Kedudukan Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah

Oleh M Taufik NT

Diskusi tentang khabar ahad apakah yufiidul ‘ilma (berfaedah ‘ilmu/yaqin) atau yufiidu adz dzon (berfaedah dzon/dugaan) sehingga bisa diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah atau tidak, sebetulnya merupakan perkara klasik yang memang terdapat perbedaan para ulama dalam menyikapinya. Namun dikarenakan adanya kekaburan pada sebagian kaum muslimin sehingga akhirnya mereka menyalahkan -bahkan menganggap sesat- orang yang berbeda pendapat dengannya, maka hal ini perlu kita kaji kembali. Pertanyaan-pertanyaan yang harus terjawab dan dipahami dalam membahas tema ini antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan aqidah dan Iman?

2. Apa yang dimaksud dengan khabar ahad?

3. Apakah khabar ahad menghasilkan kepastian atau hanya dzan?

4. Bolehkah aqidah dibangun diatas hal yang dzanniy (tidak pasti)?

Tulisan ini berusaha menjelaskan hal-hal tersebut (insya Allah tidak bermaksud fanatis terhadap salah satu pendapat saja dan menyatakan pendapat yang lain sesat), semoga dapat memberikan pencerahan bagi umat ini dalam menggalang persatuan mewujudkan cita-cita tegaknya kalimatullah di muka bumi ini.

1. Pengertian Aqidah

Menurut Istilah, عقيده (jamaknya, عقا ئد) memiliki beberapa rumusan yang diajukan oleh beberapa ulama, diantaranya :

a. Syeikh Mahmud Syaltut

العقيده هي الجانب النظري الذي يطلب الا يمان به اولا وقبل كل شيئ ايما نا لا ير قق اليه شك ولا تؤ ثر فيه شبهة

Aqidah ialah segi pandang (keyakinan) yang harus dipercaya lebih dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang tidak dapat dilemahkan oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran (syubhat)[1]

b. Thahir Ibnu Shalih Al Jazairy mengatakan :

العقيدة الإسلامية هي الا مور التى يعتقد ها اهل الإ سلام ان يجزمون بمحتها

“Aqidah Islamiyah ialah sejumlah perkara yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam bahwa mereka memastikan dengan kuat (akan kebenarannya)[2]

c. Al Jurjani

العقاعد : ما يقصد فيه نفس الاعتقاد دون العمل

Al aqaa’id : apa-apa yang dimaksud didalamnya adalah i’tiqad (keyakinan) itu sendiri bukan amal /perbuatan[3].

Jadi meskipun dengan redaksi yang berbeda, pada dasarnya aqidah Islamiyah ialah mempercayai dengan kepercayaan yang pasti akan benarnya sejumlah perkara pokok

2. Pengertian Iman

Ada beberapa definisi Iman yang kesemuanya memiliki satu makna, antara lain:

1. Hadits Riwayat Muslim dari Umar Ibnu Khattab ra.

…فأخبرني عن الإيمان, قال : أن تؤمن بالله وملا ئكته وكتبه ورسوله واليوم الخر وتؤمن بالقدر خيره وشره.

“Maka Kabarkanlah kepadaku tentang iman ? maka jawab Rasulullah : (Iman Itu) ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-malaikatnya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari akhirat dan percaya kepada qadar (kepastian Allah) yang baik dan yang buruk”.

2. Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Thabrani dari Ali ra.

الإيمان معرفة بالقلب وقول باللسان وعمل بالأركان

“Iman itu adalah ma’rifat (mengenal dengan yakin) dalam hati dan ucapan pengakuan dengan lisan serta mengamalkan segala rukunnya”.

3. Syekh Mahmud Syaltut

والإيمان هو الإعتقاد الجازم المطابق للواقع عن دليل

“iman adalah I’tiqaad yang bersifat pasti yang sesuai dengan kenyataan (yang di’Itiqodkan) yang muncul dari dalil” [4]

Jadi IMAN bukanlah sekedar pembenaran hati belaka; pembenaran itu harus bersifat pasti, tanpa ada keraguan sedikitpun, dan melahirkan ketundukan atau bukti yang nyata yang diwujudkan dalam amal-amal shalih dan meninggalkan larangan Allah.

Sekali lagi, tentang masalah pendefinisian ini juga ada perbedaan sudut pandang, kalau pakai hadits 1, maka kesimpulannya adalah seperti definisi dari Syekh Mahmud Syaltut, sedangkan ada yang mendefinisikan mutlak seperti riwayat ke-2. Namun ini hanya masalah definisi, yang intinya –baik yang pertama maupun ke – 2, iman itu tetap mewajibkan amal, amal adalah konsekuensi iman, dan amal akan memperkuat pengaruh iman pada diri seseorang.

Dalam hal ini, sangat menyedihkan ketika sebagian orang mengatakan pendapat lain sesat, kafir, jahmiyah, bahkan murji’ah dan zindiqah hanya gara-gara masalah definisi, tanpa melihat kandungan makna apa yang dimaksudkan oleh yang membuat definisi.

Ini juga menimpa imam Abu Hanifah yang dituduh murji’ah bahkan zindiq gara-gara mengeluarkan ‘amal dari definisi iman, dan menyatakan iman tidak bertambah dan berkurang. Salah satu ‘ulama ahlul hadits yang membantah Abu Hanifah ini adalah Al Hafidz Abdullah Bin Muhammad Bin Abi Syaibah Al Kufi (wafat pada tahun 235 H), terkenal dengan karyanya yang berjudul “Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” dimana didalam karya tersebut beliau mengkritik Al Imam Al Hanafi dengan kritikan tajam dalam satu bab khusus dengan judul Kitabu Roddi ‘Ala Abi Hanifah (kumpulan bab-bab yang berisi tentang bantahan terhadap Abu Hanifah). Kemudian Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam sub judulnya “Ini adalah keterangan tentang perkara dimana Abu Hanifah telah menyelisihi sunnah Nabi”. Juga Al Hafidz Abu Bakr Ahmad Bin ‘Ali Al Khotib Al Baghdady (wafat pada tahun 463 H). Dalam kitab karya beliau berjudul “Tarikh Baghdad” jilid 13, beliau membawakan riwayat hidup Imam Hanafi dan sekaligus kritikan-kritikan tajam yang beliau sampaikan tentang penyimpangan-penyimpangan Abu Hanifah. Abdullah Bin Ahmad Bin Hambal (putra Imam Hambali) juga menulis dalam kitab beliau “As Sunnah” dengan judul “Bantahan Terhadap Murji’ah”, padanya Imam Abdullah Bin Ahmad Bin Hambal membawakan riwayat-riwayat kritikan para Ulama terhadap Imam Hanafi dalam penyimpangannya tentang pemahaman murji’ah ini.

Padahal ini adalah kesalahpahaman dalam memahami pendapat imam Abu Hanifah, maksud perkataan Imam Abu Hanifah bahwa iman tidak bertambah dan berkurang adalah dari segi banyaknya perkara yg diimaninya, namun bertambah serta berkurang dari segi keyakinannnya. Dan saya rasa semuanya akan sepakat dengan ini, karena kalau iman berkurang, misalnya berkurang dengan tidak mengimani hari akhir saja maka tidak akan disebut ber iman.(Syarah Fiqh Akbar Li Abi Hanifah).

Saya rasa kalau kita hanya memaksakan pendapat kita saja, tanpa melihat bagaimana pendapat ‘ulama yang lain, hal inilah yang diidam idamkan musuh Islam, dan ini merupakan strategi mereka untuk memecah belah umat Islam, dengan atau tanpa kita sadari, kita telah masuk dalam strategi Cheryl Benard dari Rand Corporation dalam tulisannya: Civil Democratic Islam, Partners, Resources And Strategies.

3. Hubungan Pengertian Aqidah dan Iman

Menurut Mahmud Syaltut, Aqidah sama pengertiannya dengan iman. Kalau aqidah mempunyai arti mempercayai sejumlah perkara yang diyakini kebenarannya, yaitu perkara yang bertalian dengan ilaahiyah, an-nubuwah, ar-ruhaaniyat dan sam’iyyat, sedangkan iman mempunyai rukun-rukunnya yang enam (Arkaanul Iman) yang juga harus yakin kebenarannya. Maka inti pengertiannya adalah sama.

Jadi perbedaannya hanya terletak pada Istilah dan sebutan. Yakni aqidah adalah istilah dan sebutan yang dipergunakan oleh ulama Ushuluddin; sedangkan Al-Qur’an menyebutnya dan mempergunakan kata iman.

وقد عبر القران عن العقيدة (بالإيمان) وعن الشريعة (بالعمل الصالح

“Dan Al-qur’an telah menyebut aqidah dengan iman dan syari’at dengan amal sholeh”[5]

4. Pengertian Khabar (Hadits) Ahad

Berdasarkan sanad (jalan sampainya hadits dari nabi ke penulisnya), hadits dibagi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Berikut ini beberapa definisi hadits mutawatir :

خبر عن محسوس رواه عددً جمًّ يجب في العادة احالة اجتماعهم وتواطءهم على الكذب

“Suatu hadits hasil tanggapan panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan sepakat dusta”[6]

المتواتر هو خبر جماعة يفيد بنفسه العلمَ بصدقه لاستحالة تَوافُقهم على الكذب

(Khabar) mutawatir adalah khabar jama’ah (diriwayatkan dari jama’ah ke jama’ah) yang dengannya mendatangkan kepastian (al ‘ilm) tentang kebenarannya karena kemustahilan mereka bersepakat untuk dusta”[7]

Kemudian para ahli hadits sepakat memberi istilah kepada hadits/khabar yang tidak sampai kepada derajat mutawatir dengan sebutan hadits/khabar ahad.

Jadi tema pembahasan khabar mutawatir dan ahad hanyalah: apakah berita/khabar yang sampai kepada penulis hadits bisa dipastikan bersumber dari Rasulullah SAW ataukah tidak dengan melihat jumlah perowi di setiap tingkatan dan kemustahilan mereka bersepakat untuk dusta.

5. Kehujjahan Khabar Ahad

Jumhur ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang tiga (Syafi’i, Abu Hanifah dan Malik ra) serta imam Ahmad dalam satu riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy[8] menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm (kepastian) tetapi menghasilkan “dzon”, dan beberapa ulama yang berpendapat seperti ini, Yaitu : Imam Al-Ghazali, An Nawawy, As Sarkhasy, Khatib Al Baghdady, Ibnu Burhan, Ibnu Abdil Barri, Ibnu Hajar Al Asqalany, Imam As Syairozi[9] Imam As Sam’ani[10] dari kalangan ulama terdahulu; Al Qasimy dari kalangan ulama kemudian[11].

Imamul Haramain Al Juwaini dari mazhab Syafi’i juga menulis dalam kitabnya bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan/’ilm dalam hal pokok[12]. Namun menghasilkan “kepastian dalam hal ‘amal”, dengan kata lain khabar ahad yang shahih wajib diambil untuk diamalkan.

Pendapat yang berbeda dengan itu, yang menyatakan bahwa khabar ahad “Yufiidul ‘Ilma” (menghasilkan keyakinan)–jika ada indikasi yang memastikannya–dikemukakan oleh sebagian ahli hadits termasuk Ibnu Hajar Al-Asqalany (menurut berita yang lain)[13] dan Ibnu Shalah[14], beberapa ulama besar lain, seperti Imam Dawud dan Ibnu Hazm[15], Ibnu Taimiyah[16], dan lain-lain.

Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa jumhur ulama menyepakati bahwa khabar ahad mendatangkan “ilmu/kepastian”, beliau mengatakan :

“ Adapun khabar wahid dapat mendatangkan ‘”ilmu/kepastian”, menurut jumhur ulama dari ashab Hanafiah, Maliki, Syafi’iy, dan Ahmad bin Hanbal. Pendapat itu juga merupakan pendapat mayoritas ashab Asy’ary, walaupun sesungguhnya pada essensinya, hadits ahad itu sendiri tidak memberi arti melainkan “dzon”. Tetapi manakala hadits itu dibarengi dengan kesepakatan Ahli Ilmu dibidang Hadits[17] tentang rangkaiannya dengan tashdiq (hadits yang menguatkan atau membenarkan) maka khabar wahid itu berkedudukan sama seperti halnya kesepakatan ahli ilmu dibidang Fiqh atas suatu hukum; mereka berpegang kepada hukum tersebut menjadi qath’iy menurut para jumhur. Dan jika keadaannya tidak disepakati oleh para ulama, maka khabar wahid itu tidak menjadi qath’iy[18]

Kalau kita rujuk tulisan Ibnu Hajar Al Asqalani sendiri, sebetulnya beliau malah membagi al ‘ilm /kepastian/keyakinan menjadi “‘ilmu haqiqi/dharuri” (kepastian yang langsung bisa diterima karena sangat jelas) dan “‘ilmu nadzari” (kepastian teoritis)[19], beliau tidak mengatakan khabar ahad bisa menghasilkan ‘ilmu dharuri’, beliau hanya menyatakan bahwa khabar ahad bisa menghasilkan ‘ilmu nadhari’, itupun kalau didukung indikasi/qarinah lain yang menjamin kepastiannya. Jadi pada esensinya khabar ahad itu sendiri –tanpa indikasi lain[20]– tidak menghasilkan keyakinan (al ‘Ilm)

Dari semua hal diatas, sebetulnya dapat kita tarik benang merah (kesimpulan saya) bahwa tidak ada pendapat yang mengatakan khabar ahad bisa menghasilkan kepastian/ al ‘ilm, pendapat yang sering di klaim bahwa khabar ahad menghasilkan kepastian/al ‘ilm sebetulnya mengatakan bahwa khabar ahad akan mendatangkan kepastian jika memang ada indikasi yang memastikannya, sehingga kalau demikian maka pembahasannya bukanlah khabar ahad itu sendiri, tetapi pembahasannya beralih pada indikasi/qarinah yang digunakan—sejauhmana bisa menghasilkan kepastian.

Meskipun khabar ahad tidak menghasilkan al ‘ilm, namun khabar ahad yang maqbul wajib digunakan sebagai hujjah untuk diamalkan. Musthafa As Siba’iy menyatakan :

“Adapun khabar ahad, maka jumhur ulama menetapkan bahwa khabar ahad itu hujjah yang mewajibkan untuk diambil/diamalkan meskipun ia menghasilkan dzon.[21]

Jadi sangat aneh, kalau ada sebagian kaum muslim yang dengan gegabah dan prematur telah menyesatkan sekelompok kaum muslim yang berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh jumhur ‘ulama. Walaupun disana juga ada ‘Ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan.

6. Bolehkah Aqidah dibangun Diatas Dalil Yang Dzanny?

Dari pendefinisian aqidah oleh para ahli ushuluddin, dengan mudah dapat diketahui bahwa ‘aqidah Islam (masalah pokok/rukunnya) menuntut suatu pembenaran yang bersifat pasti, dan kepastian tidak akan diperoleh kecuali jika dalil yang digunakan juga pasti.

Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an berkenaan dengan masalah aqidah yang melarang manusia mengikuti “dzon” dalam beriman[22], atau mengikuti sesuatu tanpa “ilmu” dan “burhan” Jadi aqidah hanya didasarkan pada dalil yang sifatnya “Qath’iyyul wurud” (pasti sumbernya) dan “Qath’iyyud Dalaalah” (pasti penunjukan maknanya).

Allah SWT berfirman :

ان الذين لايؤمنون بالاخرة ليسمّون الملئكة تسمية الانـثى. ومالـهم به من علم أن يتّبعون الا الظّن ّوانّ الظّنّ لايغن من الحقّ شيئا

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS An Najm : 27-28)

Dalam surat yang lain Allah juga berfirman yang artinya :“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (QS Yunus (10) : 36) (Lihat juga An Najm : 23, Al An’am : 116, Yunus : 66, Shaad : 27, Al Jaatsiyah : 32, Fushilat : 22-23, Al Jin : 7, Al Baqarah : 78. dst)

Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya larangan mengikuti “dzon” dalam masalah aqidah. Jelas sekali semua ayat itu berkaitan dengan masalah aqidah. Meskipun asbabun nuzulnya bukan ditujukan kepada orang-orang mukmin, tetapi perlu diingat bahwa makna suatu ayat tidak dipersempit berdasarkan sebab turunnya ayat, karena menurut kaidah ushul :

العبرة بـعموم اللفظ لا بـخصوص السبب

“‘Ibrah (pengertian/pelajaran) itu diambil berdasarkan umumnya lafadz, bukan berdasarkan khususnya sebab (latar belakang turunnya ayat) “

Jadi dalil-dalil untuk masalah aqidah harus bersifat Qath’iy dan dapat memberikan keyakinan. Allah telah melarang hamba-Nya untuk mengikuti bukti-bukti atau dalil –dalam bidang ushul aqidah– yang tidak bersifat Qath’iy atau mengandung unsur “dzon”.

Menurut arti bahasa (lughawiy) makna “dzon” adalah :[23]

“Adz-dzon adalah adanya dua hal yang kedua-duanya mungkin, serta mengunggulkan salah satu diantara keduanya. Dan dzon itu adalah untuk membedakan arti kata syak (ragu) yang mempunyai kedudukan sama antara dua kemungkinan itu “

“Adz dzon ialah nama atau istilah bagi suatu perkara yang dihasilkan dari ciri-ciri/tanda-tanda yang mendukungnya. Manakala ciri yang mendukung itu kuat ia akan sampai pada ilmu atau keyakinan. Dan manakala ciri-ciri itu sangat lemah maka ia tidak akan melampaui batas dugaan”.

7. Sikap Shahabat Tentang Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah

Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah, contoh paling nyata adalah dalam hal pengumpulan Al Qur’an- dimana kita maklumi bahwa iman pada Al Qur’an adalah bagian dari aqidah- para sahabat hanya menganggap dan menulis khabar mutawatir saja yang wajib kita yakini sebagai ayat-ayat Al Qur’an dan disini tidak ada pertentangan ‘ulama, sebagaimana juga ditulis oleh Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya 1/389, Maktabah Syamilah:

وأما إن روي على أنه قرآن فإنه لم يتواتر فلا يثبت بمثل خبر الواحد قرآن ولهذا لم يثبته أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه في المصحف ولا قرأ بذلك أحد من القراء الذين تثبت الحجة بقراءتهم لا من السبعة ولا من غيرهم

“adapun jika diriwayatkan bahwasanya ia adalah al Qur’an, maka sesungguhnya (jika)  ia tidak mutawatir maka tidak ditetapkan bahwasanya ia al Qur’an dengan khabar wahid (ahad) seperti ini, oleh karena itu amiirul mukminin ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak menetapkannya dalam mushaf dan tidak membaca (al qur’an) dengannya seorangpun dari para qari’ yang tsabit hujjah atas qira’ahnya, tidak dari qira’ah sab’ah dan tidak dari selain mereka”

Tidak bisa kita katakan bahwa hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan karena yang kita bahas adalah hadits, bukan Al Qur’an[24]. Tidak bisa dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?, sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir, jadi temanya adalah sama.

Banyak khabar ahad yang shahih yang menyatakan bahwa khabar itu adalah ayat Al Qur’an, namun sahabat tidak mencantumkannya dalam Al Qur’an dikarenakan itu khabar ahad.

Sebagai contoh dalam Al Qur’an surat Al Lail menurut khabar mutawatir berbunyi:

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى(1)وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى(2)وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى

Tetapi dalam sebuah hadits ahad :

وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب واللفظ لأبي بكر قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن إبراهيم عن علقمة قال قدمنا الشام فأتانا أبو الدرداء فقال أفيكم أحد يقرأ علي قراءة عبد الله فقلت نعم أنا قال فكيف سمعت عبد الله يقرأ هذه الآية والليل إذا يغشى قال سمعته يقرأ (والليل إذا يغشى والذكر والأنثى) قال وأنا والله هكذا سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها

“Telah berkata kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah… aku(Al qamah) mendengar Abdullah membaca nya (surat Al Lail) dengan bacaan :

والليل إذا يغشى والذكر والأنثى… demi Allah demikianlah aku mendengar Rasulullah membacanya…[25]

Jadi walaupun hadits ini shahih, tidak bisa dijadikan dalil bahwa bunyi surat al lail adalah والليل إذا يغشى والذكر والأنثى. Begitu juga ada riwayat ahad yang shahih yang mengatakan bahwa An Naas dan Al Falaq bukanlah surat dalam Al Qur’an. Riwayat lain mengatakan bahwa hukum rajam ada dalam Al Qur’an (padahal tidak ada ayat yang mutawatir yang mewajibkan hukum rajam). Namun karena keberadaan riwayat hukum rajam ini shahih tetap wajib di amalkan, walaupun tidak boleh di’itiqadkan sebagai ayat dari Al Qur’an.

Kalau kabar ahad dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tentunya harus juga diyakini bahwa ayat –ayat Al Qur’an ada yang kurang atau kelebihan, dan ini adalah mustahil. Akibat lainnya kita menyatakan aqidahnya Siti Aisyah berbeda dengan Ibnu Umar (kalau aqidahnya berbeda lantas siapa yang kafir? karena mereka berdua beda pendapat dalam hal apakah mayat disiksa karena ratapan keluarganya). Jadi pendapat yang kami ambil, khabar ahad berfaedah dlon dan tidak bisa jadi dalil dalam masalah aqidah (untuk mengkafirkan orang lain). Adapun dalam masalah hukum tidak ada perbedaan pendapat bahwa khabar ahad wajib dijadikan dalil kalau khabar tersebut maqbul.

8. Khatimah

Masalah hadits ahad, apakah dapat menjadi dalil dalam aqidah atau tidak, memang telah menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama-ulama besar sejak zaman dahulu. Mereka telah mencurahkan segenap kemampuan dan keikhlasan untuk berpendapat. Walaupun untuk masalah Al Qur’an mereka bersepakat, namun mereka tidak bersepakat dalam pernik-pernik lain dalam masalah ini hingga sekarang. Oleh karena itu, kaum muslimin boleh saja mengikuti salah satu pendapat, tentu saja dengan memperhatikan kekuatan hujjah dan dalilnya, semuanya tetap muslim dan bersaudara. Allahu a’lam

Beberapa Syubhat

1. Ada yang mengatakan bahwa “Kalau anda mengatakan aqidah tidak bisa dibangan kecuali dengan khabar mutawatir, kenapa anda tidak mengajak kawan-kawan anda dalam tablig ini sehingga khabarnya menjadi mutawatir?” Ini adalah pertanyaan yang salah kaprah yang bertentangan dengan Ilmu Musthalahul Hadits, karena sekarang bukan masa pentadwinan hadits lagi, dengan kata lain walaupun kita menyampaikan hadits, kita bukanlah terhitung sebagai perawi hadits, jadi khabar ahad jika disampaikan beramai-ramai juga tetap khabar-ahad namanya. Begitu pula ayat Al Qur’an walaupun disampaikan hanya oleh satu orang masih tetap khabar mutawatir namanya.

2. Ada yang mengatakan “Kenapa di amalkan apa yang tidak di ‘itiqadkan, bukankah ini munafik?”, Ini juga tidak berbeda dengan pernyataan pertama. Dalam Islam aqidah berbeda dengan syari’ah (walaupun tidak bisa dipisahkan). Dalam aqidah yang dituntut adalah kepastian/keyakinan, dalam syari’ah yang dituntut adalah ‘amal. Oleh karena itu para ‘ulama (kecuali ingkar sunnah) sepakat bahwa khabar ahad -walaupun hanya menghasilkan dzan- dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah amal. Jika ‘amal = ‘itiqad ada satu pertanyaan yang harus dijawab : si A harus meng i’tiqadkan bahwa batal wudlunya karena menyentuh wanita, si B ber i’tiqad bahwa tidak batal wudlunya karena menyentuh wanita. Bukankah kalau ini masalah ‘itiqad berarti i’tiqad si A dengan si B berbeda, dengan kata lain si A dan si B aqidahnya berbeda sehingga kalau aqidahnya berbeda, salah satunya ada yang kafir?

3. Tidak menjadikan ‘itiqad berarti tidak percaya, ini juga ungkapan yang tidak pas, karena pembenaran itu bermacam-macam tingkatannya. Ada istilah syak (الشّك) yang berarti pembenaran tetapi masih ragu-ragu, ada al wahm (الوهم) yang berarti pembenaran yang lebih lemah dari syak, ada dzan (الظّن)[26] yang berarti pembenaran yang kuat karena ada bukti, alasan dan indikasi yang membenarkannya, tapi belum sampai derajat pasti, kalau bukti itu sampai derajat pasti maka disebut al ‘ilm atau al yaqin (العلم – اليقين), yang berarti pembenaran yang pasti bahwa sesuatu adalah begitu dan tidak mungkin tidak begitu. Perhatikan surah An Nisa : 157:

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, `Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan `Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan (لَفِي شَكٍّ) tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan (مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ) tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan (اتِّبَاعَ الظَّنِّ ) belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa.

Yang menimbulkan keraguan (syak) pada mereka adalah mereka kehilangan satu orang yang mereka kepung dan tangkap, sehingga ada kemungkinan yang tidak tertangkap itu adalah Isa. Kemudian mereka punya bukti/alasan kuat bahwa orang yang mereka salib adalah Isa karena wajahnya persis wajah Isa, dan karena wajah seseorang hampir bisa dipastikan tidak akan berubah jauh, maka mereka menduga kuat/hampir memastikan bahwa yang mereka salib adalah Isa. (Al Qur’an menyebut ini dengan (dzan). Namun mereka masih tidak bisa memastikannya karena walaupun wajahnya wajah Isa tetapi tubuhnya bukan tubuh Isa, ditambah lagi ada satu orang yang tidak bisa mereka tangkap[27].


[1] Mahmud Syaltut, Islam, ‘aqidah wa syariah, hal. 11

[2] Thahir Ibnu Shalih Al Jazairy, Al Jawahiru Al Kalamiyah, hal . 2

[3] Ali bin Muhammad bin Ali Al Jurjani (wafat 816 H), At Ta’riifaat, hal 196 (maaf sebelumnya tertulis at ta’aarif, itu kitabnya al Manawy)

[4] Mahmud Syaltut , idem, Hal 56

[5] Mahmud Syaltut, idem, hal. 12

[6] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal 78

[7] Muhammad bin Ibrahim (wafat 733 H), Al Manhal Ar Rawiy, juz I hal 31

[8] Mahmud Syaltut , idem, Hal 63 – 64

[9] Abu Ishak Ibrahim bin ‘Ali as Syairozi (wafat 476 H), Allumu fi ushulil fiqh, hal 71 –72, pada hal 59 beliau menulis :

وكذلك يجوز نسخ السنة بالسنة كمايجوز نسخ الكتاب بالكتاب والاحاد بالآحاد والتواتر بالتواتر والآحاد بالتواتر فأما التواتر بالآحاد فلا يجوزلأن التواتر يوجب العلم فلا يجوز نسخة بما يوجب الظن

(begitu juga boleh penasakhan sunnah dengan sunnah, sebagaimana boleh menasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, khabar ahad dengan ahad, mutawatir dengan mutawatir dan ahad dengan mutawatir, sedangkan khabar mutawatir tidak boleh dinasakh dengan khabar ahad, karena mutawatir mewajibkan (menghasilkan) ‘ilmu (keyakinan) sedangkan khabar ahad mewajibkan dzan (dugaan).

[10] Abil Madzfar Mansur bin Muhammad bin Abdul Jabbar as Sam’ani (wafat 489 H), Qawaathi’ul Adillati fil Ushul, hal 50 juz 1

[11] Fathy M Salim, Al Istidlal bidz dzonny fil Aqidah, hal 59, Juga Lihat : Al Ghazaly, Al Mustashfaa, Jilid I Hal. 145; As Suyuthy, Tadribur Rawy, jld I hal. 105-106; Sayyid Quthub, Fii Dhilalil Qur’an, jld VIII, hal 710; dan Dr. Mahmud Ajaj Al Khatib, Ushul Hadits hal 302-303.

[12] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (wafat 478 H), Al Burhaan fi Ushulil Fiqh, ,juz 1 hal 79

lihat juga Muhammad bin Ali bin Muhammad as Syaukani (wafat 1250 H), Irsyaadul Fuhul, hal 135 – 145

[13] Ahmad Syakir, Al Bahitsul Hadits, hal. 33-34

[14] As Suyuthy (wafat 911 H), Tadribur Rawy, Jld I, Hal. 105-106

[15] Al Amidy, Al Ahkam Fii Ushulil Ahkaam, Jld. I hal. 322, 332, 339

[16] Ibnu Taimiyyah, Al Fataawaa, jld XVIII, hal : 41

[17] Ibnu Hazm menukil dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa “adalah suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud kesepakatan (ijma’) setelah masa sahabat” Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqh, hal 62

[18] Ibnu Taimiyyah, idem, lihat juga Syarah Qashidah Ibnu Qayyim, juz I hal 208 –210 (Ibnu Qayyim (lahir 691H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah)

[19] sebagian ulama mengkritik penggunaan istilah ‘ilmu nadzari’ menurut mereka ‘ilmu nadzari’ masih merupakan dzon/ dugaan yang sangat kuat (dalam bahasa penelitian mungkin dengan taraf signifikan 0,01 atau 99% penelitian tersebut adalah benar), sebagian lagi memilih penggunaan istilah “menghasilkan ‘ilmu/kepastian dalam hal amal/perbuatan” (lihat juga Mahmud Syaltut, idem)

[20] Ahmad bin Ali bin Hajar As Asqalaniy (Wafat 852 H), Nukhbatul Fikri fi Mustalahi Ahlil Atsar, juz 1 hal 1. Naskah asli nya sebagai berikut (tentang klasifikasi hadits):

… فالأول المتواتر المفيد للعلم اليقيني … وسوى الأول آحاد وفيها المقبول وهو ما يجب العمل به عند الجمهور وفيها المردود …وقد يقع فيها ما يفيد العلم النظري بالقرائن

“yg pertama adalah mutawatir, yakni yang menghasilkan ‘ilmu/kepastian…, dan selain yang pertama adalah (khabar) ahad yang didalamnya ada yang maqbul (diterima) yaitu yang wajib mengamalkannya menurut jumhur, ada pula yang mardud (ditolak) karena … dan kadang-kadang dalam khabar ahad itu –dengan adanya qarinah/indikasi –indikasi– ada yang menghasilkan “ ‘ilmu nadzari’

[21] Musthafa As Siba’iy, AS Sunnah, hal 167.

[22] Walaupun di al qur’an ada juga penyebutan dzan yang bermakna yaqin, semisal dalam surat Al Baqarah : 46; الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ, namun dalam pembahasan ini yang dimaksud dg dzan adalah yang tidak sampai derajat yaqin.

[23] Al Jurjani, idem hal 144, Fathi M Salim, idem hal 18 dan 59, Raghib al Asfahani, ; Al Mufradaat fii Gharibil Qur’an, hal 317

[24] kalaupun yang dibahas hanya hadits, maka istilah khabar ahad dan khabar mutawatir itu adalah istilah ahli hadits untuk mengelompokkan hadist dari segi KEPASTIAN apa bersumber dari Rasulullah, atau belum sampai derajat kepastian, kalau boleh dikatakan khabar ahad juga pasti dari Rasulullah, ya tidak perlu ada klasifikasi hadits, masukkan saja semuanya kedalam kategori mutawatir. Sebagaimana juga ada istilah hasan dengan shahih, keduanya bisa diterima sebagai hujjah, namun hasan tidak sama dengan shahih, ini kalau konsisten dengan musthalahul hadits.

[25] Shahih Bukhari (Dar Ibn Katsir Yamamah, cet III, 1987, beirut) No 3532,3659, 5922, Shahih Muslim (Daar al Ihyait Turats al Aroby) No 824, Lihat juga (dengan sanad yang lain) shahih Ibnu Hibban no 6330, 6331,7127, cet III 1993 Sunan Tirmidzi Hadits No 2939

[26] walaupun dalam al Qur’an secara bahasa dzan juga digunakan untuk menyatakan yang yaqin, namun dalam istilah ahli ushul dzan digunakan untuk menyatakan pembenaran yang tidak sampai derajat yaqin, sebagaimana shalat dalam Al Qur’an secara bahasa juga berarti do’a namun ahli fiqh menggunakannya untuk istilah perbuatan perbuatan shalat secara khusus.

[27] Dalam tafsir Qurthubi disebutkan salah satu keraguannya:

قالوا: إن كان هذا صاحبنا فأين عيسى ؟ ! وإن كان هذا عيسى فأين صاحبنا ؟

Shahabat Isa berkata: « jika yang disalib ini adalah teman kami maka dimana Isa ? dan kalau yang disalib ini Isa lalu dimana teman kami?”

Posted on 30 April 2010, in Aqidah, Ikhtilaf and tagged . Bookmark the permalink. 86 Komentar.

  1. ya kita tidak bisa membiarkan seperti itu, hadits ahad ya tetap bisa dijadikan hujjah dan diamalkan dalam masalah aqidah.
    dan masalah ini sangat jelas sekali, ketika Rasulullah mengutus Mu’ad bin jabal ke Yaman kan yang pertama kali di perintahkan untuk bertauhid.
    apakah itu bukan masalah aqidah?

    Suka

    • ya, itu kan dakwah/tabligh, beda konteks nya. kalau diperpanjang nanti bisa juga org berkata : yang nyampaikan wahyu kan malaikat jibril sendiri, itu kan khabar ahad? wah repot

      ***
      Pembahasan mutawatir dan ahad ini kan pembahasan kaum muslimin dalam berdalil. Dalam tabligh, orang yang menerima dakwah juga wajib memverifikasi apakah yang disampaikan mu’adz adalah wahyu (al qur’an/ as sunnah) ataukah ra’yunya muadz, atau bahkan sekedar urusan teknik kehidupan, dll. sehingga umatnya jadi pintar. lagi pula kadang shahabat juga keliru menyampaikan seperti kasus Ibnu Mas’ud r.a, dalam satu fatwanya, ia pernah menyatakan bahwa lelaki yang mengawini wanita lalu menceraikan sebelum jima’, maka ia boleh mengawini ibu wanita itu. Ketika ia berkunjung ke Madinah dan membahas isu itu, selanjutnya ia mengakui telah bersalah dan kemudian membatalkan fatwanya.

      ***
      Hemat saya kita semua perlu merujuk kitab – kitab asli yang ditulis ‘ulama terdahulu, sehingga kita tidak mencatut nama mereka untuk menjustifikasi pendapat kita, padahal sebenarnya mereka menyatakan yg lain. seperti pernah ana baca orang menyatakan bahwa tidak ada ‘ulama yg menyatakan khabar ahad hanya berfaedah dzan, faktanya bisa dibaca semisal tulisan Ibnu Hajar al Asqalaniy dalam catatan kaki no 20 di tulisan ini.

      Suka

  2. Di dalam Kitab Shohih Bukhari paling tidak terdapat 58 hadist dalam kitab Iman. Adapun dalam Shohih Muslim terdapat paling tidak 287 hadist dalam kitab Keimanan. Kebanyakan hadits- hadits tersebut adalah Ahad. Kalau kita hanya mengakui hadist mutawatir dalam masalah keyakinan, berarti sebagian hadist dalam kedua buku tersebut tertolak dan tidak bisa di pakai. Dan ini menyelesihi kesepakatan kaum muslimin semenjak 13 abad yang lalu.

    Suka

    • pada tulisan diatas sudah saya katakan bahwa pendapat terkuat menyatakan khabar ahad yufiidudz dzan (berfaedah dzan), dan aqidah tidak boleh dibangun diatas landasan yang tidak yaqin. namun bukan berarti khabar ahad harus ditolak. dzon itu dugaan kuat namun tidak sampai taraf yaqin, jadi juga harus tetap dipercaya dengan taraf kepercayaan yg dzon juga, artinya kalau ada perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak akan mengeluarkan yg berbeda tersebut dari keimanan, walaupun untuk menolakjuga harus punya dalil yang lebih kuat dari dzon tadi, bukan sembarang tolak. dzon kalau shahih atau hasan kan sangat/cukup kuat untuk dipercaya.

      dari segi tingkat kepastian : yaqin/’ilm > dzon > syak > wahm
      sekali lagi dalam bahasa dzon kadang digunakan dalam al qur’an untuk menyatakan makna yaqin, adapun tema dalam pembahasan ahli ushul dzon digunakan untuk makna dibawahyaqin diatas syak.

      Suka

  3. sebelumnya maaf……..ya memang itu lebih kuat.
    tapi kembali pada topik di atas, membahas permasalahan yang berkaitan dengan hadits dan aqidah. artinya kalau kita bicara masalah ini, tentu kita lebih fokus membahasnya dan usahakan lebih detail.
    berbicara masalah ilmu hadits, terkhusus dalam masalah hadits ahad pada zaman rasulullah itu belum ada, setau saya ilmu hadits itu hadir menjadi disiplin ilmu pada zaman Ibnu Sholah. terus yang jadi pertanyaan keyakinan atau hujjah para ummat dengan hadits ahad sebelum itu bermasalah donk, karena ia berlandaskan pada hadits ahad yang yufidu dhon………?!!!!
    sedangkan kembali pada permasalahan hadits itu sendiri, yang maknanya adalah segala sesuatu yang disandarkan pda Nabi Muhammad baik secara ucapan, perbuatan dan pengakuan, itu tidak ada jauh beda dengan makna aqidah, karena pengertian aqidah itu sendiri sama dengan hadits, nanti bisa dibuka di kitab tarekh tadwin aqidah as-salafiyah.
    dan kita kita melihat juga para ulama hadits seperti imam Bukhari dan Muslim yang mana mereka berdua sudah diakui keilmuannya, mereka menetapkan permasalahan dalam masalah aqidah di buku mereka kebanyakan menggunakan hadits ahad, kalau begitu berapa hadits yang kita tolak dari ulama’ besar seperti beliau.
    kalau toh juga pembahasan ini sudah disetujui atau disepakati oleh para ulama’ dari 13 yang lalu, seperti yang saya kemukakan pada komentar di atas.
    sejenak kita menengok sejarah.
    akan di dapatkan bahwa Rosulullah saw telah mengutus beberapa duta-nya ke negara-negara tetangga untuk menyampaikan dakwah kepada para penguasa pada waktu itu, tentunya dakwah yang paling urgensi dan menjadi prioritas utama adalah masalah keyakinan. Begitu juga Rosulullah saw telah mengutus para da’I ke beberapa wilayah untuk mengajarkan Tauhid kepada penduduk setempat, seperti yang dilakukan oleh Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman.

    Rosulullah besabda kepada Muadz: “Hendaknya pertama kali yang engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Lailaha illalahu, baru kemudian sholat..dst.“ ( HR Bukhari Muslim ).

    Peristiwa di atas tergolong hadist ahad, karena yang di utus hanya beberapa orang saja….tapi walaupun demikian, ajaran yang disampaikan oleh para sahabat tersebut diterima oleh masyarakat dan dilaksanakannya, tanpa harus menunggu jumlah sahabat yang mengajar di daerah tersebut sehingga mencapai bilangan mutawatir. Dan hal tersebut tidak diingkari oleh Rosulullah saw dan berjalan terus dari masa ke masa dari generasi ke genarasi hingga hari ini.
    kemudian sa’at kita shalat kita membaca do’a ba’da tasyahud akhir yang berbunyi :

    اللهم إني أعوذ بك من عذاب القبر وأعوذ بك من فتنة المسيح الدجال وأعوذ بك من فتنة المحيا وفتنة الممات ( رواه البخارى )

    “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur dan aku berlindung kepadamu dari fitnah Masih Dajjal dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian.“ (HR. Bukhari )
    Hadist tersebut tergolong hadist ahad, apakah kita mengucapkan do’a tersebut tanpa meyakini kebenarannya, tentu jawabnya tidak.

    terus menanggapi pernyataan bahwa yang dzon itu dipercaya dengan taraf dengan taraf kepercayaan yang dzon juga. yang saya tanyakan apakah bisa keyakinan dalam masalah aqidah itu diyakini dengan taraf yang dzon seperti permasalahan adzab kubur dan lain sebagainya.

    sebelumnya maaf bukan untuk menyelisihi karena selama ini yang saya yakini demikian dan insya Allah ada landasannya.

    Suka

    • ya, sama-sama ana juga tidak memaksakan koq, maaf juga kalau kesannya begitu. Yang akhi pahami itu juga pendapat yang Islamy karena ada landasannya, dan yang berpendapat seperti itu juga bukan ‘ulama sembarangan. Kalaupun tidak sepakat dengan ana ya tidak mengapa, yang ana khawatirkan kalau umat ini terlalu mempermasalahkan masalah khilafiyah dan mempertentangkannya sehingga timbul saling menyesatkan antara satu dan yg lain, khawatirnya terjadi lagi permusuhan seperti yang pernah terjadi antara Siti Aisyah r.a , dan imam Ali k.w disatu pihak dengan Utsman r.a di pihak lain, karena dalam beberapa hal pendapat ‘Utsman r.a berbeda dengan pendapat ‘Ali k.w dan Siti Aisyah r.a, perbedaan ini yang di exploitir musuh untuk menyebarkan opini bahwa ‘Utsman r.a telah menyelisihi hukum Allah dll yang akhirnya para ‘ulama dan huffadz (orang yg hafal al Qur’an) pun ikut terprofokasi menentang ‘Utsman r.a.
      ***
      Mengenai Muadz r.a sudah ana jelaskan diatas, ini masalah tabligh dan dakwah
      ***
      istilah aqidah, syari’ah, dan pembukuan hadits, serta istilah mutawatir, ahad, shahih, hasan, dha’if, masyhur, ‘aziz, gharib dll itu memang istilah baru, oleh karena itu ketika bicara hal ini kita bicara dalam konteks ilmu ushuluddin dan ilmu hadits (yang dalam hal ini ana cuma mengutip dari ahli hadits dan ahli ushul). Intinya APA YANG DATANG DARI ALLAH & APA YANG DATANG DARI RASULULLAH (dalam hal wahyu) itu wajib kita imani dan ‘amalkan, kalau zaman dulu mereka bisa bertanya langsung kepada Rasulullah, sekarang masalahnya kan lain. Jadi yang dipermasalahkan dalam pembahasan ini adalah : PASTIKAH SUATU HADITS TERTENTU BERASAL DARI RASULULLAH ?, kalau sudah pasti (yaqin) maka tidak boleh ditolak, menolaknya berarti kafir.
      ***
      Karena pembahasan aqidah (yang kami maksud yang menghantarkan pada mukmin atau kafir) itu menuntut kepastian maka dalam hal ini tidak cukup dengan hadits yang tidak sampai kepada derajat kepastian.
      ***
      adapun cabang-cabang/yang diikutkan/mulhaqaat al arkaan aqidah (bukan rukun/asasnya) maka cukup dengan dzon karena ini dianggap seperti hukum syara’, seperti penjelasan Syaikh Ahmad Mahmud, (ini copy pastenya:
      – العقيدة الإسلامية بصفائها ونقائها هي أهم شيء في الإسلام.
      2 – أركان العقيدة الإسلامية لا يكفي فيها الظن أو غلبة الظن بل لا بد فيها من القطع واليقين، ولا يجوز فيها التقليد، وإلاّ تحوّل المسلمون إلى أخذ الخرافات واتّباع المدجّلين.
      3 – الأفكار المتعلقة بالعقيدة ( ملحقات الأركان ) يكفي فيها غلبه الظن ، ويجوز فيها التقليد شأنها شأن الأحكام الشرعية.)

      Intinya khabar ahad yang berkaitan dengan mulhaqaat al arkaan aqidah harus diterima jika shahih/hasan, namun perbedaan dalam hal ini tidak mengeluarkan seseorang dari aqidah Islamnya (tidak dianggap kafir), disisi lain orang yang berbeda harus menyampaikan khabar/hadits yang lebih kuat dari hadits tersebut.

      Justru ketika khabar ahad dijadikan dalil dalam perkara aqidah, maka akan terjadi saling mengkafirkan dan menyatakan sesat ketika terjadi perbedaan dalam perkara mulhaqaatul arkaan yang sebenarnya mereka masing masing punya dalil atau minimal syubhat dalil bagi pendapatnya. Ketika Syaikh al Albani mengomentari pertanyaan berkaitan dengan pendapat imam Bukhari yang menyatakan dalam Shahihnya:
      ( كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ) إِلاَّ مُلْكَهُ ، وَيُقَالُ إِلاَّ مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
      (Shahih Bukhari, 14/597, maktabah syamilah) ia (Syaikh al Albani) menyatakan : يا اخي هذا لا يقوله مسلم مؤمن
      (wahai saudaraku, seorang muslim yang beriman tidak mengatakan perkataan seperti ini) — orang akan berkesimpulan bahwa Syaikh al Albani telah mengkafirkan imam Bukhari karena al Bukhari menakwilkan kata wajah-Nya dengan mulkahu (kekuasaan-Nya), namun saya fahami ini masalah yang tidak mengeluarkan mereka berdua dari keimanan, karena masih perbedaan yng sifatnya dzonny. kalau hal semacam ini di pertentangkan akan semakin runyamlah umat ini, tidak habis-habis sampai kiamat (search aja di google bagaimana banyak tanggapan yang kontra terhadap Syaikh al Albani gara-gara ini, terlebih juga menyerang aqidah Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy dan imam An Nawawi yang tidak diragukan lagi kepakarannya dalam bidang hadits)

      Suka

  4. BERIKUT SAYA INGIN MENJELASKAN SECARA RINGKAS
    1. Permusuhan antara Ali dan A’isyah.
    Sekedar meluruskan, masalah antara Ali dan A’isyah itu bukan permusuhan. Sampai terjadinya perang jamal, itu dikarenakan diprovokatori oleh pihak yang ketiga, yaitu para pengikutnya Abdullah bin Saba’.
    Logika sederhana waktu seusai perang jamal, ketika A’isyah terjatuh dari ontanya dan jatuh, kepalanya kena batu, Ali langsung mengambil beliau kemudian diantar pulang dan tidak dijadikan tawanan. Ini terbukti bahwa antara Ali dan A’isyah tidak bermusuhan.

    2. Tentang Mu’ad.
    Bukankah itu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, kalau begitu bagaimana kasus umat yang didakwahi oleh Mu’ad? Padahal diantara mereka ada yang menerimanya dan mengamalkannya. Bagaimanapun itu juga bisa dibilang hadits ahad. Karena jumlahnya tidak sampai mutawatir. Bukannya begitu.

    3. Berkenaan dengan aqidah.
    Saya belum mendapatkan dalam kitab-kitab para salaf yang mengharuskan hadits mutawatir. Dalam kitab USHUL I’TIQOD AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH dan juga USHUL AL-IMAN, tidak ada pokok keyakinan AHLUS SUNNAH yang mewajibkan untuk dijadikan hujjah atau diamalkan hadits yang mutawatir.
    Justru dalam kitab Mujmalu I’tiqdi A’immatissalaf, DR. Abdullah bin Abdul Muhsin At Truki, disana beliau menerangkan bahwa KAIDAH PENTING DALAM MENGKAJI AQIDAH, beliau menyebutkan dalam poin ke empat belas: Menetapkan aqidah dengan hadis ahad yang diterima dengan pengamalan dan pengakuan.
    Terus kembali pada yang saya sebutkan diatas, kenapa tidak ditanggapi, yang berkenaan dengan hadits masalah keimanan dalam Bukhari dan Muslim…………..

    4. Pernyataan: Justru ketika khabar ahad dijadikan dalil dalam perkara aqidah, maka akan terjadi saling mengkafirkan dan menyatakan sesat ketika terjadi perbedaan dalam perkara mulhaqaatul arkaan yang sebenarnya mereka masing masing punya dalil atau minimal syubhat dalil bagi pendapatnya.
    Saya kira tidak lah demikian, perbedaan dalam aqidah tidak berarti harus mengkafirkan dan menyesatkan, para sahabat juga ada perbedaan dalam masalah ini. Kita ambil contoh saja, masalah mi’rajnya Nabi ke sidratul muntaha, Ummul Mukminin A’isyah mengatakan Nabi Melihat langsung Allah, akan tetapi Ibnu Abbas mengatakan Nabi melihat dengan mata hatinya.
    Apakah diantara keduanya saling mengkafirkan dan saling menyesatkan?????????
    Wallahu A’lam

    Suka

    • 1. Yang ana tulis bukan tentang Ali dg Aisyah, namun antara ‘Utsman dengan Aisyah dan ‘Ali. Pengingkaran Aisyah terhadap sebagian ijtihad Utsman menyebabkan orang-orang yang terprofokasi oleh Abdullah bin Saba’ menganggap ijtihad Utsman sebagai perbuatan maksiat dan merupakan penyelewengan terhadap Al Qur’an dan As Sunah….

      2. Dengan cara berpikir yg sama tentu bacaan surat al lail akan berbeda juga dengan mushaf sekarang, karena itu juga hadits shahih riwayat Bukhari.

      3. Sebaiknya juga dibaca kitab-kitab yng ana sebutkan pada catatan kaki, insya Allah sebagiannya yg ana punya soft copynya ntar ana upload.
      ttg hadits masalah keimanan dalam Bukhari dan Muslim sudah ana tanggapi tentang mulhaqaat arkaan dst

      4. Justru itu menunjukkan bahwa mereka faham mana yang dijadikan hujjah dalam masalah aqidah (yang bisa jadi hujjah untuk menyatakan orang jadi kafir, sesat ) dan mana yang hanya mulhaqaat. Mungkin perlu disamakan persepsi kita tentang aqidah, kalau dua orang berbeda aqidah/keyakinan apa artinya? kalau persepsi kita berbeda ya tidak akan ketemu diskusi kita ini.

      jazaakallahu khairan atas tanggapannya.

      Suka

  5. LEBIH JELASNYA SEPERTI INI SAUDARAKU…………
    Para rabbaniyin dari umat islam pada setiap masa dan tempat telah menyepakati kewajiban untuk mengambil hadits ahad sebagai landasan dalam hukum-hukum fiqih dan akidah. Orang yang mengingkari khabar ahad sebagai hujjah dalam akidah maka itu adalah sebuah anggapan bodoh dan kesesatan. Semua ulama’ telah sepakat atau menganggap baik pendapat mereka dan menjadikan nya bagian dari agama. Jumhur ulama’ hadits-hadits ahad dan menjadikannya sebagai dalil dalam hukum syar’I yang dengannya kita beribadah kepada Allah dengan cara menegakkannya dan sebagan berfaidah mutawatir selama hadits itu shahih.
    1. Kalangan Shahabat.
    Kami tidak mengetahui perbedaan dalam masalad ini pada kalangan shahabat. Bahkan kami mendapatkan pandangan para ahli ilmu sesudah mereka yang menerangkan bahwa madzhab shahabat adalah mengambil hadits ahad sebagai hujjah pada aspek syar’i.
    Ibnu Qayyim berkata:” Para shahabat meriwayatkan kepada sebagian mereka dan hanya meriwayatkan yang mereka terima dari Rasulullah dan tidak ada salah satu dari mereka mengatakan kepada yang lain periwayatanmu adalah khabar ahad yang tidak memberikan pengertian yakin sehingga menjadi mutawatir. Sebagian mereka bersikap tawaquf sehingga ada hadits lain menguatkannya, bukan dikarenakan khabar ahad namun hanya sekedar untuk mengetahui kebenaran khabar yang disampaikan kepadanya, dan ini jumlahya sedikit sekali…”( Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah (2/361-363).
    Al Khatib Al Baghdadi berkata:” Dalil yang sangat kuat menunjukkan bahwa para shahabat mengamalkan hadits ahad sebangai hujjah.(Al Kifayah / 26).
    2. Kalangan Tabi’in.
    Al Khatib Al Baghdadi berkata:”Para tabi’in dan generasi sesudah mereka dari kalangan ulama’ fikih telah mengambil hadits ahad sebagai hujjah sampai saat ini tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Mereka mewajibkan penggunaan hadits ahad sebagai hujjah seandainya ada diantara mereka yang mengingkarinya, niscaya akan ada riwayat yang menerangkan kepada kita akan hal tersebut dan tentang madzhab mereka. (Al Kifayah / 26).
    3. Para Imam Yang Empat.
    a. Imam Malik Dar Al Hijrah.
    Ibnu Khawazamandad, seorang ulama’ Fiqih dari kalangan Madzhab Maliki menyebutkan bahwa Imam Malik telah menjelaskan tentang khabar ahad, yaitu hadits ahad memberikan pengertian yakin (Al Ilmu).
    b. Imam As Syafi’i.
    Beliau memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini dan menyusunnya dalam kitab Ar Risalah, dengan judul “Al Hujjah fi Tatsbit Khabar Al Wahid”.
    Syaikh Al Bani berkata:”Dari penjelasan Imam Asy Syafi’I menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara Akidah dan syari’at dalam penggunaan hadits ahad sebagai hujjah.
    Ibnu Qayyim dalam Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah (2/364-366), menukil penjelasan Imam As Syafi’I, bahwa hadits ahad mengandung arti Al Ilmu (keyakinan).
    c. Imam Ahmad bin Hanbal.
    Ada dua riwayat dari Ahmad bin Hanbal, namun riwayat yang rajih adalah: Abu Bakar Al Marudzi berkata:”Aku berkata kepada Abu Abdillah:, disini ada orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya sebuah hadits wajib diamalkan dan tidak wajib diteliti, maka beliau mencela pendapat tersebut, bahkan ia berkata:” Aku tidak mengetahui sama sekali tentang hal itu.”
    Al Qadhi Abu Ya’la berkata:” Secara dzahirnya, hal ini tidak membedakan antara ilmu dan amal. Di dalam periwayatan Imam Ahmad terdapat banyak hadits-hadits ru’yat(melihat Allah), dan kami beriman kepadanya dan berkeyakinan bahwa hal itu benar adanya.”
    Adapun pernyataan Imam Ahmad:” Wa Laa Nanushu Asy Syahadata, Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Musawwadah, menjelaskan:”Kata nanushu ini lebih masyhur yang berarti, kami tidak bersaksi atas suatu hal tertentu. Selain itu beliau pernah berkata:”Kami mengetahuinya dan memahaminya sebagaimana kedatangannya.”Ungkapan ini menunjukkan bahwa hadits ahad tersebut memberi peringatan Al Ilmu (yakin). Dan juga pada asalnya persaksian 10 shahabat yang dijanjikan syurga, menggunakan hadits ahad. Beliau berkata:”Aku bersaksi dan akupun mengetaui bahwa hadits tersebut hadits ahad.” Ini sekali lagi membuktikan bahwa beliau mengambil hadits ahad.
    Demikian juga pandangan para ulama’ Ushul dari kalangan madzhab Imam Ahmad bahwa hadits ahad mengandung pengertian Al Ilmu.
    DR. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turkiy telah mengadakan penelitian, seputar pandangan madzhab Imam Hamad terhadap hal ini, dalam bukunya “Ushulu Madzhab Al Imam Ahmad, kemudian menyimpulkan bahwa mayoritas Al Hanabilah, menetapkan bahwa hadits ahad mengandung pengertian ilmu jika diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang shahih dan terbukti kebenaran perawinya tidak akan terjadi perselisihan.
    d. Ibnu Hazm.
    Dalam kitabnya Al Ihkam, Ibnu Hazm berkata:”Abu Sulaiman, Husain bin Ali Al Karabisiy, Al Harits bin Asad Al Muhasibiy dan yang lainnya berkata:”Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang yang adil dari Rasulullah, harus dinilai sebagai hadits yang mengandung pengertian ilmu dan wajib diamalkan.” Dan pendapat ini juga menjadi pendapat kami. Dalam kitab Al Intishar, dengan panjang lebar beliau memaparkan, jika pendapat ini benar, maka tanpa keraguan lagi, hadits seorang yang adil yang diriwayatkan dari orang yang adil dari Rasulullah merupakan suatu kebenaran yang harus diamalkan dan dinilai sebagai ilmu secara bersamaan. Pandangan-pandangan beliau juga banyak dinukil oleh Ibnu Qayyim di dalam kitab Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah. Ahmad Syakir juga mengambil pendapatnya dalam Al Ba’its Al Hatsits.
    e. Ibnu Ash Shalah.
    Dalam Muqadimah nya Ibnu Shalah berkata:”Hal ini sudah benar, maka ilmu teoristis mengakui kebenarannya.” Berbeda dengan kalangan yang beranggapan bahwa tidak ada kandungan dari hadits ahad kecuali dzan saja.
    Dalam kitab Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah disebutkan:”Ibnu Shalah telah menyebutkan pendapat pertama dan membenarkan serta memilihnya. Padahal beliau belum mengetahui banyak kalangan berpendapat demikian. Beliau mengungkapkan hal tersebut sebagai keharusan berhujjah dengan benar. Bahkan beliau menyangka ulama’ yang menyalahi pendapat beliau ini hanya karena belum memiliki pengantahuan dalam masalah ini.”
    f. Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah.
    Ibnu Taimiyah telah banyak menjelaskan tentang hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah akidah. Hadits ahad sebagaimana dalam kebanyakan kitab beliau, mengandung perngertian keyakinan.
    Beliau dalam Raf’ul Malam ‘Anil Aimmah Al A’lam berkata:”Seperti perbedaan mereka dalam hadits ahad yang diterima dan dibenarkan oleh umat atau sepakat untuk mengamalkan.
    Metode Ibnu Taimiyah dalam diskusi:
    1. Beliau menggunakan dalil para lawannya lalu menghantam satu dalil dengan yang lain.
    2. Kadang menggunakan metode Istijraj terhadap lawan diskusinya. Beliau mengahadapkan dari kesulitan yang satu kepada kesulitan yang lain.
    3. Kadang menggunakan ushul-ushul mereka sendiri, supaya jelas kontradiksi dan kebodohan serta permainan mereka.
    g. Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
    Beliau telah melontarkan bantanhan-bantahan dalam kitabnya Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah, terhadap para pengikut Jahmiyah dan Mu’tazilah, yang mengingkari kehujjahan hadits ahad. Dengan memaparkan lebih dari dari dua puluh versi yang masing-masing memberikan kesimpulan bahwa hadits ahad memberikan pengertian ilmu yaqiniy.
    h. As Sifariniy.
    Beliau berkata di dalam kitab Lawami’ Al Anwar Al Bahiyah:”Hadits ahad digunakan dalam bidang ushuluddin.”
    i. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani.
    Di dalam kitab Nudzatu An Nadzar Syarh Nukhbat Al Fikr, beliau berkata:”Kadang juga terjadi yaitu pada hadits ahad yang dibagi menjadi masyhur, aziz, dan gharib yang memberikan ilmu nadzari dengan beberapa ketentuan sesuai pendapat yang kuat, berbeda orang yang enggan tentang hal itu…”
    Adapun tentang nukilan Ibnu Hajar dari Al Kirmanai:”Untuk diketahui bahwa hadits ahad hanya dapat digunakan sebagai hujjah pada persoalan amaliyah bukan pada aspek akidah.” Dan beliau diam atasnya.
    Ketika menyebut perkataan Al Kirmani, sebagai penukilan saja bukan sebagai pemberi pernyataan. Sedang sikap diamnya, bukan berarti beliau mengambil pendapat beliau.
    j. Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi.
    Dalam Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, beliau berkata:”Hadits ahad, apabila umat teelah sepakat untuk menerimanya, mengamalkannya dan membenarkannya maka hadits tersebut berarti memberikan pengertian ilmu yaqiniy menurut mayoritas ulama’. Dan hadits ini merupakan salah satu dari dua bagian hadits mutawatir. Dan para salaf masalah ini tidak pernah terjadi pertentangan.”
    k. Asy Syaukaniy.
    Dalam kitab Arsyadu Al Fuhul beliau menegaskan:”Tidak ada perbedaan mengenai hadits ahad apabila ada ijma’ untuk mengamalkannya, berarti ia memberikan pengerian ilmu. Sebab ijma’ tersebut menjadikan ia harus dimaklumi kebenarannya. Namun bila hadits ahad tersebut disepakati penerimaannya oleh umat.”
    l. Shadiq Hasan Khan.
    Dalam kitab Ad Dien Al Khalish, beliau berkata:”Jenis lain dari sunah ialah hadits ahad dan riwayat orang-orang terpercaya (tsiqah)yang tetap dengan dengan sanad bersambung hadist shahih dan hasan. Semua ini wajib diamalkan menurut kelompok besar ulama’ dan generasi salaf yang menjadi tauladan bagi mereka dalam urusan agama, argumantasi dan keteladanan dalam menjalankan ajaran syariat. Dan sebagian ada yang mengatakan wajib ilmu dan amal sekaligus. Pendapat inilah yang benar.
    m. Imam Nawawi.
    Mereka yang menolak hadits ahad, mengambil pendapat Imam An Nawawi yang mengatakan hadits ahad adalah dzaniy, bila belum mencapai derajat mutawatir. Juga pendapat Ibnu Ash Shalah dalam Muqadimah Syarh ala Muslim.
    Ini adalah batil dengan beberapa segi:
    1. Ketika Imam An Nawawi menjelaskan bahwa hadits ahad dzaniy, tidak pernah menerangkan bahwa hadits ahad hanya bisa dijadikan sebagai hujjah pada masalah syari’at.
    2. Beliau mengatakan dengan jelas pengertian yang dikandung oleh hadits-hadits ahad yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim. Beliau berkata, ketika mengomentari hadits Dhamam bin Tsa’labah yang mencakup aspek akidah:”Ini adalah pembahasan yang besar, yang lebih lengkap atau hadits-hadits yang menjelaskan tetang akidah. Sesungguhnya Rasulullah mengumpulkan padanya semua yang keluar dari wilayah keyakinan-keyakinan kafir dalam berbagai keyakinan.
    Selain itu juga menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Diantaranya hadits Al Jassaasah yang berbicara tentang akidah.
    n. Ibnu Abdil Barr.
    Dalam kitab At Tamhid, beliau berkata:”Pendapat kami adalah mewajibkan untuk diamalkan tanpa harus diketahui, seperti persaksian dua atau empat saksi adalah sama. Begitulah sebagian besar ahli fiqih dan hadits menggunakan khabar satu orang yang adil didalam masalah akidah dan juga dijadikan dalam syariat sebagaimana yang dianut oleh ahlu sunah.
    Perhatian:
    Ibnu Taimiyah dalam Al Musawaddah berkata:”Ijma’ mengenai hadits ahad memberikan pengartian ilmu (yakin), jika tidak maka apa yang tidak memberikan memberikan arti yakin dan tidak pula diamalkan, bagaimana mungkin akan dijadikan syariat.
    DIMANAKAH LETAK KITA DIANTARA MEREKA??

    Suka

    • Kan sudah ana tulis menurut versi Ibnu Taymiyyah, juga pendapat yang pro dan kontra. Kalau kita merujuk pada ‘ulama yang mendukung pendapat kita saja ya seolah olah pendapat kita saja yang ada dalam khazanah Islam, yang berbeda akan dikatakan “tidak ada ‘ulama yang berpendapat begitu”, ini kan masalah klaim-klaim saja.
      ***
      Yang ana lihat perbedaan mereka terjadi karena beranjak pada penggunaan istilah aqidah yang persepsi mereka tidak sama.

      Pendapat yang ana ambil berkaitan dengan pembenaran dalam masalah aqidah/iman haruslah pembenaran yang bersifat yaqin/al ‘ilm dan perbedaan dalam aqidah/iman hanya ada 2 akibatnya yakni BERIMAN atau KAFIR, oleh sebab itu dalilnya juga harus yang derajatnya yaqin, tidak cukup yang dzon. Sedangkan dalil yang dzon, yang tema pembahasannya juga aqidah maka dia tidak dijadikan hujjah/dalil dalam hal ini sehingga dengan dalil tersebut cukup untuk menyatakan orang lain kafir.

      Kadang memang susah menyamakan persepsi antara ahli ushul dengan ahli hadits, padahal esensi yang mereka bicarakan bisa jadi sama. (lihat kasus imam Abu Hanifah yang dituduh murjiah oleh banyak ahli hadits, dan lihat kitabnya abu hanifah dan penjelasannya, Al Fiqhul Akbar disini: http://taufik1976.files.wordpress.com/2010/05/abu-hanifah-syarh-fiqh-akbar.pdf
      ***
      Seperti yang antum tulis, apakah nabi melihat Allah dengan mata telanjang atau tidak saat mi’raj, ini adalah tema aqidah, namun karena dalilnya dzon maka dalil tersebut tidak jadi hujjah dalam masalah ini sehingga baik yang pro maupun yang kontra mereka tidak keluar dari aqidah Islam.
      ***
      ini ana copy paste dari kitab mausu’ah al fiqhiyyah dikeluarkan al wuzaraatul awqaf was su’uun al islamiyyah bi kwait, tentang bagaimana sebenarnya perbedaan ulama memandang khabar mutawatir dan ahad:
      وللخبر المتواتر في اصطلاح الأصوليين والفقهاء عدة تعاريف , وهي وإن كانت مختلفة في الألفاظ إلا أنها متفقة في المعنى . فعرفه صاحب المحصول بأنه : خبر أقوام بلغوا في الكثرة إلى حيث حصل العلم بقولهم . وقال صاحب كشف الأسرار : هو خبر جماعة مفيد بنفسه العلم بصدقه . وعرفه صاحب التحرير بأنه : خبر جماعة يفيد العلم , لا بالقرائن المنفصلة . وقال صاحب دستور العلماء : التواتر هو إخبار قوم دفعة أو متفرقا بأمر لا يتصور عادة تواطؤهم وتوافقهم عليه بالكذب .

      وخبر الآحاد في الاصطلاح : خبر لا يفيد بنفسه العلم ” . وقيل ” ما يفيد الظن ” . فالنسبة بين التواتر والآحاد التضاد وخبر الآحاد يشمل المشهور , والعزيز والغريب . وتفصيل ذلك في علم مصطلح الحديث .

      ثم إنه لا خلاف بين العلماء في أن كل ما هو من القرآن يجب أن يكون متواترا في أصله وأجزائه , واختلفوا في وجوب التواتر في محله ووضعه وترتيبه . فذهب كثير من الأصوليين إلى أن التواتر ليس بشرط في محله ووضعه وترتيبه , بل يكثر فيها نقل الآحاد . قال السيوطي : المحققون من أهل السنة على وجوب التواتر في ذلك أيضا . ( وللتفصيل راجع الملحق الأصولي ) .

      ثم إنه لما كان الخبر المتواتر يفيد العلم القطعي فلا ينسخه إلا ما يفيد العلم القطعي مثله . وقد اتفق العلماء على جواز نسخ الخبر المتواتر بالخبر المتواتر , ثم اختلفوا في جواز نسخ المتواتر بالآحاد , فذهب الجمهور من الأصوليين إلى منعه ; وذلك لأن المتواتر قطعي وخبر الآحاد ظني فلا يبطله ; لأن الشيء لا يبطل أقوى منه , ونقل صاحب البرهان الإجماع عليه , ونقل صاحب تيسير التحرير جوازه عند بعض العلماء . وقال الرازي في المحصول : هو جائز في العقل غير واقع في السمع عند الأكثرين . وذهب الغزالي إلى جواز ذلك عقلا لو تعبد به , ووقوعه سمعا في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن ذلك ممتنع بعد وفاته . وذهب صاحب التوضيح إلى جواز نسخ المتواتر بالمشهور من الآحاد فقط , وذلك لأنه من حيث إنه بيان يجوز بالآحاد , ومن حيث إنه تبديل يشترط فيه التواتر فيجوز بما هو متوسط بينهما وهو المشهور

      Suka

  6. INSYA ALLAH NANTI SAYA TULIS DI WORDPRESS SAYA PERNYATAAN MAKALAH DI ATAS BAHWA AKIDAH TIDAK DAPAT DITETAPKAN DENGAN HADITS AHAD.

    JAZAKUMULLAH

    Suka

    • SEKALI LAGI YANG PERLU DISAMAKAN ADALAH PERSEPSI TENTANG MAKNA AQIDAH, KALAU INI TIDAK SAMA ANA RASA NANTI HANYA AKAN MENAMBAH PAJANG PERDEBATAN YANG TIDAK ADA UJUNG PANGKALNYA, MASING – MASING MENGUTARAKAN PENDAPAT YANG MENDUKUNG SAJA, WALAUPUN BISA JADI YG MAKNA YG MEREKA MAKSUD ADALAH SAMA.

      Baarakallahu bi juhdikum, wayassaraLlahu ‘umuurakom, bi ‘aunillahi wa tawfiiqihi insya Allah

      Suka

  7. KALAU MEMANG ANTUM BERBEDA DALAM MASALAH INI, YA ANA KEMBALIKAN PADA ANTUM.
    YANG PENTING ANA SUDAH MENGEMUKAKAN HUJJAH HUJJAH YANG DIYAKINI OLEH ULAMA’ SALAF DAN KHOLAF.
    ANA CUMA INGIN MENGINGATKAN, KARENA INI NANTI JADI PERTANGGUNG JAWABAN KITA DARI DI HADAPAN ALLAH.
    WALLAHU A’LAM BISH SHOWAB.
    ATAS DO’A ANTUM ANA JAWAB JAZAKUMULLAH KHAIRAN, WABARAKALLAH FIKUM WA HAYYAKUMULLAH……

    Suka

    • Ya, kita memang bertanggung jawab atas pendapat dan ‘amal kita masing – masing, ana juga sudah menyampaikan apa yang harus ana sampaikan, sejauh yang ana kaji ini memang masalah khilafiyah sejak dulu. kalau yang ana copy paste belum cukup, baca saja kitabnya Syaikh Al Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut (disamping kitab yang biasa antum baca), di bab 2 bab Thariiqu Tsubuutil Aqidah insya Allah jelas bagaimana pendapat para ‘ulama tentang hal ini, bisa download di sini:

      Klik untuk mengakses syaikh-mahmud-syaltut-islam-aqidah-wa-syariah.pdf

      mudahan diskusi ini tidak menambah ruwetnya masalah.

      Suka

      • sejak kapan itu jadi khilafiyah?
        sejauh yang ana ketahui dikalangan salaf tidak ada yang hilaf.
        dalam membangun aqidah, kita meniti jejak salafush sholeh, bukan Ulama’ muta’akhir dan bahkan jauh dari istidlal yang benar.
        salaf dalam artian, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
        tolong ana dikasi kitab ulama’ yang menjelaskan awal perbedaan masalah ini pada kalangan salaf.
        baik yang indo atau arab.

        Suka

  8. @dhil: alangkah eloknya kalau link kitab yang saya berikan dibaca dulu. berikut apa yang diminta bisa dilihat disini:

    Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul


    ***
    seharusnya memang kita bersikap ‘ilmiyyah, sehingga ketika menelusuri suatu ide kita mencari tahu makna /tema apa yang sebenarnya dibahas, dan mencari sumber asal kitab yang dijadikan rujukan.

    afwan kalau terlambat meng approve komentnya karena banyak kesibukan. afwan juga koment antum yg tidak relevan dengan tema ini tidak ana approve

    Suka

  9. Ridwan Abdillah

    Akhi M Taufik@Baiklah dengan mengharapkan wajah Allah semata-mata, kl begitu kita dialogkan disini apa yg telah antum tulis di web antum mengenai hadits ahad yg mana dlm tulisan tersebut ana menilai dr segi agama mk banyak sekali yg salah,wallahu a’lam.
    Dan ana ajak antum dialog disini bukan disana dg maksud agar lebih rapih dialog antara ana dan antum mengingat disanapun antum sedang dialog.Dan insyaAllah nantinya akan ana copy paste jg dialog kita ke web antum sebagai bahan pertimbangan bagi saudara2 kita yg membaca tulisan antum.
    Bagi ikhwan yg lain ana harap tahan dulu komentarnya hingga dialog antara ana dan akhi M Taufik lebih teratur.kl dialognya telah ditutup silahkan ditambah komentnya.

    Suka

  10. Ridwan Abdillah

    Alhamdulillah.Telah kita ketahui bersama bahwa diantara kita telah terjadi perbedaan pemahaman dlm memahami hadits ahad bisakan dijadikan hujjah dlm aqidah atau tidak.
    Maka telah kita sepakati bersama bahwa kaum muslimin haruslah mengikuti kebenaran yg datang dan harus mensyukurinya.Walaupun kebenaran itu datang dr orang yg dibeci,orang yahudi ataupun dr syaiton sekalipun,bila hal itu kebenaran maka wajib bagi kita untuk menerimanya.
    Dari Ibn Mas’ūd, beliau berkata,

    مَنْ جَاءَكَ بِالْحَقِّ فَاقْبَلْ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا بَغِيْضًا وَمَنْ جَاءَكَ بِالْبَاطِلِ فَارْدُدْ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ حَبِيْبًا قَرِيْبًا

    “Barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebenaran maka terimalah kebenaran itu darinya, meskipun ia adalah orang yang jauh dan dibenci. Dan barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebatilan maka tolaklah, meskipun ia adalah orang yang dicintai dan dekat.” [Lihat: Shifah ash-Shafwah, vol. I, hal. 419; dan al-Fawā’id, hal. 148]

    Beliau juga berkata,

    الْحَقّ ثَقِيْلٌ مَرِيْءٌ وَالْبَاطِلُ خَفِيْفٌ وَبِيْءٌ

    “Kebenaran itu berat namun berakibat baik, sedangkan kebatilan itu ringan namun berakibat buruk.” [Shifah ash-Shafwah, vol. I, hal. 419-420]

    Bukankah dikisahkan jg dlm riwayat imam Bukhori bahwa Nabi membenarkan ucapan seorang Yahudi dan ucapan syaithon la’natullah ‘alaihi.

    ” seorang rahib Yahudi pernah mendatangi Nabi ` dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami mendapati bahwa Allah menjadikan (dalam riwayat lain: menahan) seluruh langit atas satu jari, seluruh bumi atas satu jari, pepohonan atas satu jari, air dan tanah atas satu jari, dan seluruh makhluk atas satu jari, lalu Dia berkata, ‘Akulah Sang Raja!’” Maka tertawalah Nabi ` sampai tampak geraham beliau karena membenarkan ucapan rahib tadi. Kemudian beliau membaca firman Allah:

    وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

    “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Dia lagi maha tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.Az-Zumar: 67) [Riwayat al-Bukhāri IV/1812/4553, dari Ibn Mas’ūd]

    Demikian pula terdapat kisah masyhur dari Abū Hurairah yang diajari oleh setan untuk membaca Ayat Kursi sebelum tidur agar mendapat penjagaan dari Allah sampai pagi hari. Ketika ia menyampaikan hal tersebut kepada Nabi `, beliau berkata, “Dia jujur mengabarkan kebenaran kepadamu, padahal ia (setan itu) adalah pendusta.” [Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq II/812/2187, dan disambungkan oleh an-Nasā’i, al-Ismā’ili dan Abū Nu’aim, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathu’l Bārī. Lihat: Mafātīhu’l Fiqh fi’d Dīn hal. 99]

    Perhatikan bagaimana Nabi ` mengakui dan menerima kebenaran sekalipun dari Yahudi dan setan—la’anahumuLlah.

    Dan cukuplah ana dikatakan orang yg sombong bila tidak mau menerima kebenaran yg mana kata Nabi Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda:

    لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قالَ رَجلٌ: إنَّ الرّجلَ يُحبُّ أنْ يَكوْنَ ثوْبُه حسنًا ونَعْلَه حَسَنَةُ. قال: إنّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبّ الجَمالَ، الْكِبْر بَطَرُ الْحَقّ وَغَمْطُ النّاس
    “Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya, ‘Ada seseorang yang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” [HR.Muslim no.2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu].

    Bila pemahaman ana salah dan pemahaman antum yg benar mk insyaAllah ana akan rujuk/kembali ke pemahaman yg benar dan ana akan sangat bersyukur bs menuju kpd kebenaran.
    Tp kita sebagai kaum muslimin harus meyakini bahwa kebenaran itu apa yg datang dr Allah dan RasulNya.Itulah pedoman kita,itulah patokan kebenaran kita.Dan kita tdk mengingkari hal ini bukan???.

    Perlu diketahui,ana ini bukanlah ustadz,ana hanya seorang tholibul ilm yg berusaha mengikuti jejak salafush shalih jadi penyataan ana disini bukanlah mewakili orang2 yg bermanhaj salafush shlih sehingga ketika ada kesalahan mk itu dr ana yg salah,kurangnya ana dlm berilmu dan tidak mewakili kesalahan para ulama yg meniti jejak salafush shalih.Dan bagi ikhwan (khususnya pd postingan ini)yg lbih paham(khususnya Ustad Abu Muslih dlm postingan ini umumnya yg lainnya) ana harap tegurannya bila terjadi kesalahan pd diri ana baik melalui koment disini ataupun melalui inbox.

    Afwan akhi M Taufik,saudaraku yg ana muliakan dan ana berharap agar kebaikan selalu tercurahkan kpd antum serta rahmat dan hidayahNya selalu tercurahkan kepada kita sekalian,insyaAllah ana lanjutkan setelah ba’da zuhur nanti krn sekarang sudah mendekati waktu zuhur,insyaAllah setelahana makan siang kita lanjutkan.

    Suka

  11. Ridwan Abdillah

    oh iya marilah kita bandingkan jg perkataan Imam Ibnu Hajar Al Asqolani di Fathul Bari 13/234 yg menyatakan “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad.”( Fathul Bari 13/234).
    Mari kita bandingkan dg pernyataan antum
    “””‘Hemat saya kita semua perlu merujuk kitab – kitab asli yang ditulis ‘ulama terdahulu, sehingga kita tidak mencatut nama mereka untuk menjustifikasi pendapat kita, padahal sebenarnya mereka menyatakan yg lain. seperti pernah ana baca orang menyatakan bahwa tidak ada ‘ulama yg menyatakan khabar ahad hanya berfaedah dzan, faktanya bisa dibaca semisal tulisan Ibnu Hajar al Asqalaniy dalam catatan kaki no 20(Ahmad bin Ali bin Hajar As Asqalaniy (Wafat 852 H), Nukhbatul Fikri fi Mustalahi Ahlil Atsar, juz 1 hal 1.)di tulisan ini.””” ??? antum bisa menilai sendiri perkataan antum(ana harap antum mengerti maksud ana)

    Suka

    • afwan, ana akan menanggapi satu persatu saja, setelah satu masalah kita sepakat (atau bersepakat untuk tidak sepakat) baru kita lanjut ke masalah berikutnya.

      antum menulis:
      “”antum katakan bahwa orang yg mengingkari azab kubur krn hadits ahad adalah kesesatan mk hal ini cukup untuk membantah apa yg antum tulis secara keseluruhan dimakalah antum sendiri.Maka selesai sudah…””

      komentar:
      Inilah yang ana maksud ada ketidaksamaan tentang pemahaman makna dan kandungan aqidah itu, antum sepertinya memandang perbedaan “aqidah” tidak berimplikasi pada iman atau kafir (kafir betulan lho, bukan kufrun duna kufrin).
      Kalau memang makna “aqidah” yang antum maksud seperti itu, memang selesai sudah masalahnya, ana sangat sepakat dg antum kalau khabar ahad (yang shahih/hasan) adalah dalil/hujjah dalam perkara “aqidah” seperti makna yang antum fahami. (harap ini dulu dikomentari, yang lain ana komentari setelah ini clear).
      harap difahami lagi: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/

      ini diluar konteks, namun saya tanggapi biar tidak jadi syakwasangka:
      Adapun maksud ana menulis bagaimana Al Hafidz ibnu Hajar dll disalahkan oleh Syaikh Bin Baz dkk insya Allah bukan bermaksud menjelekkan yang menyalahkan (Syaikh Bin Baz dkk) (semoga Allah membersihkan hati ana dan antum dari su’udz dzon), ana hanya ingin menjelaskan bahwa maksud mereka (saya tidak tahu antum bagian mereka atau tidak) adalah tidak dalam rangka mengkafirkan Al Hafidz ibnu Hajar dll tersebut. Terus terang ana sangat sedih ketika umat ini bertikai hanya karena kesalahpahaman ini atau karena masalah khilafiyah yang tidak disikapi secara ‘arif. (lihat saja banyak blog — saya tidak sebutkan — yang menuduhkan albani mengkafirkan imam bukhori, nanti bisa saja muncul postingan bin baz menyesatkan ibnu hajar–atau blog -blog lain yang saling serang, bahkan di bogor ada dua radio yang saling serang, alangkah bagusnya kalau waktunya digunakan untuk menulis dan mendidik umat).
      ***
      mohon nanti kalau mengutip diusahakan disertakan teks arabnya juga –kecuali kita (ana dan antum) kesulitan mendapatkan naskah arabnya, agar mudah mengecek apakah itu fakta terjemahan atau masalah pemaknaan.

      Suka

  12. Ridwan Abdillah

    الحمد لله رب العالمين والصلاة
    والسلام على المبعوث رحمة للعالمين وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى

    Alhamdulillah mari kita lanjutkan.
    Untuk masalah postingan yg lambat atau tertunda kita rasa sama mohon pengertiannya.
    sebenarnya setelah membaca komentar antum diatas .

    Sebenarnya apa yg antum katakan dlm koment diatas tentang azab kubur antum berkata
    “”adapun tentang siksa kubur, karena dalilnya shahih walaupun ahad maka tidak mempercayainya hanya lantaran ia khabar ahad adalah kesesatan, bukan kafir–inilah makna khabar ahad bukan sebagi hujjah (lihat link yg ana kasih)
    begitu juga kasus yg lain. sdangkan menolak karena punya takwil atau dalil lain yang lebih kuat, ini seperti khilaf dalam masalah syara'”””
    antum katakan bahwa orang yg mengingkari azab kubur krn hadits ahad adalah kesesatan mk hal ini cukup untuk membantah apa yg antum tulis secara keseluruhan dimakalah antum sendiri.Maka selesai sudah,tapi nampaknya antum tidak menyadari apa yg antum tulis tentang makalah
    ””Kedudukan Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah””’.
    Antum sendiri yg mengatakan di atas bahwa orang yg mengingkari azab kubur dengan dalil ini hadits ahad kemudian menolaknya maka antum katakan itu kesesatan.Sedangkan tulisan antum sendiri berkisar hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dlm aqidah.Bukankah azab kubur ini merupakan aqidah????

    ????????????????

    Baiklah terlepas dr pernyataan antum diatas ana akan menanggapi makalah antum dan koment antum dlm dialog bersama akhi dhil.

    Maka benar apa yg antum katakan bahwa marilah kita samakan persepsi kita dlm masalah aqidah.agar dialog ini menemukan titik temu,
    Telah kita ketahui bersama bahwa aqidah ialah kepercayaan yang mantap dan keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan.
    namun perlu ana tambahkan disini, karena ini berkaitan dg hadits ahad maka kita samakan jg persepsi kita dlm memahami hadits ahad( apakah sama persepsi kita dg ulama ahlul hadits ataukah beda,hal inilah yg akan menjadi titik temu antara kita apakah kita berbeda pemahamn ataukah sama mk hal ini sangat ditekankan).

    Pertanyaan ana pertama ahlul hadits siapa dan dikitab mana yg menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah???

    Lalu ana senang sekali dg pernyataan antum dg koment pertama ktk dialog dg akhi Dhil antum menulis

    “””‘Hemat saya kita semua perlu merujuk kitab – kitab asli yang ditulis ‘ulama terdahulu, sehingga kita tidak mencatut nama mereka untuk menjustifikasi pendapat kita, padahal sebenarnya mereka menyatakan yg lain. seperti pernah ana baca orang menyatakan bahwa tidak ada ‘ulama yg menyatakan khabar ahad hanya berfaedah dzan, faktanya bisa dibaca semisal tulisan Ibnu Hajar al Asqalaniy dalam catatan kaki no 20(Ahmad bin Ali bin Hajar As Asqalaniy (Wafat 852 H), Nukhbatul Fikri fi Mustalahi Ahlil Atsar, juz 1 hal 1.)di tulisan ini.”””

    Alhamdulillah kalo antum katakan mari kita semua merujuk ke kitab2 asli ulama terdahulu.

    Pertanyaan ana ketika antum sebutkan pada poin ke lima
    “”‘Jumhur ulama ushuliyyin, para muhaditsin, dan imam madzhab yang tiga (Syafi’i, Abu Hanifah dan Malik ra) serta imam Ahmad dalam satu riwayat, Imam Asnawy dan Imam Bazdawy[8] menyatakan bahwa khabar ahad tidak menghasilkan ‘ilm (kepastian) tetapi menghasilkan “dzon”
    pertanyaan ana apakah antum sendiri telah melihat dan Membaca perkataan Imam syafi’i dlm kitab beliau?? ataukah antum hanya membaca pernyataan Mahmud saltut???
    Bukankah Imam syafi’i dlm kitab Ar risalah Dalam Bab ” Al “Al Hujjah fi Tatsbit Khabar Al Wahid” beliau hanya menjelaskan kehujjahan hadits ahad wajib diambil bila telah shahih dan tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir,tidak membedakan tentang aqidah dan amaliyah yg beliau bicarakan hanya berkisar hadits itu shahih atau tidak.
    Pada halaman 401 dr kitab Ar Risalah Imam syafi’i yg ditahqiq oleh Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, di sana Beliaurahimahullah ditanya:Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?”

    Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6]. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang. ( lihat jg Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz) lihat danperhatikan baik2 perkataan Imam Syafi’i rahimahullahu. “””Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang”””.Yg beliau bicarakan disini adalah shahih dan tidaknya hadits untuk diterima.

    kemudian perkataan antum
    “”Dalam hal ini, sangat menyedihkan ketika sebagian orang mengatakan pendapat lain sesat, kafir, jahmiyah, bahkan murji’ah dan zindiqah hanya gara-gara masalah definisi, tanpa melihat kandungan makna apa yang dimaksudkan oleh yang membuat definisi.”””
    Maka yg ingin ana tanyakan apakah ulama2 yg menyatakan hadits ahad bersifat tidak menghasilkan ilmu dan bersifat dzon,pertanyaan ana ulama hadits siapakh diantara mereka yg tidak mengamalkan hadits ahad yg shahih yg berkaitan dg aqidah??
    Meskipun adabeberapa pendapat dlm masalah hadits ahad berfifat ilmu atau dzon , namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun.
    pertanyaan ana antum nulis definisi pembagian hadits ahad menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalanipada catatan kaki 20 tp antum sendiri tidak mengetahui maksud beliau yg mana beliau di dalam kitab Fauhl Bari( kecuali bila antum mengingkari ini kitab beliau) beliau berkata ”“Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad.”( Fathul Bari 13/234).
    Benarlah apa yg antum katakan dimakalah antum katakan”””Dalam hal ini, sangat menyedihkan ketika sebagian orang mengatakan pendapat lain sesat, kafir, jahmiyah, bahkan murji’ah dan zindiqah hanya gara-gara masalah definisi, tanpa melihat kandungan makna apa yang dimaksudkan oleh yang membuat definisi.”””

    Lalu berkenaan berkenaan masalah kesalahan ulama yg antum sebutkan dlm makalah antum dan link2 antum diatas dlm masalah aqidah maka ana rasa ini ada tempat tersendiri untuk kita diskusikan biar lbih terperinci agar tidak terjadi fitnah terhadap ulama yg mana antum lontarkan kemudian tidak dijelaskan secara detail (wallahu a’alam niat antum untuk apa,ana hanya berharap husnu dzon aja terhadap antum).

    Ana rasa ini dahulu yg mesti antum tanggapi,dan masih banyak lg yg mesti antum tanggapi berkaitan makalah antum diatas.

    Suka

  13. Ridwan Abdillah

    ana mau tanya kpd antum. yang mau kita bahas itu yg mana??? blog yg baru ini ataukah yg pertama antum kasih??

    Akhi,sebenarnya perkataan antum sangat baik sekali bila kita jadikan CERMIN dlm menyikapi perkataan ulama.
    antum berkata”””””‘Hemat saya kita semua perlu merujuk kitab – kitab asli yang ditulis ‘ulama terdahulu, sehingga kita tidak mencatut nama mereka untuk menjustifikasi pendapat kita, padahal sebenarnya mereka menyatakan yg lain””””

    masalah pernyataan Syaikh AlBani tentang Imam Bukhori,apakah antum telah melihat kontek aslinya??? ataukah antum percaya begitu saja dg fitnah tersebut dan mengambil kesimpulan bahwa inilah perbedaan aqidah yg antum maksud dg menaruhnya di blog antum ini???sungguh dalil yg memaksakan untuk menyatakan hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah.

    baiknya antum simak dahulu nukilan aslinya dr Fatwa syaikh Albani disini?
    (link dihapus — nanti kalo sepakat akan dimuat link ini dan link penuduhnya biar seimbang– afwan)
    Sepertinya antum belum paham dlm menyikapi kesalahan ulama,antum mesti baca dahulu tentang bagaimana menyikapi kesalahan ulama ( biar kita menemukan titik temu)
    coba antum baca disini.

    Menyikapi Kesalahan ‘Ulama Ahlus-Sunnah

    afwan koment ini belum mewakili untuk menanggapi blog yg antum kasih ini,tp koment ini bermaksud agar antum pelajari dahulu,ana berharap antum bs mengerti walaupun sedikit.
    Coba antum baca dahulu.
    Oh iya apakah antum telah mempelajari video diatas dr awal sampai akhir???

    adapun perkataan antum “”’ (lihat saja banyak blog — saya tidak sebutkan — yang menuduhkan albani mengkafirkan imam bukhori, nanti bisa saja muncul postingan bin baz menyesatkan ibnu hajar–atau blog -blog lain yang saling serang, bahkan di bogor ada dua radio yang saling serang, alangkah bagusnya kalau waktunya digunakan untuk menulis dan mendidik umat)”””
    Subhat inipun perlu di jelaskan secara detail,ana harap antum tanggapi perkataan ana dahulu jangan menambah-nambah dahulu kata2 mujmal yg perlu diperinci lagi.Insya Allah yg inipun kita akan bahas tapi satu persatu dahulu.

    Suka

    • yg ana maksud tulisan pertama dan kedua dalam blog ana, keduanya tidak ada kontradiksi.

      Karena antum tidak menanggapi bagaimana kandungan makna aqidah yang antum maksud, ana asumsikan apa yang ana tulis : “”antum sepertinya memandang perbedaan “aqidah” tidak berimplikasi pada iman atau kafir (kafir betulan lho, bukan kufrun duna kufrin)”” adalah memang yang antum maksudkan (kalau salah tolong di komentari biar kita berdiskusi dalam tema yang sama). Kalau benar demikian sebetulnya sudah clear, tidak ada masalah yang perlu dibahas lagi. Ana akan menanggapi komentar antum.

      antum menulis:
      … “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad.”( Fathul Bari 13/234).”

      komentar ana:
      Tema pernyataan ini adalah tentang ‘amal (Fathul Bari juz 13). Dan dimuat dalam juz 13 bab ما جاء في إجازة خبر الواحد
      Kalau dibaca dalam bab ini bagian mana yang bisa disimpulkan bahwa bab ini membahas tentang aqidah (yang menjadi garis batas iman dg kafir)?

      Yang kita dapatkan adalah bahwa bab ini merupakan bantahan bagi yang menolak “khabar ahad” sebagai hujjah secara mutlak (ana kasih tanda petik dalam “khabar ahad” karena yg dimaksud dg “khabar ahad” disini — al Hafidz menyebutnya khabar wahid — berbeda dengan khabar ahad dalam konteks musthalahul hadits).

      Lihat kalimat dibagian awal bab ini:
      والمراد بالإجازة جواز العمل به والقول بأنه حجة وبالواحد هنا حقيقة الوحدة
      “yang dimaksud dg ijazaah (kebolehan) disini (dalam bab ini) adalah kebolehan beramal dengannya dan perkataan bahwasanya ia (khabar wahid) adalah hujjah, dan yang dimaksud dengan al wahiid disini (dalam bab ini) adalah satu yang hakiki (حقيقة الوحدة)”

      Jadi bab ini merupakan bantahan bagi orang yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak bisa jadi hujjah dalam perkara amal maupun aqidah (sekali lagi yang dimaksud ahad disini adalah yang diriwayatkan satu orang saja – berbeda dg khabar ahad dalam istilah hadits, karena dalam ilmu hadits walaupun diriwayatkan oleh lebih dari satu orangpun bisa jadi masih statusnya khabar ahad ), ini terlihat dari pernyataan :

      وقصد الترجمة الرد به على من يقول أن الخبر لا يحتج به الا إذا رواه أكثر من شخص واحد
      “Dan maksud tarjamah(judul bab) ini, (yakni judul: ما جاء في إجازة خبر الواحد ) adalah untuk menyangkal orang yang menyatakan bahwasanya khabar tidak dijadikan hujjah kecuali jika diriwayatkan oleh lebih dari satu orang”

      Dibagian lain bab ini ditulis :
      … …فدل على اتفاقهم على وجوب العمل بخبر الواحد
      “… maka menunjukkan atas kesepakatan mereka tentang wajibnya meramal dengan khabar wahid”

      Dibagian lain di bab ini ditulis:
      والحجة منه بالعمل بخبر الواحد ظاهرة لأن الصحابة الذين كانوا يصلون إلى جهة بيت المقدس تحولوا عنه بخبر الذي قال لهم ان النبي صلى الله عليه و سلم أمر ان يستقبل الكعبة فصدقوا خبره وعملوا به في تحولهم عن جهة بيت المقدس وهي شامية إلى جهة الكعبة

      Dibagian akhir bab ini, ibnu Hajar menulis bahwa pembahasan yang luas tentang ini adalah pada ushulul fiqh: ولهم في ذلك تفاصيل يطول شرحها ومحل بسطها أصول الفقه
      Jadi ana tentang ini sepakat saja, sesuai dengan tema pembahasan bab ini.

      jadi pernyataan ibnu hajar ini tidak ada pertentangan dengan pernyataan beliau dalam Nukhbatul Fikri fi Mustalahi Ahlil Atsar, juz 1 hal 1:
      … فالأول المتواتر المفيد للعلم اليقيني … وسوى الأول آحاد وفيها المقبول وهو ما يجب العمل به عند الجمهور وفيها المردود …وقد يقع فيها ما يفيد العلم النظري بالقرائن

      ***
      Antum nulis :
      Bukankah Imam syafi’i dlm kitab Ar risalah Dalam Bab ” Al “Al Hujjah fi Tatsbit Khabar Al Wahid” … Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang. (lihat jg Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz)

      Komentar ana:
      Komentar ana serupa dengan komentar tentang kutipan antum dalam kitab Fathul Baari.
      Kalau antum nanya: “Pertanyaan ana pertama ahlul hadits siapa dan dikitab mana yg menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah???”
      Maka pertanyaan ana:
      Dibagian mana dalam kutipan yang antum sampaikan yang menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah??? (aqidah seperti yang kandungan maknanya seperti dibahas ahli ushul)

      Bukankah sudah ana jelaskan bahwa hal pertama dan terpenting dalam suatu pembahasan adalah menyamakan persepsi tentang tema apa yang sedang kita bicarakan.

      Seharusnya kalau mau lihat bagaimana imam Syafi’i meletakkan batas antara iman dan kafir (kafir betulan, bukan “kafir”) bisa dilihat dari dialog tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja apakah ia kafir, dialog ini terdapat dalam Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubro, 2/48, Fiqhus Sunnah 1/96 (Maktabah Syamilah)
      مناظرة في تارك الصلاة :
      ذكر السبكي في طبقات الشافعية أن الشافعي وأحمد رضي الله عنهما تناظرا في تارك الصلاة.
      قال الشافعي: يا أحمد أتقول: إنه يكفر؟ قال: نعم.
      قال: إذا كان كافرا فبم يسلم؟ قال: يقول: لا إله إلا الله محمد رسول الله.
      قال الشافعي: فالرجل مستديم لهذا القول لم يتركه.
      قال: يسلم بأن يصلي.
      قال: صلاة الكافر لا تصح، ولا يحكم له بالاسلام بها.
      فسكت الامام أحمد، رحمهما الله تعالى.
      ولكن كثيرا من علماء السلف والخلف، منهم أبو حنيفة، مالك، والشافعي، على أنه لا يكفر، بل يفسق ويستتاب، فإن لم يتب قتل حد أعند مالك والشافعي وغيرهما. وقال أبو حنيفة: لا يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي، وحملوا أحاديث التكفير على الجاحد أو المستحل للترك

      ***

      Ini hanya sebuah ilustrasi:

      Suatu ketika ada 3 orang pelajar berselisih tentang Matematika, si A berpendapat bahwa 1 + 2 = 11 namun si B menyalahkannya kata si B yang benar itu 1 + 2 = 10 dan si C menyatakan A dan B tidak mengerti Matematika karena yang benar menurutnya 1 + 2 = 3.
      Perdebatan panjangpun terjadi, masing – masing mengemukakan pendapatnya dan menyalahkan yang lainnya, namun mereka lupa menanyakan tema pembahasan mereka masing – masing, sampai akhirnya ada seseorang yang berusaha melerai, dan barulah mereka sadar bahwa si A mengerjakan hitungan yang hasilnya dinyatakan dalam basis 2, si B menyatakan hasilnya dalam basis 3, dan si C menyatakan hasilnya dalam basis 10. Dan ketiganya, dalam konsep matematika, ternyata benar dalam pengerjaan tersebut sesuai dengan basis bilangan yang mereka maksud.
      ***
      Tentang syaikh al albani v.s imam bukhory, tidak ada diblog ana yang menuduh syaikh al albani mengkafirkan al bukhory.
      perhatikan apa yg ana tulis:
      “”mereka juga menyalahkan aqidah imam al Bukhoriy (wafat 256 H) ketika beliau men takwil wajah Allah sebagai kekuasaan/kerajaan Allah, tanpa mengkafirkan imam Bukhoriy””

      Ini untuk memberi contoh bahwa “aqidah” dalam pengertian yang mereka fahami adalah BUKAN garis batas antara iman dan kafir, sedang yang lain memahami aqidah adalah garis batas iman dan kafir.

      Tentang kesalahan ‘ulama dalam hal ini (dalam memahami dalil yang dzonny) adalah kesalahan dalam masalah ijtihad, sehingga sebenarnya ungkapan yang tepat untuk hal ini tidak menyatakan bahwa yang berbeda dengan pendapat nya mutlak keliru. (Sayangnya tidak ada relawan yang bisa dikirim untuk mengklarifikasi imam Bukhary dan Al Hafidz Ibnu Hajar, kalau misalnya beliau masih hidup kan bisa jadi al Hafidz Ibnu Hajar mengikuti pendapat Syaikh bin Baz atau justru sebaliknya Syaikh Bin Baz yang mengikuti pendapat Al Hafidz) — jadi kewajiban kita dalam hal ini (yang dalil dan penunjukan maknanya dzon) hanya mengkaji dan mengikuti pendapat yang kita anggap paling kuat dalilnya. kemudian kita simpulkan bahwa PENDAPAT KAMI BENAR NAMUN ADA KEMUNGKINAN KELIRU, PENDAPAT SELAIN INI KELIRU WALAUPUN ADA KEMUNGKINAN BENAR.

      Jadi dalam masalah yng dalilnya dzon, tidak ada kemutlakan kebenaran sehingga yang berbeda dengan kita mutlak keliru. seperti kitab At Tanbih ‘Ala Mukholafaatil Aqdiyyah Fi Fathil Baariy (= peringatan atas penyimpangan aqidah dalam fathul bari), yang ditulis oleh Syaikh Bin Baz, Shalih Fauzan dkk, tidak bisa dimutlakkan bahwa al Hafidz PASTI salah dalam hal yang dikritik, begitu juga sebaliknya, begitu juga dalam kasus imam Bukhory. tugas kita hanya mengkaji dan mengambil salah satu dari dua pemahaman tersebut.
      ***
      kalau antum mau, link yang antum berikan nanti insya Allah ana muat di tulisan tersebut, namun kalau ana muat, sebagai penyeimbang link yang menuduh juga tidak etis kalau tidak ana cantumkan. terserah antum tapi kaya nya efek ke pembaca kurang bagus
      ***
      yang saya jelaskan di atas itulah makna dari pernyataan:
      Kalau dalilnya tidak qath’iy, sehingga ‘ulama berbeda pendapat, maka tidak boleh dijadikan bagian dari aqidah, sehingga pendapat suatu kelompok (dianggap) itu saja yang Haq, sedang yang lain tidak. Kalau maknanya lebih dari satu, tidak sah untuk dalil dalam aqidah, sehingga dihukumi orang yang mengingkarinya sebagai kafir.

      Contohnya begini:
      1. Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan (al Qur’an)
      2. disunnahkan shalat sunnah fajar (riw. mutawatir)
      3. mayat disiksa karena ratapan keluarganya (khabar ahad)

      ##Mengingkari perkara pertama menyebabkan KAFIR
      ##tidak melakukan perkara no. 2 tidak mengapa, namun menolak bahwa shalat ini hukumnya sunnah menyebabkan KAFIR.
      ## Perkara no. 3 TIDAK berakibat kepada KEKAFIRAN. Yang tidak percaya perkara no.3 hanya dg alasan KARENA IA KHABAR AHAD saja adalah KESESATAN. Sedangkan yang tidak percaya karena ia punya takwil, atau punya dalil lain yang ia pandang lebih kuat dari dalil yang menyatakan no. 3 maka ia tidak dipandang KAFIR dan TIDAK DIPANDANG SESAT, ini seperti ijtihad dalam hukum syara.

      Suka

      • Assalamu’alaykum

        [Quote]
        “Maka pertanyaan ana:
        Dibagian mana dalam kutipan yang antum sampaikan yang menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah???”

        kok saya merasa aneh ya akhi 🙂

        bukankah seharusnya antum yang membawakan dalil qathiy, yang menunjukkan bahwa penggunaan hadits ahad dalam masalah aqidah masih SAMAR ?

        karena menurut pandangan saya, lawan diskusi antum sudah meyakini dengan JELAS perkara khabar ahad secara qathiy. 🙂

        ada suatu kaedah yang mengatakan ;
        أثبت العرش ثم انقش

        sementara saya belum lihat dengan JELAS pemaparan dari antum mengenai SAMAR-nya perkara tersebut,
        melalui dalil yang qathi tentunya.

        atau jangan-jangan terlewat oleh saya pembahasannya ? (o_0′)?

        Jzakallahu khayr

        Suka

        • Cobalah dibaca benar-benar saudaraku, kronologinya begini:
          Ridwan: “Pertanyaan ana pertama ahlul hadits siapa dan dikitab mana yg menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah???”

          Sebenarnya pertanyaan ini sudah saya jelaskan sejelasnya kalau mau membaca disini, bagaimana pendapat Imam An Nawawi, Ibnul Araby dll : https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/ (lihat komentar ana 7 mei 2010). Karena saya sudah merasa jelas, maka saya mengajak Akh Ridwan untuk merenungi makna-makna kutipan -kutipannya adakah seperti yang dia simpulkan. makanya saya tulis sebagaimana yang sdr kutip: yakni:
          Dibagian mana dalam kutipan yang antum sampaikan yang menyatakan dg kata JELAS bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah dlm masalah aqidah??? (aqidah seperti yang kandungan maknanya seperti dibahas ahli ushul).

          Sebenarnya baik perkara-akidah maupun hukum, khabar ahad yang sahih bisa diterima, tentunya dengan tingkat penerimaan yg tdk qath’iy. ini yang Imam Syafi’i pakai menurut al Hafidz Ibnu Abdil Barr. dan inilah yang kami pakai. sudah ana tulis di postingan https://mtaufiknt.wordpress.com/2011/01/27/metode-penetapan-aqidah/:

          Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:

          اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه

          Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh. Allahu A’lam

          baarokallahuu fiik

          Suka

  14. Ridwan Abdillah

    insyaAllah akh ana lanjutkan dan terangkan sejelas-jelasnya,tp afwan yach mohon pengrtiannya krn kesibukan ana saat ini blum bs lanjutkan.InsyaAllah nanti malam atau besok yach ana lanjutkan.
    Sukran jazakumullahu khoiran katsiran.

    Suka

  15. Ridwan Abdillah

    Rosululloh bersabda: “kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tdk akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah Aku tunjukan pd kalian pda kalian suatu amalan yg jika kalian melakukany kalian akan saling mencintai? Sebarkan salam diantara kalian” (HR.Muslim).

    akhi M.Taufik,sudah beberapa hari ini kita berdiskusi tp ada yg terlupa diantara kita sebagai muslim yaitu mengucapkan salam sebagai do’a untuk muslim yg lainnya,dan afwan atas kelupaan ini,oleh krnnya ana akan memberi salam terlebih dahulu terhadap antum melalui tulisan disini krn kita blum bs bertatap muka atau berbicara secara langsung.

    Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

    الحمد لله رب العالمين والصلاة
    والسلام على المبعوث رحمة للعالمين وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى

    Alhamdulillah ana senang berdialog dg antum krn antum itu termasuk orang yg pandai matematik sehingga apa-apa yg ana sampaikan akan mudah dipahami oleh antum,semoga Allah menjaga niat kita yaitu nasehat menasehati dlm kebenaran dan tidak fanatik terhadap pendapat yg bertentangan dg Al qur’an dan As sunnah yg dipahami oleh para salafush shalih kita.
    Telah kita ketahui bersama dg yakin bahwa latar belakang seorang mukmin berbeda-beda ada yg memang dr kecil dia telah mengenal Islam dan istiqmah dijalan Allah hingga wafatnya dan ada pula yg dahulu mereka yg berbuat syirik,berbuat maksiat ataupun berbuat bid’ah walaupun ketika berbuat syirik,bid’ah dan maksiat mereka dimata sebagian manusia orang2 yg mulia namun di sisi Allah orang2 yg mulia hanyalah orang2 yg bertakwa.

    Kita lihat para sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in,para ulama yg mengikuti mereka dan kaum muslimin seluruhnya,ketika mereka kembali kepada kebenaran,kembali dari syirik menuju Tauhid,dari maksiat kepada To’at dan dari bid’ah kepada sunnah mk tidak menghilangkan kemuliaan mereka.Bahkan sebagian besar nama mereka tecatat didada-dada kaum muslimin sebagai orang2 yg mulia walaupun niat mereka kmbali kpd kebenaran tidak bermaksud untuk mencari kemuliaan dimata manusia.
    Imam Muslim mencatat kisah seorang tabi’in yg dahulu salah dlm memahami Islam lalu dia bartaubat dan kmbali kpd manhaj Sahabat dan itu tidak mengurangi kemuliaan Beliau,lihat kisahnya disini
    http://abumushlih.com/tuduhlah-akal-kalian.html/#more-1613

    ————————————————————————

    Akhi M.Taufik ,saudaraku yg ana muliakan dan ana berharap agar kebaikan selalu tercurahkan kpd antum serta rahmat dan hidayahNya selalu tercurahkan kepada kita sekalian.

    Dalam dialog awal uda ana singgung sedikit(tidak secara detail)tntang samakan dahulu persepsi kita dlm memahami aqidah yg antum maksud.Dan ana alhamdulillah mengerti apa yg antum maksud yaitu aqidah menurut ahli ushuluddin yg mana bila berbeda akan menyebabkan kekafiran(tentunya setelah memenuhi syarat2 kekafiran itu sendiri).

    Lalu telah ana katakan jg krn ini berkaitan dg hadits ahad mk ana tambahkan agar kita samakan jg persepsi kita dlm memahami hadits ahad( apakah sama persepsi kita dg ulama ahlul hadits ataukah berbeda dg ahlul hadits krn hal inilah yg akan menjadi titik temu antara kita apakah kita berbeda pemahamn ataukah sama mk hal ini sangat ditekankan),dan insyaAllah dr sini kita akan mengetahui makna dzon dan penempatannya yg benar.

    antum berkata pd koment diatas
    ””yg ana maksud tulisan pertama dan kedua dalam blog ana, keduanya tidak ada kontradiksi””

    ana tanggapi :
    sekilas memang tidak ada kontradiksi, padahal ada dan terlihat jelas bila yg membacanya itu memahami agama(afwan ana tidak menyebut diri ana ahli agama,jadi berbeda antara paham agama dan ahli agama,ana hanya seorang yg faqir ilmu sehingga blum berani membuat karya tulis tentang agama sebelum menguasai berbagai macam ilmu ushul,ana khawatir akan menyesatkan umat dimana ana belum menguasai berbagai ilmu tetapi berani tampil didepan umat untuk mengajarkan agama atau untuk menulis karya agama)
    iya disana ada kontradiksi dimana ada penempatan yg salah.Nanti akan ana uraikan/jelaskan berdasarkan ilustrasi yg antum berikan sekaligus menjelaskan tentang persepsi aqidah dan hadits ahad yg kita bahas serta persepsi makna dzon.

    Tapi sebelumnya ana mau komentar dahulu mengenai tanggapan antum tentang fathul bari yg mana antum menarik kesimpulan seperti ini :
    ”’Jadi bab ini merupakan bantahan bagi orang yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak bisa jadi hujjah dalam perkara amal maupun AQIDAH (sekali lagi yang dimaksud ahad disini adalah yang diriwayatkan satu orang saja – berbeda dg khabar ahad dalam istilah hadits, karena dalam ilmu hadits walaupun diriwayatkan oleh lebih dari satu orangpun bisa jadi masih statusnya khabar ahad ), ini terlihat dari pernyataan :

    وقصد الترجمة الرد به على من يقول أن الخبر لا يحتج به الا إذا رواه أكثر من شخص واحد
    “Dan maksud tarjamah adalah untuk menyangkal orang yang menyatakan bahwasanya khabar tidak dijadikan hujjah kecuali jika diriwayatkan oleh lebih dari satu orang””””””

    sebenarnya pernyataan antum itu benar dan membantah apa2 yg ada dalam makalah antum (Nanti akan ana bahas setelah menjelaskan persamaan persepsi dlm aqidah,hadits ahad dan makna dzon)

    Tapi kl dr kesimpulan diatas yg antum maksud “bab ini merupakan bantahan bagi orang yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak bisa jadi hujjah secara mutlak dalam perkara amal maupun AQIDAH bukan bantahan trhadap orang yg mengkhususkan yg menyatakan hadits ahad adalah hujjah dlm amal bukan hujjah dlm aqidah.
    pertanyaan ana

    1.Mana bukti yg menguatkan beliau berkesimpulan seperti itu???

    Suka

  16. Ridwan Abdillah

    Kl kita lihat lg dalam Kitab Fathul Bari justru bukti yg ada beliau rahimahullahu menyatakan khobar wahid untuk aqidah

    ini hadits nya :
    إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

    Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan.

    Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah(ushul)? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh Beliau rahimahullah, bahkan hampir sebagian besar ulama.(perhatikanlah wahai akhi beliau menerima hadits ahad ghorib ini,hadits ini didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at,Jadi jika kita menyatakan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dlm aqidah yg bersifat ushul mk beliau dan ulama2 yg lainnya akan menolak hadits ini)

    Coba kita perhatikan perkataan Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu,beliau berkata :

    والخَبَرُ المُحْتَفُّ بالقَرائِن أنواعٌ : مِنْها مَا أَخْرَجَهُ الشَّيْخانِ في صَحيحَيْهِما ممَّا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ المتواتِرِ، فإِنَّهُ احْتُفَّتْ بِهِ قرائِنُ ؛ منها : جَلالتُهُما في هذا الشَّأْنِ . وتَقَدُّمُهُما في تَمْييزِ الصَّحيحِ على غيرِهما . وتَلَقِّي العُلماءِ كِتابَيْهِما بالقَبُولِ ، وهذا التَّلقِّي وحدَهُ أَقوى في إِفادةِ العلمِ مِن مُجَرَّدِ كَثْرَةِ الطُّرُقِ القاصرةِ عَنِ التَّواتُرِ

    “Hadits yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang TIDAK MENCAPAI DERAJAT MUTAWATIR. Hadits ini mengandung ilmu yaqin karena : a) Kemuliaan keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang terdahulu yang memisahkan hadits shahih; dan c) restu para ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan haditsnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar oleh Ibnu Hajar hal. 74].

    Jadi secara keseluruhan Beliau rahimahullah menerima hadits2 ahad yg ada dalam shahih bukhori baik yg berkaitan dg hukum/amal ataupun yg berkaitan dg aqidah yg bersifat ushul.(Banyak bila ana turunkan semuanya disini tp satu ini saja sudah mewakili dr semuanya,tp kl tidak cukup mk akan ana beri contoh 2 hadits ahad lg dlm shohih bukhori yg berbicara mengenai aqidah ushuluddin yg disetujui oleh beliau.

    Contoh kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan

    ماذا يأمركم قلت يقول اعبدوا الله وحده ولا تشركوا به شيئا واتركوا ما يقول آباؤكم ويأمرنا بالصلاة والصدق والعفاف والصلة

    Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab, ‘Muhammad mengatakan. ‘Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dangan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…

    Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, dan hadits ini juga merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini tercapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu:

    بسم الله الرحمن الرحيم من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأريسيين و يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم أن لا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

    Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dangan ajakan Islam, islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawakan ayat, yang artinya.) Katakanlah. “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dangan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagal llah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka . “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran:64).

    Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Apakah seperti ini bukan aqidah? Demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagal hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.

    Suka

  17. Ridwan Abdillah

    contoh ketiga dr hadits ahad yg bersifat aqidah yg beliau terima adalah
    , hadits nomor 26.

    عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور

    Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan RasulNya. ” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, Haji yang mabrur ‘

    Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.

    Itu baru 3 contoh hadits ahad yg bersifat aqidah yg diterima oleh seluruh ulama ahlus sunnah berarti seluruh ulama ahlus sunnah bersepakat menerima hadits ahad yg bersifat aqidah( ushul )

    Wahai akhi yg ana muliakan,mana bukti bahwa Beliau rahimahullahu mengambil kesimpulan seperti yg antum maksud?

    Suka

  18. Ridwan Abdillah

    d.Pernyataan hadits ahad tidak bs dijadikan hujjah dlm aqidah(ushul) ini mulai ada pada zaman belakangan oleh krnnya yg membantahpun dg JELAS adalah ulama2 ahlus sunnah yg belakangan jg namun tidak ana sebutkan krn kebanyakan dr orang yg berfaham seperti ini tidak menganggap perkataan ulama belakangan.Orang belakangan yg menyatakan seperti ini salah satunya Taqiyyuddin An Nabhani beliau mengharamkan mengambil aqidah kecuali pada riwayat yang mutawatir saja. Hal ini karena Taqiyyuddin menganggap hadits ahad meskipun shohih, hanya membuahkan Dhon dan SEMUA Dhon tidak bisa diimani (HARAM DIIMANI).
    Beliau berkata“Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…..”.
    (SUMBER : Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).

    Taqiyudin juga Berkata :
    “… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah, (maka) sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon (praduga), dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan).

    (Taqiyyudin An-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1 h.129.)

    Jadi tak heran bila ada orang mengikuti perkataan nyeleneh ini( afwan ana katakan nyeleneh krn tak pernah hal ini tidak pernah dibicarakan oleh salafush shalih kita dan perkataan inipun bertentangan dg pemahaman salafush shalih kita wahai saudaraku)
    tak heran kalo ada orang yg mengikuti beliau berkata””

    Menolak untuk mengimani hadits ahad bukan berarti mengingkari hadits ahad tersebut, tetapi menerima dengan kepercayaan tertinggi, namun dengan catatan bahwa TIDAK SERATUS PERSEN BENAR. Oleh karena itu, saya percaya terhadap:

    -adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
    -bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
    -akan turunnya Isa di akhir zaman.
    -akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
    -atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
    -atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
    -terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
    -akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
    Apakah dengan kepercayaan saya kepada hal-hal diatas itu saya masih dianggap sesat? Ahlul bid’ah? Atau orang yang aqidahnya melenceng?”’ ( SELESAI kata selesai disini bukan berarti selesai perkataannya dia yg disana tp ini untuk pembatas perkataan dia yg ana taruh disini ).

    Astagfirulah,aqidah semacam apa ini yg menyatakan mempercayainya tp tidak seratus persen???? padahal mereka sendiri menyatakan bahwa aqidah itu harus pasti(ngga boleh ragu2/syak).
    (afwan perkataan ini ana ambil dr seorang pengikut HT bila mau ana ada linknya dan masih tercatat disana dg JELAS pernyataan ini).

    Inilah perlunya menyamakan persepsi aqidah dan makna dzon serta menempatkan sesuatu pada tempatnya agar kita tidak slah dlm memahami agama Islam yg mulia ini.

    Suka

  19. وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
    الحمد لله وكفى، والصلاة والسلام على النبي المصطفى، والرسول المجتبى، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه المنتدى

    Akhi Ridwan, terimakasih atas do’anya, semoga kebaikan dan barokah senantiasa menyertai akhi juga.
    ***
    Tentang hadits “Sesungguhnya amal itu dengan niat…” insya Allah ana sudah faham dan dengar dari video yang ada dari antum. Dan hadits ini tidak berada di bab yang dimaksud, adapun kalau mau membahas TEMA/OBJEK PEMBAHASAN dari sisi aqidah, ya semua hadits, baik yang ahad maupun mutawatir, shahih, hasan, dho’if … semuanya bisa dikaitkan dengan aqidah, alangkah eloknya kalau ini juga dibaca:

    Perbedaan antara Aqidah dan Hukum Syara’


    ***
    Ana lihat pembahasan kita masih belum fokus, kita bicara pada dua hal (kalau dalam ilustrasi ana, basis) yang berbeda. Kalau mau membahas apakah hadits ini ahad atau mutawatir hendaknya kita merujuk kepada ahli hadits karena ini bidang mereka (insya Allah kita faham lah tentang ini). Kalau kita bicara apakah khabar ahad bisa jadi hujjah dalam masalah aqidah (menyatakan kafir/tidaknya seseorang) hendaknya kita merujuk ke ahli ushul karena ini salah satu bidang mereka.
    ***
    Kalau antum mau mengerti OBJEK PEMBAHASAN aqidah alangkah eloknya kalau dibaca lagi kitab ini : http://taufik1976.files.wordpress.com/2010/05/syaikh-mahmud-syaltut-islam-aqidah-wa-syariah.pdf atau kitab -kitab serupa dalam hal ilmu ushul (bagusnya lagi berguru ke yg ahli karena ada beberapa hal yang sulit memahaminya) — bukankah ini saran dari Ibnu Hajar dalam Fathul Baary, bahwa pembahasan/penjelasan yang lebih luas ada dalam ilmu ushul? lihat bagian terakhir juz 13 bab yng terkait yang membahas ini:
    ولهم في ذلك تفاصيل يطول شرحها ومحل بسطها أصول الفقه
    Namun kalau antum tidak mau membahas ke ranah ushul kayanya diskusi ini tidak akan berujung pangkal karena kita berada pada OBJEK PEMBAHASAN yang berbeda, dan afwan ana memilih mundur saja.
    ***
    Antum menulis:
    Tapi sebelumnya ana mau komentar dahulu mengenai tanggapan antum tentang fathul bari yg mana antum menarik kesimpulan seperti ini :
    ”’Jadi bab ini merupakan bantahan bagi orang yang menyatakan bahwa khabar ahad tidak bisa jadi hujjah dalam perkara amal maupun AQIDAH (sekali lagi yang dimaksud ahad disini adalah yang diriwayatkan satu orang saja – berbeda dg khabar ahad dalam istilah hadits, karena dalam ilmu hadits walaupun diriwayatkan oleh lebih dari satu orangpun bisa jadi masih statusnya khabar ahad ), ini terlihat dari pernyataan :

    وقصد الترجمة الرد به على من يقول أن الخبر لا يحتج به الا إذا رواه أكثر من شخص واحد
    “Dan maksud tarjamah adalah untuk menyangkal orang yang menyatakan bahwasanya khabar tidak dijadikan hujjah kecuali jika diriwayatkan oleh lebih dari satu orang””

    sebenarnya pernyataan antum itu benar dan membantah apa2 yg ada dalam makalah antum (Nanti akan ana bahas setelah menjelaskan persamaan persepsi dlm aqidah,hadits ahad dan makna dzon)

    Komentar ana:
    Antum katakan “sebenarnya pernyataan antum itu benar dan membantah apa2 yg ada dalam makalah antum”
    Kesimpulan antum ini kurang tepat.
    Misalnya begini, ini kisah Ayah menyuruh anaknya belajar:
    Ayah: nak, hari ini kamu harus belajar ilmu hadits dan ilmu ushul !
    Anak : Tidak mau, ayah!

    Maka dari percakapan tadi tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa si anak tidak mau belajar ilmu hadits dan juga tidak mau belajar ilmu ushul. Ada tiga kemungkinan maksud si anak:
    1. tidak mau belajar ilmu hadits saja, ilmu ushul mau.
    2. tidak mau belajar ilmu ushul saja, ilmu hadits mau.
    3. tidak mau belajar ilmu hadits dan juga ilmu ushul.
    mana makna yang dimaksud anak tidak bisa kita simpulkan dari pembicaraan itu saja.
    ana harap antum faham ini, inilah pentingnya belajar ilmu ushul, sehingga kita bisa menarik kesimpulan dengan tepat.
    ***
    OBJEK PEMBAHASAN dalam fathul bari juz 13 bab ما جاء في إجازة خبر الواحد
    ana rasa sudah ana jelaskan diatas, yang ditulis oleh Ibnu Hajar sendiri:
    والمراد بالإجازة جواز العمل به والقول بأنه حجة وبالواحد هنا حقيقة الوحدة
    “yang dimaksud dg ijazaah (kebolehan) disini (dalam bab ini) adalah kebolehan beramal dengannya dan perkataan bahwasanya ia (khabar wahid) adalah hujjah, dan yang dimaksud dengan al wahiid disini (dalam bab ini) adalah satu yang hakiki (حقيقة الوحدة)”

    Jadi sebenarnya khabar ahad yang dibahas disini berbeda dengan khabar ahad yang kita bahas. harap difahami lagi komentar ana sebelumnya.
    ****
    tulisan antum : Pernyataan hadits ahad tidak bs dijadikan hujjah dlm aqidah(ushul) ini belum pernah ada dizaman salafush shalih sehingga tak ada diantara ahlus sunnah yg membantah dg JELAS pernyataan hadits ahad tidak bs dijadikan hujjah dlm aqidah(ushul)(penyimpangan ini tidak pernah ada yg menyatakan,jadi bagaimana ada yg membantah???),yg ada dahulu pada zaman salaf yaitu pemahaman HADITS AHAD TIDAK BOLEH JADI HUJJAH maka dibantah oleh ulama Ahlus sunnah, seperti contohnya Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H) manusia di zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia menuai kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie sampai berkata tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Dia orang yang sesat. Duduk dipintu As-Suwal untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu Hajar I/34 (64) dan Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).
    Komentar ana:
    ini semakin memperkuat bahwa tema pembahasan dalam Fathul Bary dan Ar Risalah memang inilah temanya.

    Suka

  20. pernyataan antum:
    Menolak untuk mengimani hadits ahad bukan berarti mengingkari hadits ahad tersebut, tetapi menerima dengan kepercayaan tertinggi, namun dengan catatan bahwa TIDAK SERATUS PERSEN BENAR….

    dibagian lain : Jadi tak heran bila ada orang mengikuti perkataan nyeleneh ini

    komentar ana:
    ini yang ana maksud ketidak fahaman tentang bagaimana ahli ushul memahami aqidah — yang berarti pembatas antara iman dan kafir. karena tidak faham maka akhirnya mengatakan ini pembahasan filsafat, nyeleneh dan lain – lain.
    padahal pada faktanya merekapun menggunakan pernyataan diatas (Menolak untuk mengimani hadits ahad bukan berarti mengingkari hadits ahad tersebut, tetapi menerima dengan kepercayaan tertinggi, namun dengan catatan bahwa TIDAK SERATUS PERSEN BENAR).

    Kalau antum menyatakan KAMI MENGIMANI HADITS AHAD SERATUS PERSEN BENAR, DAN JADI HUJJAH DALAM MASALAH AQIDAH
    kemudian yang antum maksud aqidah adalah AQIDAH — YANG BERARTI PEMBATAS ANTARA IMAN DAN KAFIR, itu artinya tidak salah orang menyatakan al albany mengkafirkan imam bukhory, bin baz mengkafirkan ibnu hajar al asqalany, mengkafirkan imam nawawi dll (kan pasti 100% jadi berarti menolak kemungkinan yang lain ada nilai kebenarannya, dan karena implikasi aqidah hanya iman dan kafir, kalau berbeda berarti kafir) kecuali mereka juga tidak faham makna 100%.
    ***
    Untuk lebih jelasnya, harap sekali yang ini dijawab:
    BAGAIMANA MENURUT ANTUM HUKUMNYA ORANG YANG MENOLAK HADITS SEMISAL BERIKUT, APAKAH IA KAFIR ATAU BAGAIMANA?

    1. حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ مَوْلًى لِأُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
    قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ خَلَقَ اللَّهُ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ وَخَلَقَ الْجِبَالَ فِيهَا يَوْمَ الْأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ فِيهَا يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَخَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَام بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ آخِرَ الْخَلْقِ فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ
    Telah menceritakan kepada kami Hajjaj; Ibnu Juraij berkata: telah mengabarkan kepadaku Isma’il bin Umayyah dari Ayyub bin Khalid dari Abdullah bin Rofi’ pelayan Ummu Salamah, dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggandeng tanganku seraya Bersabda: “Allah menciptakan debu (bumi) pada hari sabtu, menciptakan gunung di dalamnya pada hari ahad, menciptakan pepohonan di dalamnya pada hari senin, menciptakan sesuatu yang tidak disenangi pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu, menyebarkan hewan-hewan melata di bumi pada hari kamis, dan menciptakan Adam ‘Alaihis Salam setelah ashar pada hari jum’at. Penciptaan yang paling akhir adalah saat-saat terakhir di hari jum’at antara waktu ashar hingga malam.” (Hadits Shahih riwayat imam Ahmad no. 7991, riwayat Muslim no. 4997)

    2.
    أَنَّ يَهُودِيَّةً كَانَتْ تَخْدُمُهَا فَلَا تَصْنَعُ عَائِشَةُ إِلَيْهَا شَيْئًا مِنْ الْمَعْرُوفِ إِلَّا قَالَتْ لَهَا الْيَهُودِيَّةُ وَقَاكِ اللَّهُ عَذَابَ الْقَبْرِ قَالَتْ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ لِلْقَبْرِ عَذَابٌ قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ قَالَ لَا وَعَمَّ ذَاكَ قَالَتْ هَذِهِ الْيَهُودِيَّةُ لَا نَصْنَعُ إِلَيْهَا مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا إِلَّا قَالَتْ وَقَاكِ اللَّهُ عَذَابَ الْقَبْرِ قَالَ كَذَبَتْ يَهُودُ وَهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كُذُبٌ لَا عَذَابَ دُونَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ قَالَتْ ثُمَّ مَكَثَ بَعْدَ ذَاكَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَ فَخَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ نِصْفَ النَّهَارِ مُشْتَمِلًا بِثَوْبِهِ مُحْمَرَّةً عَيْنَاهُ وَهُوَ يُنَادِي بِأَعْلَى صَوْتِهِ أَيُّهَا النَّاسُ أَظَلَّتْكُمْ الْفِتَنُ كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ أَيُّهَا النَّاسُ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا وَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا أَيُّهَا النَّاسُ اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ
    قال الحافظ ابن حجر العسقلاني رواه أحمد بإسناد على شرط البخاري .

    Telah menceritakan kepada kami Hasyim berkata; telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sa’id berkata; telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Aisyah, bahwa ada seorang wanita Yahudi menemuinya dan Aisyah tidak pernah berbuat baik sama sekali kepadanya kecuali wanita Yahudi tersebut berkata kepadanya; “Semoga Allah menjagamu dari siksa kubur.” (Aisyah Rah) Berkata; “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. masuk menemuiku dan saya pun berkata; ‘Wahai Rasulullah! Apakah dikubur ada siksa sebelum hari kiamat? ‘” beliau bersabda: Tidak ada, siapa itu?” (Aisyah Rah) Berkata; “Ini adalah seorang wanita Yahudi, dan kami tidak berbuat baik sama sekali kepadanya kecuali dia mengatakan, ‘Semoga Allah menjagamu dari siksa kubur.'” Beliau bersabda: “Yahudi telah berdusta, dan mereka di sisi Allah adalah pendusta, sungguh tidak ada siksa kecuali pada hari kiamat.” (Aisyah Rah) Berkata; “Kemudian setelah itu beliau tinggal di suatu tempat selama waktu yang dikendaki oleh Allah. Kemudian pada suatu hari, di tengah teriknya matahari, dengan memakai bajunya yang lengkap, matanya merah, dan beliau menyeru dengan suara yang keras: ‘Wahai manusia! Sungguh kalian akan dinaungi oleh fitnah seperti malam hari yang gelap gulita. Wahai manusia! Kalaulah kalian mengetahui sebagaimana yang aku ketahui, sungguh kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Wahai manusia! Berlindunglah kepada Allah dari siksa kubur, karena siksa kubur itu benar adanya.'”(HR. Ahmad no 23379, al Hafidz Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad menurut syarat Bukhory)

    3. ان الميت ليعذب ببكاء أهله عليه…
    sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya (HR. Bukhory dan Muslim dari Abdullah bin ‘Umar.

    Suka

    • Assalamu’alaykum ..

      afwan sebelumnya, kalo komentar saya seperti membuka kembali diskusi lama 🙂

      saya hanya penasaran yaa akhi,

      apa ada kaum muslimin yang mengingkari dengan keyakinan, hadits yang antum sebutkan di atas ?

      saya copas keterangannya saja;
      1. (Hadits Shahih riwayat imam Ahmad no. 7991, riwayat Muslim no. 4997)
      2. (HR. Ahmad no 23379, al Hafidz Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad menurut syarat Bukhory)
      3. (HR. Bukhory dan Muslim dari Abdullah bin ‘Umar.)

      Barakaallahu fiik

      Suka

      • ‘Alaykumussalaam…
        1. Hadist tentang penciptaan tersebut, walaupun shahih menurut Imam Muslim, namun Imam Bukhory meragukannnya (lihat Tarikh al Kabiir, 1/413). Namun demikian saya tidak menyatakan sesat kalau ada orang berpendapat bahwa hari selasa Allah menciptakan hal-hal yang tidak disukai dengan menggunakan hadits ini.
        2. HR Ahmad merupakan khabar ahad yang shahih, namun dipermasalahkan karena (kalau berfaedah qath’i) berarti harus meyakini dua hal yang bertentangan, yakni adzab kubur tidak ada dan adzab kubur ada, kalau difahami bahwa keberadaan adzab kubur menasakh ketiadaannya (Rasul awalnya menyatakan tidak ada, lalu menyatakan ada) maka ini juga tidak tepat, karena para ‘Ulama sepakat bahwa masalah khabar/berita tidak ada nasikh-mansukh, lihat Az Zarkasyi dalam Al Bahrul Muhiit (4/98)
        3. Siti Aisyah r.a saja mengingkarinya, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak akan memnanggung kesalahan orang lain.

        Ini saya sampaikan bukan berarti saya tidak percaya pada adzab kubur, namun saya mempercayainya, hanya saja tidak sampai mengkafirkan orang yang menolaknya. Allahu A’lam

        Suka

    • Bismillah ..

      saya sudah membaca ulasan antum yang berhubungan dengan khabar ahad , walopun mungkin belum semuanya,

      Kedudukan Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah

      Fatâwa Al Azhar Tentang Khabar Ahad

      Perbedaan antara Aqidah dan Hukum Syara’

      Asal Usul Mutakallimin dan Metodologinya

      apa antum bisa menukilkan contoh dalil ahad dalam hal aqidah yang mengandung dzan, sehingga boleh dipercaya namun tidak sepenuhnya, atau level kepercayaan yang kita berikan berbeda dengan khabar yang lain

      syukron wa baraakallahu fiik

      NB ;
      kalo permintaan saya sudah pernah ditanyakan dan di jawab di blog antum, mungkin bisa antum kirimkan ke email saya saja supaya pembahasannya tidak cyclic.

      Suka

  21. pernyataan yang antum anggap nyeleneh:
    Menolak untuk mengimani hadits ahad bukan berarti mengingkari hadits ahad tersebut, tetapi menerima dengan kepercayaan tertinggi, namun dengan catatan bahwa TIDAK SERATUS PERSEN BENAR

    ANA JUSTRU SEPAKAT DENGAN PERNYATAAN INI, inilah ungkapan lain dari yang ditulis oleh syaikh Taqiyyuddin an Nabhani bahwa khabar ahad bukan hujjah dalam masalah aqidah.

    artinya khabar ahad diterima dalam OBJEK PEMBAHASAN APAPUN, BAIK AQIDAH MAUPUN ‘AMAL, namun khabar ahad tidak cukup untuk menyatakan orang yang berbeda dengan kita sebagai KAFIR. INILAH MAKNA UNGKAPAN TERSEBUT, dan inilah yang difahami oleh ahli ushul termasuk juga Ibnu Qayyim Al Jauziyyah (nanti buktinya ana kasih setelah antum jawab tentang tiga hadits diatas).
    lihat lagi: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/perbedaan-antara-aqidah-dan-hukum-syara/

    dan

    Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul

    afwan kalau ada kalimat yang tidak enak.

    Suka

  22. sekali lagi, pembahasan aqidah yang ana maksud (dan dimaksud para ahli ushul) adalah pembahasan batas IMAN dan KAFIR, bukan pembahasan yang lain, hujjah dlm masalah aqidah berarti juga hujjah untuk menyatakan orang lain sebagai kafir.
    ***
    memang dalam bahasa arab banyak kata yang mempunyai persamaan makna (mutaroodif), sebagaimana kata yakin dalam bahasa indonesia kadang juga digunakan untuk menyatakan makna dzon, ketika ana memeriksakan istri yang terlambat haid, kebetulan sebelumnya ana test sendiri, berikut hasilnya: http://taufik1976.files.wordpress.com/2010/05/test.jpg ketika hasilnya ana sampaikan ke perawat, perawat bilang ini positif, dia yakin istri ana hamil, ketika ketemu dokter spesialisnya ia katakan belum tentu, karena selang waktu pengetesan juga berpengaruh, kemudian di test lagi, dan kata dokter hasilnya meyakinkan, ketika di USG tidak kelihatan, dan ketika ana lihat alat test nya akurasinya 99%. Jadi, kata “meyakinkan” yang diucapkan dokter adalah meyakinkan dalam makna dzon. artinya ada kemungkinan (walaupun kemungkinannya kecil) hasilnya salah. Oleh sebab itu pembahasan TEMA/OBJEK PEMBAHASAN sesuatu sangat sangat penting. Sehingga dalam pembahasan ‘amal kadang muncul ungkapan al ‘ilm atau yaqin namun bi makna dzon, yakni yaqin untuk ‘amal.

    ***
    Mungkin perlu dikaji lagi bab ushul:
    عموم الفظ في خصوص السبب هو عموم في موضوع الحادثة والسؤال وليس عموما في كل شيء

    “keumuman lafadz dalam kekhususan sebab adalah keumuman dalam TEMA/maudlu’ peristiwa dan pertanyaan, bukan keumuman dalam segala sesuatu”

    Suka

  23. Ridwan Abdillah

    Alhamdulillah hamdan katsiran toyyiban mubarokan fiihi,
    Baiklah akhi M taufik yg ana cintai krn Allah.
    Berikut akan ana jelaskan persepsi tentang aqidah,hadits ahad dan makna dzon.
    Tolong perhatikan baik2 dan dibaca berulang-ulang biar lebih paham ( maklum,ana bukanlah ulama yg dg mudah menjelaskan secara singkat dan padat tentang bahasan suatu masalah ),jd tolong pahami kata2 ana dibawah ini,kalau hal ini tlah dipahami insyaAllah tidak perlu jauh2 kita bahas hal2 diatas dr tulisan antum dan komentar ana.

    Yang ana maksud disinipun mengenai aqidah yg menjadi batasan antara seseorang itu kafir dan tidak, masalah ushuluddin.oleh krnnya perlu ana jelaskan dahulu beberapa kaidah agar kita tidak salah dlm menyikapi ulama atau orang yg tersalah dlm hal ushuluddin.
    Berikut penjelasan ana,
    Alhamdulillah ,ilustrasi yg antum berikan sangat baik untuk diambil pelajarannya untuk kita, yaitu untuk mencapai kebenaran perlu disamakan persepsi.Dan mari kita perhatikan lg ilustrasinya selain persamaan persepsi, yg dpt kita ambil dr ilustrasi trsbt yaitu untuk mencapai kebenaran maka kita harus menempatkan sesuatu pd tempatnya,kalau A menempatkan soal di B maka hasilnya akan salah begitu juga sebaliknya.
    Oleh krn itu kita perlu menempatkan suatu masalah sesuai pada tempatnya agar mencapai kebenaran,kalau tidak maka yg terjadi kesalahan dan kesalahan.
    Dan itu yg ana lihat dr 2 tulisan antum yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya,sebagaimana pd tulisan antum tentang perbedaan di antara ulama yg antum ambil contoh antara Imam bukhori dan Syaikh Albani,
    Kita ini sedang membahas hadits ahad untuk aqidah yg berkaitan dg ushuluddin,lalu antum beri contoh hal di atas.
    *memang benar yg diperselisihkan yaitu tentang aqidah namun pertanyaannya apakah mereka berbeda krn memahami hadits ahad?? jawabannya sudah pasti bukan yg mereka bicarakan yaitu mengenai makna sebuah ayat Alquran, lalu antum letakan masalah ini sebagai contoh perbedaan ulama dlm masalah hadits ahad yg bersifat aqidah,seharusnya jika antum mau jujur harusnya antum letakan contoh perbedaan ulama dlm hal aqidah krn hadits ahad bukan krn berbeda dlm memahami sebuah ayat al qur’an,begitu pula contoh lain yg antum masukkan mengenai Imam Ibnu hajar dan Syaikh Bin baz dan Syaikh Shalih Fauzan.
    Maka ana katakan bahwa peletakan ini bukan pada tempatnya sehingga sesuai ilustrasi yg antum berikan maka hasilnya kesalahan dan kesalahan,oleh krnnya diawal sudah ana katakan bahwa contoh ini sesuatu yg dipaksakan untuk menguatkan makalah antum(apalagi mengenai Imam Bukhori dan Syaikh Albani bila kita lihat dlm nukilan aslinya bukan dr fitnah2 tanpa bukti menyatakan ketisqohan Imam Bukhori bukan mengkafirkannya dan lihat jg 2 pendapat Imam Bukhori mengenai makna ayat tersebut dan pendapat yg beliau kuatkan,coba antum sekalian baca lg berulang-ulang
    http://uswah.net/bantahan-situsblog-salafytobat/138-bantahan-terhadap-situs-dan-blog-penentang-manhaj-salafy-ahlussunnah-bagian-xi-kedustaan-tuduhan-al-albany-mengkafirkan-al-bukhari.html )

    Contoh ini dan jg contoh2 yg lain(Antara Imam Ibnu Hajar dan Syaikh Bin Baz dan jg Syaikh Shalih Fauzan) sekali lg ana katakan bukan pada tempatnya antum letakan dlm makalah HADITS AHAD dlm aqidah.

    contoh-contoh ini bicara mengenai ushul jd mari kita tempatkan jg pada pembahasan masalah ushuluddin,jadi bila ada ulama ahlus sunnahtergelincir/melakukan kesalahan dlm memahami Al quran dan sunnah yg berkaitan dg ushuluddin maka Islam yg mulia ini menetapkan kaidah2nya(kecuali jika antum anggap ulama itu ma’sum/terbebas dr kesalahan dan kekeliruan maka kaidah2 yg akan ana sebutkan dibawah ini tak ada gunannya bagi antum).

    kaidah2nya yaitu seperti yg telah disebutkan dlm link sebelumnya ana kasih atau antum bisa lihat disini

    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/menyikapi-kesalahan-ulama-ahlus-sunnah.html

    Suka

  24. Ridwan Abdillah

    selain itu, sebagaimana yg ditulis Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr dlm kitab Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr beliau berkata

    Sepeninggal Rasulullah tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim ; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki. Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran.

    Ulama yang telah wafat yang memiliki kesalah dalam masalah akidah adalah Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya. Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama.

    Tentang Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar (XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukum dan tuan guru umat Islam”.

    Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang diberkahi ilmunya, dan mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat karya tulis. Beliau mengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam sepuluh jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”.

    Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah dicetak dalam sepuluh jilid tebal. Dia menukil perkataan Al-Hafizh Abdul Ghafir bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya , “Karya-karya beliau hampir mencapai seribu juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada serorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits, serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling bertentangan”.

    Imam Adz-Dzahabi juga berkata, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar nilainya, sangat luas fedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”.

    Adapun tentang An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang bermanfaat”.

    Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam memegang teguh agamanya, sangat menjaga sifat wara’ dan sangat berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal hadits dan ahli dalam segala cabang-cabang ilmu hadits ; ilmu tentang periwayatan hadits, ilmu untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang dha’f ; begitu juga ilmu tentang cacat-cacat hadits. Beliau juga seorang tokoh terkemuka yang mengetahui madzhab (Syafi’i)”.

    Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah(XVII/540), “Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudah selesai dan utuh, namun ada pula yan belum. Karya-karya beliau yang sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Musli, Ar-Raudah, Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum selesai penulisannya di antaranya adalah kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’. Kitab ini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang tiada bandingnya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau menulis kitab tersebut dengan sangat baik. Dibahasnya di kitab tersebut masalah fikih yang ada dalam madzhabnya maupun yang di luar madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya ; diterangkan di situ kata-kata yang sulit (asing), tinjauan-tinjauan bahasa, serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak penambahan dan penyempurnaan”.

    Walaupun karya-karya beliau sangat banyak, namun umur beliau cukup muda. Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H.

    Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah kitab Fathul Bari yang merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah, Bulughul Maram, dan lain-lain

    Suka

  25. Ridwan Abdillah

    Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”

    Para salaf yang lain berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)” [Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48).

    Abdullah bin Al Mubaraak (wafat 181H) berkata,”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan” [Lihat kitab Siyar ‘Alam An Nubala karya Adz-Dzahabi VIII/352 cetakan pertama]

    Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Tidak ada seorangpun yang melewati jembatan (keluar) dari Khirasan seperti Ishak bin Ruhawaih, meskipun beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan senantiasa saling berbeda pendapat” [Lihat kitab Siyar A’lam An-Nubala’ XI/371]

    Abu Hatim ibnu Hibban (wafat 354H) berkata, “Abdul Malik –yaitu anak dari Abu Sulaiman- adalah termasuk penduduk Kuffah yang terbaik dan termasuk seorang penghafal hadits. Akan tetapi, orang-orang yang menghafal dan meriwayatkan hadits darinya biasanya akan salah. Termasuk tindakan yang tidak adil meninggalkan seluruh hadits dari seorang syaikh yang kokoh hapalannya dan telah jelas kejujurannya, hanya dikarenakan beberapa kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Kalau kita menempuh cara seperti ini, maka konsekwensinya adalah kita akan meninggalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, Ibnu Juraij, Ats Tsauri, dan Syu’bah. Hal ini karena meskipun mereka adalah para penghafal hadits yang kokoh hapalannya, yang meriwayatkan hadits dari hafalan mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) sehingga maungkin saja mereka terjatuh dalam kesalahan. Jadi, tindakan yang tepat adalah bahwa seorang yang kuat hafalannya (selagi periwayatannya benar) kita terima riwayatnya dan kalau periwayatannya salah kita tinggalkan. Ini apabila secara keseluruhan kesalahan mereka tidak mendominasi. Apabila kesalahan mereka lebih mendominasi, maka dalam keadaan seperti itu periwayatan mereka kita tinggalkan” [Lihat kitab Ats Tsiqat VII/97-98]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728H) berkata, “perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figure-figur tertentu dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyelisihi sunnah pada masalah yang sangat prinsipil dan ada juga yang menyelisihi sunnah pada persoalan samar (sulit diketahui benar tidaknya).

    Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang lebih menyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan kebenaran yang mereka ucapkan. Akan tetapi, sayang, terkadang mereka melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang batil. Terkadang mereka membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih ringan ; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan. Ini sering kita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan diri mereka kepada Ahlussunnah wal Jama’ah.

    Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid’ahnya tidak membuat mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin, tetapi karena bid’ah tersebut mereka jadikan dasar saling loyal dan saling memusuhi, maka tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Akan tetapi, Allah mengampuni orang-orang mu’min yang melakukan kesalahan seperti ini.

    Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad mereka yang ternayat bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tindakan para Salaf tadi berbeda dengan orang-orang yang mau loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah jama’ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi cap fasiq ; bahkan menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad.Mereka ini adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar” [Lihat kitab Majmu ‘Al-Fatawa III/348-349]

    Beliau berkata pada halaman lain (XIX/191-192) , “Banyak para ulama ahli ijtihad yang Salaf maupun khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal dha’if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu juga dikarenakan mereka ijtihad dalam sebuah masalah, padahal dalil-dalil yang menjelaskannya,namun dall-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala.

    “Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamu tersalah” [Al-Baqarah : 286]

    Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, “Sungguh, telah Aku lakukan”.

    Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [Lihat Siyar A’lam An-Nubala V/271]

    Beliau menambahkan, “Kalau setiap kali seorang ulama (kaum muslimin) salah berijtihad dalam suatu permasalahan yang bisa dimaaflkan kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhlukNya, dan Dia adalah dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/39-40]

    Beliau juga berkata, “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaanNya” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/376]

    Beliau menambahkan, “Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi parameter adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XX/46]

    Suka

  26. Ridwan Abdillah

    Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan, kedudukan, hak-hak dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karena Allah dan Rasulullah, tidak mengharuskan kita menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang maksum (terbebas dari kesalahan)”

    Dia menambahkan, “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin” [Lihat kitab I’lam Al-Muwaqqi’in III/295]

    Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya” [Lihat kitab Al-Qawa’id hal.3]

    Suka

  27. Ridwan Abdillah

    Jadi ketika ada ulama tersalah dalam hal aqidah yg berkaitan tentang ushuluddin maka kita tetapkan sesuai kaidah2 yg telah ditetapkan ulama diatas apalagi ulama2 yg tersalah itu sudah mencapai tingkatkan seorang mujtahid.

    Selain mengetahui cara menyikapi ketergelinciran ulama dan menempatkan kaidah2 diatas pada tempatnya kita jg mesti mengetahui kaidah2 tentang batasan kafir seseorang.

    memang benar bahwa ulama ushul menetapkan bahwa berbeda dg pokok2 agama adalah kafir akan tetapi apakah dg serta merta kita bisa menghukumi seseorang bila bertentangan dg aqidah ushul itu kafir?? jawabannya tentu tidak.
    Sebab setiap orang yang mengetahui perkara-perkara yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti meyakini bahwa Al-Qur’an makhluk, lalu ia menerapkan hukum kafir itu atas setiap orang yang meyakini demikian tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pengkafiran dan tanpa membedakan antara menghukumi ucapan dan menghukumi orang yang mengucapkannya, maka ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    Ahlus Sunnah wal Jama’ah membedakan antara menghukumi kafir, bid’ah atau fasik terhadap sesuatu secara umum dengan menghukumi orang tertentu. Boleh jadi kita menghukumi kufur suatu amalan atau sebuah ucapan, namun bukan berarti setiap orang yang meyakininya, mengucapkannya atau melakukannya jatuh kafir. Banyak sekali orang yang tidak membedakan hal ini. Mereka menjatuhkan vonis kafir secara zhahir saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah takfir (pengkafiran). Padahal vonis kafir tidak boleh dijatuhkan sehingga benar-benar diteliti, ditegakkan hujjah dan dalil, serta telah diketahui tidak adanya alasan dan uzur lainnya yang menghalangi vonis tersebut terhadap seseorang tertentu. Boleh jadi karena ia jahil, dipaksa atau mentakwil.

    Masalah takfir (mengkafirkan), seseorang perlu penelitian lebih dalam dan perlu mendatangi orang yang bersangkutan serta perlu meneliti kondisinya di samping perlu diajak diskusi dan diberi nasihat. Janganlah kita memvonis kafir setiap orang yang melakukan perbuatan kufur, mengucapkan dan meyakini keyakinan kufur. Kecuali dalam masalah-masalah prinsipil yang sudah dikenal luas oleh segenap kaum muslimin. Seperti mengingkari syahadat laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam, mencela Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dan masalah-masalah prinsipil lainnya. Perlu diketahui, bahwa ada juga beberapa permasalahan ushuluddin yang tersamar perinciannya atas sebagian orang awam. Seperti masalah sifat Allah, masalah takdir, masalah melihat Allah pada hari Kiamat, masalah syafaat, mensikapi sahabat dan beberapa permasalahan lain yang tidak diketahui orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar perinciannya atas sebagian ahli ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat kufur tanpa mereka sadari, tanpa mereka sengaja dan tanpa mereka ketahui serta tanpa memperhatikan dengan saksama ucapan yang dilontarkan. Apakah lantas dihukumi kafir? Jawabnya tentu saja tidak!

    Hukum kufur dan kafir atas sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu, bukan berarti hukum kafir bagi setiap orang yang melakukan, mengucapkan dan meyakininya

    contoh yg mudah dipahami yaitu
    ana bertanya kpd antum ” apakah antum percaya kpd dukun? tentu antum jawab tidak”
    lalu ana bertanya lg”bagaimana hukum percaya kepada dukun? lalu antum menjawab sesuai hadits shahih bahwa mendatanginya menyebabkan shalatnya tidak diterima 40 hari dan membenarkannya berarti kafir terhadap Muhammad shallallaahu’alaihi wasalam.

    pertanyaannya”” apakah orang2 yg percaya kpd dukun kita hukumi sebagai orang kafir semuanya???

    maka kita lihat kaidah2 yg telah ditetapkan ulama ushul yg ana jelaskan diatas,bila tidak menggunakan kaidah ini maka akan banyak sekali kaum mulimin yg dijatuhi hukuman kafir.

    Intinya bila berbicara mengenai ushuluddin maka kita harus tempatkan pada tempatnya.Jadi orang yg berselisih dg pokok2 agama baik ia seorang ulama besar ataupun orang awam,baik karena hadits ahad atau krn salah dlm memahami ayat alqur’an maka kita tetapkan sesuai kaidah2 diatas yg telah ditetapkan ulama ahlussunah.
    Afwan ana jelaskan panjang lebar 2 kaidah diatas tentang menyikapi kesalahan ulama dan tentang batasan kafir seseorang agar agar antum bisa mendudukan pada tempatnya bahwa ana dan yg sepaham dg ana tidaklah mengkafirkan ulama yg tersalah dlm hal ushul,melainkan tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya,dan kami tidak menganggap mereka ma’sum dr kesalahan sebagaimana yg telah disebutkan oleh para ulama diatas.
    Bila hal ini tlah paham maka kita akan mengetahui cara menyikapi ulama yg salah dalam hal ushul dan tak akan ada lagi pertanyaan apakah ulama ahlus sunnah ini telah kafir krn telah menyatakan ini dan itu?

    Kemudian berbicara mengenai haditspun kita harus tempatkan pada tempatnya bahwa ulama ahlul hadits telah sepakat jika hadits ahad itu telah shahih baik berupa hukum ataupun aqidah yg bersifat ushul maka wajib diamalkan,bila berupa hukum diamalkan dg anggota badan kita dan bila berupa aqidah maka wajib diamalkan dengan meyakini 100% didalam hati kita,krn aqidah merupakan bagian dari amalan hati,krn iman merupakan bagian dr amalan hati,tidak bisa dipisah-pisahkan sebagaimana hadits ahad yg diriwayatkan oleh Imam Bukhori yg berbunyi

    عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور

    artinya”Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan RasulNya. ” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, Haji yang mabrur ”

    Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman Dan jg berbicara tentang ushul bila seseorang tidak beriman kpd Allah dan RasulNya berarti dia telah KAFIR.Maka cukuplah dikatakan sebuah kesesatan yg NYATA bila menyatakan hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah aqidah yg bersifat ushul.Dan juga sangat,sangat,sangat dan sangat sesat bila menyatakan percaya dengan aqidah tersebut(aqidah dr hadits ahad) tetapi tidak 100%(atau dlm tingkatan syak) bila dihadapkan dg hadits ahad diatas maka sama halnya dia menyatakan”SAYA BERIMAN/PERCAYA KEPADA ALLAH DAN RASULNYA TETAPI TIDAK BERIMAN /PERCAYA 100%”

    atau bila dihadapkan dg aqidah2 yg lain yg diambil dr hadits ahad
    maka sama halnya(afwan buka sama halnya tp ini jelas2 dia telah menyatakan”lihat contoh koment diatas”) dia menyatakan
    -SAYA BERIMAN adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur tp saya tidak percaya 100% atau saya percaya terhadap:akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
    -atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
    -atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
    -terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
    -akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
    TAPI TIDAK PERCAYA/BERIMAN 100%

    Nastagfirullah, ta’rif aqidah dr mana semacam itu,beriman tapi tidak 100%????Ulama ahlus sunnah mana yg membuat ta’rif aqidah semacam itu???? jawabannya pasti tidak ada oleh karenanya tempatkan masalah pada tempatnya dan ini akibat dr salah menempatkan makna dzon pd hadits ahad

    Suka

  28. Ridwan Abdillah

    ketika berbicara masalah aqidah tidak boleh diambil dr dzon tapi harus qoth’i lalu antum turunkan dalil dr alqur’an surat
    ان الذين لايؤمنون بالاخرة ليسمّون الملئكة تسمية الانـثى. ومالـهم به من علم أن يتّبعون الا الظّن ّوانّ الظّنّ لايغن من الحقّ شيئا

    Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS An Najm : 27-28)

    berbicara mengenai makna Al qur’an maka kita kembalikan kepada ahlinya salah satu ahli tafsir yg tidak kita ragukan lagi keilmuannya ialah Al hafidz Ibnu Katsir marilah kita lihat bersama tafsiran beliau apakah beliau menafsirkan dg hawa nafsu beliau ataukah menafsirkan dg Al quran dan sunnah.

    Alhafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan surat An Najm ayat 28 diatas berkata”sesungguhnya orang2 orang kafir itu tidak mempunyai ilmu yg benar dan tidak pula ucapan mereka.Bahkan mereka telah berdusta,omongannya palsu,mengada-ada,dan telah berbuat kekufuran yg keji.Mereka itu hanya mengikuti dzon yg tidak punya kepastian sedikitpun,dan mereka tidak berada diatas kebenaran sama sekali.Sungguh telah diriwayatkan dalam shahih Bukhori bahwa Rasulullahu Shallallahu’alaihi wasallam bersabda ” Jauhilah oleh kalian dzon(sangka-sangka) ,karena dzon itu seburuk-buruk omongan dusta”

    Maka jauhilah dirimu dari orang2 yg menolak kebenaran dan tinggalkanlah mereka(Tafsir Ibnu Katsir (IV/269)

    Lihatlah akhi bahwa sangka2 disini ialah perkataan dusta bila antum tempatkan dalil ini sebagai Hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah aqidah dan boleh dijadikan hujjah dalam hukum berarti bila antum menggunakan dalil ini sama saja antum mengatakan “” hadits ahad yg bersifat aqidah tidak boleh dibangun atas dasar kedustaan dan hadits ahad yg bersifat hukum boleh dibangun diatas kedustaan”””

    padahal dlam Islam Baik berupa aqidah ataupun hukum maka tidak boleh dibangun diatas kedustaan.Ini akibat dr salah dalam menempatkan dalil.

    begitu juga dalil2 Alquran yg lain yg mana antum tidak meletakan pada tempatnya maka hasilnya lagi2 kesalahan dan kesalahan.

    Suka

  29. Ridwan Abdillah

    antum menulis”Dalam surat yang lain Allah juga berfirman yang artinya :“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran ” (QS Yunus (10) : 36) (Lihat juga An Najm : 23, Al An’am : 116, Yunus : 66, Shaad : 27, Al Jaatsiyah : 32, Fushilat : 22-23, Al Jin : 7, Al Baqarah : 78. dst)

    Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya larangan mengikuti “dzon” dalam masalah aqidah. Jelas sekali semua ayat itu berkaitan dengan masalah aqidah. Meskipun asbabun nuzulnya bukan ditujukan kepada orang-orang mukmin, tetapi perlu diingat bahwa makna suatu ayat tidak dipersempit berdasarkan sebab turunnya ayat, karena menurut kaidah ushul :
    العبرة بـعموم اللفظ لا بـخصوص السبب

    “’Ibrah (pengertian) itu diambil berdasarkan umumnya lafadz, bukan berdasarkan khususnya sebab (latar belakang turunnya ayat) ”

    maka ana katakan “Ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DzON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DzON lemah kaum kafir, seperti :

    Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), persangkaan bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), persangkaan bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

    dan telah ana sebutkan kesalahannya sesuai tafsiran Al hafizh Ibnu Katsir diatas bila hal ini dijadikan dalil tidak bolehnya berhujjah dg hadits ahad dlm masalah aqidah.

    adapun kaidah ushul

    العبرة بـعموم اللفظ لا بـخصوص السبب

    “’Ibrah (pengertian) itu diambil berdasarkan umumnya lafadz, bukan berdasarkan khususnya sebab (latar belakang turunnya ayat) ”

    menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum muslimin yang mengikuti DZON lemah kaum kafir diatas.

    Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua jenis DZON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan antum dalam makalah antum

    Dalam hal ini antum telah menafsirkan ayat secara aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam dalam memahami kaidah ini.

    Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,

    Allah berfirman yang artinya :

    “Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).

    Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.

    Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.

    Suka

  30. Ridwan Abdillah

    Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang oleh antum dlm makalah disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis DZON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DZON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DZON lemah kaum kufur saja, seperti misalnya; DZON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DZON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DZON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

    DZON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DZON adalah dilarang untuk diimani.

    Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DZON kuat yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al Qur’an berikut :

    QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.

    Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :

    “ Sesungguhnya aku memiliki DZON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)

    “……. orang-orang yang memiliki DZON bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).

    Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan mereka memiliki DZON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118)

    “……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DZON bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46)

    Semua ayat diatas menunjukkan bahwa orang orang yang beriman memiliki DZON kuat yang rajih yang sesuai dengan ajaran Islam.

    Adalah hal yang mengada-ada jika kemudian kita mengatakan bahwa ayat- ayat diatas tidak bisa dijadikan landasan hukum, padahal semua kalimat diatas dari sisi Allah datangnya. Dan secara jelas Allah mencantumkan kalimat “DZON” pada ayat-ayat tersebut. Bahkan para ulama ahli tafsir memaknai kalimat “DZON” dalam ayat- ayat diatas sebagai dzon yang kuat atau bahkan keyakinan.

    Bahkan didalam Kamus Arab Indonesia karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan :

    DZONNUN – DZUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN, Syak.

    Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd. Gani pada tahun 1973 di Jakarta.

    Jadi DZON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna syak.

    Suka

  31. Ridwan Abdillah

    Adapun pada poin ke 7 antum sebutkan Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah ini adalah kesimpulan yg batil yg diambil dr dalil bukan pada tempatnya krn tak ada ulama ahlus sunnah yg berpendapat demikian bahkan telah banyak riwayat yg shahih bahwa para sahabat mengamalkan hadits ahad baik berupa aqidah ataupun hukum.

    Maka ana katakan ini adalah pembodohan terhadap ummat Islam tanpa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
    Padahal para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam mushaf Utsmani bukan karena dalil aqidah itu wajib mutawatir akan tetapi semata-mata karena hal itu sunnah Nabi. Yaitu berdasar perilaku Nabi bahwa :

    1. Nabi tidak pernah meriwayatkan wahyu (ayat al Qur’an) tanpa mengumpulkan shahabat.

    2. Nabi selalu menyuruh juru tulis al Qur’an dan para shahabat untuk menulis wahyu yang turun tersebut.

    3. Nabi selalu mengulang-ulang ayat-ayat al Qur’an didepan majelis shahabat dan ketika beliau menjadi imam Sholat.

    Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan periwayatan hadits, baik masalah aqidah maupun hukum Islam lainnya, karena ketika meriwayatkan sebuah hadits :

    1. Nabi tidak selalu mengumpulkan shahabat bahkan terkadang hanya berdua saja dengan seorang shahabat.

    2. Nabi melarang menulis hadits akan tetapi mewajibkan menyebarluaskannya.

    3. Nabi tidak mengulang hadits secara persis lafadz haditsnya akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

    Sehingga jelas bahwa kemutawatiran al Qur’an tidak bisa dijadikan dalil mengharamkan meyakini hadits ahad yang shohih.

    Karena al Qur’an pada asalnya memang mutawatir dan tidak mungkin ahad sedangkan hadits pada asalnya lazim secara ahad.

    Demikianlah sedikit yg mampu ana jelaskan yg ana ambil dr beberapa makalah,bila benar maka hal ini datangnya dari Allah sebagai nasehat untuk kita semua untuk meniti jalan kebenaran dan bila ada kesalahan maka hal ini dikarenakan kekeliruan diri ana sebagai seorang yg dho’if.

    Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah memudahkan kita menggapainya.

    Suka

  32. Ridwan Abdillah

    Alhamdulillah tulisan ana sudah kelar maka silahkan bagi antum untuk menilai dan menanggapinya,dan ana tutup dahulu dialog dg antum agar saudara kita yg lain ikut berpartisipasi dan juga mengoreksi kesalahan2 dr tulisan ana dan antum diatas

    سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنِتَ أَسْتَغْفِرُكَ

    وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

    [Maha suci Engkau, Ya Allah. Dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan haq selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu],

    Suka

  33. Terima kasih atas postingannya yang panjang lebar, namun alangkah eloknya kalau bukan hanya ana yang baca komentar antum, namun antum baca juga postingan saya sebelumnya baik-baik, sehingga komentar balikan antum jadi nyambung (pertanyaan ana juga belum dijawab dengan tegas, namun ya tdk apa-apa, sesuai apa yang ana tulis sebelumnya, ana akan undur diri dari diskusi ini, kalau di blog masih boleh asal jelas tema pembahasannya).

    Tentang Al Albani & Al Bukhori sudah ana bilang (yang di FB) bahwa itu memang diluar tema khabar ahad, adapun yang di blog, kan yang ana bahas bukan hanya khabar ahad, namun aqidah dan penggunaan khabar ahad sebagai hujjah jadi tidak keluar tema, di situ ana hanya memberikan gambaran bagaimana aqidah menurut ahli ushul dan “aqidah” (menurut mereka?), dan ana hanya ingin meluruskan bahwa Al Albani tidaklah mengkafirkan Al Bukhori, karena “aqidah” yg mereka maksud tidaklah sama dengan aqidah yang dimaksud penuduh (coba baca baik-baik sekali atau dua kali lagi).

    Disisi lain ana justru melihat antum yang meletakkan pembahasan aqidah ini tidak pada tempatnya, seperti kutipan antum yang lalu tentang Ibnu Hajar dll, padahal di bab yang sama jelas sekali bab itu MEMBEDAKAN I’TIQAD DENGAN AMAL, dan yang dibahas adalah KEHUJJAHAN KHABAR AHAD DALAM ‘AMAL, BUKAN DALAM ‘ITIQAD. Jelas sekali di bab tersebut Al Hafidz Ibnu Hajar (wafat 852 H) mengutip Al Hafidz al Karmaniy (wafat 796 H):
    قَالَ الْكَرْمَانِيُّ لِيُعْلَم إِنَّمَا هُوَ فِي الْعَمَلِيَّات لَا فِي الِاعْتِقَادِيَّات
    Telah berkata Al Karmaniy: agar diketahui, sesungguhnya dia (diterimanya khabar ahad sebagai hujjah) HANYALAH DALAM HAL ‘AMALIYYAH BUKAN DALAM HAL I’TIQADIYYAH (Fathul Baariy Juz 13 bab ما جاء في إجازة خبر الواحد).

    Antum juga membahas makna dzon keluar dari objek pembahasan ini, sekali lagi makna dzon dalam pembahasan ini adalah makna dzon yang dipakai ahli ushul, yakni pembenaran yang tidak sampai derajat yaqin. Kalau secara bahasa, memang dzon kadang-kadang bermakna wahm, syak, ghalabatudz dzon, bahkan kadang bermakna yaqin, dalam hadits dzon disebut juga sebagai perkataan yang dusta, namun ana tidak membahas ini, di tulisan pada blog sudah ana jelaskan. Sebagaimana juga makna ruh dalam al Qur’an bisa berarti nyawa, Jibril atau syari’ah. Namun kalau membahas ruh dalam pembahasan biologi ya jangan dicampuradukkan lah makna-makna tersebut. Ketika membahas tahanan dalam pembahasan elektronika ya jangan dicampuradukkan dengan tahanan dalam bahasa hukum. Coba antum baca baik-baik kitab – kitab ushul yang membahas ini.
    ***
    Dibawah ini sekedar menegaskan ulang pembahasan ahli ushul, lanjutnya bisa dilihat di: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/kedudukan-khabar-ahad-dalam-masalah-aqidah/ dan apa yang ana tulis di blog sebenarnya sudah cukup (untuk pembahasan tema ini, bukan tema yang lain), harap diperhatikan yang dicetak dengan huruf KAPITAL, bukankah jelas bedanya antara ‘i’tiqad dengan ‘amal?

    Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam Syarah Shohih Muslim membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menukil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan :
    وهذا الذي ذكره ابن الصلاح في شأن صحيح البخاري ومسلم في هذه المواضع خلاف ما قاله المحققون والأكثرون فإنهم قالوا: أحاديث الصحيحين التي ليست بمتواتره إنما تفيد الظن فإنها آحاد، والآحاد إنما تفيد الظن على ما تقرر ولا فرق بين البخاري ومسلم وغيرهما في ذلك، وتلقي الأمة بالقبول إنما أفادنا وجوب العمل بما فيهما
    ‘’Pendapat ini – yang disebutkan oleh Ibnu Sholah tentang (hadits) Bukhory dan muslim dalam tema pembahasan ini – menyalahi pendapat para ahli tahqiq dan jumhur ulama, mereka mengatakan: hadits – hadits dalam kitab shohihain yang tidak mencapai derajat mutawatir SESUNGGUHNYA HANYA MENGHASILKAN DZON, maka sesungguhnya ia hadits ahad, dan hadits ahad sesungguhnya hanya berfaedah dzon, tidak ada bedanya dalam masalah ini antara (hadits) Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya. SEDANGKAN APA YANG DIJUMPAI BAHWA UMAT MENERIMA (KHABAR AHAD DALAM BUKHARI MUSLIM) SESUNGGUHNYA HANYA BERFAEDAH AKAN WAJIBNYA ‘AMAL dengan apa –apa yang ada dalam keduanya (yakni shahih Bukhory – Muslim)”

    Yang ini ana tulis lagi, agar dibaca lagi:
    KITAB AL MAHSHUL (ABU BAKAR IBNUL ARABY, Pakar hadits senior sekaligus ahli ushul, wafat 543 H)
    الكتاب : المحصول في أصول الفقه
    المؤلف : القاضي أبو بكر بن العربي المعافري المالكي
    الناشر : دار البيارق – الأردن
    قال علماؤنا خبر الواحد على ضربين أحدهما يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر والثاني يوجب العمل ولا يوجب العلم وإما الأول فهو خبر الله تعالى والثاني خير رسول الله صلى الله عليه و سلم والثاني خبر رجل واحد بحضرة رسول الله صلى الله عليه و سلم والثالث خبر رجل واحد بحضرة الله صلى الله عليه و سلم والرابع خبر رجل واحد ادعي فيه العلم مع جماعة يستحيل عليهم التواطؤ على الكذب فلا ينظرون عليه والخامس خبر واحد تلقته الأمة بالقبول فإما قالوا بظاهرة وإما تأولوه ولم يكن منهم نكير عليه فهذه الأقسام الخمسة توجب العلم وفي تعديدها تجاوز وتجوز تسامحنا به قصد البيان
    وأما الثاني الذي يوجب العمل دون العلم فهو خبر الواحد المطلق
    Telah berkata ‘ulama kami bahwa khabar wahid itu ada dua bagian: yang pertama mewajibkan ‘ilmu dan ‘amal sebagaimana khabar mutawatir, yang kedua mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu, adapun yang pertama (khabar ahad/wahid yang mewajibkan ‘ilmu dan amal) adalah 1) khabar dari Allah (al wahid) 2) Khabar dari Rasulullah (sendirian), khabar seseorang bersama Rasulullah SAW … adapun yang kedua, yang MEWAJIBKAN ‘AMAL namun TANPA MEWAJIBKAN ‘ILMU (YAQIN), adalah khabar ahad secara mutlak.
    Selanjutnya pada halaman 115, beliau menjelaskan syubhat orang yang menyatakan khabar ahad menghasilkan ‘ilmu (yaqin):
    وقال قوم: إنه يوجب العلم والعمل كالخبر المتواتر، وهذا إنما صاروا اليه بشبهتين دخلتا عليهم، إما لجهلهم بالعلم، وإما لجهلهم بخبر الواحد، فإنا بالضرورة نعلم امتناع حصول العلم بخبر الواحد
    dan sekelompok orang berkata: sesungguhnya khabar ahad mewajibkan ‘ilmu (yaqin) dan ‘amal sebagaimana khabar mutawatir, dan hal ini sesungguhnya hanyalah terjadi karena dua syubhat (kesamaran) masuk kedalam (pemikiran) mereka, BISA JADI KARENA KETIDAKTAHUAN MEREKA AKAN MAKNA AL ‘ILMU (atau ketidaktahuan akan makna 100%, pent), DAN BISA JADI KARENA KETIDAKTAHUAN MEREKA AKAN (MAKNA) KHABAR WAAHID (KHABAR AHAD), maka sesungguhnya kami dengan sangat jelas mengetahui tidak akan tercapainya al ‘ilm (yaqin) dengan (hujjah) khabar waahid.

    Kalaulah masih sulit untuk memahami aqidah menurut ahli ushul, mungkin diskusi ini bisa menyepakati dengan ungkapan kalimat lain dalam KITAB USHUL AS SARKHOSY (Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl as-Sarkhasi, pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam), Wafat +- 490 H) yakni ringkasnya:
    Sesungguhnya khabar wahid tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan dia (khabar ahad) mewajibkan amal, dan tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk di’amalkan…MENGINGKARI KHABAR AHAD (yang shahih/hasan) TANPA DIA MENDATANGKAN TAKWIL dihukumi SESAT, jika ADA TAKWIL atas pengingkarannya dan IA MENYATAKAN WAJIBNYA ‘AMAL DENGAN KHABAR WAHID maka IA TIDAK DINYATAKAN SESAT.

    Janganlah para ‘ulama yang kita puji – puji, namun begitu pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat kita lalu mereka tidak kita anggap lagi.
    ***
    Sikap yang paling adil dalam menyikapi hadits seharusnya: hadits yang berfaedah dzon maka kita percayai dengan taraf kepercayaan yang dzon, sedangkan yang berfaedah yaqin maka dipercayai dengan taraf yaqin, begitu juga hadits yang dlo’if, yang tidak sampai derajat palsu, juga tidak boleh kita katakan sebagai pasti dusta.
    ***
    Sungguh “AJAIB” kalau dengan ALAT UKUR yang AKURASINYA TIDAK 100% kok diyakini HASILNYA 100% AKURAT.
    Sungguh “AJAIB” kalau dengan ALAT UKUR yang AKURASINYA 30% kok diyakini HASILNYA PASTI SALAH.
    ***
    Marilah kita renungkan lagi saudaraku. Kalaupun tetap berbeda, minimal kita sudah saling menyampaikan, dan semuanya menjadi tanggung jawab kita masing-masing.
    Yang sangat tidak pantas adalah kalau karena perbedaan ini – dengan objek pembahasan masing-masing – umat ini saling mencaci, menyatakan yang lain sesat, jahmiyyah (yang dianggap kafir), ahlul ahwa’ dll, sungguh itu sikap yang jauh dari sikap generasi salafush shalih. Rasulullah bersabda:
    الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
    Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya. (HR Muslim, no. 4650)
    كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
    Cukuplah seseorang dikatakan pendusta jika ia mengatakan semua yang ia dengar (tanpa menelitinya). (HR. Muslim).
    Mohon ma’af kalau ada kalimat ana yang menyinggung hati siapapun yang membaca, khususnya akhi Ridwan, jazaakallahu khairan telah bersedia berdiskusi.
    والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

    Suka

  34. assalamu’alaikum.
    ustadz, kok yang di FB, bagian yang terakhir tidak di komentari, bagaimana sebenarnya?, ini kutipannya (kalau – kalau ustadz nggak terbaca)

    ”Kemudian berbicara mengenai haditspun kita harus tempatkan pada tempatnya bahwa ulama ahlul hadits telah sepakat jika hadits ahad itu telah shahih baik berupa hukum ataupun aqidah yg bersifat ushul maka wajib diamalkan,bila berupa hukum diamalkan dg anggota badan kita dan bila berupa aqidah maka wajib diamalkan dengan meyakini 100% didalam hati kita,krn aqidah merupakan bagian dari amalan hati,krn iman merupakan bagian dr amalan hati,tidak bisa dipisah-pisahkan”
    Tampaknya belum dicerna secara mendalam,baiklah akan ana jelaskan agar antum bisa memahaminya mengenai hadits ahad dan menempatkan pada tempatnya yaitu yg mereka dialogkan masalah khabar wahid (BAIK BERSIFAT AQIDAH ATAUPUN YG BERSIFAT HUKUM ATAU AMAL ) apakah menghasilkan ilmu atau dzon, dan yg mereka dialogkan bukan khusus khabar wahid yg bersifat aqidah tetapi hadits ahad secara mutlak baik HUKUM ataupun AQIDAH.
    Pahamkan antum????

    Telah ana katakan jg pd koment2 diawal bahwa ulama yg menyatakan hadits ahad yg bersifat dzon secara mutlakpun
    ( seperti Imam Nawawi) tetap menerima dan mengamalkan hadits ahad yg bersifat aqidah dg keyakinan 100% bila memang hadits ahad itu telah shahih.

    Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nadhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan) maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai penguat (qarinah) antara lain (ditulis secara ringkas) :

    – Hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih-nya.

    – Hadits masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta selamat dari illat hadits.

    – Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para ulama hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut tidak asing lagi.

    Hadits-hadits ahad yang mempunyai qarinah sebagaimana di atas, maka kedudukannya adalah kuat lagi qath’i (pasti). Al-Hafidh Ibnu Shalah berkata :

    أهل الحديث كثيرا صحيح متفق عليه يطلقون ذلك ويعنون به اتفاق البخاري ومسلم لا اتفاق الأمة عليه لكن اتفاق الأئمة عليه لازم من ذلك وحاصل معه لاتفاق الأمة على تلقي ما اتفقا عليه بالقبول وهذا القسم جميعه مقطوع بصحته والعلم اليقيني النظري واقع به خلافا لقول من نفى ذلك محتجا بأنه لا يفيد في أصله إلا الظن

    “Para ahli hadits sering menyebut hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim dengan (shahih muttafaq ‘alaih). Maksudnya adalah yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat secara keseluruhan. Akan tetapi, kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan kesepakatan Al-Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima hadits-hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim. Semua hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim adalah qath’i keshahihannya dan mengandung ilmu yaqiny nadhary. Hal ini berbeda dengan orang yang menafikkkannya dimana mereka berhujjah bahwa hadits-hadits tersebut tidak menghasilkan sesuatu kecuali dhann ” [‘Ulumul-Hadits hal. 8-9, Maktabah Sahab].

    Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata :

    والخَبَرُ المُحْتَفُّ بالقَرائِن أنواعٌ : مِنْها مَا أَخْرَجَهُ الشَّيْخانِ في صَحيحَيْهِما ممَّا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ المتواتِرِ، فإِنَّهُ احْتُفَّتْ بِهِ قرائِنُ ؛ منها : جَلالتُهُما في هذا الشَّأْنِ . وتَقَدُّمُهُما في تَمْييزِ الصَّحيحِ على غيرِهما . وتَلَقِّي العُلماءِ كِتابَيْهِما بالقَبُولِ ، وهذا التَّلقِّي وحدَهُ أَقوى في إِفادةِ العلمِ مِن مُجَرَّدِ كَثْرَةِ الطُّرُقِ القاصرةِ عَنِ التَّواتُرِ

    “Hadits yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini mengandung ilmu yaqin karena : a) Kemuliaan keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang terdahulu yang memisahkan hadits shahih; dan c) restu para ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan haditsnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar oleh Ibnu Hajar hal. 74].

    Syaikh Ahmad Syakir (1309-1377 H) [12] berkata : “…..bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmu qath’i, baik yang ada pada dua kitab shahih atau yang lainnya. Ilmu Yaqini ini adalah ilmu nadhary burhany. Ilmu ini tidak diketahui kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan kelemahan-kelemahannya…” [Al-Ba’itsul-Hatsits hal. 39].

    Inilah yang disebut dengan ilmu dlarury dan ilmu nadhary sebagaimana dijelaskan para ulama. Intinya, ilmu dlarury dan ilmu nadhary tidaklah berbeda dalam konsekuensi hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta diamalkan; baik masalah aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashhaabul-Hadits dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

    Ada tiga pendapat mengenai masalah ini“Apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqini atau dhann ?” :

    1. Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dlarury secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, atau yang lainnya.

    Ini adalah madzhab Dawud Adh-Dhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (w. 245 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan Imam Malik (menurut riwayat Ibnu Khuwaiz Mindad). Dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm (384-456 H) dimana ia mengatakan
    أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا

    “Bahwasannya khabar wahid yang (dibawakan oleh perawi) ‘adil dari orang semisal sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam mewajibkan ilmu dan ‘amal sekaligus” [Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Hazm ; Maktabah Al-Misykah].

    2. Hadits ahad adalah qath’i keshahihannya dan menghasilkan ilmu jika disertai qarinah-qarinah.

    Adapun qarinah-qarinah-nya adalah sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan sebagian ulama lain menambahkan bahwa hadits yang shahih menurut syarat Al-Bukhari-Muslim juga qath’i meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Ini adalah pendapat dari Abu Ishaq Asy-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (344-406 H), Qadli Abu Thibb (w. 308 H) dari kalangan Syafi’iyyah; As-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah; Qadli Abdul-Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah; Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Az-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah; Ibnu Furak Asy-Syafi’i; seluruh ahli hadits (terlalu banyak untuk disebutkan); dan ini merupakan madzhab salaf secara keseluruhan.

    3. Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i , akan tetapi dhanni tsubut secara mutlak.

    Ini adalah madzhab masyhur dari kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan mayoritas Malikiyyah [15]. Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibnu ‘Abdis-Salaam (577-660 H). Dan inilah yang dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H).

    Itulah garis besar perbedaan pendapat seputar pembahasan apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin atau dhann. Penyebutan khilaf di atas meliputi khilaf yang terjadi pada kalangan Ahlus-Sunah ataupun selainnya (Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah).

    Perbedaan pendapat di kalangan Ahlus-Sunnah dan/atau Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar/hadits ahad dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya – kecuali Khawarij dan Mu’tazillah – bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani (setelah beliau menyebutkan berbagai khilaf permasalahan di atas) :

    واعلم أن الخلاف الذي ذكرناه في أول هذا البحث من إفادة خبر الآحاد الظن أو العلم مقيد بما إذا كان خبر واحد لم ينضم إليه ما يقويه ، وأما إذا انضم إليه ما يقويه أو كان مشهوراً أو مستفيضاً فلا يجري فيه الخلاف المذكور. ولا نزاع في أن خبر الواحد إذا وقع الإجماع على العمل بمقتضاه فإنه يفيد العلم لأن الإجماع عليه قد صيره من المعلوم صدقه وهكذا خبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول فكانوا بين عامل به ومتأول له ومن هذا القسم أحاديث صحيحي البخاري ومسلم فإن الأمة تلقت ما فيهما بالقبول ومن لم يعمل بالبعض من ذلك فقد أوله والتأويل فرع القبول……

    ”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, diantara mereka ada yang mengamalkan hadits itu dan ada pula yang men-ta’wil-kannya. Yang termasuk dalam jenis hadits ini adalah hadits-hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih – Al-Bukhari dan Muslim – karena kaum muslimin telah sepakat menerima hadits-hadits yang tercantum dalam kedua kitab ini. Di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian hadits-hadits tersebut, maka mereka men-ta’wil-kannya. Dan ta’wil adalah termasuk bentuk dari penerimaan ……” [Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].

    Kesimpulan di point ini, secara umum hadits ahad itu mempunyai karakter memberikan dhann, akan tetapi ucapan DHANNIYYATUL_HADITS TIDAK BERMAKNA LAGI SETELAH HADITS AHAD ITU BENAR-BENAR DINYATAKAN SHAHIH DAN DITERIMA OLEH PARA ULAMA AHLI HADITS . Sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruhmakna dhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nadhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dlaruri ( ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki )

    Suka

    • @ Abdullah: ‘alaikumussalaam wr.wb

      Waktu komentar terakhir di FB sudah ana tulis untuk ana sudahi, ana rasa kesimpulan terakhir akhi Ridwan sudah mendingan, intinya memang ada ikhtilaf, dan beliau mengakuinya, dan itu bagi ana itu sudah cukup.

      Adapun klaim bahwa pendapat ahlussunnah adalah pendapat yg sesuai dg beliau, sedangkan pendapat yg ana ambil seperti yg beliau tulis :

      “Ini adalah madzhab masyhur dari kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan mayoritas Malikiyyah [15]. Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibnu ‘Abdis-Salaam (577-660 H). Dan inilah yang dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H)”

      maka ana kembalikan kepada penilaian pembaca– dan Allah juga sebaik-baik penilai– (para pembaca bisa bandingkan dg kitab2 seperti Tabyin kadzib al muftary (karya Al Hafidz Ibnu Asyakir — wafat 571 H), ad duraru al kaminah (Karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany– wafat 852 H), Al farq bayna al firaq (karya Abu Manshur Al Baghdady–wafat 429 H), dll nanti baru jelas siapa ahlus sunnah itu. (kitabnya bisa di download disini: https://mtaufiknt.wordpress.com/download-kitab/ )

      Adapun kalau ada yg menyatakan khabar ahad yufiidul ‘ilm, ana fahami itu adalah ‘ilm dg makna dzon, sebagaimana dinyatakan oleh syaikh abu zahroh dg istilah ilmu dzonny.

      Adapun kesimpulan beliau : DHANNIYYATUL_HADITS TIDAK BERMAKNA LAGI SETELAH HADITS AHAD ITU BENAR-BENAR DINYATAKAN SHAHIH DAN DITERIMA OLEH PARA ULAMA AHLI HADITS

      Maka ada satu hal yang harus dijawab yakni: Siapa para ‘ulama ahli hadits yg dimaksud?. Bukankah para ahli hadits yg datang belakangan (misal Al Albani) bisa mengkritik hadits yang dianggap shahih oleh para ahli hadits sebelumnya? misalkan para ulama hadits abad ke- 4 menerima kesahihan suatu hadits (yg berarti qath’iy dan jadi dalil aqidah (untuk membedakan iman-kafir)), lalu apa yg bisa dikatakan kalau ada ulama hadits abad ini yg mendho’ifkannya (berarti yg dulunya dianggap bagian aqidah, shg yg mengingkarinya kafir, maka sekarang tidak lagi, aqidah macam apa itu?–(contoh: Syaikh Al Albani menulis kitab yg banyak mendlo’ifkan hadits2 pada shahih Bukhory — dalam kitab beliau dlo’if adabul mufrad), jadi sebelum di dlo’ifkan Al Albani maka suatu hal bisa jadi bagian aqidah yg kafir mengingkarinya (ini kalau sepakat bahwa aqidah sebagai pemisah iman dan kafir), namun setelah Al Albani tidak sepakat barulah berubah menjadi dzonny shg tidak kafir mengingkarinya.
      Allahu Ta’ala A’lam.

      Suka

  35. Assalaamu’alaykum..

    ustadz, dari sini sya mengambil kesimpulan bahwa:

    khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah kerana tidak menghasilkan apa2 kecuali dzan. dan HT setau saya tidak menggunakan khabar ahad dala perkara akidah.

    -meyakini(membenarkan) khabar ahad dalam perkara akidah adalah hal yang dianjurkan(mathlub), bukan “diwajibkan” .tetapi, jika ada seseorang yang mengingkarinya, maka pengingkarannya tsb “tidak menjadikannya keluar dri Islam(kafir)”.karena dalilnya bersifat dzan.

    Nah, ada hal yg saya mau tanya:

    pada buletin al-islam di link ini:http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/29/sya%E2%80%99ban-jembatan-meraih-keutamaan-ramadhan/

    dikatakan bahwa:
    “Banyak hadis yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dha’if (lemah).

    Namun demikian, Al-Hafizh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian hadis-hadis tersebut, di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR ath-Thabrani dan Ibnu Hibban).

    Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah SWT menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman: Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rezeki, maka akan Aku beri rezeki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.” (HR Ibnu Majah).”

    — hadits ini merupakan khabar ahad dalam perkara akidah, kan?
    — lalu, bagaimana dengan statement HT yg menolak hadits ahad dlm perkara akidah?

    sepertinya ada sinkronisasi disini atau sya yg kurang memahami artikel ini?. jadi,sya mohon penjelasannya, ustadz. jazakalloh khairan katsir..

    Suka

    • ‘alaikumussalaam wr.wb.

      Intinya dalam perkara apapun, suatu hadits baik ahad maupun mutawatir harus dibenarkan dengan tingkat pembenaran sesuai dengan tingkat hadits itu sendiri, jelas tidak sama pembenaran terhadap hadits hasan dg hadits shahih, begitu juga ahad dg mutawatir, dan untuk aqidah (pembeda iman dan kafir) tidak cukup khabar ahad sbg hujjah (untuk mengkafirkan org). Baca ini saja, semoga jelas.

      Fatâwa Al Azhar Tentang Khabar Ahad

      Suka

  36. Assalaamu’alaykum warahmatullah..

    saya sudah membaca artikel ini berikut comment2nya yg panjang ini…ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan..

    para ulama sebagaimana yang sudah anda sampaikan, bahwa telah terjadi perbedaan dalam kaidah apakah hadits ahad menunjukkan qholabatu zhan atau mencapai derajat yaqin, dan anda sudah memberikan perkataan para imam, termauk imam nawawi dan imam ibnu hajar rahimahumullah, namun yg saya tanyakan adalah berkaitan tentang implikasinya, semisal kita ambil saja satu contoh yaitu mengenai siksa kubur, bagaimana tentang hal ini?, apakah anda :

    a. mengimaninya?,
    b. atau mengimaninya tapi tidak 100%?,
    c. atau tidak mengimaninya?.

    tolong di jawab dengan jelas,gamblang dan mudah difahami karena saya thalabul ilmi yang masih sangat pemula sekali..

    Suka

    • ‘alaikumussalaam warahmatullahi wabarokaatuh.

      ‘Afwan agak telat jawabnya, krn banyak pekerjaan belum terselesaikan.

      Adapun tentang azab kubur, saya mempercayainya (boleh juga dikatakan meyakininya), namun saya tidak mengkafirkan orang yang menolaknya, (inilah yg dimaksud dengan tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam masalah aqidah). Jadi berbeda dengan keyakinan bahwa Allah itu Esa, kalau menolak Allah itu Esa, tidak ragu lagi dia telah kafir.

      Inilah sikap mayoritas ‘Ulama termasuk Ibnu Taimiyah,
      Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang berpendapat dengan sebagian pendapat Jahmiyah seperti Mu’tazilah dan lainnya yang menampakkan sikap beragama yang baik dalam batin mereka maka mereka itu tidak diragukan lagi termasuk umat Muhammad” [Majmu’ Fatawa XVII/448], juga tidak kafir orang yang salah jalan karena ta’wil, kalau memang ayat nya bisa mengandng penakwilan [lihat Manhaju Ibni Taimiyah Fiy Mas-alatit Takfir hal: 338].

      dalam masalah siksa kubur ini saya tidak sepakat dengan pendapat mu’tazilah yang mengingkarinya, walau demikian saya tidak mengkafirkan mereka.

      perlu hati hati kalau mengatakan opsi b: “mengimaninya tapi tidak 100%” jika tidak dijelaskan, nanti diartikan oleh orang yg tidak faham tingkatan tashdiq/pembenaran sebagai sifat nifak, aneh, berfilsafat dll, padahal mereka yang tidak mengerti masalah ini, yakni masalah ‘aqidah/iman dan kafir.

      Suka

  37. Ahmad junayd Poso
    Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakaatuh, mas ini ada makalah dari saya, silakan di baca ! selamat membaca : Antara Menolak dan Menerima Hadist Ahad Sebagai Hujjah dalam Aqidah Abu Haura Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli Pendahuluan Makalah ini kami buat khususnya untuk menjelaskan kepada para sahabat kami yang masih jatuh kepada kekeliruan penolakan penetapan aqidah menggunakan hadits ahad. Dan kepada kaum mukminin umumnya agar mereka tidak terjatuh sebagai mana orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan yang semodelnya jatuh dalam kesesatan. Intinya pembahasan ini mengenai apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah di dalam aqidah? Padahal menurut sebagian ulama, hadits ahad bersifat zhannni tsubut (dugaan penetapan) dari Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam. Dan masih mungkin ada kedustaan dan kekeliruan dalam periwayatannya. Untuk lebih jelasnya, silakan mengikuti pembahasan ini. Definisi Hadits Mutawatir dan Ahad Hadits dibagi dalam dua jenis dilihat dari segi jumlah periwayatnya : 1. Hadits Mutawatir. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang dengan jumlah itu dianggap mustahil dapat melakukan kebohongan secara bersama. Dengan definisi ini keabsahannya bersifat mutlak. Jika, hadits itu hanya mengandung satu makna, maka ke-absahannya hanya berlaku pada makna tunggal tersebut. Dan bila kedua syarat ini terdapat dalam satu hadits, maka ia dikategorikan memberi khabar (muatan) yang bersifat ilmul yaqin (kebenarannya mutlak). Karena itu ia dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. (Pengantar Studi Aqidah Islam, hal : 23) 2. Hadits Ahaad. Yaitu bila jumlah perawinya tidak sebanyak perawi hadits mutawatir. Hadits ini terbagi dalam empat bagian : a. Masyhur. Yaitu bila perawinya ada 3 orang. b. Mustafidh. Yaitu bila perawinya lebih dari 3 orang. Tapi mayoritas ulama menganggap kedua jenis tersebut sama saja. Dan bahwa keduanya menyatakan keabsahan riwayat secara ilmu dan yakin (mutlak). Jika ia hanya memuat satu makna, maka keabsahan itu berlaku untuk makna tunggal tersebut. Maka, kedua jenis ini dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. c. `Aziz. Yaitu bila ia diriwayatkan oleh 2 orang, walaupun itu hanya pada peringkat pertama dari seluruh rangkaian peringkat sanadnya. Jenis ini juga menyatakan keabsahan riwayat secara ilmu dan yakin (mutlak) bagi sebagian besar ulama. Dengan begitu, jenis inipun dijadikan hujjah dalam ilmu aqidah dan tauhid. d. Khabarul Wahid. Yaitu bila perawinya hanya satu orang. Bila perawi tunggal berada pada seluruh rangkaian sanadnya, maka ia disebut Al-Fardul Muthlaq (tunggal mutlak). Tapi bila perawi tunggal itu berada pada peringkat pertama atau kedua dari seluruh rangkaian sanadnya, kemudian ia tersebar dan diriwayatkan oleh lebih dari satu orang pada peringkat selanjutnya, baik sama dengan jumlah perawi mutawatir, masyhur atau mustafidh, maka ia disebut Al-Fardun Nisby (tunggal relatif). (Pengantar Studi Aqidah Islam, hal : 24) (Kami nukil dengan sedikit perubahan dari makalah ”Menepis Syubhaat Hadits Ahad, karya Al-Ustadz Abu Ahmad Al-Fauzi, Lc. Halaqoh Studi Mengenal Islam (HASMI) Bogor) Sejarah Pembagian Hadits Menjadi Mutawatir dan Ahad Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata : ”Adapun pembagian hadits menjadi ahad dan mutawatir adalah pembagian yang bid’ah, dan orang yang pertama kali melakukan kebid’ahan ini adalah Abdurrahman bin Kaisaan Al-’Asham, sebagian orang mengatakan: ’Ia Asham(tuli) dari kebenaran.’ Dan muridnya yang bernama Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim yang populer dengan nama Ibnu ’Ulayyah mengikuti pula pendapatnya, sedangkan ayahnya (ayah dari Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim) yang lebih dikenal dengan nama Ibnu ’Ulayyah –Ismail bin Ibrahim- adalah salah satu dari para syaikh Imam Ahmad dan termasuk rijal-rijalnya Syaikhain (Bukhari dan Muslim). Adapun Ibrahim bin Ismail adalah jahmiyun dari kulitnya (pengikut Jahm bin Shafyan orang zindiq yang sesat-pen). Adapun istilah mutawatir yang digunakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana di dalam kitabnya ”Al-Risalah” berasal dari ahli kalam/filsafat”(Al-Muqtarah, hal. 64) Apa yang dinyatakan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah bahwa Imam Syafií di dalam kitab”Al-Risalah” menggunkan istilah mutawatir adalah tidak benar, yang ada hanya istilah khabar wahid (dan bukan pula kabar ahad). Pembagian hadits menjadi mutawir dan ahad tidak dikenal oleh ulama hadits sebelumnya kecuali generasi sesudahnya, dan istilah ini diadopsi dari ahli ushul. Istilah ini tidak ditemukan dalam kitab ahli hadits semacam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al-Risalah Imam Syafi’i dan sebagainnya. Yang adanya hanya istilah khabar wahid yaitu kabar yang dinukil satu orang dari satu orang sampai keakhir sanad, bukan khabar ahad seperti yang didefinisikan oleh ushuliyyin, yaitu kabar yang tidak terdapat padanya syarat-syarat mutawatir. Bahkan khabar wahid yang dimaksud oleh ahli ushul berbeda dengan definisi khabar wahid yang dimaksud ahli hadits sebelumnya. Berkata Al-Juwaini (beliau adalah salah satu ahli ushul) :”Yang dimaksud dengan khabar wahid (ahad) bukanlah kabar yang dinukil dari satu orang. Akan tetapi setiap kabar dari sesuatu yang jaaiz dan mungkin, serta tidak dapat dipastikaan kebenarannya dan kebohongannya secara dharuri ataupun istidlali, maka kabar tersebut khabar ahad, baik dinukil oleh satu orang ataupun banyak orang.”(Al-Burhan, 489-492) Bahkan sebagian ulama ahli hadits seperti Al-Khathib Al-Baghdadi yang menggunakan istilah tersebut terkesan mengikuti selain ahli hadits sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Shalah. Andaikan di dapatkan istilah ini pada perkataan Al-Hakim, Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hazm memakai istilah mutawatir maka yang dimaksud disini adalah perkataan ”Telah mutawatir dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam begini………hadits ini mutawatir” sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Iraaqi (Lihat Tadribur Rawi,2/176). Pembagian tersebut lebih dikenal didalam ilmu ushul fiqih yang sumbernya berasal dari ilmu kalam. Ulama ushul yang terkenal dengan pembagian tersebut adalah Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa. Kemudian mayoritas ahli ushul mengikutinya. Begitu juga ulama ahli hadits mutaakhirun pun mengikutinya seperti Ibnu Atsir Al-Jazri dalam Mukaddimah kitab Jami’ Al-Ushul, Al-Khathib dalam kitabnya Al-Kifayah. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Abill Izz dalam Syarah Aqidah Thahaawiyah, ketika mensyarah perkataan Imam Al-Thahawi ”Seluruh hadits yang shahih dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam berupa syariat dan bayan adalah hak.” Imam Ibnu Abil Izz berkata :”Syaikh(Al-Thahawi) mengisyaratkan kepada bantahan terhadap kelompok Jahmiyah, Muaththilah, Mu’tazilah dan Rafidhah yang mengatakan bahwa kabar terbagi dua ; mutawatir dan ahad.” Tujuan Pembagian Hadits Mutawatir dan Ahad di Sisi Sebagian Ulama Ahlus Sunnah Sebagaimana yang telah diketahui, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad ini, diistilahkan oleh para fuqaha dan ahli hadits belakangan. Sebelumnya, pada masa sahabat dan tabi’in belum pernah dikenal. Hal ini terjadi karena kebutuhan untuk memilah-milah hadits setelah tersebarnya fitnah dan banyaknya pemalsuan hadits, dan untuk menentukan tingkatan-tingkatan hadits. Pembagian ini sangat bermanfaat. Diantara kegunaannya, yaitu bila ada ta’arudh (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain dan tidak mungkin dikompromikan, maka memungkinkan untuk men-tarjih(menguatkan) salah satunya. Namun hal itu bukan berarti bahwa yang mutawatir tidak dapat di-nasakh(hapus) atau di-takhshish (dikecualikan) dan di-muqayad (dibatasi) dengan hadits ahad. Contohnya adalah pemindahan arah kiblat dimana kabar seorang utusan Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam menjadi hujjah bagi kebanyakan sahabat untuk merubah arah kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis berubah menghadap ke-Ka’bah. Disamping itu, untuk dapat menentukan sikap yang tepat kepada orang yang menolak satu hadits ahad. Orang yang menerima istilah mutawatir dan ahad –yaitu jumhur- tidak mengkafirkan orang yang menolak satu hadits ahad atau hadits tertentu dari hadits ahad, sebab sebagian pendapat menyatakan pada asalnya ia adalah zhannni at tsubut, akan tetapi perbuatannya ini adalah maksiat dan sesat. Kekuatan Hadits Ahad Para ulama bersepakat, bahwa hadits mutawatir itu memberikan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) dan yaqini (pasti), karena tidak ada ruang bagi kemungkinan dusta atau salah dari para perawi. Adapun kabar ahad yang shahih, terdapat perselisihan yang banyak dan polemik yang panjang. Akan tetapi dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat. Pertama : Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dharuri (apriori) secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim ataupun oleh yang lain. Ini adalah madzhab Daud Al-Zhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (245 H), Harits Al Muhasibi (243 H) dan Imam Malik (menurut Ibnu Khuwaiz Mindad), dan inilah yang dipilih oleh Ibn Hazm (384-456 H) dalam Al-Ihkam, dia mengatakan : “Sesungguhnya perkataan satu orang yang adil dari orang yang sama sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan ilmu (keyakinan) dan amal sekaligus”. Alasan mereka adalah : 1. Ilmu yaqini ini, bersifat ilmu nazhari burhani. Artinya keyakinan yang didasarkan kepada penelitian dan pembuktian. Karena itu, kemampuan melakukan penelitian serta pembuktian tidak dimiliki, kecuali oleh orang alim (berilmu) yang ahli dalam bidang hadits, yang mengetahui ihwal para perawi dan macam-macam illat. Adapun orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat ini, tidak mungkin akan menghasilkan ilmu yaqini ini. 2. Ilmu pasti yang didapatkan oleh orang alim yang ahli ini, tidaklah terbatas pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja, sebab keduanya tidak menghimpun keseluruhan hadits shahih. 3. Ijma’ ulama telah tegak, bahwa hadits ahad adalah hujjah dan wajib diamalkan, dan tidak dapat diterima secara akal, bila ada sesuatu yang wajib diamalkan tanpa meyakini kebenarannya. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Ijma’ yang disebutkan berkaitan dengan hadits (riwayat) satu orang yang adil dalam hal i’tiqad, mendukung ucapan orang yang mengatakan bahwa hadits ahad mewajibkan ilmu (keyakinan)”. 4. Sesungguhnya kabar Nabi tidak boleh dusta dan salah, maka seluruh ucapan Nabi dalam agama adalah wahyu. Tidak ada khilaf, bahwa wahyu itu dari Allah dan setiap wahyu terpelihara dengan penjagaan Allah. Setiap yang dijamin oleh Allah untuk dilindungi pasti tidak akan hilang. Catatan: Inilah pendapat kami (Abu Haura Ahmad Junayd Ahmad Dzulkifli) penulis makalah ini, kami menyakini hadits ahad yang shahih apalagi tidak ditemukan penyelisihan ulama mengenai keshahihanya(ulama sepakat keshahihanya) maka hal ini membawa faedah ilmu yakini, andaikata terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai keshahihanya maka yang kami ambil adalah yang paling kuat hujjah mereka dalam penshahihan dan pedhaifannya. Dan sebagaimana ucapan Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –rahimahullah- : ”Dan tidaklah membahayakan bagi kami entahkah (hadits ahad yang shahih itu) membawa faedah ilmu ataukah zhann”(Al-Muqtarah, hal. 65) Kedua: Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim atau oleh salah satunya, maka ia adalah qath’i tentang keshahihannya dan menghasilkan ilmu yang yakin. Demikian ini madzhab Ibnu Al-Shalah (577-643 H), dan dia mengecualikan beberapa hadits yang telah dikritik oleh para kritikus hadits seperti Daruquthni (306-380 H). Bahkan Al-Bulqini (724-805 H) mengatakan, bahwa madzhab ini juga diikuti oleh sejumlah huffazh mutaakhkhirin (para ahli hadits pada masa belakangan), seperti Abu Ishaq Al-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfiraini (344-406 H), Qadhi Abu Al-Thib (w. 308 H) dari kelompok Syafi’iyyah, Al-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah, Qadhi Abdul Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah, Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Al-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah, Ibn Furak Al-Syafi’i (w. 406 H), dan mayoritas Ahli Kalam dari Asy’ariyyah, serta seluruh ahli hadits dan madzhab Salaf secara keseluruhan. Bahkan Ibn Thahir Al-Maqdisi menambahkan : “Semua hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qaht’i, meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (726 H), Al-Hafizh Ibnu Katsir (700-774 H), dan Ibnu Hajar (773-852 H) dan Ali Ibn Al Izz Al-Hanafi (731-792 H). Syaikh Abdur Rahman Dimisyqiyah dalam kitabnya, Mausu’ah Ahlis Sunnah menjelaskan, madzhab ini juga dianut oleh Abu Al-Muzhaffar As Sam’ani, Abu Abdillah Muhammad Al-Humaidi, Al-Sakhawi, Al-Suyuthi (849-911 H), Al-Allamah Muhammad Al-Sindi Al-Hanafi, Syaikh Waliyullah Al-Dahlawi Al-Hanafi, Muhammad Anwar Al-Kasymiri Al-Dubandi dan Abu Bakar Al-Jashshash Al-Hanafi (305-370 H). Alasan mereka adalah: 1. Hadits ahad yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya memberikan ilmu yaqini karena keagungan dua imam dalam disiplin ilmu hadits ini melebihi ulama lain. 2. Para ulama telah menerima keduanya dengan bulat. Penerimaan ini menunjukkan qarinah (indikasi) terkuat dalam memberikan ilmu yaqini, daripada sekedar banyaknya jalur yang masih di bawah mutawatir. Akan tetapi, ini khusus untuk hadits yang tidak dikritik oleh para ulama huffazh (ahli hadits) dan nuqqad (kritikus hadits) yang jumlahnya mencapai 220 hadits, 78 khusus riwayat Imam Bukhari, dan 100 khusus riwayat Imam Muslim. Ketiga : Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i, akan tetapi zhannni tsubut secara mutlak. Ini adalah madzhab kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Muturidiyah dari kalangan madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah (maksudnya, kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah yang dalam beraqidah mengikuti Asy’ariyah atau Ma’turidiyah). Di antaranya adalah Al-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (478 H) dan Ibnu Abdis Salam (577-660 H). Dan inilah yang ditarjih oleh Imam Nawawi (631-670 H). Alasan mereka adalah : 1. Hadits ahad memberikan ilmu zhannni nazhari, bukan yaqini dharuri. Karena, bersambungnya dengan Nabi memiliki satu syubhat (kesamaran), baik dalam bentuknya maupun maknanya. Adapun syubhat dalam bentuknya, yaitu karena hubungan dengan Rasul Allah tidak secara langsung. Adapun dari segi maknanya, karena umat ini menerimanya setelah generasi tabi’in. Ustadz Abu Zahrah berkata,”Karena syubhat ini, maka mereka mengatakan ‘ia wajib diamalkan, selama tidak ada yang menentangnya’.” 2. Seandainya ia memberikan keyakinan, tentu tidak ada gunanya membedakan antara mutawatir dan ahad, tentu boleh menasakh Al-Qur’an dan hadits mutawatir dengannya, karena ia satu kedudukan dalam memberikan keyakinan. 3. Imam Haramain (370-478 H) berkata : “Sesungguhnya perawi itu bisa salah –seandainya salah, dan itu tidak mungkin, tentu tidak ada rawi yang ruju’ dari riwayatnya-. Apabila kemungkinan salah telah menjadi jelas, maka memastikan kebenarannya adalah mustahil”. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahli Sunnah dan Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar ahad, dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya –kecuali Khawarij dan Mu’tazilah- bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani (1173-1250 H): “Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan pada awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberi informasi zhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan apabila khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang bergabung dengannya dan menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pandapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (Ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia adalah memberikan ilmu (keyakinan), karena Ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, ada yang mengamalkannya dan ada yang men-ta’wi-lnya”. (Irsyad Al Fuhul, 49). Ibnu Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa memberikan ilmu (keyakinan) manakala didukung oleh qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’ ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad. Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i. Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’ itu ma’shum”. (Majmu’ Al-Fatawa 18/ 40, 41, 48, 70). Al-Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan) dengan hadits ahad bila didukung oleh qarinah. Dan hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al-Ihkam Fi Ushul-Al Ahkam, 2/ 50). Kesimpulannya, secara umum (menurut sebagian ulama-pen) hadits ahad itu memiliki karakter memberikan zhannn, akan tetapi ucapan zhannniyah al-hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna zhannn. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) yang didapat secara otomatis. (Disadur dengan sedikit perubahan dari makalah HADITS AHAD MEMBERIKAN KEYAKINAN YANG BERSIFAT NAZHARI karya Al-Ustadz Agus Hasan Bashori hafizhaullah) Alasan menolak hadist ahad dalam perkara Aqidah Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah taála- menyatakan bahwa hadist ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan Aqidah. Beliau beralasan bahwa hadist ahad hanya mendatangkan zhann(dugaan/perkiraan) belaka, berbeda dengan hadist mutawatir yang mendatangkan keyakinaan secara qath’i (pasti). Beliau berkata:“Karena itu khabar (hadist) Ahad tidak dapat dijadikan dalil(hujjah) dalam penetapan aqidah disebabkan ia bersifat zhann, sedangkan aqidah harus dalam bentuk keyakinan. Di dalam Al-Quran Allah Ta’ala telah mencela mengikuti zhannn. Allah Ta’ala berfirman : “Tidaklah mereka itu memiliki ilmu (pengetahuan) tentangnya kecuali mereka hanya mengikuti zhann”. “Tidaklah kebanyakan mereka kecuali hanya mengikuti zhann, sesunggahnya zhann itu tidaklah memberikan faidah sedikitpun kepada kebenaran.” (QS. Yunus : 36) “Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya mengikuti zhann.” (QS. Al-An’aam : 116) “Tidaklah mereka mengikuti kecuali hanya zhann dan apa yang diingini ole hawa nafsu mereka.”(QS. Al-Najm : 23) “Tidaklah mereka itu memiliki ilmu (pengetahuan) tentangnya kecuali mereka hanya mengikuti zhann, sesunggahnya zhann itu tidaklah memberikan faidah sedikitpun kepada kebenaran.” (QS. Al-Najm :28) Ayat-ayat tersebut dan selainnya menunjukkan secara jelas tercelanya orang-orang mengikuti zhannn di dalam penetapan aqidah. Tercelanya mereka menunjukkan larangan mengikuti zhann. Sedangkan khabar ahad bersifat zhann, menggunakan hadist ahad didalam penetapan aqidah artinya sama dengan mengikuti zhann, padahal telah terdapat celaan mengikuti zhann secara jelas di dalam Al-Quran………(hingga perkataan beliau-pen)…………Maka karena itulah khabar ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan aqidah. Hanya saja ayat-ayat ini membatasi (larangan mengikuti zhann) khusus pada penetapan aqidah dan tidak untuk penetapan hukum-hukum syari’at. (kemudian beliau menjelaskan tema sebagian ayat di atas mengenai pencelaan mengikuti zhann dalam aqidah hingga perkataan beliau-pen)… maka hal itu menunjukkan tema pembahasan dalam ayat tersebut mengenai penetapan aqidah. Ini satu segi (dalam persoalan aqidah-pen), segi yang lainnya (dalam persoalan hukum-pen) bahwa Rasulullah-shalaullahu’alaihi wassalam- menetapkan hukum dengan khabar ahad, dan kaum muslimin pun mengambil dan menetapkan hukum syari’at dari khabar ahad…….”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I hal. 191-192) Sanggahan : Pendapat yang dilontarkan Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah ta’ala- perlu dikaji ulang. Sebelumnya, terdapat suatu ungkapan yang cukup terkenal yang diucapkan oleh Imam Malik bin Anas-rahimahullah ta’ala -, yaitu:”Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam”. (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) Maka apa yang telah dilontarkan oleh Syaikh Taqiyuddin Al-Nabhani –rahimahullah ta’ala- tidak boleh diterima atau ditolak kecuali setelah ditimbang berdasarkan Al-Quran dan Al-Sunnah Al-Shahihah. Perkataan beliau-rahimahullahu- :“Hanya saja ayat-ayat ini membatasi (larangan mengikuti zhann) khusus pada penetapan aqidah dan tidak untuk penetapan hukum-hukum syari’at.” (Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I hal. 190) Perkataan beliau tersebut tidak dapat diterima. Berdasarkan dua kaidah : Pertama, yang menjadi patokan adalah makna umum sebuah lafazh bukan sebab khususnya. Artinya pencelaan mengikuti zhann di dalam ayat-ayat yang di bicarakan tidak hanya pada masalah aqidah saja namun juga masalah hukum. Kedua, Allah ta’ala menyebutkan dalam kitab-Nya, bahwa zhann yang Dia ingkari atas kaum musyrikin mencangkup pendapat mereka dalam masalah penetapan hukum. Sebagaimana firman-Nya ta’ala : ”Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan :”Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya – ini dalam masalah aqidah-pen- dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun –ini dalam masalah penetapan hukum syar’i-pen-.”Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksa Kami”.Kalian tidak mengikuti kecuali zhann, dan kalian tidak lain hanya berdusta.”(QS. Al-An’am : 148) Perkataan orang-orang musyrik :”Jika Allah menghendaki, ” menunjukkan mereka berhujjah dengan takdir kauniyyah Allah Subhana wa ta’ala. Mereka beralasan bahwa apa yang mereka perbuat (baik kesyirikan maupun pengharaman) bukan berasal dari diri mereka akan tetapi berasal dari kehendak dan keridhoan Allah. Sebagaimana ucapan mereka :” dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun”. Karena bila Allah tidak menghendakinya tentu menurut sangkaan mereka Allah akan membinasakannya tidak perlu mengutus Rasul untuk memberitahukan ketidak ridhoan-Nya terhadapa apa yang mereka perbuat. Suatu kekeliruan bila menafsirkan ayat di atas dengan anggapan bahwa mereka orang-orang musyrik mengangkat diri mereka sebagai musyari’(yang berhak menetapkan halal dan haram) tandingan Allah ta’ala, yang artinya hal tersebut berkaitan dengan aqidah karena tasyri’(penetapan hukum halal dan haram) hanya hak khusus bagi Allah ta’ala. Maka pendapat Syaikh Taqiyuddin-rahimahullah- (mengenai pembahasan ayat-ayat di atas) yang membatasi zhann yang tercela hanya zhann dalam masalah penetapan aqidah dan tidak untuk penetapan masalah hukum merupakan pendapat yang keliru. Lalu yang menjadi pertanyaan, zhann yang bagaimanakah yang Allah cela dalam ayat-ayat tersebut ? Pembahasan mengenai bentuk zhann yang tercela –insya Allah- akan dibahas pada makalah ini. Segala puji bagi Allah. Anggapan Bahwa Rasulullah, Para Sahabat dan Kaum Muslimin Menolak Khabar Ahad dalam Perkara Aqidah Kemudian Syaikh Taqiyuddin-rahimahullah- berkata :“Ini satu segi (dalam persoalan aqidah-pen), segi yang lainnya (dalam persoalan hukum-pen) bahwa Rasulullah-shalaullahu álaihi wassalam- menetapkan hukum dengan khabar ahad, dan kaum muslimin pun mengambil dan menetapkan hukum syari’at dari khabar ahad…….”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz I hal. 190) Perkataan Syaikh-rahimahullah- di atas menunjukkan kekeliruan beliau-semoga Allah mengampuni kami dan beliau- dan seolah-olah ingin memberikan isyarat bahwa khabar ahad hanya diterima oleh Rasulullah dan kaum muslimin (termasuk para sahabat) dalam persoalan hukum bukan dalam penetapan aqidah. Senada dengan Syaikh Taqiyuddin, salah seorang sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik Nusa Tanjung-semoga Allah ta’ala menjaganya- juga berpendapat sama, beliau berkata :”Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah, contoh paling nyata adalah dalam hal pengumpulan Al Qur’an- dimana kita maklumi bahwa iman pada Al Qur’an adalah bagian dari aqidah- para sahabat hanya menganggap dan menulis khabar mutawatir saja yang wajib kita yakini sebagai ayat-ayat Al Qur’an dan disini tidak ada pertentangan ‘ulama” (Kedudukan Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah, Muhammad Taufik N.T.) Sanggahan : Mungkin Syaikh Taqiyyuddin-rahimahullah- lupa bila beliau pernah membuka kitab Shahih Muslim (hadist no. 5235 Bab Kisah Al-Jassaasah) akan di dapatkan riwayat berasal dari Fathimah binti Qais-radhiallahu ’anha- mengenai cerita Al-Jassaash dan Dajjal yang disampaikan oleh sahabat Tamim Al-Dari- radhiallahu ’anhu- kepada Rasulullah – shalaullahu’alaihi wasallam. Mengenai hadist ini Imam Al-Nawawi-rahimahullah ta’ala- berkata: ”Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang”.(Syarah Shahih Muslim:333/9) Syaikh Salim bin ’Id Al-Hilaali-hafizhahullah- berkata dalam kitab beliau Al-Jama’at Al-Islamiyyah Fi Dhauil Kitab Was Sunnahy Bi Fahmi Salafil Ummah:”Yakni dalam masalah aqidah. Karena hadist ini (Kisah Al-Jassaasah) tidak lain berisi tentang aqidah. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui kelirunya ucapan mereka tentang Al-Nawawi, bahwa beliau tidak memerima khabar ahad dalam masalah aqidah.”(disadur dari Polemik Hadist Ahad (Bantahan Terhadap surat Terbuka) oleh Al-Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani hal. 77, dimuat pada majalah As-Sunnah Edisi khusus/Tahun VIII/1425H/2004M) Sahabat Rasulullah sekaligus sepupunya yang merupakan ahli tafsir Al-Quran yaitu Ibnu Abbas radhiallahuanhuma- menerima hadist ahad dari sahabat Ubai bin Kaáb radhianllahuanhu. Sebagaimana dari Sa’id bin Jubair beliau mengatakan bahwa, dia berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahunhu sesungguhnya Naufan Bakkali beranggapan bahwasannya Musa teman Al-Khidhir bukanlah Musa yang diutus kepada Bani Israil, ”Berkata Ibnu Abbas,’Sungguh telah dusta musuh Allah, telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka’ab, dia berkata, ’Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam telah berkhutbah dihadapan kami, kemudian beliau menyebutkan kisah Musa bersama Khidhir secara panjang lebar yang menunjukkan bahwa Nabi Musa yang diutus kepada bani Israil adalah yang mengikuti Al-Khidhir’.”(Mutafaqun’alaihi) Berkata Imam Syafi’i –rahimahullahta’ala- :”Ibnu Abbas dengan segala pemahaman dan kewaraan beliau tetap saja menetapkan kebenaran dari hadits Ubay bin Kaáb hingga dia mengatakan kepada seorang muslim yang mengingkari khabar itu sebagai pendusta, di mana Ubai bin Ka’ab telah mengabarkan berita tersebut dari Rasulullah shalaullahu álaihi wassalam dan di dalamnya terdapat petunjuk yang menerangkan bahwasanya Musa yang diutus kepada bani Israil adalah yang mengikuti Al-Khidhir.”(Al-Risalah hal. 442-443) Begitu pula Abdullah bin Umar bin Al-Khatahab radhiallahu’anhuma menerima hadist ahad mengenai datangnya Jibril kepada Rasululllah shalaullahu’alaihi wasallam untuk mengajarkan rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan yang berasal dari ayahnya Amirul mukminin Umar bin Al-Khathab radhiallah’ anhu. Sebagaimana yang dikahabarkan Yahya bin Ya’mar dia berkata : ”Orang yang pertama kali mengucapkan permasalahan takdir di Basrah adalah Ma’bad Al-Juhaini………………(hingga perkataannya-pen) maka kami bertemu Abdullah bin Umar bin Al-Khathab di dalam masjid…….(lalu Abdullah bin Umar bin Al-Khathab berkata panjang lebar hingga beliau berkata) telah menceritakan kepadaku Ayahku Umar bin Al-Khathab, dia berkata :”Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam ) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam): “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“(HR. Muslim no. 9 ) Begitupula Ummu Darda meriwayatkan dari Abu Darda, bahwa ia berkata aku pernah mendengarkan Rasulullah shalaullahu’alaihiwasallam bersabda : ”Allah telah menetapkan bagi setiap hamba lima perkara : ajalnya, rizkinya, kematiannya, sengsara dan kebahagiannya.”(Shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/197) Begitupula riwayat dari Amar bin Maimun bahwasannya ia pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu bercerita; dari Saad bin Muadz bahwasannya dia pernah berkata: bahwa ia adalah sahabat Umayah bin Khalaf……………………(hingga perkataan)……..maka demi Allah aku (Saad bin Muadz) pernah mendengar Rasulullah shalaullahu ’alaihi wassalam bersabda :”Sesungguhnya mereka(kaum muslimin) akan membunuhmu (Umayah bin Khalaf)…………(hingga perkataan)……maka tatkala Umayah keluar (ke perang Badar) tidaklah ia meninggalkan di rumahnya kecuali seutas tali untanya maka ia terus menerus seperti itu hingga Allah Azza wa Jalla membunuhnya di perang Badar.”(HR. Bukhari 5/282) Begitupula riwayat dari Urwah bin Zubair bahwasanya binti Abi Salamah telah menceritakan kepadanya bahwasanya Ummu Habibah binti Abi Sufyan telah menceritakan kepadanya dari Zainab binti Jahsy bahwa Rasulullah shalaullahu álaihi wassallam datang kepadanya dalam keadaan takut sambil bersabda : ”Tiada ilah (yang hak) kecuali Allah celaka bagi bangsa arab dari keburukan yang telah dekat waktunya : hari ini telah tembok raksasa Yajuj dan Majuj telah terbuka (terlubangi) seperti ini. Beliau melinggkarkan jari-jemarinya yang satu dengan yang lainnya. Maka berkata Zainab : ’Aku bertanya: Wahai Rasulullah apakah kita akan dibinasakan padahal disekitar kita masih terdapat orang-orang shalih?’ Beliau menjawab:” Ya, jika kejahatan telah merajalela.”(HR. Bukhari 6/211) Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Ada seorang sahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Bukhari 13/232) Berkata Ustadz Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA –hafizhahullah- :Maka inilah peristiwa yang dilakukan sahabat, yang memperlihatkan bahwa satu orang dari kalangan sahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan (aqidah-pen) maupun perbuatan (hukum-pen) (Kehujahan Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah,Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA). Masih banyak lagi hadist shahih berstatus ahad dari Rasulullah yang bertema aqidah yang diriwayatkan sahabat dari sahabat yang lain. Cukuplah hal ini menunjukkan kekeliruan pendapat yang menyatakan para sahabat Rasulullah hanya menerima hadist ahad pada permasalahan hukum bukan aqidah. Bahkan tradisi menerima riwayat hadist ahad yang bertema aqidah terus-menerus dilakukan oleh sahabat, tabi ’in, tabi ’ut- tabi ’in hingga kaum muslimin pada zaman sekarang tanpa membeda-bedakannya kecuali sekelompok kecil kaum yang keliru menolak hadist ahad dalam penetapan aqidah. Apa yang diperbuat sahabat menerima hadist ahad pada perkara hukum dan Aqidah menunjukkan mereka tidak bersusah-susahan untuk mencari kemutawatiran dari suatu berita yang mereka dapat, bahkan Rasulallah shalaullahu álaihi wassallam telah mencontohkan diterimanya hadist ahad dalam perkara aqidah sebagaimana beliau menerima berita Al-Jassaasah dan Dajjal dari Tamim Al-Dari radhiallahu’anhu padahal pada saat itu wahyu masih turun, artinya Allah meridhoi sikap mereka menerima hadist ahad dalam masalah hukum dan aqidah. Dan mereka semua tidak pernah sama sekali membahas apakah hadist ahad itu memberikan faedah zhann ataukah ilmu? Yang ada ketika mereka mengetahui bahwasannya orang yang menyampaikan hadist adalah orang yang jujur bukan orang yang fasik, atau tidak terbukti kekeliruannya dalam menyampaikan hadist maka mereka akan menerimanya, tanpa menghitung-hitung jumlah yang menyampaikannya. Bahkan orang-orang setelah mereka (kaum salaf) tidak di dapatkan berita tentang ’ijmanya penolakan mereka terhadap kehujjahan hadist ahad dalam penetapan aqidah. Artinya barangsiapa yang menyatakan adanya ijma terhadap penolakan hadist ahad dalam perkara aqidah adalah keliru tanpa bukti yang jelas apalagi samar-samar. Inilah amalan Rasulallah shalaullahu’alaihi wasallam, para sahabat dan orang-orang sesudah mereka menerima hadist ahad dalam perkara aqidah. Rasul bersabda ”Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.”(HR. Muslim) Maka sebab itulah pendapat tersebut adalah bid’ah (baru diada-adakan) yang tidak dikenal di zaman salaf. Rasul shalaullahu’alaihi wasallam bersabda ”Barangsiapa yang mengada-ada (bid’ah) dalam perkara kami ini maka tertolak.” (Mutafaqun ’alaihi) Adapun pengkiasan (penyamaan) penolakan riwayat hadist ahad dalam pengumpulan Mushaf Al-Quran yang dilakukan para sahabat dengan penolakan hadist ahad dalam masalah aqidah -insya Allah- akan dibahas dalam makalah ini. Segala puji bagi Allah. Syaikh Taqiyuddin-rahimahullah- berkata :”Rasulullah –shallaullahu álaihi wassalam- mengutus para sahabat secara perorangan ke beberapa negeri untuk mendakwahkan Islam, mengajarkan hukum Islam, meriwayatkan hadist, sebagaimana beliau –shalaullahu’alaihi wassalam- mengutus Muadz ke Yaman. ”(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz III hal. 84) Dari ucapan beliau, nampak beliau enggan untuk menyatakan bahwa sahabat diutus oleh Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam kebeberapa negeri dengan misi salah satunya adalah menyampaikan aqidah. Tidakkah beliau memperhatikan perintah Rasul shalaullahu ’alaihi wasallam kepada Muadz bin Jabal radhiallahu ’anhu ketika diutus ke Yaman ? Rasul shalaullahu’alaihi wasallam bersabda :”Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan ahli kitab. Maka jadikanlah seruan pertamamu kepada mereka , yaitu agar mereka mengesakan Allah semata……(Mutafaqun ’alaihi) Apakah seruan Muadz kepada penduduk Yaman hanya sebatas ucapan ”esakanlah Allah”, ataukah juga termasuk perkara aqidah yang lain semisal surga dan neraka, hari kiamat yang mana beliau radhiallahu ’anhu tidak hanya berkata ”Telah berfirman AllahTa’ala!” akan tetapi pula akan berkata”Telah bersabda Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam” ? Padahal sudah menjadi tradisi sahabat apabila berbicara mengenai agama maka mereka akan mengatakan telah berfirman Allah Ta’ala dan telah bersabda Rasulallah shalaullahu’alaihi wasallam. Maka pengutusan sahabat pun tidak lepas dari penyampaian aqidah dimana sahabat tentu akan mengatakan telah bersabda Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam, atau aku telah mendengar Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam bersabda atau bahwa Rasululluh shalaullahu’alaihi wasallam pernah melakukan ini dan ini yang semuanya tidak terbatas hanya hukum saja bahkan terutama aqidah. Ketahuilah pemisahan antara aqidah dan hukum dari hadist Rasul shalaullahu álaihi wassalam tidaklah dikenal di zaman Rasul dan sahabat! Maka pembahasan mencari-cari dalil bahwa sahabat menolak penetapan aqidah dengan kabar ahad adalah perbuatan takaluf (membebani diri sendiri) dimana Allah Ta’ala, Rasul-Nya shalaullahu’alaihi wasallam serta sahabat radhiallahu’anhum tidak pernah membicarakannya. Segala puji bagi Allah. Imam Nawawi antara perkataannya: ”Wajib mengamalkan khabar ahad” dan kenyataan sikap beliau dalam menjadikan kabar ahad sebagai hujjah aqidah. Sebagian kelompok yang menolak dijadikannya hadist ahad yang shahih sebagai hujjah dalam aqidah menyandarkan pendapatnya pada perkataan Imam Nawawi: ”Wajib mengamalkan hadist ahad”. Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum Muslim dari kalangan shahabat dan tabi’iin, dan kalangan ahli hadits, fukaha, dan ulama ushul yang datang setelah para shahabat dan tabi’un adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqah adalah hujjah syar’iy yang wajib diamalkan, dan khabar ahad hanya menghasilkan dzann, tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)”( Syarah Shahih Muslim,1/64) ”Hanya saja (hadist ahad di dalam Shahih Bukhari dan Muslim -pen) memberikan faedah wajib mengamalkan apa yang di dalam keduanya tanpa tawaquf( berdiam diri tidak mengamalkan) untuk melakukan penelitian terdahulu padanya. ”(Tadrib Al-Rawi Li al-Suyuthi, 1/133) ”Para khalifah yang rasyid dan sahabat-sahabat lainnya, orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan salaf (dahulu) dan khalaf (belakangan); (mereka) masih tetap mengamalkan hadist ahad” (Syarah Shahih Muslim, 1/130) Silakan diperhatikan ucapan Imam Nawawi ketika mensyarah hadist Dhimam bin Tsa’labah yang berbunyi : ”Telah bersabda Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam : ”Barangsiapa yang mengucapkan ;’Aku bersaksi bahwasannya tiada ilah (yang hak) selain Allah yang maha esa Dia dan tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan putra dari ibunya (Maryam binti Imran-pen) dan kalimat-Nya yan dihembuskan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, surga itu benar adnya, neraka itu benar adanya, Allah akan memasukkannya dari delapan pintu surga yang dikehendaki.” (Berkata Imam Nawawi) :”Dan hadist ini , posisinya sangat agung, termasuk hadist yang paling lengkap, atau termasuk salah satu hadist yang paling lengkap memuat masalah aqidah. Karena di dalamnya Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasalam mengumpulkan segala sesuatu, yang keluar dari seluruh agama kafir dari keragaman aqidah mereka.(Syarah Shahih Muslim, 1/103) Begitu pula perkataan beliau terhadap hadist qudsi yang shahih dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ’anhu yang berbunyi: ”Hai hamba-Ku, sesungguhnya aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku…”. Imam Nawawi berkata : ”Hadist ini merangkum beberapa faidah…(kemudian beliau menyebutkan beberapa diantaranya), kemudian berkata: ”Diantaranya adalah perkara yang menyangkut penjelasan kaidah yang sangat agung dalam masalah ushuluddin, …(Al-Adzkar, 1/413) Maka pengertian dari ucapan Imam Nawawi”Wajib mengamalkan hadist ahad” terdapat dua kemungkinan: 1. Bisa jadi mengamalkan saja dengan anggota badan tanpa meyakininya. Namun hal ini tidaklah mungkin. 2. Atau bisa jadi mengamalkan kabar ahad adalah wajib menyakini bila dalam bentuk berita dan melaksanakan bila dalam bentuk perintah. Karena definisi amal tidak selalu bermakna pelaksanaan amalan dengan anggota tubuh bahkan termasuk pembenaran, yakin, ikhlas, tunduk, iman dapat disebut sebagai amal. Sebagaimana hadist berikut : Rasulullah shalaullahuálaihiwassalam pernah ditanya:”Apakah amalan yang paling utama ?” maka beliau menjawab ;” Beriman kepada Allah dan rasul-Nya”(HR. Al-Bukhari no. 25) Di dalam Iman terdapat pembenaran, yakin, tunduk, ihklas, ridho dan cinta. Perkataan Imam Nawawi : ” Para khalifah yang rasyid, para sahabat, kalangan salaf (dahulu) dan khalaf (belakangan) masih tetap mengamalkan hadist ahad, mereka melaksanakan kabar ahad jika mengkabarkan kepada mereka tentang suatu sunnah, mereka memutuskan dengannya, mengembalikan urusan pengadilan dan fatwa kepadanya, mendahulukan memutuskan dengannya bila terdapat keputusan mereka yang menyelisihnya, mereka mencari kabar ahad sebagai hujjah dari orang yang pernah mendapatkannya dan mereka berhujjah dengannya atas orang yang menyelisihi mereka ,ini semua perkara yang telah diketahui tanpa ada keraguan. Dan akal tidak menghalalkan beramal dengan hadits ahad akan tetapi syariat mewajibkan mengamalkannya, maka wajib berjalan pada syariat tersebut ” ( Syarah Shahih Muslim, 1/64), Andaikan beliau maksud para khalifah yang rasyid, para sahabat, kalangan salaf dan khalaf mengamalkan kabar ahad hanya sebatas amal anggota tubuh bukan aqidah, maka sungguh hadits-hadits dan atsar-atsar membuktikan mereka ternyata juga menjadikan kabar ahad sebagai hujjah dalam aqidah. Kalau ragu, lihatlah dalil hadits-hadits yang telah kami tunjukkan pada pembahasan sebelumnya. Begitu pula perkataan Imam Nawawi :”mereka mencari kabar ahad sebagai hujjah dari orang yang pernah mendapatkannya dan mereka berhujjah dengannya atas orang yang menyelisihi mereka”, contohnya adalah sikap Ibnu Abbas mencari berita dari Ubay bin Kaab yang pernah mendengar hadits Nabi mengenai jati diri Khidir sebagai sahabat Nabi Musa yang diutus kepada Bani Israil dan menyatakan pengingkaran beliau terhadap orang yang menyelisihinya. Begitu pula perkataan beliau :”Dan akal tidak menghalalkan beramal dengan hadits ahad akan tetapi syariat mewajibkan mengamalkannya, maka wajib berjalan pada syariat tersebut.” Apakah yang dimaksud syariat disini? Jelas maksudnya Al-Quran, sunnah, ijma para sahabat. Al-Quran tidak menetapkan jumlah orang yang menyampaikan berita entah itu masalah dunia apalagi agama kecuali sebatas masalah persaksian di pengadilan dan saksi pernikahan serta yang semacamnya yang terdapat nash mengenai ketentuan jumlahnya. Namun diingat hal itu tidak bisa jadikan qiyas karena adanya dalil yang menyelisihinya dimana Rasul dan para sahabat menerima kabar ahad dari satu orang yang dapat dipercaya agamanya. Dan inilah ijmanya para sahabat dan kami tidak menemukan khilaf padanya. Apabila ada, tolong tunjukkan dalilnya ! Sikap Imam Nawawi persis dengan sikap Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata : “Menurut pendapat kami, hadits ahad membuahkan amal, bukan membuahkan ilmu. (misalnya), seperti kesaksian dua orang dan kesaksian empat orang adalah sama. Kebanyakan ahli ilmu dan ahli hadits, juga berpendapat seperti itu. Dan semuanya berpegang kepada riwayat satu orang yang adil dalam aqidah, membela dan mempertahankannya, menjadikannya syariat dan agama. Seperti itu pula pendapat jamaah ahli sunnah.”(Al-Tamhid, 1/8) Maka pendapat Imam Nawawi bahwa hadist ahad mutlak hanya membawa zhann berbeda dengan pemahaman sekelompok orang (termasuk Syaik taqiyuddin Al-Nabhani) yang memahami pula hadist ahad hanya memberi faedah zhann. Allahu akbar walillahilhamd. Begitu pula mengklaim bahwasannya perkatan Al-Karmani adalah pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani, sebagaiamana berkata Ibnu Hajar Al-Atsqalani :Telah berkata Al Karmani: agar diketahui, sesungguhnya dia (diterimanya khabar ahad sebagai hujjah) HANYALAH DALAM HAL ‘AMALIYYAH BUKAN DALAM HAL I’TIQADIYYAH (Fathul Baariy 20/292) Sebenarnya itu hanya nukilan saja bukan kesetujuan pendapat. Cobalah perhatikan pendapat Ibnu Hajar :”Hadits yang didukung dengan qarinah (penguat), bisa saja sampai tingkat memberikan ilmu (keyakinan). Hadits yang seperti ini ada beberapa macam. Diantaranya, yaitu hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam dua kitab shahihnya. Walaupun hadits-hadits itu tidak sampai derajat mutawatir, namun dia didukung dengan beberapa hal yang menguatkannya. Diantaranya: • Kepakaran Bukhari dan Muslim dalam bidang periwayatan hadits. • Kejelian mereka memilah hadits yang shahih dari yang lainnya. • Sikap para ulama yang menerima secara utuh kitab shahih mereka. Sikap ini, sebenarnya merupakan bukti yang lebih kuat untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits itu bisa menyakinkan, dibandingkan dengan hanya sekedar banyaknya sanad periwayatan yang terdapat pada riwayat mutawatir….. Ijma itu telah terjadi atas dasar diakuinya keshahihan riwayat-riwayat tersebut.(Tadrib Al-Rawi 1/133-134). Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa para sahabat dan tabiin mengamalkan khabar ahad, serta tidak ada yang menentangnya. Kesepakatan mereka ini menunjukkan diterimanya khabar ahad.(Fathul Bari(13/234) Lebih jelasnya lihatlah Fatawa Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani fi Al-Aqidah yang dikomentari oleh Muhammad Tamir, beliau Ibnu Hajar mengunakan hadits ahad tidak hanya dikeluarkankan oleh Bukhari dan Muslim tapi juga yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi dan lainnya dalam menjawab beberapa pertanyaan salah satunya mengenai pertanyaan munkar dan nakir di dalam kubur halaman 15-18. Ini menunjukkan bahwa beliau mengamalkan kabar ahad tidak dalam bentuk praktek anggota badan saja namun juga menerima dengan keyakinan sebagai aqidah. Klaim yang batil bahwa para imam empat madzhab menolak hadist ahad dalam perkara aqidah. Berkata Syaikh Mahmud Syaltut :”Berpendapat pula seperti ini (hadist ahad hanya membawa faedah zhann-pen) ahli ilmu di antaranya empat imam madzhab yaitu, Imam malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat dimana terdapat riwayat yang lainnya yang berbeda dari beliau (Al-Islam Aqidah Wa Syariah, hal. 59) Maksud dari Syaikh Mahmud Syaltut bukan sekedar membahas bahwasannya empat imam madzhab berpendapat bahwa hadits ahad hanya membawa faedah zhann akan tetapi lebih dari itu beliau mengira empat imam madzhab menolak hadist ahad dalam penetapan aqidah. Sebagaimana ucapan beliau :”Bahwa sebagaimana yang telah kami tetapkan bahwa hadist ahad tidak dapat berfaedah bagi penetapan aqidah dan tidak sah untuk berhujjah dengannya dalam perkara-perkara ghaib. Hal ini adalah pendapat yang disepakati lagi kuat berdasarkan akal secara sederhana, sehingga tidak ada lagi perselisihan bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Islam Aqidah Wa Syariah, hal. 61) Sanggahan : Klaim bahwa empat imam madzhab sepakat menolak hadist ahad dalam perkara aqidah adalah klaim yang batil tanpa bukti. Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah :”Hadist tentang mi’raj adalah benar. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia sesat dan berbuat bid’ah.”(Al-Fiqhul Akbar, hal. 92) Hadist Mi’raj adalah hadist ahad yang berisi permasalahan aqidah. Andaikan beliau melarang menetapkan aqidah dengan kabar ahad tentulah beliau tidak menganggap sesat orang yang mengingkarinya. Adapun Imam Syafi’i telah kita ketahui tentang sikap beliau mengambil hadist ahad sebagai hujjah dalam permasalahan aqidah. Mengenai hal ini dapat dilihat dari pembahasan sebelumnya terhadap sikap beliau ketika mencontohkan salah seorang sahabat yaitu Ibnu Abbas berhujjah dengan hadist ahad menetapkan bahwa Musa yang bersama Khidir adalah Musa yang diutus kepada Bani Israil berdasarkan riwayat hadist dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wassalam. Dalam Kitab Al-Radd ’Ala Al-Zinadiqah wa Al-Jahmiyah pada tema ”Bantahan terhadap orang yang mengkirari bahwasannya kaum mukminin akan melihat Allah Jalla Sya nihi pada hari Kiamat.”Berkata Imam Ahmad : ”Apakah kita harus mengikuti Nabi shalaullahu’alaihi wasallam, ketika beliau shalaullahu ’alaihi wassalam bersabda: ”Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian” ataukah (kita mengikuti) perkataan Al-Jahmi ketika ia berkata kalian tidak akan melihat Tuhan kalian, sedangkan hadist-hadist yang ada disisi ahli ilmu yang berasal dari Nabi shalaullahu’alaihi wasallam menyatakan bahwa penduduk surga akan melihat Tuhan mereka, dan hal ini adalah sesuatu yang tidak terdapat perselisihan dari ahli ilmu. (Al-Radd ’Ala Al-Zinadiqah wa Al-Jahmiyah, hal. 34 ). Potongan hadist tentang melihatnya kaum mukminin akan Rabbnya (hadits ru’yah) di surga yang disebutkan oleh Imam Ahmad di atas adalah hadist ahad secara lafazh namun mutawatir secara maknawi. Disebut mutawatir maknawi karena banyaknya hadist-hadist yang berbeda lafazh mengabarkan tentang kaum muslimin yang akan dapat melihat Allah di hari kiamat. Lafazh hadits tersebut yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnadnya hanya berasal dari jalur sahabar Jarir bin Abdullah radhiallahu’anhu dengan nomor hadits 18394 dan 18409. Dapat dilihat pada Shahih Bukhari no. 521 dan 539, Shahih Muslim no. 1002 dan Sunan Abi Dawud no. 4104. Dan terdapat juga lafazh yang mirip dikeluarkan oleh Imam Tirmidz no. 2477 dari jalur Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dikeluarkan pula Al-Bayhaqi no. 106 dari jalur Abi Bakrah bin Amarah bin Ruwaibah namun pada jalur Abi Bakrah ini kami belum mengetahui keshahihan hadits tersebut. Wallahu a’allam Imam ahmad berkata mengenai hadits-hadits ru’yah tersebut : ”Kami mengimaninya dan kami mengetahuinya bahwa hadits-hadits itu hak, kami menetapkan ilmu dengannya.”(Al- Musawaddah Lil Aali Taimiyah, hal. 242, dinukil dari Aslul ’Itiqad, Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqar hal.16). Jelaslah Imam Ahmad menjadikan hadist ahad sebagai hujjah dalam aqidah. Walillahilhamd. Adapun pendapat beliau mengenai hadist ahad apakah membawa faedah zhann ataukah ilmu, hal ini belum dapat dipastikan karena adanya riwayat yang berbeda mengenai sikap beliau terhadap faedah yang dihasilkan dari hadits ahad. Namun andaikata beliau berpendapat bahwa hadits ahad hanya membawa faedah zhann saja, maka sudah jelas beliau tetap menjadikan hadist ahad sebagai hujjah dalam aqidah sebagaimana Imam Nawawi. Adapun pendapat Imam malik kami belum menemukannya secara jelas, kecuali berdasarkan kabar-kabar dari sebagian ulama. Berkata : Abu Muhammad : telah berkata Abu Sulaiman dan Al-Hasan, dari Abu Ali Al-Karabisi, dan Al-Harits bin Asad Al-Mahasibi dan selain mereka, bahwa khabar wahid (dari satu orang) yang adil dan berturut seperti itu keadaannya hingga berakhir kepada Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam, mewajibkan ilmu dan amalan secara bersamaan, kami katakan seperti pendapat ini pulalah : telah menyebutkan pendapat seperti ini Ahmad bin Ishak yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Khuwaiz Mindad, yang berasal dari (pendapat) Malik bin Anas.(Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Ibnu Hazm hal. 107) Qiyas batil menolak hadist ahad dalam aqidah dengan pengumpulan tulisan Al-Quran. Salah seorang sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik Nusa Tanjung-semoga Allah ta’ala menjaganya- berkata :”Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah, contoh paling nyata adalah dalam hal pengumpulan Al Qur’an- dimana kita maklumi bahwa iman pada Al Qur’an adalah bagian dari aqidah- para sahabat hanya menganggap dan menulis khabar mutawatir saja yang wajib kita yakini sebagai ayat-ayat Al Qur’an dan disini tidak ada pertentangan ‘ulama, sebagaimana juga ditulis oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir, dalam Tafsirnya 1/389, Maktabah Syamilah: “Adapun jika diriwayatkan bahwasanya ia adalah al Qur’an, maka sesungguhnya (jika) ia tidak mutawatir maka tidak ditetapkan bahwasanya ia al Qur’an dengan khabar wahid (ahad) seperti ini, oleh karena itu amiirul mukminin ‘Utsman bin ‘Affan r.a tidak menetapkannya dalam mushaf dan tidak membaca (al qur’an) dengannya seorangpun dari para qari’ yang tsabit hujjah atas qira’ahnya, tidak dari qira’ah sab’ah dan tidak dari selain mereka” Tidak bisa kita katakan bahwa hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan karena yang kita bahas adalah hadits, bukan Al Qur’an. Tidak bisa dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?, sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir, jadi temanya adalah sama. (Kedudukan Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah, Muhammad Taufik N.T.) Sanggahan : Qiyas terhadap sesuatu perkara yang terdapat dalil dari nash Al-Quran atau Sunnah yang shahih lagi jelas yang menyelisihi qiyas tersebut adalah qiyas yang batil. Hal ini telah kami sebutkan sebelumnya hadist-hadits yang menunjukkan Rasulullah dan sahabat menerima hadist ahad dalam penetapan aqidah. Bila yang dimaksud pengumpulan Al-Quran adalah mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah dari Al-Quran yang tercerai berai pada setiap hafalan para sahabat kemudian dituliskan pada satu mushaf maka hal ini keliru. Karena para sahabat telah banyak yang menghapal Al-Quran secara keseluruhan sesuai dengan tertib ayat dan surat yang berasal dari petunjuk Rasulullah. Adapun peristiwa pengumpulan Al-Quran menjadi satu mushaf di zaman Abu Bakar adalah peristiwa pengumpulan tulisan-tulisan (rasm) Al-Quran yang terdapat pada tulang, batu, kayu, pelepah kurma, dan kulit binatang menjadi satu mushaf. Abu Bakr mengatakan pada ‘Umar dan Zaid, “Duduklah di depan pintu gerbang Masjid Nabawi. Jika ada orang yang membawa kepadamu sepotong ayat dari Kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah”(Ibnu Abi Dawud, Al-Mashafi, hlm. 6. Lihat juga Ibnu Hajar, Fathul Bari, ix: 14). Berkata Umar bin Al-Khathab : “Barangsiapa yang pernah mengambil bacaan Al-Quran dari Rasulullah hendaknya ia mendatangkannya, dan mereka menulisnya di dalam lauh dan pelepah kurma, dan tidak akan diterima dari seorangpun kecuali dengan adanya persaksian dari dua orang” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud). Ibnu hajar Al-Asqalani berkata :”Sepertinya apa yang dimaksud dengan dua saksi berkaitan erat dengan hafalan yang diperkuat dengan bukti tertulis. Atau, dua orang memberi kesaksian bahwa ayat Qur’an telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad. Atau, berarti agar mereka memberi kesaksian bahwa ini merupakan salah satu bentuk yang mana Qur’an diwahyukan. Tujuannya adalah agar menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad bukan semata-mata berlandaskan pada hafalan seseorang saja. (Ibn Hajar, Fathul Bari, ix: 14-15) Ibnu Hajar memberi perhatian secara khusus terhadap keterangan yang diberikan Zaid, “Saya dapati dua ayat terakhir dalam Surah al-Bara’ah ada pada Abu Khuzaima Al-Anshari,” membuktikan bahwa tulisan yang ada pada Zaid serta hafalannya dianggap tidak mencukupi. Segala sesuatunya memerlukan pengesahan. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan : “Abu Bakr tidak memberi wewenang padanya menulis kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas kulit. Itu adalah sebab utama Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir dari Surat Al-¬Bara’ah sebelum ia sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan), kendati ia mempunyai banyak sahabat yang dengan mudah untuk dapat mengingat kembali secara tepat dari hafalan mereka.( Ibnu Hajar, Fathul Bari, iv: 13.) Dari metoda pengumpulan mushaf Al-Quran tampak ijtihad dari sahabat untuk menerima suatu rasm ayat-ayat Al-Quran harus memnuhi beberapa syarat, yaitu; adanya tulisan ayt-ayat Al-Quran yang pernah ditulis dihadapan Rasul dan diperkuat dengan hafalan dari penulis dan saksi sekurang-kurangnya dua orang. Dan tulisan (rasm) bersifat tidak mutawatir karena tidak semua sahabat yang menulis ayat-ayat Al-Quran disisi Rasulullah, sedangkan yang dimaksud mutawatir adalah hafalan Al-Quran yang berasal dari hafalan para sahabat. Adapun perbuatan Khalifah Utsman bin ’Affan hanya menerima riwayat bacaan ayat Al-Qurán yang mutawatir karena telah diketahui bahwa banyak sahabat sebelum wafatnya Rasul telah menerima dan menghafal bacaan al-Quran dengan tertib ayat dan surat sesuai petunjuk beliau. Sehingga barangsiapa yang membawa suatu bacaan atau tulisan dan menyatakan bahwa itu adalah Al-Quran yang ternyata menyelisihi bacaan yang telah disepakati para sahabat maka dapat diketahui bahwa bacaan tersebut keliru atau telah di hapuskan. Hal ini berbeda dengan periwayatan hadits dimana tidak semua sahabat meriwayatkan hadits dalam jumlah yang banyak sekali, sebagaimana Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya manusia berkata; “Abu Hurairah banyak sekali meriwayatkan hadits.” Kalau bukan karena dua ayat di dalam Kitab Allah tetulah aku tidak akan menyampaikan satu hadits pun. Kemudia ia membaca ayat : {Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan dari berbagaimacam penjelasan dan petunjuk …hingga firman Allah….yang Maha Penyayang }. Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kaum Muhajirin mereka sibuk dengan perdagangan di pasar mereka dan saudara-saudara kami dari kaum Anshar mereka sibuk dengan perkebunan mereka sedangkan Abu Hurairah selalu bersama Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam dengan perut lapar, dan ia hadir ketika mereka (Muhajirin dan Anshar) tidak hadir (di sisi Rasulullah), dan menghafal (hadits) apa yang tidak mereka hafal. (HR.Bukhari no.115) Tidak pernah kita temukan sahabat menolak periwayatan hadits walaupun berbeda lafazh, kecuali bila mereka ragu akan ketelitian si penyampai berita atau terbukti keliru atau lupa. Seperti tawaquf(diam)nya Abu Bakar terhadap berita dari Al-Mughirah mengenai hak waris bagi seorang nenek hingga diperkuat oleh kesaksian Muhammad bin Maslamah, begitu pula sikap tawaquf Umar terhadap khabar yang berasal dari Abu Musa Al-‘Asyari hingga menyapaikan pula Abu Said dengan kabar yang sama. Hal ini terjadi karena sikap kehati-hatian Abu Bakar dan Umar yang murni ijtihad mereka. Umar berkata kepada Abu Musa Al-‘Asyari setelah ia akhirnya menerima kabar dari Abu Musa Al-Asyari tersebut : “Sesungguhnya aku tidak menuduhmu(berdusta) akan tetapi aku takut manusia akan seenaknya berkata-kata tentang (hadits) Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam“( Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa 1/145) Begitu pula penolakan Umar terhadap kabar dari Fatimah binti Qais mengenai pemberian hak nafkah bagi wanita yang ditalak ba’in dalam masa idahnya. Fatimah binti Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam telah menetapkan bahwasannya baginya tidak ada hak nafkah karena di talak ba’in oleh mantan suaminya kecuali ia hamil (HR. Abu Dawud no. 1947). Pada saat itu Umar berkata mengenai apa yang disampaikan Fatimah binti Qais :”Tidaklah kami meninggalkan Kitab Tuhan kami dan sunnah Nabi kami karena perkataan dari seorang wanita yang kami tidak tahu apakah ia benar ataukah lupa.” (HR. Abu Dawud no. 19348). Lafazh(kata) “dan Sunnah nabi kami” menurut Daraquthni tidak kuat sebagai bagian dari perkataan Umar. Begitu pula Imam Ahmad ketika ditanya oleh Abu Dawud didalam kitab Masaail li Abi Dawud, berkata Abu Dawud “Apakah perkataan ini shahih dari Umar ? dia (Imam Ahmad) menjawab : “Tidak !” (Aunul Ma’bud, 5/159). Hal tersebut dikarenakan lafazh “dan Sunnah nabi kami” berasal dari jalur Abu Ahmad yang menyelisihi jalur riwayat dari Yahya bin Adam yang lebih kuat hafalannya dimana ia tidak mencantumkan lafazh tersebut pada riwayat haditsnya. Walaupun Imam Muslim mencantumkan lafazh tersebut dalam shahihnya namun para Imam ahlu hadits termasuk Imam Ahmad mengeritik lafazh tersebut. Ketika disebutkan perkataan Umar kepada Imam Ahmad :“Tidaklah mungkin kami meninggalkan Kitab Tuhan kami karena perkataan dari seorang wanita?” Imam Ahmad tersenyum sambil berkata : “Apakah ada sesuatu yang menyelisihi Al-Quran dari perkataan ini ( riwayat Fatimah binti Qais-pen) ?”(Aunul Ma’bud, 5/159). Menurut Imam Ahmad hadits Fatimah binti Qais tersebut adalah takhshish(pengkhususan) dari firman Allah : “Dan hendaklah kalian memberikan tempat tinggal kepada mereka di manapun kamu tinggal semampu kalian“ (QS. Al-Thalaq : 6). Dimana ayat tersebut dikecualikan bagi wanita yang telah ditalak ba’in kubra selama tidak hamil dalam masa idahnya. Sehingga tidak terdapat pertentangan. Segala puji bagi Allah. Adapun Umar bin Al-Khathab tidak menerima hadits dari Fatimah binti Qais karena keraguannya akan ketelitian dan ingatan Fatimah binti Qais sebagaimana ucapan Umar :“Ia (Fatimah) benar ataukah lupa?”. Sehingga bukanlah karena Fatimah semata-mata seorang wanita, atau hanya sendiri saja dalam meriwayatkan hadits tersebut, atau riwayatnya mengkhususkan/takhshish atas ayat Al-Quran tersebut. Karena andaikata alasannya seperti itu tentu akan tertolaklah semua riwayat hadits yang berasal dari Ummul mukminin isteri-isteri Rasulullah dan wanita sahabat lainnya radhiallahu’anhunna. Sedangkan riwayat yang disampaikan Fatimah tersebut berkesusaian dengan pendapat sebagian salaf yaitu Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Jabir, ‘Atha, Thawus, Al-Hasan, Ikrimah, Maimun bin Mihran, Ishaq bin Rahawaih dan Dawud bin Ali (Aunul Ma’bud, 5/159). Jadi Fatimah binti Qais tidak lupa hanya Umar yang mengira lupa dan belum sampai kepada Umar hadits tersebut sebelumnya. Begitu pula penolakan Aisyah terhadap kabar dari Umar dan putranya Ibnu Umar mengenai disiksanya mayat karena tangisan keluarganya (HR. Muslim no. 1541, 1543,1544,1546, 1547,1548). Alasan Aisyah menolak kabar dari Umar dan putranya Ibnu Umar bukan karena semata-mata hadits ahad namun Aisyah menduga Umar dan Putranya lupa atau keliru dari maksud hadits tersebut, dimana menurut Aisyah siksaan yang diberikan kepada mayit karena tangisan keluarganya hanya pada kaum yahudi. Maka itu Aisyah berkata :”Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman (Abdullah bin Umar Al-Khathab), ia mendengar sesuatu (hadits) namun ia tidak menghafalnya(dengan baik-pen), hanyasanya Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam, melewati jenazah yahudi yang ditangisi mereka (keluarganya-pen) maka beliau bersabda : “Kalian menangisinya sedangkan ia diazab (HR. Muslim no.1546). Dalam riwayat lain Aisyah berkata : “Semoga Allah mengampuni Abu Abdirrahman (Abdullah bin Umar Al-Khathab), adapaun ia tidak berdusta akan tetapi ia bisa jadi terlupa atau keliru, hanyasanya Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam melewati (jenazah) yahudi yang ditangisi (keluarganya-pen) maka beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka menangisinya dan sesungguhnya ia diazab di dalam kuburnya. (HR. Muslim no.1548) Mengenai hal ini sebagian ulama mengkompromikannya (jama’), yang dimaksud Aisyah benar bahwa mayat kaum kuffar akan merasakan siksa dengan tangisan keluarganya sebagai bentuk siksa yang lainnya atas kekufurannya bukan semata-mata karena tangisan keluarganya, sedangkan kaum muslimin akan merasa sakit mendengar suara tangisan keluarganya, sebagaimana jumhur berhujjah dengan hadits larangan Rasulullah kepada seorang wanita ketika menangisi jenazah bapaknya, dimana Rasulullah bersabda :”Sesunggunya salah seorang diantara kalian jika ia menangis akan merasa sedihlah Suwaihibahu (jenazah dari keluarganya tersebut-pen ) kepadanya, wahai hamba Allah janganlah kalian siksa saudara kalian”(Lihat Syarah Al-Nawawi ‘ala Muslim, 3/339). Maka tidak ada pertentangan. Segala puji bagi Allah. Perkataan sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik N.T. :”Tidak bisa dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?,” beliau ingin menggiring pembicaraan secara halus bahwa zhann identik dengan hadits ahad, lalu ia melanjutkan : “sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir, jadi temanya adalah sama.” Perkataan beliau “ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir”, pertanyaannya, siapakah yang tidak bisa menerima kecuali dengan jalan mutawatir ? Jelas mereka adalah para sahabat menurut Ustadz Muhammad Taufik. Artinya beliau ingin membe SukaSuka
  38. Ahmad junayd Poso

    Perkataan sahabat penulis, Ustadz Muhammad Taufik N.T. :”Tidak bisa dikatakan begitu karena sebetulnya tema yang kita bahas bukanlah hadits, melainkan AQIDAH, DARI SEGI APAKAH BOLEH DIDASARKAN PADA DALIL YANG DZONNY ATAU TIDAK?,” beliau ingin menggiring pembicaraan secara halus bahwa zhann identik dengan hadits ahad, lalu ia melanjutkan : “sedangkan keyakinan terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah bagian dari aqidah, dan ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir, jadi temanya adalah sama.” Perkataan beliau “ayat -ayat tersebut tidak diterima kecuali dengan jalan mutawatir”, pertanyaannya, siapakah yang tidak bisa menerima kecuali dengan jalan mutawatir ? Jelas mereka adalah para sahabat menurut Ustadz Muhammad Taufik. Artinya beliau ingin memberikan isyarat bahwa inilah perbuatan para sahabat menetapkan Aqidah dengan hanya menerima riwayat mutawatir, bukan dengan riwayat ahad contohnya penetapan bacaan Al-Quran. Sehingga beliau berkata:” jadi temanya adalah sama.”
    Demi Allah, jauh api dari panggang ! -Semoga Allah mengampuni kesalahan kami dan kesalahan Ustadz Muhammad taufik- Sudah jelas terdapat bukti-bukti yang kuat para sahabat menerima kabar ahad dalam penetapan aqidah sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab hadits. Dan hal ini jelas berbeda ceritanya dalam hal pengumpulan Al-Quran dimana Al-Quran telah banyak para sahabat yang menghafal seluruhnya maupun sebagiannya sehingga barangsiapa yang menyelisihi bacaan yang mereka sepakati tentulah bacaannya itu 100% keliru karena lupa atau ayatnya yang telah dihapus. Allahu Akbar Wa lillahil hamd.
    Wajib Taslim (menyerahkan diri ) dan tunduk terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya dalam penerimaan Hadits Ahad dalam perkara hukum dan aqidah
    Inilah salah satu prinsip terpenting dari Manhaj Ahli sunnah wal Jammaah ’Tunduk kepada keputusan Allah melalui Kitabullah maupun melalui lisan Rasul-Nya (Al-Hadits), medahulukannya atas akal-akal manusia dan pendapat-pendapat makhluk di muka bumi ini ketika terlihat menyelisihinya.’ Dan inilah sebagian dari Iman, Allah Ta’ala berfirman :
    “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada rasul dan para pemimpin di antara kalian, maka jika terdapat perbedaan pendapat tentang sesuatu di antara kalian maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS. Al-Nisaa : 59)
    Allah Ta’ala berfirman :
    “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. ( QS. An-Nisaa’: 65)
    Allah Ta’ala berfirman :
    “Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan : “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.“ (QS. An Nur : 51)
    Bila begitu, marilah kita tunduk kepada aturan dan keputusan Allah di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Sami’na wa Atho’naa.
    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
    “Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan(thaifah) di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. Al-Taubah : 122)
    Firman Allah ”beberapa orang(thaifah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” yakni Allah memerintahkan para sahabat dan umat Islam untuk tafaqquh fiddin (belajar agama). Dan yang dimaksud dengan tafaqquh fiddin (belajar agama) adalah mendengarkan Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah dan telah Bersabda Rasulullah). Dan begitu juga firman Allah ”dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” adalah mengajarkan agama dengan perkataan Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah (Al-Quran) dan telah Bersabda Rasulullah (Sunnah)). Karena yang dimaksud dengan ilmu agama pada hakikatnya adalah Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah dan telah Bersabda Rasulullah). Allah Ta’ala berfirman :
    ”Dialah (Allah) yang telah mengutus kepada kaum umiyyun(buta huruf) seorang rasul yang berasal dari kaum mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab(Al-Quran) dan Hikmah (Sunnah) padahal mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Al-Jumuah : 2)
    Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang. Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
    “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)
    Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas (Fathul Bari 13/231).
    Jika perkataan satu orang yang berkaitan dengan masalah agama dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa Allah Ta’ala membolehkan berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum. Dan di dalam belajar agama tidak hanya akan dikatakan telah berfiman Allah akan tetapi juga akan dikatakan telah bersabda Rasulullah. Dan barangsiapa yang menyatakan ayat ini membolehkan pengajaran agama mengenai aqidah hanya sebatas tabligh bukan termasuk pula periwayatan hadits mengenai penetapan aqidah maka kami berlepas diri dari hujjah mereka yang ganjil itu.
    Allah berfirman :
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)
    Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))(Tafsir Al-Syaukhani 5/60).
    Mafhum mukhalafah(pemahaman kebalikan)-nya ”Jika datang kepada kalian orang yang adil maka terimalah berita yang ia bawa.” Ini menunjukkan Allah membolehkan menerima hadits dari seseorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat kepastian 100% terkecuali terbukti dengan jelas kekeliruannya (Hal ini senada dengan pendapat Syaikh Al-Albani pada karya beliau Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7).
    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
    “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’ : 59)
    Ibnul Qayyim berkata :
    “Umat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu.” (Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352.)
    Dan kami tambahkan, itu pun tidak perlu menghitung jumlah yang menyampaikan berita (hadits) mengenai keputusan Rasul-Nya terhadap suatu perkara yang dipersilisihkan entahkah masalah hukum apalagi aqidah.
    Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :
    1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para raja satu-persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun aqidah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah radhiallahu’anhu ke negara Najran (Shahih Bukhari 13/232.), Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu ke negara Yaman (Shahih Bukhari 3/261). Dihyah Al Kalbi radhiallahu ‘anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah (Shahih Bukhari 13/241), dan lain-lain.
    2. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah.”(Shahih Bukhari 13/232) Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.
    3. Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (Shahih Bukhari 13/232)
    Inilah Umar bin Al-Khathab radhiallahu anhu beliau tetap mengambil riwayat hadits (entahkah masalah hukum atau aqidah) dari seorang sahabat Anshar dan beliau tidak menentukan jumlah yang menyampaikannya padahal wahyu pada saat itu masih turun. Hal ini sekaligus membuktikan bahwasannya beliaupun menerima kabar ahad dari satu orang padahal beliau pernah enggan menerima kabar Fatimah binti Qais bukan karena sifatnya yang ahad tapi karena Umar mengira Fatimah binti Qais telah lupa, begitu juga kabar dari Abu Musa Al-Asyari bukan karena sifat ahadnya tapi karena takut manusia bermudah-mudahan menyatakan suatu kalimat adalah perkataan Rasul padahal masih berstatus Qila wa Qala (Katanya sih katanya). Inilah sunnahnya Umar salah satu sunnah dari kulafur rasyidin. Ia menerima hadits ahad tidak hanya dalam perkara hukum namun juga aqidah, Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam bersabda : “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin al-mahdiyin, pegang teguh dan gigitlah erat-erat…”(HR. Abu Dawud 5/13-15 No. 4067 dan Shahih Ibnu Majah 1/13-14 No. 40-41.)
    4. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memahami daripada orang yang mendengar.”(Musnad Ahmad, 6/96). Begitu juga dalam riwayat lainnya, Rasulullah bersabda :
    “Allah membaguskan seseorang yang mendengar sesuatu dariku selanjutnya dia menyampaikan (kepada orang lain) seperti halnya dia mendengarnya pertama kali, sebab banyak sekali orang yang menyampaikan lebih hafal dan lebih mengantongi dari pada mendengar”. (H.R Turmudzi)
    Dalam hadits tersebut Rasulullah menyatakan imraan (seseorang) dalam bentuk mufrad (satu orang), Rasulullah berkata maqalati (haditsku), ini mengisyaratkan beliau mengakui dan menetapkan sesuatu yang disampaikan satu orang ke orang lain dan terus menerus seperti itu yang berasal dari ucapan beliau tetap sebagai hadits dari beliau. Apalagi disini Rasulullah menyampaikan balasan keutamaan yang akan diterima orang tersebut. Maka konsekuensinya orang mendengar di zaman kita ini suatu hadits ahad yang shahih wajib baginya sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat) baik masalah hukum maupun aqidah karena hadits itu tetap dinyatakan sebagai hadits Rasulullah.
    Allah  berfirman :
    “….., maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS. An-Nuur (24): 63)
    Apakah ancaman ini hanya bagi para sahabat sedangkan kita tidak? Ataukah hanya dalam bentuk hadits mutawatir saja bila berbentuk Aqidah ataukah termasuk hadits ahad juga? Dan di dalamnya tidak ditemukan pembatasan seperti itu entahkah, di zaman sahabat maupun di zaman kita, entahkah dalam bentuk hadits mutawatir maupun hadits ahad tanpa membeda-bedakannya dalam permasalahan hukum dan aqidah. Inilah jalan para sahabat menerima hadits ahad dalam hukum dan aqidah, jalan mereka adalah jalannya kaum yang beriman (mukminin). Allah berfirman :
    “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ (4): 115)
    5. Abu Hurairah berkata:“Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia mendapatkan syafa’atmu pada hari kiamat?” Kemudian beliau bersabda:
    “Aku mengira bahwa tidak akan ada seorangpun yang menanyakan tentang hadits tersebut, selain engkau. Ini dikarenakan semangatmu dalam (mencari dan menghafal) hadits. Orang yang paling berbahagia dengan sayafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan La illaha illa Allah (tiada ilah (yang hak) kecuali Allah) secara ikhlas didalam hatinya atau dirinya. ”(HR. Bukhari 1/184 No. 97)
    Apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Abu Hurairah, Ini artinya Rasulullah menyatakan tidak semua sahabat yang mendapat berita hadits mengenai aqidah secara terperinci. Dan bahkan hadits ini sampai kepada kita tidak lain karena Abu Hurairah telah menyampaikannya walaupun ia seorang diri (kabar ahad), sebagaimana ia pernah berkata :”Kalau bukan karena dua ayat di dalam Kitab Allah tetulah aku tidak akan menyampaikan satu hadits pun. Kemudian ia membaca ayat: {Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan dari berbagaimacam penjelasan dan petunjuk …hingga firman Allah….yang Maha Penyayang}(HR.Bukhari no.115). Abu hurairah paham akan ayat itu bahwa walaupun ia hanya seorang diri saja yang mendengar hadits namun ia wajib menyampaikan hadits tersebut kepada kaum muslimin sebagai hujjah dalam hukum dan aqidah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian menyembunyikannya, maka Allah akan membelenggunya dengan belenggu dari api neraka pada hari kiamat nanti”(HR. Abu Dawud 4/67-68 No. 3658 dan Shahih Ibnu Majah 1/49 No. 210) apa yang dimaksud ilmu? Jelas ilmu itu adalah Qalallahu ta’ala wa Qala Rasulullah (Telah berfirman Allah dan telah Bersabda Rasulullah), barangsiapa yang menyembuyikannya dan tak mau menyampaikannya karena kabar ahad maka halal baginya neraka. Bila begitu tidak mungkin ada ancaman menyembuyikan ilmu walaupun hanya ia yang tahu sendiri akan ilmu lebih-lebih masalah aqidah lalu diancam dengan neraka kecuali ilmu yang sifatnya kabar ahad itu adalah hujjah dalam hukum dan aqidah. Karena salah satu tujuan disampaikannya ilmu adalah untuk menegakkan hujjah.
    Makna Zhann di dalam Al-Quran dan Hadits
    Lafazh Zhann yang terdapat didalam Al-Quran dan Hadits sifatnya ”Mustarakah”. Artinya dalam satu lafazh atau kata mempunyai lebih dari satu makna, sehingga lafazh zhann tidak dapat ditentukan maknanya kecuali dengan adanya qarinah(indikasi). Sebagaimana lafazh quru kadang berarti ”suci dari haidh” dan kadang berarti ”sedang mengalami haidh” tergantung dari qarinah yang menentukan pembicaraanya.
    Maka lafazh ”Zhann”tidak boleh hanya semata-mata diartikan dugaan antara keraguan dan keyakinan, dimana kemungkinan benarnya lebih kuat daripada kekeliruannya.
    1. Di dalam Kitab Allah, Zhann kadang berarti ”Yakin” atau ”Ilmu”.
    Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
    ”Sekali-kali jangan. Apabila nafas (se-seorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya):”Siapakah yang dapat yang menyembuhkan?”. Dan dia Zhannn (yakin) bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertaut betis(kiri) dengan betis (kanan).”(QS. Al-Qiyamah : 26-29)
    Berkata Imam Al-Qurthubi:”( dan dia Zhannn ) yakni ia manusia yakin,(sesungguhnya itulah waktu perpisahan),yakni akan waktu perpisahannya dengan dunia, keluarga, harta dan anaknya.”( Tafsir Al-Qurthubi)
    Begitu juga firman Allah Ta’ala:
    ”Sesungguhnya aku zhann(yakin), bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku” (QS. Al-Haaqqah :20)
    ”Dan Daud zhann (mengetahui) bahwa Kami mengujinya” (QS. Shaad :24)
    2. Kadangkala zhannn berarti ”Syak”(keraguan).
    Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
    ”Dan aku zhannn (ragu) hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu .”(QS. Al-Kahfi : 36)
    Berkata Imam Al-Qurthubi :’Pendapat dalam tafsir firman-Nya ta’ala : Dan ia memasuki kebunya sedangkan ia zalim terhadap dirinya, ia berkata : ”Aku zhann (kira) kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.” Allah Ta’ala mengingatkan :”Inilah orang yang telah Kami buatkan baginya dua kebun anggur dan ia memasukinya sedangkan dialah yang memilikinya lagi ia zalim terhadap dirinya sendiri, dan (makna) zalim terhadap diri sendiri : kekufurannya terhadap hari kebangkitan dan keraguannya terhadap hari kiamat, dan kelupaanya terhadap hari kembali kepada Allah Ta’ala”(Tafsir Al-Qurthubi)
    3. Kadangkala berarti ”Kadzib”(dusta).
    Sebagaimana Firman Allah Ta’ala :
    “Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya mengikuti zhann dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” [Al-An’aam : 116]
    Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsir terhadap ayat ini : ”Allah Ta’ala mengkabarkan tentang keadaan penduduk bumi yang berasal dari Bani adam bahwasannya mereka sesat, sebagaimana firman Allah Ta’ala: ”dan sungguh telah sesat orang-orang sebelum mereka yaitu kebanyakan orang-orang yang terdahulu” dan Firman Allah Ta’ala : ”dan kebanyakan mereka (tidak beriman) walaupun engkau sangat menginginkan mereka menjadi orang-orang yang beriman.” dan mereka didalam kesesatannya, mereka bukanlah termasuk orang yang yakin terhadap perkara mereka hanyasanya mereka di dalam zhann yang dusta dan perkiraan yang batil.(Tafsir Ibnu Katsir)
    Dan hal ini sesuai dengan hadits yang berasal dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda : :”Jauhilah oleh kalian Zhann maka sesungguhnya zhann itu sedusta-dusta perkataan (Mutafaqun ’alaihi)
    4. Dapat juga bermakna Tuhammah (Berprasangka).
    ” (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (QS. Al-Ahzab:10)
    5. Kadangkala juga zhann berarti ghalibatuzh-zhann (Dugaan yang kuat).
    Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
    ”Maka jika sisuami telah mentalaknya(sesudah talaknya yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lainnya. Maka jika ia(suami yang berikutnya) telah mentalaknya maka tidak ada dosa atas keduanya (bekas suami sebelumnya dengan isteri) untuk rujuk(menikah) kembali jika mereka berdua zhann (menduga dengan kuat) dapat menegakkan hukum-hukum Allah, itulah hukum-hukum Allah yang Dia telah menjelaskannya bagi kaum yang (mau) mengetahui ”QS. Al-Baqarah : 230)
    Berkata Imam Thabari :”Adapun firman-Nya ” jika mereka berdua zhannn(menduga dengan kuat) dapat menegakkan hukum-hukum Allah,…”, maka maknanya : jika mereka berdua betul-betul dapat diharapkan menegakkan hukum-hukum Allah ….. (hingga ia berkata ): dan berpendapat sebagian ahli ta’wil : jika mereka berdua zhann, maknanya adalah yakin. Namun makna tersebut kurang tepat, karena sesorang tidak akan tahu secara pasti apa yang akan terjadi kecuali hanya Allah Taála yang mengetahuinya.(Tafsir Thabari 4/598)
    Maka ayat ini menunjukkan secara jelas zhann yang dimaksud pada ayat ini bukan artinya yakin ataupun pula ragu, akan tetapi artinya ghalibatuzh-Zhann (dugaan terkuat).
    Berkata Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari:
    ”Kata zhann, adalah kata yang memiliki makna berlawanan. Menurut Abul Abbas (salah seorang ulama bahasa arab): hanyasannya zhann (dugaan) dan yakin dapat terjadi karena keduannya tergolong kata hati. Maka jika telah nyata dalil-dalil kebenarannya serta telas jelas tanda-tandanya, maka disebut yakin. Dan jika terdapat tanda-tanda keraguan dan terhapus tanda-tanda kebenaran, maka disebut kebohongan. Dan jika sama kuat antara tanda-tanda kebenaran dengan tanda-tanda keraguan, maka disebut syak, bukan yakin dan bukan pula kebohongan. (Al-Adhdaad karya Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari)
    Kadangkala zhann bermakna ilmu(pengetahuan) sebagaimana dalam hadits riwayat Usaid bin Hudhair ”dan kami zhann bahwa ia tidak mendapatkan atas keduanya” (kami zhann) yaitu Alimnaa (kami mengetahuinya).(Lisanul Arab 13/273).
    Makna zhann tidak dapat ditentukan kecuali dengan adanya qarinah.
    Adapun zhann yang Allah cela didalam Al-Quran berdasarkan qarinahnya adalah zhann yang berupa waham(taksiran), takharush, takhmin, kebohongan dan berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu.
    Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
    “Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi tentulah mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka itu kecuali hanya mengikuti zhann dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” [Al-An’aam : 116]
    Dan juga firman-Nya Ta’ala:
    ”Kalian tidak mengikuti kecuali zhann, dan kalian tidak lain hanya berdusta.”(QS. Al-An’am : 148)
    Makna zhann disini adalah (perkiran yang) dusta karena qarinahnya pada kalimat ”dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” Huruf waw (dan) disini berfungsi menggabungkan kata secara mutlak, dan menunjukkan adanya musyarakah (persekutuan) dalam hukum antara kalimat sebelumnya ”Kalian tidak mengikuti kecuali zhann” dengan kalimat sesudahnya” dan mereka tidak lain hanyalkah berdusta.” Maka itu Allah berfirman :
    ”Dan mereka berkata :”Jikalau Al-Rahman (Allah) menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka(malaikat)”. Tidaklah mereka mempunyai ilmu sedikitpun tentang hal itu kecuali mereka hanya berdusta”(QS. Al-Zukhruf : 20)
    Hal ini sesuai dengan hadits :”Jauhilah oleh kalian zhann maka sesungguhnya zhannn itu sedusta-dusta perkataan (Mutafaqun ’alaihi).
    Berkata Imam Al-Qurthubi zhann disini adalah tuhmah (perkiraan) yang tidak ada sebab(bukti) padanya sebagaimana orang yang menyangka orang lain melakukan kekejian tanpa ada sesuatu yang tampak (bukti) atas apa yang ia tetapkan (sangkaannya itu) (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathulbari,17/231)
    Berkata Ibnu Hajar : ”Menunjukkan bahwa zhann yang dilarang adalah zhann yang tidak ada sandarannya yang bisa ia bersandar padanya (seperti persangkaan belaka tanpa bukti yang kuat atau masih pada tingkat keraguan apalagi di bawahnya-pen), akan tetapi (bila) ia malah bersandar padanya dan menjadikannya sebagai dasar dan memastikan dengannya, maka memastikan padanya adalah suatu kedustaan, dan hanyasanya menjadi dusta yang paling dusta. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathulbari,17/231)
    Zhann pada ayat-ayat dan hadits tersebut bukan berarti ghalibatuzh-zhann (dugaan yang kuat) karena kalau yang dimaksud adalah ghalibatuzh-Zhann maka berdustalah para ahli ijtihad karena mereka ketika mentarjih beberapa pendapat kadang-kadang masih pada tataran ghalibatuzh-zhann.
    Begitu pula firman Allah Ta’ala :
    “Tidaklah mereka mengikuti kecuali hanya zhann dan apa yang diingini ole hawa nafsu mereka.”(QS. Al-Najm : 23)
    Zhann dalam ayat ini berdasarkan qarinahnya adalah persangkaan yang didasarkan hawa nafsu.
    Al-Alusi mengatakan :”Zhann disini adalah tawahum(keraguan).”(Tafsir Ruhul Ma’ani).
    Karena tawahum itu adalah zhann marjuh (zhann lemah) yang didasarkan pada keinginan hawa nafsu.
    Juga firman Allah Ta’ala :
    “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya zhann (persangkaan) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”(QS. Yunus :36)
    Berkata Abu Ja’far:”Sesungguhnya syak itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(Tafsir Thabari)
    Berkata Ibnu Katsir: ”Hanyasanya Zhann mereka, yaitu tawahum(keraguan) dan takhayul, yang demikian itu tidak berguna bagi mereka.”(Tafsir Ibnu Katsir)
    Berkata Abul Laits Al-Samarqandi :”Sesungguhnya Zhann, yakni apa yang dilemparkan/dihembuskan syaithan pada wahm(sangkaan keraguan) mereka.(Tafsir Samarqandi)
    Allah berfirman Ta’ala:
    ”Dan jika dikatakan sesungguhnya janji Allah adalah benar dan hari kiamat tiada keraguan padanya, kalian malah berkata:”kami tidak mengetahui apa itu hari kiamat, tidaklah kami kecuali kami hanya zhann dan kami bukanlah orang yang menyakininya (Al-Jatsiyah : 32)
    Berkata Ibnu Katsir (tidaklah kami kecuali kami hanya zhann), yakni tidaklah kami terhadap terjadinya kecuali sebatas tawahum(keraguan).(Tafsir Ibnu Katsir)
    Allah berfirman Ta’ala :
    ”Dan sebagian mereka adalah orang-orang yang buta huruf mereka tidak mengetahui Al-Kitab kecuali hanya cerita-cerita dongeng belaka dan tidaklah mereka kecuali hanya zhann (QS. Al-Baqarah:78)
    Berkata Mujahid :”Dan tidaklah mereka kecuali hanya zhann”, yaitu mereka berdusta.(Tafsir Ibnu Katsir)
    Allah berfirman Ta’ala :
    ”Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali hanya zhann , mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa. (QS. An Nisa : 157)
    Berkata Ibrahim bin Umar Al-Baqai :”(kecuali mengikuti zhannn) yaitu mereka memaksakan diri untuk naik dari derajat syak(ragu) ke derajat zhann(dugaan), dan ungkapan pengecualian (lakin-akan tetapi) kedudukannya memutuskan sebagai petunjuk bahwa keadaan mereka sebagaimana yang mereka klaim telah membunuhnya (Isa bin Maryam) pada hakikatnya hanya keraguan yang mereka paksakan untuk naik kederajat zhann, kemudian mereka pastikan, lalu jadilah hal itu mutawatir diantara mereka (bahwa mereka telah membunuh Isa), maka tiada kaum yang lebih bodoh dari mereka.”(Nazham Al-Durar)
    Maka zhann disini adalah syak bukan zhann dengan sifat kuatnya salah satu dari dua kondisi, karena hakikatnya mereka ragu, dan mereka hanya memaksakan diri untuk zhann tanpa ada-ada bukti yang menguatkan zhann mereka. Zhann yang hanya sebatas paksaan diri mereka bukan karena terdapat tanda-tanda yang bisa menaikan keraguan mereka ketingkat zhann yang sebenarnya.
    Berkata Imam Syaukani : “Tidaklah dikatakan mereka mengikuti zhann yang meniadakan keraguan, sebagaiamana yang dikabarkan Allah bahwa mereka dalam kondisi tersebut, karena yang dimaksud (zhann) disini adalah keraguan : yaitu keadaan ragu-ragu sebagaimana yang telah kami sampaikan, dan zhann adalah bagian darinya(keraguan), dan bukanlah maksud disini (zhann) adalah penguatan dari salah satu kondisi (antara ragu dan yakin).” (Tafsir fatul qadir)
    “Tidaklah mereka memiliki pengetahuan kecuali zhann sebagai pengecualian, yakni : akan tetapi mereka hanya mengikuti zhann yang merupakan takhayul (sangkaan)mereka terhadapnya. (Tafsir Jalalain)
    Berkata Ibnu Katsir:“Orang yahudi yang mengklaim bahwa mereka telah membunuhnya (Isa) dan juga orang yang menyerahkannya (yang disangka Isa), mereka semuanya dalam keraguan, bingung, sesat, dan gila. Karena itulah (dan tidaklah mereka yakin membunuhnya) yakni : “Mereka tidak yakin telah membunuh Isa akan tetapi mereka syak (ragu) lagi bimbang. “ (Tafsir ibnu katsir hal 103)
    Ustadz Muhammad Taufik mengartikan zhann kaum yahudi tersebut dengan zhannurrajih atau ghalibatuzh-zhann(dugaan terkuat ) sebagimana ucapan beliau :”Yang menimbulkan keraguan (syak) pada mereka adalah mereka kehilangan satu orang yang mereka kepung dan tangkap, sehingga ada kemungkinan yang tidak tertangkap itu adalah Isa. Kemudian mereka punya bukti/alasan kuat bahwa orang yang mereka salib adalah Isa karena wajahnya persis wajah Isa, dan karena wajah seseorang hampir bisa dipastikan tidak akan berubah jauh, maka mereka menduga kuat/hampir memastikan bahwa yang mereka salib adalah Isa. (Al Qur’an menyebut ini dengan (dzan). Namun mereka masih tidak bisa memastikannya karena walaupun wajahnya wajah Isa tetapi tubuhnya bukan tubuh Isa, ditambah lagi ada satu orang yang tidak bisa mereka tangkap.” (Kedudukan Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah, Muhammad Taufik N.T.)
    Pendapat beliau , “Kemudian mereka punya bukti/alasan kuat…….. maka mereka menduga kuat/hampir memastikan”, persis sama dengan pendapat Zamkhsyari.
    Berkata Zamakhsyari (jika engkau bertanya): ”Mengapa mereka disifati dalam keadaan syak(ragu ) dan syak artinya tidak dapat menguatkan antara dua kondisi (benar ataukah salah)? Lalu mereka disifati dengan zhann sedangkan zhann adalah kuatnya salah satu dari dua kondisi, maka bagaimana mungkin mereka dari orang yang ragu menjadi orang yang zhann? Aku (Zamakhsyari) menjawab: aku maksudkan mereka syak yang mana tiada ilmu sedikitpun, akan tetapi ketika tampak tanda-tandanya bagi mereka, maka mereka zhann. (Tafsir al-Kasyaf)
    Namun pendapat tersebut tidak bisa dibenarkan karena tidak ada dalil dari Al-Quran ataupun hadits sebagai qarinah yang menentukan makna zhann seperti ungkapan Ustadz Taufik maupun Zamakhsyari. Sehingga kembali ke keadaan semula yaitu zhann disini adalah syak bukan zhannurrajih berdasarkan qarinah dari kalimat “mereka benar-benar dalam syak( keragu-raguan) tentang yang dibunuh itu..” (QS. An Nisa : 157)
    Kesimpulannya zhann yang Allah cela adalah zhann yang marjuh (lemah) dalam bentuk syak, wahm, takhmin, tuhmah, takhayul, dan sebagainnya berdasarkan qarinah-qarinahnya.

    Apakah aqidah dapat dibangun diatas zhannurrajih?
    Para ulama yang menyatakan bolehnya aqidah dibangun diatas zhannurrajih berhujjah dengan pendapat bahwa zhann yang Allah cela dan haram di-ikuti adalah zhann marjuh.
    Al-‘Alaamah ahli hadits negeri Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I rahimahullah berkata : “Al-Shan’ani ketika menta’liq Kitab “Al-Muhalla” (karya Ibnu Hazm) pada ucapan Ibnu Hazm sebelumnya (sesungguhnya (hadits ahad) berfaedah ilmu-pen), ia berkata : “Sesungguhnya (hadits ahad-pen) memberikan faidah zhann”, lalu ia berdalil dengan hadits (Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali ia dalam keadaan berbaik sangka (husnuzhzhann) kepada Allah ta’ala),” ia berkata “Tidak semua zhann itu dibenci”, karena Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah ta’ala : :“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya zhann(persangkaan) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”(QS. Yunus :36). Berkatalah Al-Shan’ani : “makna zhann disini(ayat ini) adalah syak”(Al-Muqtarah, hal. 65)
    Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika ditanya apakah cukup di dalam permasalahan ushuluddin berpegang dengan ghalibatuzhzhann? Beliau rahimahullah menjawab: “Yang benar adalah dengan perincian……..dan menjadi ketetapan syariat bahwasannya kewajiban tergantung dengan kemampuan hamba, sebagaimana firman-Nya :
    ” Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”(QS. Al-Taghabun: 16)
    Dan juga sabda Rasul ’Alaihissalam
    “Jika aku perintahkan kalian pada suatu perkara maka laksanakan semampu kalian”(Dikeluarkan di dalam Shahihain).
    Di kalangan umat banyak sekali terjadi perselisihan pendapat pada permasalahan-permasalahan yang mendalam, kadang bagi sebagian manusia perkara tersebut samar, ia tidak mampu dalam perkara tersebut berdalil dengan dalil yang mendatangkan keyakinan, entahkah dalam perkara syari maupun yang lainnya, maka tidak wajib baginya (memaksakan diri mencari dalil yang yakin) dalam perkara seperti ini selama ia tidak mampu, dan bukan berarti ia harus meninggalkanya (perkara yang dibangun di atas dalil zhann), orang yang beritiqad berdasarkan pendapat ghalibatuzh-zhann (dugaan yang kuat) karena ia lemah untuk mencapai derajat yakin, bahkan sebenarnya ia mampu (sebatas ghalibatuzh-zhann) apalagi bila hal itu sesuai dengan keyataan. Itiqad yang sesuai dengan kenyataan mendatangkan manfaat kepada pemiliknya, ia mendapat pahala, dan gugur kewajiban baginya, walaupun ia tidak bisa lebih dari itu (berdalil dengan dalil yang membawa ilmu atau yakin). (Majmu al-fatawa, 3/ 312-314)
    Pada kesempatan lain beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :”Maka jika dikatakan :’Kabar-kabar ini diriwayatkan secara perorangan (ahad) bukan masyhur dan tidak pula merupakan hadits yang populer (syuhrah) maka tentunya tidak dapat mendatangkan ilmu sedangkan permasalahan yang dibahas adalah perkara ilmiyyah. Kami jawab;”Yang pertama, orang yang mengatakan bagaimana mungkin padahal dalam penetapan perkara ini harus mutlak yakin yang tidak mungkin ada pembatalnya? (Beliau menjawab) bahkan cukup dengan zhannulghalib(dugaan terkuat) dan hal itu telah menghasilkan (penetapan perkara). Lalu apakah yang dimaksud dengan perkatannya : ilmiyyah ? Apakah yang yang dimaksud adalah tidak adanya ilmu ? Maka ini sesuatu yang tak perlu dibantah. Akan tetapi setiap akal yang rajih (kuat) bersandar pada dalil maka sesungguhnya itulah ilmu walaupun sebagian orang tidak menyebutnya sebagai ilmu kecuali bila dalam keadaan yakin dan tidak diterima pembatalnya, dan Allah telah berfirman :”Maka jika kalian mengetahui mereka (wanita-wanita yang hijrah dari mekkah) telah beriman..”(QS. Al-Mumtahanah ; 10)
    Dan telah terpenuhilah pendapat (penetapan dengan dalil ghalibatuzh-zhann) mengenai hal itu pada perkara selainnya(dalam pembicaraan ayat itu), maka jika yang diinginkan ilmiyah hendaknya sesuatu yang ditetapkan dalam keadaan yakin, maka ini perndapat yang laghwu (keliru) tidak ada dalilnya. Andaikata pendapat seperti itu benar tentulah (diharuskan) imsak (menahan diri) dari membicarakan setiap perkara yang tidak berdasarkan dalil yang mendatangkan ilmu( hanyan zhann semata-pen) kecuali dengan keadaan kepastian yakin,(akan tetapi) hal itu merupakan pendapat yang keliru secara jelas ”(Mamjmu Al-Fatawa, 1/375)
    Ayat yang dimaksud beliau rahimahullah:
    ”Hai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian wanita-wanita yang beriman yang berhijrah, hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allahlah yang lebih mengetahui keimanan mereka. Maka jika kalian mengetahui mereka telah beriman janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir..”(QS. Al-Mumtahanah ; 10)
    Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan diuji adalah mengucapkan dua kalimat syahadat.(Tafsir Thabari)
    Maka itu Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam bersabda :
    ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat tiada sembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat, membayar zakat, jika mereka melakukan itu semua terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak islam sedangkan hisab (benar atau tidaknya keislaman dan keimanan-pen) mereka dikembalikan kepada Allah (yang lebih mengetahuinya).(HR. Bukhari dan Muslim)
    Maka firman-Nya: ”Maka jika kalian mengetahui mereka telah beriman” kata mengetahui maksudnya dengan ghalibatuzhzhann(dugaan yang kuat) secara zhahir atas ucapan dan tingkah laku akan keimanan mereka dan tidak harus secara pasti mengetahui kebenaran iman mereka. Maka itu firman-Nya ” Allah lebih mengetahui keimanan mereka” yaitu mengetahui hakikat benar ataukah dustanya keimanan mereka sebagai bentuk kepastian. Sehingga sesuai dengan sabda rasul ”sedangkan hisab(benar atau tidaknya keislaman dan keimanan-pen) mereka dikembalikan kepada Allah (yang lebih mengetahuinya)”. Jadi perkara yang besandar pada dalil ghalibatuzh-zhann bagian dari ilmu berdasarkan ayat tersebut. Allahu A’alam walhamdulillah.
    Menghapus kebimbangan dalam penerimaan hadits ahad yang shahih di dalam aqidah
    Alasan mereka yang menolak untuk menetapkan perkara aqidah dengan hadits ahad karena kebimbangan mereka terhadap syah atau tidaknya hadits ahad dijadikan hujjah di dalam aqidah. Menurut mereka hadits ahad tidak dapat diterima dalam perkara aqidah karena sifatnya yang masih zhannni artinya masih adanya kemungkinan terdapatnya kedustaan atau kekeliruan dari si perawi hadits, padahal aqidah menurut mereka harus dibangun diatas dalil yaqini.
    Jawaban :
    Yang pertama harus diketahui adalah apakah Allah dan Rasul-Nya menolak hadits ahad untuk diterima di dalam penetapan perkara aqidah ?
    Bila dijawab ”ya menolak ” karena hadits ahad bersifat zhannni sedangkan Allah berfirman :
    ”Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai ilmu padanya.”(QS. Al-Israa: 36)
    Jawaban :
    Bila seperti itu, bagaimanakah dengan sahabat yang pada saat ayat ini diturunkan sedangkan mereka tetap menerima hadits ahad dalam perkara aqidah yang mereka dapatkan dari sahabat lainnya sedangkan Rasulullah masih bersama mereka? Artinya perbuatan sahabat menerima dan saling menyampaikan hadits ahad dari Rasul adalah bagian dari pada mengikuti ilmu karena para sahabatlah yang mengetahui tafsir dari ayat itu dan perbuatan mereka adalah perbuatan yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Dan menyampaikan hadits ahad serta menerimanya baik dalam perkara hukum maupun aqidah yang dilakukan oleh generasi berikutnya adalah perbuatan mengikuti ilmu. Dan para sahabat tidak pernah sama sekali membahas apakah hadist ahad itu memberikan faedah zhann ataukah ilmu?
    Jika dikatakan ”Sesungguhnya hadits yang disampaikan oleh sahabat kepada sahabat lain masih segar, dan jarak masa kehidupan mereka masih dekat dengan kehidupan Rasul sehingga bisa diterima hadits ahad yang mereka sampaikan karena dapat dijamin ke-ontetikannya (keasliannya).”
    Jawab :
    Apakah ini berarti para sahabat bisa dijamin mereka 100 % tidak lupa ataukah mereka juga bisa lupa seperti kita di mana kabar ahad yang mereka sampaikan kepada sahabat lainnya (sebagaimana pendapat kalian) dihukumi dengan membawa faedah zhann tidak membawa faedah ilmu karena jumlah penyampainya tidak setingkat mutawatir? Padahal kita telah mengetahi lupa dan keliru menyampaikan hadits juga dapat terjadi pada mereka contohnya Umar enggan menerima hadits mengenai tidak adanya hak nafkah dan tempat tinggal pada masa idah bagi wanita yang ditalak bain kubra dari Fatimah binti Qais. Karena menurut Umar, Fatimah lupa. Begitu pula Aisyah ketika menyatakan bahwa apa yang disampaikan Ibnu Umar adalah keliru mengenai azab bagi mayit yang ditangisi keluarganya dan Aisyah menyatakan kemungkinan Ibnu Umar lupa atau keliru. Namun, apakah hal ini menghalangi para sahabat untuk menerima hadits ahad dari sahabat yang lain ketika mereka tidak menemukan cacat di dalam agamanya, atau tidak terbukti kekeliruanya, tidak terbukti kelupaanya atau kata lainnya mereka tidak meragukan ketelitiannya dalam menyampaikan hadits? Jelas tidak. Ini artinya apa yang berlaku menurut syariat bagi sahabat maka berlaku pula bagi generasi selanjutnya, padahal generasi sahabat adalah generasai percontohan (teladan). Maka barangsiapa yang menyatakan hal itu hanya berlaku bagi generasi sahabat saja tolong datangkan dalil dari Kitabullah dan Sunnah yang membatasi hal itu.
    Ketahuilah, metoda penetapan suatu hadits shahih atau bukan, diterima atau ditolak yang dilakukan oleh ahli hadits di setiap zaman di dasarkan pada Al-Quran, Al-Sunnah, perbuatan para sahabat dan Ijma. Syarat hadits itu shahih sebagaimana yang disepakati ahli hadits yaitu:
    1. Perawi hadits (penyampai berita) adalah orang yang adil (bukan orang fasik) agama maupun kehormatannya. ”
    Allah berfirman :
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)
    Mafhum mukhalafah(pemahaman kebalikan)-nya ”Jika datang kepada kalian seorang yang adil maka terimalah berita yang ia bawa.” Dan hal ini berlaku baik penyampaian berita masalah dunia maupun agama termasuk penyampaian hadits Rasul. Dan tidak ada pembatasannya jumlah yang menyampaikannya kecuali dengan dalil. Silakan dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai firman Allah pada surah Al-Taubah ayat 122.
    2. Perawi dhabith( daya hafal kuat).
    Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Umar terhadap hadits yang disampaikan Fatimah binti Qais yang meragukannya karena menurut Umar, Fatimah lupa. Adapun perawi yang sering lupa jelas hal ini menyebabkan apa yang disampaikannya membawa keraguan maka patut untuk tidak diterima kecuali ada syawahid(penguat) dari jalur perawi yang lainnya dengan kriteria yang telah ditentukan dalam ilmu hadits.
    3. Bersambungnya sanad dari perawi tsiqah (yang adil lagi dhabith), dari perawi yang semisalnya sampai keakhir sanad yaitu Rasulullah.
    Sehingga hal ini dijamin seorang perawi tidak menyampaikan perkataan yang tiada dasarnya atau qiila wa qaala(katanya sih katanya) atau kabar burung. Hal ini sebagaimana perbuatan Umar dimana ia berkata : “Sesungguhnya aku tidak menuduhmu(berdusta) akan tetapi aku takut manusia akan seenaknya berkata-kata tentang (hadits) Rasulullah shalaullahu ‘alaihi wasallam.“( Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa 1/145).
    Mujahid berkata:”Busyair Al-’Adawy mendatangi Ibnu Abbas, ia menyampaikan hadits dan ia berkata : ”Telah bersabda Rasulullah shalaullahu ’alihi wasallam, dan telah bersabda Rasulullah shalaullahu ’alihi wasallam”, maka Ibnu Abbas tidak mendengarkan dan memperhatikan terhadap haditsnya yang ia sampaikan. Maka ia lalu berkata kepada Ibnu Abbas: ”Wahai Ibnu Abbas apa yang terjadi padamu, aku tidak melihatmu mendengarkan haditsku, aku mengabarkan hadits dari Rasulullah shalaullahu alaihi wasallam ? Maka Ibnu Abbas menjawab :”Pada suatu kali, bila kami mendengar seseorang berkata telah bersabda Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam, maka bersegeralah mata-mata kami dan telinga-telinga kami memperhatikannya, namun tatkala manusia mengikuti shu’ba(kesukaran/hawa nafsu) dan kehinaan maka kami tidak akan menerima hadits dari manusia kecuali orang yang kami kenal.” (Diriwayatkan Imam Muslim dalam muqadimah shahihnya) Ini menunjukkan pertanyaan tentang isnad telah dilakukan pada pertengan abad pertama hijiriyah ketika merebaknya kebohongan di zaman Ibnu Abbas(beliau wafat 64 H). Begitu pula yang dinyatakan Ibnu Sirin (wafat 110 H) : ”Mereka tidak menanyakan isnad, namun tatkala terjadi fitnah (salah satunya kebohongan-pen), maka mereka berkata :’Sebutkan nama rijal-rijal(perawi-perawi)kalian, maka ditelitilah bila ia berasal dari ahli sunnah maka diterimalah haditsnya dan bila ia dari ahli bid’ah maka tidak diterima haditsnya.” (Diriwayatkan Imam Muslim dalam muqadimah shahihnya)
    Berdasarkan atsar tersebut para sahabat tidak berpatokan pada jumlah perawi namun berpatokan pada kredibilitas perawi walaupun seorang diri dalam meriwayatkan hadits.
    4. Tidak ada syadz.
    Yaitu tidak menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya, atau tidak menyelisihi sejumlah tsiqah yang lainnya dalam beritanya. Ini menunjukkan ke-otentikkannya(ke-aslinya) berita di mana dari cara ini dapat diketahui bila terdapat kekeliruan periwayatan. Ini juga telah ditunjukkan oleh ’Aisyah terhadap kabar Umar dan putranya Ibnu Umar terhadap hadits disiksanya mayit karena tangisan keluarganya. Karena menurut ’Aisyah hadits yang ia dengar lebih kuat dan langsung dari suaminya Rasulullah shalaullahu’alaihi wasallam.
    5. Tidak ada Illat(cacat yang samar) yang merusak keshahihannya walaupun nampak secara zhahir hadits itu selamat dari kerusakan.
    Dari kelima keriteria tersebut kami tidak menemukan khilaf dikalangan ahli hadits kecuali hal ini menurut kami ijma(kesepakatan) ahli hadits, bukan kesepakatan ahli kalam/filsafat. Sedangkan ijmanya ahli hadits adalah ijmanya ummat dalam menukil riwayat dari Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam, karena Allah berfirman :
    ”Maka bertanyalah kalian kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS.Al-Anbiya:7 )
    Maka siapakah ahli ilmu dalam masalah hadits diterima atau ditolak? Tentu mereka adalah ahli hadits. Maka ummat wajib mengikuti mereka dalam menukil hadits.
    Kebimbangan didasarkan pada prasangka mereka dalam bentuk ucapan ”Bisa jadi hadits itu tidak benar” atau ”Masih ada kemungkinan hadits itu keliru” atau bahkan dikalangan mereka dengan suara percaya diri mengatakan siapa yang bisa menjamin hadits ahad itu 100% pasti kebenarannya. Maka kebimbangan seperti itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama.
    Rasulullah bersabda :”Seandainya setiap pengaduan manusia diterima, niscaya setiap orang akan mengadukan harta suatu kaum dan darah mereka, karena itu (agar tidak terjadi hal tersebut) maka bagi pendakwa agar mendatangkan bukti dan sumpah bagi yang mengingkarinya“. (HR. Baihaqi)
    Wajib bagi orang yang menolak hadits ahad dalam perkara aqidah mendatangkan bukti bahwasanya hadits ahad yang shahih itu tidak benar dari Rasulullah. Bila tidak ada maka wajib bagi mereka diam dan menerima keputusan Allah dan Rasul-Nya untuk menerima hadits ahad dalam perkara aqidah. Bukan dengan perkataan bisa jadi atau kemungkinan.Apalagi telah jelas nyata-nyata tidak sedikitpun didapatkan larangan akan haramnya menetapkan perkara aqidah dengan hadits ahad bahkan yang ada malah ancaman bagi orang yang menyembunyikan ilmu walaupun dalam bentuk hadits ahad. Artinya tidaklah si penyembunyi ilmu diancam kecuali ilmu itu merupakan hujjah bagi orang yang mendengarnya baik dalam bentuk hadits mutawatir maupun hadits ahad baik dalam perkara aqidah maupun hukum.
    Andaikata masih ragu akan hal itu camkanlah perkataan Imam Nawawi : ”Dan akal tidak menghalalkan beramal dengan hadits ahad akan tetapi syariat mewajibkan mengamalkannya, maka wajib berjalan pada syariat tersebut.” ( Syarah Shahih Muslim, 1/64)
    Ya, andaikata benar hadits ahad itu mutlak membawa zhannn sebagaimana pendapat Imam Nawawi, namun tetap wajib mengamalkannya dalam bentuk perkara aqidah maupun hukum walaupun akal-akal kita meragukannya. Karena nash dari Kitabullah maupun Sunnah didahulukan dari pada akal-akal kita yang lemah. Allah Ta’ala berfirman :
    “Wahai orang-orang yang beriman janganlah engkau mendahului Allah dan Rasul-Nya”(QS.Al-Hujurat : 1)
    Mendahulukan akal atas nash adalah sebab kesesatan. Allah Ta’ala berfirman :
    “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ [Al Ahzab :36].
    Dan berhati-hatilah dengan kata-kata ”kemungkinan” tanpa ada bukti terhadap para perawi hadits ahad, Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam bersabda :”Jauhilah oleh kalian zhann(persangkaan buruk) maka sesungguhnya zhann itu sedusta-dusta perkataan.” (Mutafaqun ’alaihi). Segala puji bagi Allah.
    Barangsiapa yang menolak hadits ahad dalam perkara aqidah maka berhati-hatilah akan jatuh dalam kesesatan. Rasulullah shalaullahu ’alaihi wasallam bersabda : “Wahai ummat sekalian, sesungguhnya telah kutinggalkan kepada kalian suatu hal yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, maka niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu kitabullah dan sunnahku” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/93 dan dishahihkan serta disepakati oleh Adz-Dzahabi)
    Yang dimaksud Sunnahku oleh Rasulullah adalah seluruh hadits yang shahih baik dalam bentuk mutawatir maupun dalam bentuk ahad. Baik dalam bentuk perkara hukum maupun dalam perkara aqidah. Barangsiapa yang mengecualikan sunnah yang dimaksud Rasulullah itu hanya sebatas hadits mutawatir saja dalam perkara aqidah tidak masuk di dalamnya hadits ahad tolong datangkan dalil dari ucapan Rasulullah sebagai pengecualiannya.
    Allah  berfirman :
    “….., maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS. An-Nuur (24): 63)
    “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ (4): 115)
    Berkata Imam Nawawi :”Allah enggan untuk menyempurnakan suatu kitab kecuali kitab-Nya saja.” Kami akui tidak ada gading yang tak retak. Apabila ada kekeliruan dalam tulisan ini kami sebagai hamba yang faqir akan ampunan-Nya dan pertolongan-Nya akan rujuk kepada Al-Haq. Allahlah tempat meminta pertolongan.
    Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad berserta keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah.

    Poso, sabtu pagi 12 Muharam 1432H bertepatan 18 Desember 2010

    Suka

    • wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarokaatuhu.

      Jazakallahu khairan atas tulisan dan komentarnya yg panjang. Kalau antum baca komentar2 sebelumnya sepertinya terulang-ulang. Sekali lagi tema pembahasan ini bukannya percaya thd khabar ahad atau tidak, namun temanya adalah APAKAH KHABAR AHAD MENJADI HUJJAH DLM MASALAH AQIDAH dengan kata lain APAKAH KHABAR AHAD CUKUP UNTUK MENJADI ALASAN MENYATAKAN SESEORANG MENJADI KAFIR/MURTAD? Inilah pembahasannya, sedang dari diskusi sebelumnya dan termasuk antum, masih membahas tema yg lain.

      Sebaiknya baca juga:

      Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul

      dan

      Fatâwa Al Azhar Tentang Khabar Ahad

      ‘afwan. yassarAllahu umuurokum

      Suka

  39. assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, semoga Allah memberikan taufiqnya kepada kami dan mas taufiq diatas Al-Haq, amin. mas taufiq insya Allah apa yang mas tanyakan akan saya jawab, namun saya nggak janji bisa secepat mas taufik nulis. dalam tulisan saya itu tidak ada satupun kalimat takfir, yang ada adalah kalimat sesat. ingat kalimat sesat bukan berarti selalu kafir, sebagaimana kata kafir ketika ada qarinahnya yang membedakan bukan berarti identik dengan kufur akbar. sikap saya terhadap hadits ahad yang shahih adalah mendatangkan ilmu yaqini, adapun pendapat ulama-ulama lainnya yang berpendapat bahwa hadits ahad sebatas zhan mutlak lalu mereka membangun diatasnya aqidah sebagaimana imam nawawi, Ibnu Abdil Barr, dan sebagainya ini menunjukkan mereka memahami pelarangan zhan didalam kitab dan sunnah adalah sebatas zhan marjuh bukan zhann rajih, ini berdasarkan firman Allah dan Sabda Rasul, bukan dari istilah atau definisi yang dibuat ahli ushul. artinya ketika akal mereka yang lemah berbenturan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka mereka hanya mengatakan sami’na wa atha’na. ingat mas, ini menurut ulama yang berpandangan bahwa hadits ahad shahih berfaedah zhan mutlak. saya hanya berharap, mas taufik lebih mendalami lagi manhaj ahlis sunnah yang benar. mas akan merasakan kenikmatan yang lebih dari Allah ketika mas taufiq telah berdiri diatas manhaj ahli sunnah, bukan manhaj As-ariyah, atau manhajnya kalangan NU. dan mas jangan terjebak dengan kata salafy bila mas dapatkan ada yang mendakwahkannya namun kurang beretika yang tidak sesuai diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. ya saya ngaku orang salafy juga namun saya bukan muqalid sama dengan para Tashnifiyyin(kaum mengklaim salafy namun etika tidak sopan dan tukang membidahkan kaum muslimin yang belum tentu tepat untuk ditabdi’). mas itu saja, sabar ya nanti saya balas mas, doakan saya mati diatas kemulian sebagai syhuda yang mewarisi surga firdaus yang tinggi amin, wassalamu’alaikum warrahmatullahiwabarakaatuh.

    Suka

  40. oh ya mas, apa yang mas suruh baca memang telah saya baca kok sebelum saya mengirimnya

    Suka

  41. mas komentarnya mas, sebelum komentar saya ini kok jadi nggak muncul, masalahnya saya mau kopi dulu, tolong mas kalau bisa komentar mas taufik terhadap makalah saya tersebut dimunculkan lagi ! terima kasih

    Suka

  42. ahmad junayd poso

    assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh, mas terima kasih semoga Allah membalas kebaikan kepada antum, atas ditampilkannya komentar yang saya minta. insya Allah akan saya jawab dengan tambahan yang diperlukan. mas saya mohon tulisan saya mengenai hadits ahad yang saya kirim, mas print saja dan dibaca , ya walaupun tulisan itu tidak sebagus tulisan mas taufik , tapi cuman mudah-mudahan bisa jadi referensi bagi mas taufik. mas boleh tidak saya nebeng tulisan diblog ini, kemungkinan atas kehendak Allah saya mau menulis mengenai kedustaan ungkapan semua agama itu sama. tulisan itu bermaksud untuk memnyatakan dustanya para tokoh pluralis. ya saya berharap mas terima sih. ya itu saja dari saya. insya Allah, sebentar lamalah saya kirim komentar saya mengenai pembahasan aqidah dan hadits ahad sebagai komentar lanjutan. jazakallah wassalamua’alaikum warahmatullahiwabarakaatuh.

    Suka

  43. wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarokaatuh. komentar saya sebelumnya tidak saya sembunyikan kok, untuk melihat klik saja Older Comments. diatas ada 60 an komentar, harap dibaca semua, supaya tidak mbolak-mbalik pembahasannya. Jazaakallahu khairan,

    Suka

  44. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh. semoga Allah memberikakan hidayah dan taufiknya kepada kami dan mas taufik. amiin.
    mas, Insya Allah dalam waktu kurang 2 minggu lagi jawaban yang mas minta mengenai kehujjahan hadit ahad akan saya terbitkan di blogspot saya http://www.minhajunnubuwah.blogspot.com dan saya kirim pula dikotak komentar mas taufik agar dapat di baca pengunjung. apa yang mas maksud perbedaan cara pandang memahami aqidah itu tidak benar dan akan saya buktikan sendiri dalam makalah tersebut. sekaligus membantah sebagian besar klaim mas taufik pada tulisan antum “kabar ahad dalam pandangan ulama ushul”termasuk kami membantah pula fatwa dari Syeikh Jadulhaq seorang ulama al-azhar. dan kami akan memuatkan pula pernyataan dari ulama ushul seperti Al-Bazdawi, Al-Asnawy, Al-Sarkhasi, Ibnu Abdil barr, Al-Shan’ani dan lainnya yang sedikit berbeda dengan klaim mas taufik. semoga hal itu memperjelas kekeliruan di sekitar kita. semoga Allah memperkuat persaudaraan kita diatas minhajunnubuwwah. amiin. wassalamu’alaikum warahmatullahiwabarakaatuh

    Suka

    • wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarokaatuh. amiin, ana tunggu, semoga dapat sesuatu yg baru, tidak mengulang pembahasan dalam komentar2 sebelumnya. Yang ana sampaikan dari Al-Bazdawi, Al-Asnawy, Al-Sarkhasi, Ibnu Abdil barr, Al-Shan’ani itu copy paste dari kitab mereka, bukan klaim ana pribadi. Silakan dirujuk kitabnya. Juga perlu diperhatikan objek pembahasan/tema yg mereka bahas, sehingga kita tidak salah memasang hujjah dalam pembahasan ini.baarokallahu fiik

      Suka

  45. Assalamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh,
    mas taufik semoga Allah memberikan hidayah kepada kami dan anda. alhamdulillah tulisan saya sudah selesai. judulnya Membangun Aqidah antara mendahulukan kaidah ushul madzhab atau nash. mas taufik bisa men-dowload http://www.ziddu.com/download/13802118/membangun aqidah antara mendahulukan kaidah ushul madzhab atau nash.doc.html
    mohon maaf saya tidak jadi memasukan kedalam kolom ini karena kurang bagus hasilnya. jadi bagi pembaca hendaknya mendownload pada link tersebut. semoga Allah memberikan taufik dan hidayah selalu kepada kita semua. amiin.

    Suka

    • wa’alaikumussalaam wrahmatullahi wabarokaatuhu.
      Terima kasih atas 48 halaman tulisannya, ana berharap antum juga merujuk kitab-kitab yang ana sampaikan, membaca dan menyimaknya dengan seksama, perhatikan jelas-jelas apa yang dikatakan para Ulama tersebut, bandingkan dengan yang antum kutip, dan pahami tema pembahasan mereka.

      1) Dari yang antum tulis, semakin jelas, bahwa yang antum maksud “sebagai hujjah” disini memang bukan dalam tema pembahasan IMAN DAN KAFIR, di halaman 9 antum tulis:
      ***
      “””Dan kami tidak mengingkari terjadinya perbedaan pendapat antara beberapa sahabat pada sebagian perkara aqidah seperti perbedaan masalah apakah Nabi shalaullahu ’alaihi wasallam melihat Allah Ta’ala dengan mata kepala ataukah tidak pada malam mi’rajnya”””
      ****
      Kalau memang yang antum maksud demikian, sudah berulang-ulang ana sampaikan–lihat diskusi dalam komentar sebelumnya–, ana sepakat bahwa khabar mutawatir maupun ahad memang bisa dijadikan hujjah dalam perkara apapun, baik “aqidah” maupun “‘amaliyah/syari’ah”.

      Perhatikan kembali penjelasan Imam Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl as-Sarkhasi, pada masanya digelari al-Imam al-Ajall az-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam), Wafat +- 490 H, bahwa tema yg mereka bahas adalah pembedaan Iman dan Kafir berkaitan dengan penolakan suatu dalil:

      وهو أنه لا يكفر جاحده، لان دليله لا يوجب علم اليقين، ويجب العمل به لان دليله موجب للعمل ويضلل جاحده إذا لم يكن متأولا بل كان رادا لخبر الواحد، فإن كان متأولا في ذلك مع القول بوجوب العمل بخبر الواحد فحينئذ لا يضلل،

      dan sesungguhnya tidaklah diKAFIRKAN orang yang mengingkarinya (khabarul wahid) karena dalilnya tidak mewajibkan ‘ilmu yaqin, dan wajib beramal dengannya karena dalilnya mewajibkan untuk di’amalkan…mengingkari khabar ahad (yang shahih/hasan) tanpa dia mendatangkan takwil dihukumi sesat, jika ada takwil atas pengingkarannya dan ia menyatakan wajibnya ‘amal dengan khabar wahid maka ia tidak dinyatakan sesat.
      selengkapnya di: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/03/khabar-ahad-dalam-pandangan-ulama-ushul/
      Baca pula: https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/04/30/perbedaan-antara-aqidah-dan-hukum-syara/

      2) Tidak ana komentarinya beberapa komentar antum sebelumnya karena memang antum membahas tema yang tidak ana bahas.

      3). halaman 5, antum tulis: “””Pertanyaan kita, apakah Ibnu Hazm (384-456 H) dengan kitab-nya yang monumental dalam ilmu Ushul yang berjudul Al-Ihkam Fii Ushulil Al-Ahkam tidak dikatakan sebagai salah satu ulama Ahli Ushul? …. “””
      ***
      Ana tidak pernah menyatakan Ibnu Hazm, apalagi Imam Syafi’i bukan ulama ushul.
      ketika rasululah bersabda:
      اصْبِرُوا ، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ
      Bersabarlah kalian semuanya, karena sesungguhnya tidak berlalu suatu zaman atas kalian kecuali zaman setelahnya lebih buruk dari zaman sebelumnya hingga kalian menjumpai Rabb kalian. (HR. Bukhory)
      Mungkin orang yang tidak faham juga akan berkesimpulan bahwa masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih buruk dari pada masa Al Hajjaj bin Yusuf yg terjadi sebelumnya.
      Ketika orang membaca di metrotv: “Kaum Perempuan Tuntut LSF Cabut ‘Arwah Goyang Karawang'”, maka tidak bisa difahami bahwa metro menuduh perempuan lain yg tidak menuntut sebagai BUKAN PEREMPUAN.

      4)Tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat (hal 10): Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad saja berbeda menyikapi hal ini, bukankah sudah ana tulis di komentar saat diskusi dgn akhi Ridwan (harap dibaca diskusi/komentar sebelumnya biar tidak mbolak-mbalik):
      Dialog ini terdapat dalam Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubro, 2/48, atau Fiqhus Sunnah 1/96 (Maktabah Syamilah)
      مناظرة في تارك الصلاة :
      ذكر السبكي في طبقات الشافعية أن الشافعي وأحمد رضي الله عنهما تناظرا في تارك الصلاة.
      قال الشافعي: يا أحمد أتقول: إنه يكفر؟ قال: نعم.
      قال: إذا كان كافرا فبم يسلم؟ قال: يقول: لا إله إلا الله محمد رسول الله.
      قال الشافعي: فالرجل مستديم لهذا القول لم يتركه.
      قال: يسلم بأن يصلي.
      قال: صلاة الكافر لا تصح، ولا يحكم له بالاسلام بها.
      فسكت الامام أحمد، رحمهما الله تعالى.
      ولكن كثيرا من علماء السلف والخلف، منهم أبو حنيفة، مالك، والشافعي، على أنه لا يكفر، بل يفسق ويستتاب، فإن لم يتب قتل حد أعند مالك والشافعي وغيرهما. وقال أبو حنيفة: لا يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي، وحملوا أحاديث التكفير على الجاحد أو المستحل للترك

      Suka

    • 5. halaman 14 – 15 antm tulis:
      “””””Karena pendapat Ulama tidak dapat dijadikan hujjah akan tetapi dijadikan hujjah apa yang telah mereka jadikan hujjah”
      (Kami nukil dari perkataan Syaikh Abdul Qadir Abdil Aziz dalam kitabnya Al-Jaami’ fii Thalab Al-Ilm Al-Syariif)””””
      ****
      Ana sepakat dengan ungkapannya, perkataan Ulama memang bukan hujjah, namun perlu hati-hati memahami nash baik al Qur’an atau Hadits, kalau ‘ufuq ilmunya rendah bisa salah memahami, lalu memfonis orang lain sesat, bahkan kafir. Ana sendiri tidak cocok dengan beberapa tulisan Syaikh Abdul Qadir Abdil Aziz, misalnya dalam kitabnya “al irhaabu minal islam, fa man ankaro dzaalika faqad kafaro”
      beliau memahami bahwa terorisme adalah bagian dari islam, barang siapa mengingkarinya maka ia telah kafir, beliau menafsirkan irhab dalam ayat tersebut sebagai terorisme, terus menghukumi orang yang mengingkari hal tsb sebagai kafir.

      Suka

  46. anda ini memang ngeyel sudah jelas hujjah-hujjah ulama ahlus sunnah tidak dapat anda bantah. anda tetap berputar-putar dalam masalah beda makna aqidah. anda sendiri melihat sahabat tidak berpendapat seperti anda : mengingkari hadits ahad. begitu juga Allah tidak berfirman dan rasul-Nya tidak bersabda yang menguatkan kekeliruan anda ketika salah memahami makna zhan yang tercela. anda ini sombong bahkan anda tidak dapat membantah hujjah yang kami sampaikan atas kekeliruan anda dalam ushul fiqih. dan anda meremehkan. hai orang yang keras kepala lagi taqlid buta terhadap keputusan partai camkanlah sekarang anda telah terjatuh pada lubang kebid’ahan dan kekufuran. semoga Allah memberikan petunjuk bagi anda dari taqlid buta pendapat partai.

    Suka

    • Astaghfirullaahal adziim. Ana berlindung kepada Allah dari sifat buruk seperti itu, juga berlindung kepada-Nya dari berprasangka buruk kepada sesama muslim. Mohon do’akan kebaikan kalau antum melihat ada sifat tercela dalam diri ana. ‘afwan komentarnya belum selesai. komentar selanjutnya ana tulis disini:

      Diskusi Khabar Ahad (Lanjutan I)

      Suka

  47. SAYA MENUNGGU BANTAHAN ANDA TERHADAP MAKALAH KAMI. SILAHKAN ANDA BANTAH. DAN INGAT KAMI KELUAR DARI HT BUKAN KARENA BENCI DENGAN HT NAMUN KARENA KAMI LIHAT SEBAGIAN PENDAPAT HT MENYIMPANG. DAN INSYA ALLAH DENGAN PERTOLONGAN ALLAH KAMI TIDAK AKAN SOMBONG BILA MELIHAT HUJJAH ANDA KUAT.

    Suka

    • Ana berlindung kepada Allah dari menganggap organisasi apapun sebagai sumber kebenaran. Ana insya Allah juga tidak pernah memaksa seseorang untuk sepakat dengan ana, apalagi harus sebarisan dengan ana. Ana anggap semua muslim bersaudara, yang mereka harus dibela jika mereka didzolimi, dituduh sesat padahal itu masalah ikhtilaf apalagi dikafirkan.

      Catatan untuk tulisan antum ada disini: https://mtaufiknt.wordpress.com/2011/02/19/diskusi-khabar-ahad-lanjutan-i/

      silakan disimak dengan pikiran dingin. ‘afwan.

      Suka

  48. Ana juga ikut prihatin dengan sekelompok orang didaerah kami yg suka membid’ah, mengkafir dan memandang sesat terhadap sesama Muslim

    Suka

  49. Pernyataanda wahai Taufik NT tentang tidak bolehnya berhujjah dengan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah menyelisihi para Shahabat Rasulullah dan para ahlu hadist sendiri dan mengambil pemahaman mu`tazilah. Coba teliti Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, adakah semua hadits di dalam 2 kitab tersebut dalam Bab Aqidah/Iman semua haditsnya mutawatir???? Tidak adakah di dalamnya hadits ahad???Kalau anda mengatakan tidak ada, berarti anda bodoh terhadap hadits!! namun kalau anda mengatakan ada hadits ahadnya,Lalu apakah anda akan mengaku lebih pandai dari Imam Bukhari dan Muslim???
    Jika anda konsekuen dengan metode anda, seharusnya anda menulis makalah di atas bersama-sama, bukan anda sendiri. Sehingga makalah anda di atas adalah kabar ahad yang tidak bisa diterima karena tidak ditulis oleh orang banyak. Anda seharusnya ketika khutbah jum`ah, jangan sendirian di atas podium, karena itu kabar ahad.. ramai-ramai saja 50 orang berkhutbah bareng, supaya kabar anda mutawatir dan khutbah jum`ah anda tentang aqidah bisa diterima. Kalau anda konsekuen!??? Tiadalah orang-orang bodoh itu akan mengambil pelajaran.

    Suka

  50. Andik : Anda telah menulis,”Para sahabat dengan tegas telah menolak khabar ahad sebagai hujjah/dalil masalah aqidah”. Contoh yang anda gunakan pun parsial,seolah-olah para Shabahat tidak satupun menggunakan hadits ahad dalam masalah aqidah. Padahal mereka menerima dalil apapun jika itu shahih, benar datangnya dari Rasulullah, baik yang menyampaikan satu orang atau lebih. Karena dalil diterima bukan karena banyak tidaknya perawi, akan tetapi shahih tidaknya hadits tersebut.
    Sekarang lihatlah contoh betapa para Shahabat radhiallahu anhum anjama`in telah menerima hadits ahad dalam masalah aqidah: ….
    ###
    Taufik : sengaja lanjutannya saya tulis … (saya hapus) karena sudah terbahas di diskusi/komentar sebelumnya oleh sdr. Ridwan, terulang oleh sdr Junaid, lalu anda mengulangnya lagi). Saya sepakat dengan pernyataan anda:
    “Padahal mereka menerima dalil apapun jika itu shahih, benar datangnya dari Rasulullah, baik yang menyampaikan satu orang atau lebih. Karena dalil diterima bukan karena banyak tidaknya perawi, akan tetapi shahih tidaknya hadits tersebut.”
    Pembahasan disini bukan masalah ini, perhatikanlah catatan ini:

    Khabar Ahad dalam Pandangan Ulama Ushul


    ###
    Andik: Maka anda wahai taufik Nt, semoga Allah menunjukkan kesesaran anda dengan aqidah mu`tazilah.
    Anda belum menjawab pertanyaan saya yang telah saya ajukan sebelumnya, apakah anda takut terbongkar kesesatan hizb anda. Kalau tidak, jawablah pertanyaan saya yang telah lalu, bila perlu, jawab bareng-bareng 50 orang biar mutawatir. Jawablah pertanyaan saya satu saja:
    Coba teliti Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, adakah semua hadits di dalam 2 kitab tersebut dalam Bab Aqidah/Iman semua haditsnya mutawatir???? Tidak adakah di dalamnya hadits ahad??
    ###
    Taufik: Cobalah anda baca dengan teliti apa yang sudah saya tulis dan diskusikan sebelum anda menuduh saya sesat, lalu apakah anda juga menuduh para syaikh Al azhar, Imam Nawawi, Imam As Sarokhsi … juga sesat karena saya justru mengambil pendapat dari pemahaman mereka terhadap as sunnah?
    Coba teliti lagi yang ini: https://mtaufiknt.wordpress.com/2011/02/19/diskusi-khabar-ahad-lanjutan-i/ terutama point 9. Allahu A’lam. Baarokallaahu fiik.

    Suka

  51. Mohon ma’af kalau untuk selanjutnya komentar pembaca sekalian untuk tema ini tidak akan saya approve kecuali ada hal-hal baru yang disampaikan, bukan mengulang-ulang komentar dan pembahasan sebelumnya.

    Suka

  52. D. Jika memang aqidah HT ini benar, sekarang coba bawakan satu contoh hadits ahad yang shahih kepada saya!
    Misalnya dibawakan hadits tentang azab kubur.
    Maka saya tanya: Apakah Anda mengimani azab kubur?
    Tentunya HT akan menjawab “Tidak”, karena haditsnya ahad.
    Maka saya tanya lagi: Apakah Anda membenarkan hadits ini dan membenarkan azab kubur?
    Tentunya HT akan menjawab “Membenarkan”, karena haditsnya shahih.
    Maka saya tanya lagi: Kalau begitu Anda membenarkan RAsulullah memerintahkan ummatnya untuk berlindung dari azab kubur ?
    Tentunya HT akan menjawab “Ya, membenarkan”, karena HT membenarkan hadits ini dan membenarkan adanya azab kubur, tapi tidak mengimaninya karena haditsnya ahad.
    Maka saya tanya lagi: Apakah RAsulullah mengimani azab kubur?
    Tentunya HT akan menjawab “MENGIMANI”, karena RAsulullah adalah sumber hadits dan mendapat wahyu langsung dari Allah dan Rasulullah tidak terikat dengan persyaratan hadits ahad.
    Lah, kalau Rasullah saja mengimani, lalu kenapa Anda tidak mengimaninya ???? Aqidah siapa yang benar kalau begitu ??? Aqidah HT yang hanya membenarkan azab kubur ??? Atau aqidah RAsulullah yang MENGIMANI azab kubur ??? Lalu, aqidah siapakah yang harus kita ikuti ??????

    Suka

    • Saya senang dengan logika anda, namun sayangnya penempatannya tidak tepat. Contohnya ungkapan anda:

      [“Maka saya tanya lagi: Apakah RAsulullah mengimani azab kubur?
      Tentunya HT akan menjawab “MENGIMANI”, karena RAsulullah adalah sumber hadits dan mendapat wahyu langsung dari Allah dan Rasulullah tidak terikat dengan persyaratan hadits ahad.”] (sepertinya saya pernah baca ungkapan ini di blognya abul jauza).

      Tidakkah anda sadari bahwa pembahasan khabar ahad/mutawatir — dalam pembahasan ini – berkaitan dengan kepastian apakah khabar tersebut pasti berasal dari Rasulullah ataukah tidak. Jadi kalau dipastikan sumbernya bahwa Rasulullah mengimani sesuatu, jelas kita wajib mengimaninya.

      Coba renungi kembali apa tema pembahasan dalam hal ini, lihat juga apa yang ditulis oleh Al Hafidz Ibnu Abdil Barr (w. 341 H), dalam kitab المسودة في أصول الفقه menyatakan:

      اختلف أصحابنا وغيرهم في خبر الواحد العدل: هل يوجب العلم والعمل جميعاً؟ أم يوجب العمل دون العلم؟ قال: والذي عليه أكثر أهل الحذق منهم أنه يوجب العمل دون العلم، وهو قول الشافعي وجمهور أهل الفقه

      Para sahabat kami berselisih tentang khabar wahid yang ‘adil apakah mewajibkan ‘ilmu dan sekaligus ‘amal? atau mewajibkan ‘amal namun tidak mewajibkan ‘ilmu? dia (Ibnu Abdil Barr) berkata: dan sebagian besar orang pandai diantara mereka berpendapat bahwa khabar wahid (yang ‘adil) mewajibkan ‘amal, tanpa mewajibkan ‘ilmu, dan ini adalah perkataan As Syafi’i dan jumhur (mayoritas) ahli fiqh. Allahu A’lam

      Suka

      • Namun sayangnya, dari tulisan semodel dengan yang Anda bawakan, kawan-kawan di HT menyimpulkan bahwa “Kita HARAM MENGIMANI AZAB KUBUR, kita HANYA BOLEH membenarkannya.” Demikian yang ditulis oleh kawan-kawan HT dalam sebuah slide yang berisi pembelaan HT terhadap aqidah yang diyakininya (slide ada pada saya).

        Sederhana saja. SEkali lagi saya ingin mendengar dari Anda:
        1. Apakah Anda MENGIMANI AZAB KUBUR ?
        2. Apakah HT MENGIMANI AZAB KUBUR ?
        3. Apakah Rasulullah dan para Sahabatnya MENGIMANI AZAB KUBUR ?

        Mohon jawabannya. Syukron. Barokallohu fiikum.

        Suka

  53. Melelahkan juga berdiskusi dg orang yang tidak mau membaca dari penjelasan teman diskusinya, coba saja lihatlah yang anta tulis, ini sudah ana pernah bahas di postingan (pada kolom komentar) tanggal 25 Oktober 2010 pada 9:08 am.

    Siksa kubur itu dalilnya shahih, wajib membenarkannya, dan tidak boleh menolaknya, dan termasuk kesesatan kalau menolaknya hanya karena ini hadits ahad.

    Imam al Ghazali, Imam As Sanusi, Imam Al Bazdawi, dan lain-lain … mereka mengakui adanya siksa kubur … bahkan mereka telah membantah pemikiran kaum mu’tazilah yang meniadakan siksa kubur walaupun mereka adalah kelompok ulama yang tidak menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah ….

    Sekarang ana mau nanya (tolong dipilih pilihan gandanya)
    1. apakah anta mengimani bahwa ayah Rasulullah di neraka?
    a. mengimani b. tidak mengimani
    (coba lihat di blognya abul jauza, ada hadits shahih riwayat imam Muslim dimana Rasul mengatakan “bapakku dan bapakmu dineraka”, lengkapnya disini yang mengkafirkan orang tua nabi: http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/11/29/bantahan-18-kafirkah-kedua-orang-tua-nabi/)

    2. apakah orang yang tidak mengimani (bahkan tidak percaya) bahwa ayahnya Rasulullah di neraka ia tidak beriman (kafir)?
    a. ya, dia kafir b. tidak, dia masih beriman

    3. Apakah orang yang tidak mengimani Keesaan Allah Esa kafir?
    a. ya, dia kafir b. tidak, dia masih beriman

    4. Apakah orang yang tidak mengimani azab kubur, bahkan menolaknya dia kafir?
    a. ya, dia kafir b. tidak, dia masih beriman

    5. Si A membenarkan azab kubur dengan sepenuh hati, namun tidak sampai mengkafirkan si B yang menolaknya dikarenakan si B melakukan takwil, si A hanya menyatakan si B salah, apakah si A kafir karena tidak mengkafirkan si B?
    a. ya, dia kafir b. tidak, dia masih beriman

    6. Si A meyakini Allah Esa, namun tidak sampai mengkafirkan si B yang meyakini Allah ada tiga, apakah si A kafir?
    a. ya, dia kafir b. tidak, dia masih beriman

    ‘afwan, pertanyaan ana ini hanya ingin tahu apakah anta memahami makna ‘MENGIMANI’ yang dibahas disini sesuai tema pembahasan atau tidak (jawaban singkat pertanyaan anta, nanti dulu setelah ini clear). Bagus juga dibaca ini: https://mtaufiknt.wordpress.com/2012/05/26/al-ilmu-wa-al-dzan/

    Suka

  54. abinya_zalfa@yahoo.com

    kok komentar ana ga ada ??
    ##
    ‘Afwan, komentarnya bolak-balik sekitar itu saja, sebaiknya anda baca dulu postingan dan apa yg ada dalam diskusi, baru komentar, diselesaikan satu-persatu masalahnya. Kalau mau lanjut diskusi, jawab dulu pertanyaan ana terakhir tanggal 12 Juli 2012 pada 8:53 am. Tidak seperti komentar abdul jabbar (6 Juli 2012 pada 12:07 pm) yang “menghilang” setelah ditanya, atau mungkin dia sudah memahami pembahasan ini sehingga tidak nongol lagi.

    Ini juga berlaku untuk siapa saja yang mau melanjutkan diskusi ini. Baarokallahu fiikum.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Abdul Jabbar Batalkan balasan