah.docx

      ‘afwan. Jazaakallahu khairan. (sekalian ijin ana copas diskusi ini di blog ana)

      di link yang antum kasih (http://ahlulhadist.wordpress.com/) dicantumkan kalau Imam Asy Syaukani adalah “salafi” hidup antara 172-250 H seharusnya beliau wafat 1250 H. coba dibaca kitab beliau, naylul authar, niscaya akan banyak pertentan…gan dengan apa yang di klaim oleh yang ngaku “salafi” sekarang ini, juga imam nawawi, ibnu hajar al asqalany, al baihaqi, dll — bahkan fatwa dari saudi kalau imam nawawi aqidahnya dalam hal asma was sifat bukan “salafi” begitu juga ibnu hajar dan al baihaqi. jadi ana akan lebih aman dan selamat kalo di cek apa benar klaim klaim tersebut. ‘afwan

      Suka

  5. Bismillah.
    Alhamdulillah, trimksh akhi Taufik penjelasannya.

    Di dalam membaca suatu tulisan, kita perlu memilah dan memisahkan mana yg ilmu dan mana yg SUBHAT.

    Seperti subhat-subhat berikut :
    1. Terdapat tulisan “Salaf” dlm tanda petik—–> Salaf bukan merupakan golongan, harakoh, firkoh seperti pemahaman org 2 awam ( Beda spt Ikhwanul Muslimin atau HT yg memang ada organisasinya, semua orang berhak mengklaim dirinya pengikut salaf (Salafussholeh) ).—> sehingga penisbatan dlm tulisan2 tentang “salaf” perlu di perinci dgn data detail siapa org yg dimaksud. ( Karena akan sia-sia menuduh org yg tidak ada ! )

    2. Menkonfrontasikan Imam Syafi’i dgn “Salaf” atau ulama ulama Kabir lainnya dalam suatu pendapat.—–> Hal ini utk dikonsumsi harus dgn dibarengi pendalaman ilmu dan pengkajian yg tdk dangkal, agar tdk menghasilkan kesimpulan dangkal seolah-olah mereka bertentangan apalagi menjurus menyimpulkan mereka berbeda aqidah.

    3. Ikhtilaf cuma antara ulama satu group, diluar itu perbedaan pendapat adalah sesat. —–> Salaf tidak mengenal group, golongan fikroh, mahdzab dll, lihat poin 1. Salaf adalah org yg memegang pemahaman shalafussholeh, jika perbedaan antara salafussholeh itulah ikhtilaf.

    4. Tidak mau ambil referensi dari group lain. —–> Kalau yg dimaksud mengambil adalah membaca dan mempelajari sungguh tidak disangsikan para Tholibul ilmi yg TELAH menyelesai kan kuliah S2, S3 di madinah, Mesir, Yaman, Arab saudi, lebih dangkal ilmunya dari kita dalam mengkaji kitab-kitab itu semua? —-> Mereka hanya mengambil dan mengamalkan pemahaman yang selamat, yaitu pemahaman Salafussholeh.

    5. Pengingkaran Sahabat terhadap Sahabat satunya banyak terjadi. —-> Mereka saling amar makruf dan nahi munkar, Tinggal kita memilih mengikuti Salaf yg sholeh atau Salaf yg Toleh.

    6. lainnya menyusul

    ***
    Kehancuran umat terdahulu yang diceritakan dalam Qu’an dan Hadits perlu menjadi pelajaran bagi umat Islam

    Di dalam kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t telah menyebutkan beberapa akhlak Yahudi yang banyak ditiru oleh sebagian kaum muslimin. Di antaranya:

    a. Mereka hasad terhadap hidayah dan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum muslimin.
    b. Mereka menyembunyikan ilmu, baik karena bakhil yaitu agar selain mereka tidak mendapatkan keutamaan, atau karena takut akan dijadikan hujjah untuk membuktikan kesalahan mereka.
    c. Mereka tidak mengakui kebenaran kecuali apa yang sesuai dengan kaum mereka.
    d. Mereka merubah Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala baik lafadz ataupun maknanya.

    Karena itu kami memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala supaya kita menjadi orang-orang yang sabar dan menjaga diri, tidak melakukan perubahan (terhadap agama) dan tidak berubah, tidak melakukan penggantian (terhadap agama) dan dan tidak berganti. Tetapi menjadi orang-orang yang tetap komitmen terhadap kebenaran, tetap menyeru (orang) untuk berpegang kepada sunnah dan tetap berpegang teguh kepada al-haq.

    Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berada pada ke-Maha-tinggian-Nya dan berada diatas langit-Nya, agar Dia memantapkan kami dan anda semua untuk menempuh al-haq (kebenaran), agar Dia memberikan petunjuk kepada setiap orang yang menyelisihi kebenaran dan agar Dia mematikan kita di dalam kebenaran. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah Yang Maha berwenang dan Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

    Semoga Allah memberikan shalawat, salam serta barakah-Nya kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya semua.

    Suka

  6. AQIDAH Imam Nawawi :

    Memang semua orang bisa saja terjerumus dalam kesalahan. Tidak terkecuali an-Nawawi. Namun, salah satu keajaiban takdir Allah ta’ala dan keagungan hikmah-Nya maka Allah akan menuntun hamba-hamba-Nya yang ikhlas mencari k…ebenaran untuk kembali meniti jalan-Nya yang lurus dan meninggalkan jalan yang menyimpang di akhir hidupnya. Begitulah yang dialami oleh an-Nawawi rahimahullah.

    Jangan heran jika ternyata beliau berkeyakinan bahwa Allah itu di atas langit, tidak dimana-mana. Dan jangan kaget juga apabila ternyata beliau pun membantah akidah Asy’ari -suka menta’wil sifat- yang dibuktikan oleh para ulama memang sering beliau nukil dan diamkan di dalam karyanya yang sangat populer Syarh Shahih Muslim, salah satu kitab syarah terbaik yang pernah ada.

    Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah telah memberikan penjelasan yang cukup bagus di dalam sebuah ceramahnya tatkala mengkaji Syarah Shahih Muslim dan beliau membawakan bukti sebuah kitab karya an-Nawawi di akhir hidupnya yang menunjukkan bahwa pada asalnya beliau mengikuti manhaj salaf dalam hal akidah asma’ wa shifat. Silahkan mendownload ceramah Syaikh yang sudah dicetak dalam bentuk kitab -berbahasa Arab- tersebut di situs beliau di link berikut ini, semoga bermanfaat…

    http://www.mashhoor.net/

    Untuk mendengarkan rekaman ceramah Syaikh Masyhur silahkan buka link berikut ini

    [audio src="http://www.mashhoor.net/inside/Lessons/m06-4-20.mp3" /]

    Suka

  7. ‎3. Marhalah ketiga yang dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh hijriyah. Muncul dalam marhalah ini dua imam yaitu:
    a. Ibnu Taimiyah
    b. Ibnu al-Qayyim

    Marhalah ini memiliki karekteristik yang dibangun dia…tas dua pokok :
    – Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah ushul sesuai manhaj salaf

    – Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.
    Hal ini selesai melalui imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Keduanya membangun upaya besar tersebut diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau.
    Pada marhalah ini muncul juga karya-karya ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam, al-Mirdaawi, dan al-Fatuhi. Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari kitab Ibnu Qudamah yang masih nampak pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun mereka tentunya menerima dan mengambil faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali dengan jelas terpengaruhnya kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam tersebut.

    Inilah marhalah-marhalah yang dilewati ahlu sunnah dalam perjalanan pembentukan ilmu ushul fikih. Kemudian muncul juga beberpa karya tulis dari sebagian ulama ahli sunnah namun semuanya kembali kepada keterangan yang sudah dibuat dalam marhalah-marhalah diatas. asy-Syinqithi (wafat tahun 1393 H). dan lain-lainnya.

    Suka

    • Ya akhiy … jazaakallahu ahsana jaza’ atas usaha antum yg panjang lebar untuk menjelaskan.
      1) Ana tidak menyatakan kalau “salafy” itu organisasi, dan ana tahu hal itu tidak akan mereka akui. Jama’ah Tabligh (JT) juga sama, menurut mereka, mereka bukan organisasi. Kalau Muhammadiyyah, NU, IM, Persis, Al Irsyad dan HT jelas organisasi. Lalu kenapa Jama’ah Tabligh juga dituduh sesat, tidak berdiri berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya (ini link “salafy” yg nuduh: http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1221&bagian=0). Bukankah ini juga sama dg menuduh sesuatu yg tidak ada, bukankah seharusnya di nyatakan siapa yg mereka tuduh?

      ‎2) perlu di inventarisir apa perbedaan pendapat yang kemudian digunakan untuk menuduh suatu organisasi tidak mengikuti manhaj salaf, kemudian cobalah klarifikasi, kalau perbedaan dalam masalah suatu hukum, dan ada dalil atau syubhat dalil… yang mendasari perbedaan tersebut maka tuduhan sesat, khawarij, ahlul bid’ah, aqlaniyyun, dll adalah tuduhan keji untuk sesama muslim. Bukankah ‘ulama – ‘ulama besar juga dituduh salah oleh “salafy” sekarang namun sebagian mereka tidak disesat-sesatkan, dibid’ah- bid’ahkan, lalu kenapa kalau sekarang ada organisasi yang engambil pendapat ‘ulama besar tersebut kok disesat-sesatkan? Sudah pastikah ‘ulama besar tersebut salah karena berbeda dengan ‘ulama “salafy” sekarang. Kalau mereka ada kemungkinan salah, tidakkah ana, antum, dan yg lain juga ada kemungkinan salah juga?

      ‎3) tentang imam An Nawawi, jelas sekali yg ana kutip itu dari Fatwa Lajnah Ad Da’imah … (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan Saudi, diketuai oleh Syekh Bin Baz, saat ditanya tentang aqidah imam An Nawawi (wafat 676)[di ki…tab tersebut pertanyaan no. 12] dan menjawab:
      له أغلاط في الصفات سلك فيها مسلك المؤولين وأخطأ في ذلك فلا يقتدى به في ذلك، بل الواجب التمسك بقول أهل السنة
      Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah, dia menempuh jalan para penta’wil, dan salah dalam hal tersebut, maka janganlah mengikuti jejaknya dalam masalah tersebut, namun yang wajib adalah berpegang pada perkataan ahlus sunnah.
      Ana juga sudah membaca, tgl 5 Januari 2010 (tanggal akses file yg masih ana simpan), seperti yg antum tulis bahwa menurut Syaikh Masyhur Hasan Salman, bahwa imam Nawawi meninggalkan jalan yang menyimpang di akhir hidupnya, ana bacanya dari link ini: (http://abumushlih.com/an-nawawi-bermanhaj-salafi.html/). Bukankah ini menjadi pelajaran bagi kita agar jangan tergesa gesa menuduh seseorang menyimpang, sesat, dan predikat tidak sedap lainnya? Bukankah fatwa Lajnah Ad Da’imah tersebut belum dicabut, yang artinya ‘ulama “salafy” sendiri berbeda sikap terhadap imam An Nawawi, karena bisa saja Syaikh Bin Baz tidak sepakat dengan kesimpulan Syaikh Masyhur Hasan Salman.

      Oleh karena itu, seharusnya kita sebagai penuntut ilmu tidak gampang ikut-ikutan menyatakan orang yg tidak sependapat dg kita sebagai sesat, menyimpang, ahlul bid’ah, musyrik, …, dengan hanya mendengar penjelasan sepihak saja, dan ana pikir dalam hal ini kita sepakat.

      Lihatlah bagaimana Imam Abul Hasan al Asy’ary – yang pada zamannya dikenal sebagai imam besar ahlus sunnah (lihat Syaikh Abu Zahroh, dalam Tarikh Al Madzahib hal 171) — yang sekarang dituduh menyimpang dari ahlus sunnah “salafy”, dahulu pun ada yg menuduhnya, lalu ada pembelaan dari Al Hafidz Ibnu ‘Asâkir (wafat 571 H) dalam kitabnya yg berjudul: تبيين كذب المفتري فيما نسب إلى الإمام أبي الحسن الأشعري (penjelasan kebohongan yang mengada ada yang di nisbahkan kepada Imam Abul Hasan Al Asy’ary), saat ini, dari kajian ‘ulama sekarang ada yang menyimpulkan bahwa Imam Abul Hasan al Asy’ary, diakhir hidupnya telah “tobat” dari jalan yang menyimpang, dan ikut jalan “salafy”, ini terlihat dalam kitab beliau “al Ibaanah…”, namun ada juga yang mengkaji dan menyimpulkan bahwa dalam kitab al ibaanah tidak menunjukkan kalau beliau berubah, ada yang menyatakan kitab al ibaanahnya di palsukan karena beda dg yang dia miliki, dll. (ana disini bukan dalam posisi memihak salah satu lho..)

      Yang menjadi masalah memang adalah bahwa yang dinyatakan aqidahnya menyimpang tersebut adalah ‘ulama yang sudah wafat sehingga mereka tidak bisa melakukan klarifikasi tentang bagaimana pendapat mereka sebenarnya (an Nawawi wafat 676 H, Ibnu Hajar wafat 852 H, al Baihaqi wafat 458 H, Ibnul Jauzy wafat 597 H, dll).

      Kalau saja penuduh dan yg dituduh ketemu nanti baru ketahuan kesimpulan yang diambil memang begitu atau tidak.

      Ada satu kaidah ushul fiqh – yang asalnya adalah ijma’ shahabat, yg harusnya kita perhatikan:
      الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
      “suatu ijtihad tidak membatalkan/merusak ijtihad yang lain” [lihat an Nawawi dalam adabul fatawa (hal 36), ibnu Sholah dalam adabul mufti (2/483), Al Asybah wan nadzo’ir (1/185), Al Mantsur fil Qawa’id (1/93)]
      Dalam perkara ijtihadnya ahli ‘ijtihad, ijtihad seseorang tidak membatalkan ijtihad orang lain bahkan ijtihad seseorang tidak membatalkan ijtihad orang yang sama di masa yg lain. Semisal asy syafi’i ada pendapat yang dulu (qaul qadim) ada pendapat yg baru (qaul jadiid) kedua duanya itu ya tetap khazanah hukum syara’ hasil ijtihad yang tidak bisa dikatakan sesat misalnya kalau memakai qaul qadimnya. Allahu a’lam.

      Suka

  8. Subhanallah, jika diskusi dan dialog dilakukan oleh orang2 yg memiliki ilmu dan akhlak memang sangat menarik untuk disimak, karena seluruh komentar disampaikan berdasarkan argumentasi dan hujjah.

    berbeda jika dalog itu dilakukan oleh kereka yg tdk cukup ilmu dan rendah akhlak, maka biasanya yg terjadi hy saling serang, saling mencaci dan saling hujat.

    untuk akhiy fillah ust Taufik dan akhil fadhil Surya, Jazakumullah aufaral jaza’

    Suka

  9. Ust.Taufik tampaknya sepakat dengan pendapat yang pertama,dan tidak sependapat dengan definisi bid’ah imam as syatibi

    Suka

  10. Sepakat dgn ustadz taufik ^^, mantap penjelasannya ustadz

    Suka

  11. Maaf, pendapat pak surya itu terlalu subjektif

    Suka

  12. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,

    Barakallahu fiiq wa Jazaakumullahu khairan Ustadz, artikelnya sangat menarik dan menambah ilmu buat Saya,
    Afwan Ustadz,
    Ada beberapa yang masih perlu penjelasan tentang penerapannya bagaimana ?
    – menurut bahasa dan syar’iat ?
    – terkait urusan dunia dan Agama ?
    – termasuk maslahat mursalah (dalam ushul fiqih)?
    Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,

    Suka

  13. Abu Hanifah Al Kunduroni

    Jazakallahu khyrn katsirn,
    Ats ilmu yg bermanfaat ini.
    Tolong dikirimkan ke email sy,ya ustadz.
    Syukron katsir

    Suka

  1. Ping-balik: Menyatukan Konsep Bid’ah antara Wahaby dan Aswaja « ijabah

  2. Ping-balik: Menyatukan Konsep Bid’ah antara Wahaby dan Aswaja « ijabah

  3. Ping-balik: BID’AH TERPUJI/ TERCELA, KONSEP, REALITAS & IKHTILAF | Generasi Salafus Sholeh

Tinggalkan komentar