Memperbaiki Masa Lalu, Menyongsong Masa Depan *)

Tidak sedikit para ‘ulama terdahulu bersedih, bahkan menangis meninggalkan Ramadhan. Imam Ibnu Rajab (w. 795 H), menceritakan bahwa Sayyidina Ali berkata di penghujung Ramadhan :

يا ليت شعري مَنْ هَذَا الْمَقْبُولُ فَنُهَنِّيه وَمَنْ هَذَا الْمَحْرُومُ فَنُعَزِّيهِ

“Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ikut berbela sungkawa.”[1]

Sebagian ulama menampakkan kesedihan di hari raya Idul Fitri, Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria, kenapa engkau malah bermuram durja?” Dia menjawab:

صدقتم ولكني عبد أَمَرَنِي مولايَ أن أعملَ له عملا فلا أدري أيَقْبَلَه مني أم لا ؟

“engkau benar, tetapi, aku ini hanyalah sorang hamba yang diperintah oleh Tuanku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”[2]

Jika amalan kita tertolak, jika taubat kita tidak diterima, jika kita tidak berhasil mendapatkan ampunan-Nya, maka berlalunya Ramadhan dan datangnya Idul Fitri lebih layak menjadi musibah yang patut kita berbela sungkawa atasnya.

Diantara tanda diterimanya amal seseorang adalah adanya perubahan dalam diri orang tersebut kearah yang lebih baik. Imam Ibnu Rajab menyatakan:

ثواب الحسنةِ الحسنةُ بعدَها فمن عمل حسنةً ثم اتَّبَعَها بعد بِحَسَنَةٍ كان ذلك علامةً على قبول الحسنة الأولى

Ganjaran perbuatan baik adalah (mendapatkan taufik untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama.” (Ibn Rajab, Lathâ-iful Ma’arif, hal. 221).

***

Berbagai masalah kita hadapi dalam hidup ini, namun kita hanya punya dua pilihan: memilih jalan memperturutkan hawa nafsu, atau sebaliknya memilih jalan ketaatan dalam sikap, prilaku dan perkataan kita.

Ketika kita memilih memperturutkan hawa nafsu, yakinlah bahwa jalan ini akan berujung pada kesengsaraan; tidak lagi bisa menikmati pelampiasan nafsu tersebut, namun sulit meninggalkannya, lebih dari itu, kelak di akhirat akan menghadapi bencana yang lebih besar.

Imam Ibnu al Jauzy (w. 597H), dalam kitab Dzammul Hawa, hal 13:

وَلِهَذَا تَرَى مُدْمِنَ الْخَمْرِ وَالْجِمَاعِ لَا يَلْتَذُّ بِذَلِكَ عُشُرَ الْتِذَاذِ مَنْ لَمْ يُدْمِنْ، غَيْرَ أَنَّ الْعَادَةَ تَقْتَضِيهِ ذَلِكَ فَيُلْقِي نَفْسَهُ فِي الْمَهَالِكِ لِنَيْلِ مَا يَقْتَضِيهِ تَعَوُّدُهُ

“Karena inilah kalian melihat pecandu khomer dan jima’ tidak bisa menikmati (walau hanya) 1/10 nikmatnya orang yang belum kecanduan. Namun karena kebiasaannya sudah seperti itu, dia pun menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan untuk mendapatkan apa yang sudah menjadi kebiasaannya.”

Menuruti hawa nafsu hanya akan menjadikan seseorang celaka di saat mendambakan kebahagian, menjadikannya sedih di saat mengira akan dapat kesenangan, menjadikannya sakit di saat menginginkan kenikmatan.

Ketika kita memilih jalan ketaatan, walaupun mungkin itu berat bagi nafsu kita, namun yakinlah bahwa dalam beratnya itu ada kelezatan, dan setelahnya juga ada kelezatan.

إن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها *** وإن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها

“Sesungguhnya kelelahan dalam berbuat taat akan sirna tapi pahalanya akan tetap ada. Dan sesungguhnya kenikmatan dlm bermaksiat akan sirna namun siksanya akan tetap ada.”

Sesungguhnya dunia ini akan sirna, namun kebaikan dan kemaksiatan kita akan tetap dibalas-Nya.

Sesungguhnya jabatan dan kekuasaan juga akan sirna, yang tersisa adalah pertanggungjawabannya, kelak dihari tiada pengacara yang akan mampu membela, hari dimana jari jemari, kulit, dan tembok bersaksi. Apakah mereka memberatkan atau meringankan kita, itu semua ditentukan oleh pilihan hidup kita sekarang, ya sekarang!.

Tidakkah kita perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang memilih jalan kemaksiyatan? kekuasaan Fir’aun, kepandaian Haman, ke’ulamaan’ Bal’am, dan kekayaan Qarun telah sirna, yang tersisa tinggalah siksaan, siksa…siksa dan bencana!

Relakah kita menggantikan posisi mereka yang telah sirna, mengikuti jejak langkah mereka meniti jalan kemaksiyatan, dan berakhir sebagaimana mereka berakhir: bencana?!

***

Sungguh, jalan keselamatan itu senantiasa terbuka. Sungguh surga itu dekat, sebagaimana juga neraka itu dekat. Rasulullah katakan:

الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ ” متفق عليه

“Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya, neraka juga seperti itu.” (Muttafaq ‘Alaih).

Sungguh, jalan keselamatan itu ditentukan di masa sekarang, ditentukan oleh pilihan kita sekarang, sekarang!. Adapun masa lalu, itu bisa kita perbaiki sekarang, dengan taubat, penyesalan serta permohonan ampun, ini hanyalah urusan hati. Masa depanpun bisa kita setting sejak sekarang, dengan mengokohkan tekad dan niat untuk menjauhi kemaksiyatan, inipun hanya urusan hati, tidak ada kesusahan bagi anggota-anggota tubuh.

Yang terpenting adalah masa sekarang, saat ini, detik ini, dan detik-demi detik yang kita jalani dalam kehidupan kita. Jika kita menyia-nyiakannya maka kita telah menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesuksesan. Namun, jika kita menjaganya dengan perbaikan dua masa, yaitu masa lalu dan masa depan, maka insya Allah kita akan selamat dan menang dengan mendapatkan kelapangan, kelezatan serta kenikmatan.

Hanya itu jalannya, jika kita merasa tidak mampu bersabar dalam meniti jalan ini: mentaati perintah-perintah Allah, serta bersabar untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat selama di dunia, lalu kira-kira mampukah kelak kita bersabar menghadapi siksa Allah di akhirat? jika kita tidak mampu bersabar menghadapi sakit sedikit di dunia, mampukah kelak  kita bersabar menghadapi siksa neraka? [MTaufikNT]

*) ringkasan khutbah ‘idul fitri 1438 H, yang saya sampaikan di Lapas Narkoba Karang Intan, Kalsel.

 
Baca Juga:

[1] Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795H), Lathaif al-Ma’arif, hal 210. Maktabah syamilah

[2] Lathaif al-Ma’arif, Ibn Rajab al-Hanbali : 187

Posted on 27 Juni 2017, in Dakwah, Pendidikan and tagged , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar