Standar Perbuatan

Dari Abu Ubaidah, Rasulullah bersabda:

ما إن تمسكتم به لن تضلوا أبدا كتاب الله عز وجل فما لم تجدوه في كتاب الله ففي سنتي فما لم تجدوه في سنتي فإلى أولي الأمر منكم

“selama kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat selamanya, yakni kitabullah, dan jika kalian tidak mendapati didalam kitabullah lihatlah sunnahku, jika tidak ketemu maka ke ulul ‘amri diantara kalian[1].

Sebagian besar sendi-sendi kehidupan manusia saat ini diatur tanpa berlandaskan pegangan yang shahih.  Al Qur’an yang diyakini kebenarannya hanya dijadikan bahan bacaan yang jarang dimengerti artinya, bahan perlombaan yang berulang-ulang namun terpinggirkan perannya dalam kehidupan. Ali bin Abi Thalib r.a berkata:

 يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَبْقَى مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَّا اسْمُهُ، وَلَا مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا رَسْمُهُ، يُعَمِّرُونَ مَسَاجِدَهُمْ وَهِيَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ خَرَابٌ، شَرُّ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَنِ عُلَمَاؤُهُمْ، مِنْهُمْ تَخْرُجُ الْفِتْنَةُ وَإِلَيْهِمْ تَعُودُ، يَعْنِي أَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ وَلَا يَعْمَلُونَ بِوَاجِبَاتِ مَا عَلِمُوا

Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana Islam tidak tersisa kecuali namanya saja, begitu juga Al Qur’an tinggal tulisannya saja, mereka membangun masjid-masjid mereka namun kosong dari dzikrullah, seburuk-buruk orang pada zaman itu adalah para ‘ulama mereka, dari merekalah  fitnah tersebar, dan kepada mereka kembalinya, yakni mereka tahu namun tidak melaksanakan apa yang wajib dari yang mereka ketahui itu[2].

Akibat logis dari diacuhkan dan dipinggirkannya Al Qur’an adalah berpalingnya kebanyakan manusia kepada tolok ukur yang lain dalam menilai perbuatan mereka. Banyak yang akhirnya menjadikan prilaku Yahudi dan Nasrani Barat sebagai patokan dalam bertingkah laku. Sebagaimana sabda Rasulullah[3] :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ ؟

 Diantara manusia ada yang menjadikan manfa’at  sebagai tolok ukur, asalkan sesuatu itu bermanfaat menurut pandangannya dan tidak merugikan orang lain maka sesuatu itu akan dipandang baik. Ia merasa bebas melakukan apapun asalkan tidak mengganggu  orang lain dan ketertiban umum. Bagi mereka pacaran, berduaan dengan lain jenis, bahkan berzina sah-sah saja asal suka sama suka. Bagi negara yang memakai tolok ukur ini lokalisasi perjudian, pelacuran,  menjamurnya pabrik miras juga hal biasa. Bahkan di Eropa anak gadis yang umurnya lebih dari 17 tahun bebas kencan dan berhubungan seksual dengan siapa yang disukainya, orang tua yang melarangnya justru akan dikatakan melanggar HAM.

Ada juga yang menjadikan suara mayoritas sebagai standar, apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat akan dikatakan sebagai kebaikan, dalam musyawarah, baik tingkat keluarga maupun di gedung DPR, suara mayoritas dianggap sebagai suara ‘tuhan’, dengan ini akhirnya justru firman Tuhan banyak yang dilecehkan, aturan syariat dipinggirkan hanya karena tidak didukung suara mayoritas. Inilah yang oleh yahudi Barat disebut dengan demokrasi.

Ada yang menjadikan perkataan pemimpin/tokoh yang dikaguminya sebagai standar, sehingga kebenaran selalu ada jika dan hanya jika dilegitimasi oleh tokohnya, walaupun Al Qur’an dan As Sunnah mengatakan yang sebaliknya, mereka selalu beralasan “tentunya beliau lebih paham tentang hal tersebut daripada kita”, “beliau kan  maqamnya lebih tinggi dari kita”, “bila Al Qur’an mengatakan putih tetapi dikatakan beliau hitam, berarti yang benar hitam”. Inilah yang disinyalir dalam Al Qur’an Al Ahzab: 66 – 67:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَالَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا  وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

Orang – orang yahudi dan nasrani mereka menjadikan ulama’nya (rahib dan pendeta) menjadi tolok ukur perbuatan mereka, apa yang dikatakan ulamanya halal mereka menghalalkannya, walaupun Al Kitab mengharamkannya, begitupula sebaliknya. Firman Allah  At Taubah: 31 :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ الله  

Berkaitan dengan ayat ini Imam Ibnu Katsir (lihat juga Imam Qurthubi) menulis sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir dari Adi bin Hatim, bahwa ia ketika masih Nasrani, mendengar Rasulullah membacakan ayat tersebut lantas Adi bin Hatim berkata:

إنهم لم يعبدوهم فقال “بلى إنهم حرموا عليهم الحلال وأحلوا لهم الحرام فاتبعوهم فذلك عبادتهم إياهم # “وهكذا قال حذيفة بن اليمان وعبدالله بن عباس وغيرهما # وقال السدي : استنصحوا الرجال ونَبَذُوا كتاب الله وراء ظهورهم ولهذا قال تعالى ” وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا ” أي الذي إذا حرم الشيء فهو الحرام وما حلله فهو الحلال وما شرعه اتبع وما حكم به نفذ “.

Ketika tolok ukur perbuatan mereka adalah seperti yang tersebut diatas, maka wajar jika banyak orang melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka sangka sebagai perbuatan terpuji, atau sebaliknya mereka meninggalkan perbuatan terpuji karena merasa itu tercela.

Sebagai contoh, seorang wanita muslimah  yang keluar rumah dan berkeliaran di jalan-jalan dengan enaknya menampakkan ‘keindahan’ dan kecantikannya. Diantaranya ada yang menyangka bahwa tindakannya itu sebagai sesuatu yang baik, sesuai dengan zaman, bahkan ibadah karena memperlihatkan ‘indahnya’ ciptaan Tuhan.  Demikian pula seorang tokoh Islam yang alim dan wara’, tetapi dia menolak untuk memperingatkan umat menyangkut tingkah laku penguasa yang rusak dan sistem kehidupan yang jauh dari garis wahyu,  dengan alasan bahwa hal itu termasuk urusan politik.  Sedangkan terlibat dalam urusan politik, menurutnya adalah termasuk dalam perbuatan yang buruk.

Sesungguhnya wanita tadi, juga ‘tokoh’ ini, dua-duanya telah terjerumus dalam kekeliruan, karena kedua-duanya tidak memiliki tolok ukur Al Qur’an dan As Sunnah bagi amal perbuatan mereka.  Padahal, jika mereka memilikinya tentu tidak akan dijumpai perbuatan/pernyataan yang bertentangan Islam yang secara nyata telah mereka ikrarkan. Wanita itu telah mempertontonkan auratnya, dan ‘tokoh’ ini tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin, padahal Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits riw. Thabrani dari Abu Dzar ra [4] 

 من أصبح وهمه الدنيا فليس من الله في شيء ومن لم يهتم بالمسلمين فليس منهم 

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra [5]:

  سيد الشهداء حمزة بن عبدالمطلب ورجل قام إلى إمام جائرفأمره ونهاه فقتله

Oleh karena itu, adanya tolok ukur yang tepat untuk menilai setiap perbuatan, adalah suatu keharusan bagi setiap manusia, sehingga ia akan mengetahui hakikat suatu perbuatan sebelum mengerjakannya.

Dan Islam telah menetapkan bagi manusia suatu tolok ukur untuk menilai segala sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus segera dilakukan dan mana perbuatan yang tercela yang harus segera ditinggalkan.  Tolok ukur itu tidak lain adalah syara’(sumbernya Al kitab, as Sunnah serta yang ditunjukkan oleh keduanya).  Sehingga apabila syara’ menilai perbuatan itu terpuji, maka itulah yang terpuji, dan apabila syara’ menilainya tercela maka itulah yang tercela.  Tolok ukur ini bersifat abadi, tidak akan berubah karena zaman dan tempat.

Berbeda halnya bila akal yang dijadikan sebagai tolok ukur, maka akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian.  Sebab, suatu perkara bisa saja dianggap terpuji pada suatu keadaan, tapi tercela pada keadaan yang lain.  Akal manusia kadangkala memuji suatu perbuatan di masa sekarang, tapi esok hari dicelanya.  Atau suatu perbuatan dipandang terpuji di suatu negeri tetapi di negeri lain dicela. Allah berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ) البقره : 216)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang untuk menjadikan hukum-hukum syara’ sebagai tolok ukur atas semua perbuatannya


[1] Musnad Ar Rabi’ juz I hal 33

[2] Hr. Ad Dailami,  Al Baihaki, Syu’bul Iman juz 2 hal 311  lihat juga Tafsir Qurtubi juz 12  hal 280

[3] Hr Bukhari, Muslim dan Ahmad

[4] At Targhib Wat Tarhib juz 2 h 342 lihat juga Majmauz Zawaaid juz 1 hal 87

[5] Al Mustadrak ala As Shahihain, juz 2 hal 215, Majma’uz Zawaaid, juz 9 hal 268

Posted on 22 Februari 2008, in Khutbah Jum'at. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar